Monday, January 31, 2022

Wartawan dari Maros, Pulau Sulawesi, raih penghargaan jurnalisme

JAKARTA (31 Januari 2022) – Eko Rusdianto, seorang wartawan dari Maros, Pulau Sulawesi, yang sering meliput diskriminasi dan pelanggaran hak perempuan dan minoritas seksual, hak masyarakat adat dan petani, maupun kerusakan lingkungan hidup, meraih Penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.

“Keputusan Eko Rusdianto buat menggali sebuah kasus, dan belajar soal liputan trauma, lantas mendapat kepercayaan dari ibu para korban buat menulis kekerasan seksual, serta bikin laporan yang kritis, membuat para juri sepakat bahwa ia sebuah keberanian dalam jurnalisme,” kata Coen Husain Pontoh dari Penghargaan Oktovianus Pogau.

 

Pada 6 Oktober 2021, laporan Rusdianto soal dugaan pemerkosaan tiga anak yang dilakukan ayahnya, seorang birokrat di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, terbit di Jakarta. Ia merupakan penugasan dari Project Multatuli.

 

Liputannya berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan.” Liputan tersebut menggemparkan dunia maya. Ia membuat tanda pagar #PercumaLaporPolisi viral di Indonesia. Website projectmultatuli.org mendapat serangan DDOS (Distributed Denial of Service) sehingga down, dan dicap berita bohong oleh Polres Luwu Timur. Puluhan media lain menerbitkan laporan tersebut di website masing-masing.

 

Awalnya, Eko Rusdianto ingin menuliskan kisah “Ibu Lydia” namun merasa belum memiliki pengetahuan dan ketrampilan soal liputan trauma, terutama terhadap korban kekerasan seksual. “Ibu Lydia” melaporkan mantan suaminya kepada polisi dengan tuduhan kekerasan seksual terhadap ketiga anak perempuan mereka.

 

Pada 2019, kasus ini dihentikan di Luwu Timur. Rusdianto mulai membaca berkasnya bersama kenalannya di Lembaga Bantuan Hukum Makassar. Dia juga bikin liputan soal seorang transgender perempuan, Pada 2020, Rusdianto belajar pada beberapa aktivis hak perempuan serta membaca soal liputan trauma. Dia mulai sering menulis soal diskriminasi dan kekerasan terhadap individu transpuan di Sulawesi termasuk Ho Chiang Seng (biasa dipanggil Hae), yang sudah 36 tahun meninggalkan Makassar, mengembara di Pulau Jawa.

 

Pada 2021, Project Multatuli hubungi Rusdianto agar menulis tentang kasus-kasus hukum yang mandek. Rusdianto mengusulkan tentang kasus kekerasan seksual di Luwu Timur. Dia ingin menyambung suara “Ibu Lydia” yang disebut "gangguan jiwa" di Luwu Timur gegara memperkarakan mantan suaminya.

 

“Keputusan buat membongkar kasus yang sudah ditutup polisi adalah sebuah keberanian. Ini sesuatu yang lazim dilakukan wartawan dalam masyarakat yang dukung demokrasi,” kata Pontoh. “Project Multatuli membuat kebijakan yang baik dengan menyediakan dana buat bongkar kasus-kasus dingin.”

 

Eko Rusdianto kelahiran September 1984, di kampung Kombong, Kecamatan Suli, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. Dia kuliah jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Fajar. Cinta pertamanya, dalam dunia keilmuan, adalah arkeologi. Rusdianto beberapa kali menulis soal gua prasejarah atau bahasa yang terancam punah. Eko Rusdianto belajar jurnalisme dan penulisan di Yayasan Pantau di Jakarta pada 2008 serta pernah mendapatkan beberapa penugasan jurnalistik.

 

Rusdianto mengirim naskah ke berbagai penerbitan Jakarta, termasuk MongabayViceHistoria maupun New Naratif (Singapura), Al Jazeera (Qatar), dan South China Morning Post (Hong Kong). Tahun lalu, Rusdianto juga menulis kesulitan bekerja sebagai wartawan lepas buat Remotivi. Judulnya, “Koresponden dan Penulis Lepas, Sama-sama Cekaknya.”

