Saturday, October 18, 2014

Sayang Sepatu, Rawat Sepatu


Barisan belakang dari kiri sandal Keen (2012), sepatu kapal Blue Harbor (2004), sepatu jalan coklat Camel Active (2007), boot hitam Timberland (1999). Baris depan dari kiri boot biru Timberland (2014), sepatu lari Nike (2009), sepatu formal Bostonian (2012) serta sandal kulit Crocodile (2010). 

SABTU biasa hari buat istirahat dan bersihan. Kali ini giliran bersih-bersih sepatu. Percaya atau tidak, saya suka sekali dengan sepatu dan sandal saya. Saya biasa membersihkan mereka, sesuai dengan jenis kulit, warna dan bahan. Ada semir, ada sikat, ada balm proofer, buat kulit keras maupun kulit lunak (suede).

Saya punya enam sepatu dengan keperluan beda serta dua sandal. Paling tua adalah sepatu boot hitam merk Timberland. Saya beli di kota Cambridge ketika belajar di Universitas Harvard pada 1999.

Boot ini penting buat musim dingin.

"Kalau kena frost bite bisa dipotong jari kamu!" ujar seorang kawan dari Nieman Foundation ketika lihat saya pakai non-boot.

Headline Jakarta Post dan China Daily.
Boot hitam saya termasuk awet. Umurnya, kini sudah 14 tahun. Ia pernah dijadikan bahan gigit-gigit kucing di rumah mertua di Pontianak ketika saya menginap di sana.

Kawan saya, Coen Husain Pontoh dari New York, beberapa kali kuatir lihat boot saya. Dia anggap belum cukup buat musim salju di New York.

Saya beli sandal Keen serta sepatu kulit Bostonian di kota Berkeley, dekat San Francisco, pada November 2012 ketika hendak jalan kaki, naik gunung, di Yosemite National Park.

Ceritanya, dari Berkeley, saya diminta pergi ke London, ikut sebuah resepsi Human Rights Watch di sebuah balai pertemuan mewah. Saya diminta tak pakai boot. Saya diminta pakai sepatu hitam, kulit, istilah dress ... lawan dari casual.

Maka saya "terpaksa" keluar uang beli sepatu merk Bostonian. Sandal Keen, ditawarkan oleh penjual sepatu di Berkeley dengan rabat lumayan besar. Saya beli sandal tersebut buat naik gunung Yosemite.

Sepatu Bostonian ini adalah sepatu saya paling mahal. Saya sekarang lupa harganya. Mungkin US$100 lebih. Namun memang dipakai enak sekali di kaki. Bahan ringan. Saya kira ia juga kuat.

A shoe has so much more to offer than just to walk," kata Christian Louboutin.

Empat dari enam sepatu saya terbuat dari suede. Timberland usul dibersihkan dengan balm proofer

BILA saya diminta memilih mana dari enam sepatu ini yang paling saya sukai, jawaban saya adalah boot biru Timberland model chukka, saya beli di Senayan City, Jakarta, awal tahun 2014.

Di luar sandal Keen dan sepatu Bostonian yang saya beli di Berkeley, lainnya saya beli ketika ada rabat. Entah di Jakarta atau Cambridge.

Agak sedih lihat sepatu lari Nike. Sejak tulang belakang saya dinyatakan tergencet pada Agustus 2013, saya praktis, tak pernah lari lagi. Saya biasa lari, sejak masih remaja di Jember, buat jaga kesehatan. Sepatu lari tersebut tipe Air Max yang lumayan menyerap benturan.

Saya beli sepatu kapal (boat shoes) merk Blue Harbor di Jakarta gara-gara sepatu sejenis merk Timberland dicuri orang beberapa tahun sebelumnya. Rasanya jengkel sekali. Harga Timberland lumayan tinggi. Blue Harbor lebih murah. Saya pakai sepatu kapal bila diajak naik kapal. Ia praktis, tak perlu pakai kaos kaki, mudah kering bila kena air. Namun Blue Harbor tampaknya tak setara dengan Timberland. Sol karet Blue Harbor tak seempuk dan sekuat Timberland.

