Friday, November 23, 2018

Cerita Budi Pego soal Spanduk Komunis ‘Siluman’ di Aksi Tolak Tambang Tumpang Pitu

Andreas Harsono
Mongabay

Juli lalu, selama tiga jam, saya naik mobil, dari Kota Banyuwangi menuju Dusun Pancer, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jawa Timur. Berkendara dengan medan meliuk-liuk di daerah Blambangan –dulu kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa—sampai ke Pantai Merah, daerah wisata instagramable, dekat Pancer.

Mobil kami melewati gerbang tambang Tumpang Pitu, sekitar 100 meter dari sana kediaman Heri Budiawan alias Budi Pego, aktivis lingkungan, seorang pedagang kayu dan tahanan politik gara-gara melawan tambang emas di Tumpang Pitu.

Tujuan kami datang, solidaritas terhadap Budi Pego dan puluhan warga di Pesanggaran, yang melawan tambang emas dan pernah ditahan atau dipenjara. Dwi Ratna Sari, perempuan yang berjuang menolak tambang, juga korban kriminalisasi, ikut menemani kami mengobrol. Laeliyatul Masruroh, aktivis Nahdlatul Ulama dari Depok, ikut serta.

Anda bisa lihat Tumpang Pitu lewat Google Earth. Di sana, bisa lihat bahwa Pesanggrahan, maupun Pantai Merah, sudah krowak --dirusak oleh penggalian besar-besaran tambang emas. Lubang-lubang menganga, beberapa kali lipat ukuran Pancer. Jalanan berdebu. Tanah, air dan udara rusak. Google Earth mengingatkan saya pada lubang dan galian sekitar Freeport di Papua.

Budi Pego, aktif menyuarakan penolakan tambang emas Tumpang Pitu karena berdampak buruk bagi lingkungan dan manusia. Lewat aksi damai dia bersama warga menyuarakan penyelamatan Tumpang Pitu dan lingkungan sekitar dari kerusakan dampak tambang emas.

Budi dituduh menyebarkan “komunisme” lewat pengibaran spanduk dengan logo palu dan arit dalam suatu demonstrasi pada 4 April 2017. Dia diadili dan kena penjara 10 bulan, antara 4 September 2017-1 Juli 2018.

Kami datang ke rumah Budi sekitar tiga minggu sesudah dia bebas dari penjara Banyuwangi namun masih menunggu kasasi dari Mahkamah Agung. Budi Pego bersikeras mencari kebenaran. Dia ngotot tak bersalah.

Keputusannya, keluar pada November 2018, Mahkamah Agung menguatkan keputusan Pengadilan Tinggi Jawa Timur bahkan menghukum Budi Pego, jauh lebih berat, empat tahun penjara. Dia kecewa. Langkah berikutnya, mungkin mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Budi Pego, petani dan pedagang, aktivis menolak tambang emas Tumpang Pitu.

Ringkasan perbincangan Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch dan Laeliyatul Masruroh dari Nahdlatul Ulama dengan Budi Pego dan Dwi Ratna Sari:

Harsono: Ceritakan asal usul bisa bendera palu arit muncul saat aksi?

Budi: Tambang ini ada dua perusahaan: PT Bumi Suksesindo dan PT Damai Suksesindo. DSI produksi. BSI eksplorasi. Dampaknya, kita rasakan sekarang, bukan hanya rusak gunungnya, sampeyan bisa lihat sendiri jalanan –mulai dari tahun 2016 rusak sampai sekarang. Kalau panas berdebu, kalau hujan jadi lumpur.

Kita sudah lapor ke Dinas Lingkungan Hidup, Pemerintah Daerah Banyuwangi, ngomong juga ke Bupati Banyuwangi Azwar Anas. Tak ada tanggapan. Kita rencana aksi 4 April 2017. Sama Polsek Pesanggaran, pukul 6.00 pagi itu sudah ada di sini. Kapolsek sudah ada di sini. Ada enam polisi. Anggota Kodim Banyuwangi juga.

Harsono: Anggota kepolisian itu siapa saja?

Budi: Kalau semua nama saya nggak hapal. Tapi ada Pak Rudi, Wakapolsek. Intelnya Pak Rauf. Waktu kita buat spanduk, Pak Rauf mendokumentasikan. Saya menulis (spanduk) soal Bupati Anas. Itu ada rekamannya. Tak ada satu pun yang gambar palu arit. Kalau waktu pembuatan ada, paling tidak salah satu dari anggota kepolisian sudah mencegah atau menangkap pembuatnya.

Harsono: Berapa spanduk yang dibikin di rumah sampeyan?

Budi: Sebelas. Semua tak ada satu pun yang bergambar palu arit. Kita aksi di Kecamatan Pesanggaran. Kita masang spanduk 10. Setelah itu ada muncul beberapa orang yang kita tidak kenal. Ratna yang memegang spanduk. Saya menyentuh spanduk saja tidak. Aksi sampai selesai, Polsek Pesanggrahan ada semua.