 

Di Mongabay, Rusdianto banyak meliputan soal perampasan tanah serta pengrusakan lingkungan hidup, termasuk penggusuran tanah warga Seko, Luwu Utara, Sulawesi Selatan, buat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air di Sae. Tempatnya terpencil dan tak bisa dilalui mobil. Seko, terletak sekitar 120 kilometer dari Sabbang, Luwu Utara, atau 600 kilometer dari Makassar. Rusdianto naik ojeg sepeda motor, dua sampai tiga hari, dengan ongkos sekitar Rp 1 juta.


Dia juga menerbitkan antologi termasuk Titik Krisis di Sulawesi; Narasi Jurnalistik Atas Kehancuran Ruang dan Sumber Daya Alam (2020), Tragedi Di Halaman Belakang: Kisah Orang-orang Biasa dalam Sejarah Kekerasan Sulawesi (2020) serta Meneropong Manusia Sulawesi (2022).

Dalam pemeriksaan tahun 2018 terhadap kasus di Luwu Timur, Indonesian Judicial Research Society menyimpulkan berbagai prosedur yang cacat dari Dinas Sosial maupun Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Luwu Timur dalam menerima keluhan "Ibu Lydia." Mereka mengusulkan kedua kantor pemerintah tersebut, maupun kepolisian, membuka kembali kasus dengan prosedur pendampingan baru terhadap ketiga korban kekerasan seksual maupun ibunya.

 

Pontoh mengatakan, “Kami hormat pada pergulatan serta kesulitan wartawan lepas macam Rusdianto dalam melawan kebekuan birokrasi kepolisian. Liputannya seyogyanya dipakai sebagai masukan buat memperbaiki kinerja Polres Luwu Timur, maupun kepolisian secara nasional, dalam mengungkap kekerasan seksual.”

 

Tentang Penghargaan Pogau

 

Nama Oktovianus Pogau, diambil dari seorang wartawan Papua, kelahiran Sugapa pada 1992. Pogau meninggal usia 23 tahun pada 31 Januari 2016 di Jayapura, sesudah pulang dari perjalanan di Amerika Serikat sebulan sebelumnya. Tubercolosis kambuh karena perjalanan di musim dingin.

 

Pada Oktober 2011, Pogau pernah melaporkan kekerasan terhadap ratusan orang ketika berlangsung Kongres Papua III di Jayapura. Tiga orang meninggal dan lima dipenjara dengan vonis makar. Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat sejak 1965. Dia juga memprotes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata.

 

Penghargaan ini diberikan buat mengenang keberanian Pogau. Ia diberikan sejak 2017 dengan Febriana Firdaus sebagai penerima pertama. Ia rutin diberikan setiap tahun: Citra Dyah Prastuti dari KBR Jakarta (2018); Citra Maudy dan Thovan Sugandi dari Balairung Press, Yogyakarta (2019), Yael Sinaga dan Widiya Hastuti dari Medan (2020); serta Phil Jacobson dari Mongabay, Chicago (2021).

 

Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura) dan Andreas Harsono (Human Rights Watch, Jakarta). 

Tuesday, January 25, 2022

Ketika keperluan material terasa sudah terpenuhi


SAYA pergi ke Plasa Senayan, dekat rumah, guna mengambil sesuatu dari sebuah toko dimana saya pesan hadiah buat isteri. Ternyata pesanan belum jadi. Mereka kekurangan karyawan. Mesin juga ada kerusakan. Saya kecewa tapi bisa mengerti dengan kesulitan tersebut. Saya putuskan cari barang lain. 