Sepatu, tentu saja, bukan urusan remeh. Sepatu yang nyaman bukan saja melindungi kaki tapi tulang belakang. Ia bikin jalan dan lari lebih terlindungi.

Saya penggemar majalah The New Yorker. Mereka bikin ratusan naskah soal sepatu. Saya suka liputan Lauren Collins tentang Christian Louboutin, disainer sepatu perempuan dari Paris, yang terkenal dengan sol warna merah.

Sandal Crocodile saya pakai bila ada acara dengan tetangga dimana tamu diharapkan lepas sepatu bila masuk rumah. Saya kurang suka pakai sandal kulit. Rasanya licin. Tak bisa dibawa jalan cepat. Namun berkunjung ke tetangga dengan sandal jepit kesannya tak menghargai si tuan rumah.

Lama-lama jadi macam Imelda Marcos ya? Bagaimana dengan Anda?

Friday, October 03, 2014

Ibu dari Perancis, Anaknya di Papua


Saya sedang lihat Konser Svara Bumi di Jakarta, ketika Martine Bourrat menelepon dan memperkenalkan diri. Sambungan telepon jelek. Dia ibu Valentine Bourrat. Saya menemui dia di Hotel Kosenda di Jakarta.

MARTINE Bourrat, seorang notaris dari Paris, datang ke Jakarta guna minta bantuan siapa pun yang mau bantu agar putrinya, Valentine, dibebaskan dari tahanan pemerintah Indonesia di Jayapura. Dia bertemu dengan Kedutaan Perancis, pengacara Todung Mulya Lubis --mewakili keluarga Bourrat-- serta kasih wawancara dengan beberapa media.

Anaknya, kameraman Valentine Bourrat, ditangkap di Wamena, bersama wartawan Thomas Dandois, pada 6 Agustus 2014. Mereka bekerja buat Arte TV --televisi bahasa Perancis dan Jerman-- di Eropa. Polisi juga menangkap Areki Wanimbo, seorang guru sekolah dan kepala adat Kabupaten Lanny Jaya, yang jadi nara sumber mereka.

Dandois dan Bourrat hendak bikin film dokumentasi soal pelanggaran hak asasi manusia maupun gerakan kemerdekaan di Papua. Mereka datang dengan visa turis, sesuatu yang melanggar hukum Indonesia, karena mendapatkan visa wartawan buat pergi ke Papua ... sulit sekali.

Mark Davis, wartawan SBS Australia, merekam bagaimana dia dapat izin meliput ke Papua namun dibuntuti intel militer Indonesia. Dia dapat bantuan dari dua orang mantan aktivis kemerdekaan Papua, yang sekarang dukung Indonesia, agar bisa meliput di Papua: Nick Messet dan Franz Albert-Joku.

"Bapak Aku Adalah Pahlawan."
Martine Bourrat juga bawa segepok dokumen, termasuk kliping majalah soal suaminya, Patrick, wartawan perang televisi TF1, yang meninggal ketika bertugas di Kuwait pada 2002. Kliping ini dikumpulkan oleh bapak mertuanya. Ia diberikan ke Martine sebelum dia berangkat ke Jakarta.

Salah satunya cerita soal remaja Valentine, ketika umur 17 tahun dan bapaknya meninggal. Judulnya, "Mon Pere ce Heros." Terjemahannya, "Bapak Aku Adalah Pahlawan." Ia judul sebuah puisi Victor Hugo, belakangan juga dibikin film tentang seorang ayah dan putrinya. Valentine kagum pada bapaknya. Dia ingin juga jadi wartawan.