Anehnya, ada orang BSI katanya lewat, dalam laporan kepada polisi. Saya nggak yakin orang BSI berani lewat. Setiap saya aksi bersama teman-teman, nggak ada satu pun orang BSI berani lewat. Pasti menghindar. Ini kayak sebuah rekayasa.

Harsono: Yang melaporkan palu arit siapa?

Budi: General Manager BSI Bambang Wijanarko. Satunya lagi, yang jadi saksi, Ketua Nahdlatul Ulama (NU) Pesanggrahan. Namanya Madinudin --(Budi Pego juga anggota Nahdlatul Ulama).

Harsono: Bendera itu muncul pukul berapa?

Budi: Sekitar jam empat.

Harsono: Tulisannya apa?

Budi : Tulisannya, “Karyawan Dilarang Lewat Jalur Ini” … terus ada gambar katanya “palu arit.”

Ratna Sari: Sesudah aksi di Kecamatan Pesanggaran, kita istirahat sebentar, minum makan. Jalan itu satu-satunya untuk lewat. Aksi kita sekitar 50 orang. Di kecamatan ada ratusan orang. Kan makin sore.

“Wah, ada orang demo, ada orang apresiasi, jadi banyak.”

Kita tidak mengenali siapa-siapa saja yang ada di situ. Ketika kita habis istirahat, kita duduk bersama warga.

Terus ada segerombolan wartawan. Dia membawa kamera. Dia menyuruh, “Ayok bu, kita foto semua. Ayok bapak-bapak biar kelihatan rame. Nanti kalau kita masukan ke media, biar kelihatan ramenya.”

Ya sudah, semua warga itu foto depan kantor kecamatan. Habis foto, terus segerombolan wartawan itu bilang, “Ayo spanduknya dibentangkan semua. Kita jalan ke pertigaan Lowi.”

Aku bawa sepeda. Ada bapak-bapak bilang, “Ayo pegangan ini biar kelihatan rame ibu-ibunya”

“Lah saya bawa sepeda motor, pak.”

“Taruh di situ saja, nanti diambil lagi.”

Ya udah. Aku taruh sepedaku di Kecamatan, aku ikut jalan sama teman-teman tapi aku nggak melihat sama sekali apa tulisan yang ada di spanduk itu. Aku kan langsung, spanduk sudah jalan, aku menggantikan orang lain. Aku baru tahu spanduk yang aku pegang ada gambar palu aritnya, dua hari setelah aksi, setelah Mas Budi ditelepon sama petugas.

Budi: Setelah aksi hari itu sebenarnya tidak ada yang tahu ada spanduk baru. Bahkan petugas yang ngawal, polisi maupun TNI, tidak ada yang melihat adanya gambar itu. Malamnya, saya ditelepon sama intel Kodim, yang mengawal sama Koramil, “Mas ada di mana?”

“Ada di rumah, pak.”

Lalu dua orang datang ke rumah. Dari Koramil sama Kodim.

“Mas, tadi waktu aksi sampeyan itu bermasalah. Ini ada masalah spanduk.”

“Masalahnya dimana?”

Mereka bilang ada gambar palu arit. Saya tanya, spanduknya yang mana? Spanduknya buatan kita masih utuh semua. Spanduk yang difoto itu nggak ada. Itu saya ditunjukin fotonya. Kepolisian dan TNI juga menyaksikan saat pembuatan spanduk di (rumah) sini. Bahkan sekuriti ngikutin terus dari Pulau Merah sampai Kecamatan, ngambil fotonya. Ini hanya untuk menjerat saya, barang buktinya hanya foto. Kan foto itu belum tentu dibuktikan keasliannya.

Dwi Ratna Sari, warga Pesanggaran, menolak tambang Tumpang Pitu.

Harsono: Itu yang motret siapa?

Budi : Saya juga nggak kenal. Katanya dari wartawan.

Masruroh: Itu wartawan yang motret jadi saksi?

Budi: Nggak. Katanya dapat dari ngopy wartawan lain.

Masruroh: Spanduknya nggak ada?

Budi: Spanduk itu fisiknya nggak ada. Di pengadilan nggak pernah ada spanduk sebagai barang bukti. Cuma video dan foto.

Harsono: Kalau spanduk yang kalian bikin itu?

Budi: Ada. Sampai sekarang masih ada di Jaksa Penuntut Umum.

Masruroh : Tidak ada satu pun polisi maupun TNI yang bersaksi di persidangan?

Budi: Ada polisi siap bersaksi. Dari pengadilan tidak ada yang memanggil untuk bersaksi. Kalau mau jadi saksi, katanya, saya harus lapor ke Mabes Polri. Pokoknya, nggak ada satu pun polisi yang dihadirkan dalam persidangan. Siangnya (5 April 2017) saya ditelepon sama Kapolsek. Dia nanya ke saya, “Mas kira-kira siapa ya yang membuat spanduk itu?”