Pandemi memang bikin banyak sekali perusahaan, entah berapa ribu di seluruh Jakarta, besar, menengah dan kecil, mengurangi karyawan atau biaya pemeliharaan alat. Ada tailor kenamaan terpaksa rumahkan penjahit mereka. Ada belasan toko di Plasa Senayan --mungkin bangunan mall dengan harga sewa per meter persegi paling mahal di Indonesia, menurut Erfi Daniel, manajer Coffee Club di mall ini-- terpaksa tutup. 

Sambil jalan-jalan dalam mall, saya jadi berpikir memanjakan diri sendiri dengan beli sesuatu. Atau makan sesuatu? Hampir 90 menit saya jalan-jalan, lihat berbagai toko dan tempat makan, ternyata tak ada satu pun yang menarik perhatian saya. 

Entah kenapa, saya merasa berkecukupan. 

Saya merasa ingin makan di rumah saja. Lebih sehat dan hemat. Bukan berarti saya punya uang buat membeli arloji bermutu atau lukisan indah tapi kalau pun ada uang, saya merasa cukup menikmati lukisan-lukisan indah di museum. 

Saya tahu arloji dari Swiss jauh lebih bermutu daripada arloji Seiko dengan army strap yang sudah saya pakai lebih dari dua dekade. Rasanya Seiko juga baik. Kadang memang terlambat tapi tinggal putar sret ... sret ... sret ... sudah tepat lagi. 

Arloji Seiko ini baru beberapa tahun saya pakai buat mengganti arloji sejenis, yang saya beli di Singapura pada 1996 ketika saya bekerja sebagai koresponden buat harian The Nation (Bangkok). Tukang arloji Seiko menganjurkan saya ganti baru karena arloji lama terlalu sering service

Ada pameran lukisan dan patung di Plasa Senayan. Saya menikmati lukisan artis Belanda Johan Rudolf Bonnet (1895-1978). Ia gambar seorang lelaki Bali. Saya amati berkali-kali. Harganya Rp 900 juta. Kalau dibeli ia bisa jadi investasi yang menguntungkan. Saya tentu tak sanggup membeli lukisan semahal ini. 

Tapi buat apa juga? Saya merasa isteri dan kedua anak saya juga berkecukupan buat hidup layak, dari makan sampai pendidikan. Saya hanya perlu hidup sehat dengan mengurangi berat badan, makan lebih sehat, olahraga teratur. 

Ketika muda, saya pernah berpikir macam Soe Hok Gie (1942-1969), seorang cendekiawan publik dari Jakarta, yang menulis dalam buku hariannya bahwa orang yang mati muda seyogyanya lebih bahagia daripada mereka yang mati tua. Saya bukan tak punya gaya hidup tanpa resiko. 

Sebagai seorang aktivis sejak 1980an, saya sadar bahwa resiko jadi korban kekerasan cukup tinggi, dari badan cacat sampai kehilangan nyawa. Saya juga biasa hidup sederhana --kecuali beli buku mungkin. Hok Gie sendiri meninggal di puncak Gunung Semeru. Dia keracunan gas ketika menemani seorang kawan pendaki gunung yang terluka. 

Kini tanpa terasa saya hampir umur 60 tahun. Mungkin wajar pada orang yang mulai berumur merasa berkecukupan. Mau ngopi bisa dengan mudah ke Starbucks. Mau belanja keperluan sehari-hari juga tidak repot. Mau liburan, perlu sedikit menabung, tapi bisa terpenuhi. Saya bahkan sering menerima hadiah. Entah dari organisasi dimana saya diminta ceramah. Entah dari relasi ketika hari raya. Mulai dari batik sampai kerajinan logam. Isteri dan anak-anak juga sering kasih hadiah. 

Masa pandemi ini juga banyak kawan saya memerlukan bantuan, dari jaga kesehatan diri sendiri atau keluarga sampai melanjutkan pendidikan. Ada yang harus operasi. Ada yang harus bayar kuliah. Ada yang kehabisan modal. Ini belum lagi mereka yang ditangkap polisi karena demonstrasi. Atau melahirkan ketika pasangannya ada dalam penjara. 