Valentine kagum bapaknya, Patrick.
Ketika ditangkap, polisi Indonesia menuduh Valentine "agen rahasia Perancis" dengan dasar paspor diplomatik milik Valentine. Dia diduga hendak jual amunisi. Dia hendak dikenakan pasal makar. Valentine juga dicurigai karena pernah magang kerja di Kedutaan Perancis di Tel Aviv.

Martine mengatakan pada saya tuduhan tersebut tak ada buktinya. Paspor diplomatik diberikan pemerintah Perancis ke Valentine sebagai seorang magang di kedutaan Perancis. Valentine sendiri lahir di Yerusalem pada 1985 ketika bapaknya sedang bertugas di Timur Tengah selama tiga tahun.

"Kehamilan saya sulit sehingga tak bisa naik pesawat terbang ke Perancis," kata Martine.

Timur Tengah adalah daerah liputan penting buat TF1 maupun banyak media lain. Ketika dewasa, wajar Valentine tertarik magang di Israel, tempat kelahirannya, yang masih jadi daerah liputan penting. Ini semua legal. Perancis dan Israel juga punya hubungan diplomatik.

Tak ada yang aneh pula ketika Valentine dewasa, meliput Papua. Patrick pernah meliput referendum Timor Timur pada 1999. Valentine tertarik dengan Papua juga karena pengalaman bapaknya. Ketika masih kecil, Valentine diajak orang tuanya ke Rusia, Afghanistan dan berbagai tempat perang lainnya.

Tangan Martine Bourrat bergetar ketika memperlihatkan kliping majalah soal suami dan anaknya.

Martine Bourrat bilang dia sebenarnya tak mau baca majalah soal suaminya. Dia sedih bila ingat almarhum. Namun, majalah ini merekam wawancara dengan remaja Valentine.

Kini Valentine berusia 28 tahun. Sudah bekerja sebagai kameraman. Dia sudah dewasa. Seperti Patrick, yang sering dipenjara dan intimidasi, kini Valentine dipenjara di Jayapura dan kenyang intimidasi dari aparat Indonesia.

Martine bilang anaknya tak salah apapun selain soal visa. Dia cerita isteri Thomas Dandois, Alexandra Kogan, harus bekerja keras mengasuh anak kembar mereka, umur 2.5 tahun, sambil bekerja.

"Mereka berdua bekerja freelance. Bila Thomas ditahan sudah dua bulan, keadaan ekonomi mereka tentu berat sekali," katanya.

Martine mengatakan pada saya, dia akan datang ke Jayapura sendirian, guna minta pemerintah Indonesia bebaskan Thomas Dandois dan Valentine Bourrat.

Thursday, October 02, 2014

Indonesia: Aceh’s New Islamic Laws Violate Rights

Same-Sex Relations Banned; Whipping Imposed as Punishment

Human Rights Watch


(Jakarta) – Indonesia’s central government and the Aceh provincial government should take steps to repeal two Islamic bylaws in Aceh province that violate rights and carry cruel punishments, Human Rights Watch said today.

On September 27, 2014, the Aceh provincial parliament approved the Principles of the Islamic Bylaw and the Islamic criminal code (Qanun Jinayah), which create new discriminatory offenses that do not exist in the Indonesian national criminal code (Hukum Pidana). The bylaws extend Sharia, or Islamic law, to non-Muslims, which criminalize consensual same-sex sexual acts as well as all zina (sexual relations outside of marriage). The criminal code permits as punishment up to 100 lashes and up to 100 months in prison for consensual same-sex sex acts, while zina violations carry a penalty of 100 lashes.

“The two new bylaws deny people in Aceh the fundamental rights of expression, privacy, and freedom of religion,” said Phelim Kine, deputy Asia director. “Criminalizing same-sex relations is a huge backward step that the Indonesian government should condemn and repeal. Whipping as punishment should have been left behind in the Middle Ages.”