Saya banyak memberikan perhatian kepada tahanan politik dalam beberapa dekade ini. Mereka dipenjara karena menyatakan pendapat tanpa kekerasan. Saya berusaha menolong mereka bersama kawan-kawan lain, sebisa-bisanya. Ini juga membuat saya merasa bersalah bila membeli keperluan tersier --bukan primer maupun sekunder. Mereka lebih memerlukan daripada saya. Selalu usaha meluangkan sedikit uang saya, yang juga tak banyak, buat meringankan beban mereka. 

Ini belum lagi dua orang adik kandung saya, punya kondisi kejiwaan. Mereka masih ditopang, secara finansial, oleh orangtua, selama dua dekade ini. Namun saya selalu ingat akan mereka. Bolak-balik harus berobat, kadang masuk rumah sakit. Mereka memerlukan biaya --setidaknya buat transportasi dan makanan ekstra. Keduanya beruntung punya asuransi kesehatan dari negara Indonesia.

Bisa membantu kerabat dan kawan membuat saya merasa lebih manusiawi. Tidak lebih, tidak kurang. 

Mungkin saya terpengaruh Soe Hok Djin atau Arief Budiman (1941-2020), kakak Hok Gie, yang mengajar saya di Salatiga pada 1980an. Arief hidup nyaman, cukup namun selalu berusaha etis, tak berlebihan. Pakaian sederhana. Vespa, sepeda pancal dan mobil tua. Rumahnya kebanyakan terbuat dari bambu dan kayu, tanpa pagar, serba terbuka. Disain dari arsitek kenamaan Y.B. Mangunwijaya. Arief juga suka membantu orang. Arief menulis memo buat orang yang perlu rekomendasi. Dia juga ikut rekomendasi agar saya dapat beasiswa di Universitas Harvard. Dia mendidik orang dengan memberi contoh. Dia hidup secukupnya. 

Salah satu orang asing yang menarik perhatian saya beberapa tahun terakhir adalah Marie Kondo, seorang perempuan yang dijuluki the tidiest woman in the world. Dia seorang penulis Jepang, yang berpengaruh di dunia karena metodenya merapikan rumah. Netflix siarkan berbagai macam program dengan Marie Kondo. Dia juga muncul dalam acara The Late Show with Stephen Colbert. Ini sebuah acara televisi yang terkenal di New York. Marie Kondo bilang setiap benda yang kita miliki perlu disentuh dan ditanya apakah ia "spark joy" (memicu kesenangan). Marie Kondo membuat saya berpikir untuk tak memiliki terlalu banyak barang. 

Entahlah. Saya memutuskan pulang ke rumah, tanpa membeli apapun, sesudah dapat hadiah pengganti buat isteri. Tidak ngopi, tidak ngemil. Saya merasa lebih baik hidup dengan lebih sederhana. Sound spiritual? Saya tak bicara soal surga dan neraka lho. 

Ia setidaknya lebih sehat buat badan dan jiwa saya. Marie Kondo mengingatkan bahwa gaya hidup secukupnya juga lebih baik buat lingkungan hidup. 

Dalam mobil, sambil dengar musik Genesis, saya tiba-tiba merasa terbebas dari keperluan material. 



Sunday, January 16, 2022

Terjemahan bahasa Indonesia buku "Race, Islam and Power"

Bukan sekali atau dua, saya ditanya kapan terjemahan buku Race, Islam and Power (2019) ke bahasa Indonesia, akan dikerjakan? Bahkan ada orang yang menawarkan diri buat menterjemahkan. 

Jawabnya, saya tak punya dana buat usaha ini. Usaha ini perlu uang buat membayar penterjemah, memeriksa semua kutipan awal dalam bahasa Indonesia, serta merapikannya lewat seorang editor. Ada juga yang usul bikin podcast. Ia juga tak sederhana, perlu editor, perlu sound bytes --tak bisa cukup monolog atau dialog. 

Menariknya, ada organisasi yang tanya bila mereka bisa mengupayakan dana, penterjemahan, maupun penerbitan buku tersebut. Saya bilang silahkan namun perlu bicara dengan penerbit Monash University Publishing di Melbourne. Buku ini diterbitkan dari Melbourne. Dan Monash University Publishing punya sejumlah syarat buat penterjemahan --maupun pembuatan menjadi film dokumenter. 

Mengapa saya menulis buku tersebut dalam bahasa Inggris?

Jawabannya sederhana. 

Buku tersebut ditulis dengan banyak bahan dari liputan saya buat media internasional, tentu saja, dalam bahasa Inggris. Saya terutama banyak dapat bahan dari Human Rights Watch di New York, tempat saya bekerja sejak 2008.

Bandingkan dengan dua buku saya sebelumnya, Jurnalisme Sastrawi (2005 dengan co-editor Budi Setiyono) dan "Agama" Saya Adalah Jurnalisme (2011), yang saya tulis dalam bahasa Indonesia. Bahan-bahan kedua buku tersebut banyak saya dapatkan ketika saya bekerja buat Yayasan Pantau, antara lain bersama Setiyono, di Jakarta, antara 2000 sampai 2008. 

Namun ada hampir satu bab dari buku Race, Islam and Power sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia: Aceh. Ia pernah dimuat di majalah Pantau soal perjalanan saya dari Pulau Sabang. Ia hanya sebagian saja dari bab Sumatra. 

Ada seorang kawan mengatakan bahwa saya menulis buku ini dalam bahasa Inggris karena isinya keras. Saya kira tidak. Ini soal bahan-bahan saja. 

Saya terbiasa menulis dalam dua bahasa tersebut lebih karena persoalan audiens --pembacanya siapa serta dimana ia akan dimuat. 

Ketika mahasiswa di Salatiga (1984-1991), saya menulis dalam bahasa Indonesia, terutama buat harian Suara Merdeka di Semarang. Saya lantas bekerja buat harian The Jakarta Post (1993-1994) serta The Nation (1995-1999) di Bangkok, maka bahasa Inggris dipakai. 

Selalu polanya begini. Tergantung media dimana saya menulis. Sampai sekarang, saya masih terbiasa menulis dalam dua bahasa, Indonesia dan Inggris. Buku Race, Islam and Power saya tulis karena pesanan awal dari harian The Star di Kuala Lumpur pada 2003.  

Liputan berupa perjalanan, yang dilengkapi dengan riset dan studi literatur, ternyata menarik perhatian The Star. Perdana Menteri Mahathir Mohamad memuji liputan tersebut, menurut Ng Poh Tip, orang nomor satu The Star. Ia juga diterbitkan lagi oleh Kyoto Review, sebuah penerbitan milik Center for Southeast Asian Studies dari Universitas Kyoto, Jepang. 

Ia lantas berlanjut karena banyak riset saya buat Human Rights Watch, juga dalam bahasa Inggris. Saya memutuskan menulis buku tersebut dalam bahasa Inggris.



Friday, January 14, 2022

Discrimination holds back religious minority children

Andreas Harsono 
The Jakarta Post 

In December 2021, I had the chance to talk with a bright 14-year-old girl named Maria Tunbonat, a fifth-grader in a state school in Tarakan, North Kalimantan. Her father, Ayub, also joined the video call as we spoke about her school and her hobbies.

Maria has been a fifth-grader for three years because her teachers refuse to let her move on to the next grade. The reason? Maria and her family are Jehovah’s Witnesses.

Jehovah's Witnesses originated in the United States during the 19th century but have since expanded worldwide. Now they have 510 congregations in Indonesia. The group said it had 8.7 million Jehovah's Witnesses worldwide in 2021.

Jehovah’s Witnesses have specific views on key Christian theological issues that make them unpopular with some members of the Christian establishment in Indonesia and elsewhere in the world. Jehovah's Witnesses were banned in Indonesia between 1976 and 2001. In 2002, the Religious Affairs Ministry allowed them to register in Indonesia.