Under national legislation stemming from a “Special Status” agreement brokered in 1999, Aceh is the only one of Indonesia’s 34 provinces that can legally adopt bylaws derived from Sharia. Human Rights Watch opposes all laws or government policies that are discriminatory or otherwise violate basic rights. Aceh’s parliament drafted the Principles of the Islamic Bylaw while the province’s official Islamic Affairs Office drafted the Islamic criminal code. These bylaws apply not only to Aceh’s predominantly Muslim population, but to about 90,000 non-Muslims residents, mostly Christians and Buddhists, as well as domestic and foreign visitors to the province.

Aceh’s new criminal code prohibits liwath (sodomy) and musahaqah (lesbian). It also contains provisions that allow Islamic courts to dismiss charges against rape suspects who take sumpah dilaknat Allah (an Islamic oath), asserting their innocence. The Islamic oath provision allows rape suspects who declare their innocence up to five times to be eligible for automatic dismissal of charges should the court determine an absence of incriminating “other evidence.”

The enforcement of existing Sharia laws in Aceh has infringed on human rights. A 2010 Human Rights Watch report “Policing Morality: Abuses in the Application of Sharia in Aceh,” documented human rights abuses linked to enforcement of Sharia bylaws prohibiting adultery and khalwat (seclusion), and imposing public dress requirements on Muslims. The khalwat law makes association by unmarried individuals of the opposite sex a criminal offense in some circumstances. While the dress requirement is gender-neutral on its face, in practice it imposes far more onerous restrictions on women with the mandatory hijab, or veil and long skirts. These “offenses” are not banned elsewhere in Indonesia.

The Principles of the Islamic Bylaw violate the right to freedom of religion enshrined in the Indonesian constitution and international law by requiring all Muslims to practice the Sunni tradition of Islam. The bylaw imposes the Sunni school of Shafi’i as the province’s official religion, while permitting three other major Sunni traditions – Hanafi, Maliki, and Hambal – only on the condition that their followers promote “religious harmony, Islamic brotherhood and security among Muslims.” The law excludes Aceh’s sizable Shia and Sufi minorities as well as the Ahmadiyah Muslim community.

The Principles of the Islamic Bylaw also impose ambiguous, excessive, and discriminatory restrictions on the content of published materials and broadcasts in Aceh that will undermine media freedom throughout the country. The bylaw obligates the media, including those that originate elsewhere in Indonesia, to ensure that their content is “not contrary to Islamic values.” The bylaw also authorizes the provincial government to establish “ethical guidelines” for media.

The two new bylaws violate fundamental human rights guaranteed under core international human rights treaties to which Indonesia is party. The International Covenant on Civil and Political Rights, which Indonesia ratified in 2005, protects the rights to privacy and family (article 17), and freedom of religion (article 18) and expression (article 19). The covenant prohibits discrimination on the basis of sex, religion, and other status such as sexual orientation (article 2). It also prohibits punishments such as whipping that could amount to torture or cruel and inhuman punishment (article 7).

Aceh’s provincial legislature should repeal both bylaws, Human Rights Watch said. In the meantime, Aceh Governor Zaini Abdullah should stop the province’s Sharia police from arresting and detaining people suspected of these “crimes.” The authorities should investigate any wrongdoing in enforcing the legislation. In 2009, then-Governor Irwandi Yusuf refused to sign an earlier version of the Aceh criminal code, which included stoning for adultery. This led the Aceh legislature to rewrite the criminal code over the last five years.

Under Indonesian law, the home affairs minister can review and repeal local bylaws, including those adopted in Aceh. Incoming President Joko Widodo (“Jokowi”), who takes office on October 20, should direct the home affairs minister to revoke the new bylaw. Because other local governments in Indonesia have looked to Aceh’s laws as models, it is important for the new administration to act promptly against laws that are discriminatory or are otherwise unlawful, Human Rights Watch said.

“Indonesia’s incoming president should treat Aceh’s abusive new bylaws as an opportunity to demonstrate a commitment to human rights, and have them repealed,” Kine said. “People in Aceh should enjoy the same rights and freedoms as all Indonesians.”