In November 2021, the National Commission for Child Protection revealed that Maria and her two younger brothers at SDN 51 state elementary school in Tarakan had been denied a passing grade since 2019 despite their excellent academic records.

Ayub told me that he, his wife and children, Maria, Yosua (grade 4), and Yonatan (grade 2) had converted to become Jehovah’s Witnesses in November 2018. It seemed like a simple conversion, but teachers at the local school disapproved, saying the children were “deviating from Christian teachings".

In 2019, the school expelled them, saying the three siblings had refused to sing the Indonesian national anthem, Indonesia Raya. The siblings had joined school assemblies and stood with respect but refused to sing and salute the national flag in accordance with Jehovah’s Witnesses' beliefs.

“We do not venerate the cross or any other images,” the group’s website says.

Ayub filed a lawsuit against the school at the Samarinda State Administrative Court, saying that his children only “saluted God” but neither disrespected the anthem nor the flag. In September 2020, the Indonesian court ruled in favor of the children, allowing them to resume schooling after months of absence.

The siblings stayed in their same grades in 2020. According to the school principal, FX Hasto Budi Santoso, SDN 51 has 158 Muslim students, two Catholics and four Protestants, including the siblings. The school has a part-time teacher to teach Christianity classes, and Ayub agreed to enroll his children in those classes. In Indonesia, students take mandatory religious instruction based on their religion.

When I spoke to Budi Santoso, he told me that the three siblings had refused to sing “certain Christian songs” and thus the school failed them in their religion classes. Budi Santoso decided to hold them back from moving up to the next grade in 2022.

Indonesia's 1965 blasphemy law “recognizes” only six religions: Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism, Buddhism and Confucianism. Budi said he would allow the three children to advance in grades if the government changed the law to recognize Jehovah’s Witnesses.

“If the Jehovah’s Witnesses claims to be under Christianity, then they must obey the guidelines from the Christian church,” he said. “The Religious Affairs Ministry has a legal explanation about Christian education.”

But this is a misreading of the blasphemy law. The explanation attached to the law states that despite “protecting” the six religions from defamation, Indonesia still allows other religions and beliefs to be practiced in Indonesia. President Sukarno, who wrote the law in January 1965, explicitly mentioned that “Judaism, Zoroastrian, Shinto, Taoism and others” could be practiced.

The 2014 Children Protection Law also says that all children have the right to practice their religions and beliefs. Article 21 says the state, the central government and local governments are obligated and responsible for fulfilling the rights of children without discrimination, including on the basis of religion.

Denying elementary students and advancement to the next grade because of their faith violates their rights to education and freedom of worship. The principal could simply ask the students to take Jehovah’s Witnesses lessons from their community in Tarakan, like Sunda Wiwitan students in West Java have done, or offer another accommodation at the school

Ario Sulistiono of the Jehovah’s Witnesses office in Jakarta told me that a total of 22 children have faced similar problems elsewhere in Indonesia since 2016.  In most cases, parents decided to move their children to other schools that did not discriminate against them in this way. But this is an unacceptable price to pay for one’s religious beliefs. The Tarakan authorities should direct the principal to promote the siblings to their proper grade level immediately. The Education, Culture, Research and Technology Ministry should issue national instructions prohibiting such discrimination.

As I was saying goodbye, Maria asked me what she should spend time learning, as repeating her grade has left her with a lot of time. I suggested she study English, as it will open up a world of information and ideas. ***

Andreas Harsono is Senior Researcher at Human Rights Watch.

Wednesday, January 05, 2022

Masukan buat Menteri Koordinator Mahfud MD soal diskriminasi dan intoleransi agama

Lima anggota Tim Advokasi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan bertemu Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD tadi pagi di kantornya. Tujuannya, menyampaikan masukan soal diskriminasi, intimidasi dan kekerasan terhadap minoritas agama, termasuk anggota Ahmadiyah. Pertemuan berjalan 30 menit. Empat orang, termasuk saya, pakai 12 menit buat sampaikan masukan.


Pak Mahfud dan jajaran yang kami hormati,

Terima kasih menyediakan waktu. Kami datang dari empat organisasi. Setara Institute satu dari tujuh organisasi yang gugat PNPS 1965, bersama empat individu, pada 2009. Kontras, organisasi hak asasi manusia. Jemaah Ahmadiyah Indonesia, perkumpulan yang anggotanya sering jadi korban intimidasi dan kekerasan. Saya sendiri dari Human Rights Watch.

Kami datang untuk minta Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, agar lakukan evaluasi terhadap puluhan peraturan yang jadi turunan PNPS 1965 serta merencanakan langkah-langkah buat mencabut PNPS 1965. Di seluruh Indonesia, ada ratusan peraturan tingkat daerah yang diskriminatif. Mereka termasuk soal Ahmadiyah. Mereka bisa dicabut Menteri Dalam Negeri. Komnas Perempuan mencatat setidaknya 421 peraturan.

Secara statistik, kita melihat bahwa perundungan, intimidasi, serta kekerasan terhadap minoritas agama naik sejak Bakorpakem dipindahkan dari Kementerian Agama ke Kejaksaan Agung pada 2004. Selama era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, antara 2004-2014, ada 125 orang dipenjara dengan PNPS 1965. Bandingkan dengan empat dekade sebelumnya. Presiden Soekarno bikin PNPS pada Januari 1965. Hanya ada 10 orang dipenjara sampai 2004. Kenaikannya naik 1.250 persen per dasawarsa. Ia tak menunjukkan penurunan hingga sekarang. Secara statistik, kita melihat kekerasan terhadap Ahmadiyah meningkat sejak pemerintahan Yudhoyono membuat SKB anti-Ahmadiyah pada 2008.

Pada 2014, Pew Research Center mengeluarkan penelitian global soal peraturan blasphemy dan apostasy. Ada 26 persen dari 198 negara masih punya blasphemy law, termasuk Indonesia, serta 13 persen punya apostasy law. Pew Center menyebut, “Apostasy and blasphemy may seem to many like artifacts of history. But in dozens of countries around the world, laws against apostasy and blasphemy remain on the books and often are enforced.”

Celakanya, pemerintah kini sedang mempersiapkan apostasy law dalam RUU KUHP. Kami minta pasal apostasy tersebut dihapus. Ia akan jadi kemunduran besar, sekali lagi, dalam sejarah bangsa-negara Indonesia.

Langkah yang benar adalah menghapus blasphemy law –bukan tetap mempertahankannya dalam RUU KUHP apalagi menambahkan apostasy law.

Kami sadar mencabut PNPS 1965 perlu modal politik besar. Kami usul agar dibuat diskusi, pendidikan publik dan rencana menuju Indonesia tanpa blasphemy law.

Bila pemerintahan Presiden Joko Widodo menganggap belum mampu mengeluarkan modal politik buat hapus PNPS 1965 (termasuk SKB anti-Ahmadiyah dan SKB anti-Millah Abraham), minimal lakukan moratorium. Ia juga perlu diiringi dengan perubahan Peraturan Bersama Menteri tahun 2006 soal rumah ibadah.

Kami bisa menggalang berbagai organisasi masyarakat menyerukan moratorium. Ini yang dilakukan banyak negara Eropa. Kalau pun dipakai, blasphemy law digunakan untuk melindungi minoritas. Denmark, misalnya, pernah mengadili seseorang karena membakar Quran.

Saya kira, terlepas dari peliknya urusan agama dan kepercayaan dari Aceh sampai Papua, dari Miangas sampai Rote, kita semua harus berpegang pada janji-janji kemerdekaan Agustus 1945 dimana para pendiri bangsa ini sepakat menjamin kesetaraan warga negara. Kami mohon hindari ambil langkah yang akan makin menjauhkan negara-bangsa ini dari UUD 1945. Terima kasih.


Andreas Harsono

Human Rights Watch