Saya jawab, “Pak, kalau saya tahu, saya akan tangkap bersama teman-teman. Lah sampeyan nanya ke saya, sampeyan sendiri waktu itu menyaksikan pada saat aksi. Tak ada satu pun orang yang tahu dengan keberadaan spanduk itu.”

Saya bilang begitu waktu itu. Waktu orang-orang memegang spanduk itu, saya lagi makan. Saya sempat ditelepon Pak Galuh, orang kecamatan, “Mas tolong dibantu lalu lintasnya agar tak macet.”

Sampai sekarang, setelah saya keluar dari penjara, spanduk itu kemana juga tak ada yang tahu.

Harsono: Dalam kesaksian di pengadilan soal keberagamaan Anda bagaimana?

Budi: (Ketua NU Pesanggrahan Madinudin) di pengadilan ditanya, “Saudara saksi apakah mengenal terdakwa?”

Dijawab kenal.

“Kenal baik?”

Dijawab kenal.

“Apakah pernah ke rumahnya?”

Pernah.

“Apakah saudara terdakwa sering mengikuti kegiatan keagamaan?”

Gak tahu, katanya.

Kemarin ke sini (dia) waktu baru saya pulang dari penjara. Dia bilang katanya "teman baik."

Saya bilang, “Kamu kalau teman baik, di kesaksian harusnya ngomong seadanya. Di masjid Pak Anwar, waktu jumatan, kita bertemu berapa kali? Apakah itu bukan merupakan kegiatan keagamaan? Aku melakukan aksi istighosah depan tambang, itu yang ngundang kyai-kyai itu saya. Apa itu bukan merupakan kegiatan keagamaan?”

Itu kegiatan keagamaan dalam bentuk berdoa menolak pertambangan agar bumi itu tetap utuh gak dirusak oleh mereka.

Harsono: Kalau polisi dan militer Pesanggaran mengatakan Anda tak ada garis merah, kenapa Anda dituduh menyebarkan komunisme?

Budi:  Ini kan awalnya dari perusahaan BSI. Kalau saya menyebarkan paham komunis, pasti Koramil, Kapolsek tahu. Saya memang tidak menyebarkan paham komunis. Waktu aksi, tak ada satu pun yang menyinggung soal komunis. Tulisan PKI juga gak ada. Setelah pelaporan BSI, bukan ke Polres, tapi ke Kodim. Orang Kodimnya waktu malam mendatangi rumah saya, “Ini mas, ada laporan dari perusahaan, kalau aksi tadi katanya ada logo palu arit.” Orang yang ngomong itu yang ngawal aksi. Dan juga ada di video waktu persidangan. Dia tidak memakai pakaian dinas, tapi memakai pakaian preman. Ini semua dari perusahaan.

Monday, November 12, 2018

"Kasih tahu aku, kalau laki-laki itu datang!"

Siti Nurrofiqoh

Seperti mentari yang tak pernah ingkar janji. Demikianlah ia memercayai seorang lelaki.

Tubuh jangkung berleher jenjang. Kaki mulusnya terlihat sempurna, di ujung lipatan celana yg memperlihatkan pangkal paha.

Jemarinya gemetar menyibak-nyibak lipatan kertas penuh catatan angka. Kulihat tulang besar di dadanya yg kurus dan ringkih. Kemaskulinannya tertutup nyaris sempurna.

"Aku dipukuli saat menagih hutang padanya. Andai saat itu punya duaratus ribu utk visum..."

Ia menerawang, mendesah. Mengibaskan rambut panjangnya. Dan udarapun mewangi. Aku menangkap aroma cinta, luka, dan kesedihan yg tak terperi.

Pria yg katanya mencintainya selalu meminjam uang. Katanya untuk usaha dan ia akan diberi keuntungan.

Ia memijat-mijat lengannya yg kurus nan mulus, meski otot lelakinya menyembul kuat. Air matanya jatuh dan ia menyekanya sendiri. Ia terlihat begitu anggun.

"Rumahku sdh ditarik bank, sekarang aku tinggal di kontrakan," ia terus bercerita dan aku membiarkan.

"Aku kumpulin duit sedikit-sedikit sejak dua tahun lalu. Tak mudah kan? Hasil aku kerja di warung mami malam hari. Dan kini ludes semuanya."

Kulirik sebuah warung yg berada tak jauh dari tempatku berdiri. Warung malam yg menawarkan hangat canda, kopi dan mie instan, yang dinikmati di bawah cahaya remang-remang.

"Skrg aku jualan telor keliling. Memulai lagi dari nol. Ini sudah mulai terkumpul segini."

Jemari kurusnya memilin lembaran uang pecahan dalam dompetnya.

"Aku selalu makan sama tempe, kadang sama kecap, kadang hanya pakai sambel. Tapi dia selalu makan enak."

Aku tak berkata apapun. Sunyi. Berharap pada udara untuk membasuh lukanya.

"Kasih tahu aku, kalau laki-laki itu datang!"

Aku mengangguk. Ia menarik nafas berat berusaha menyudahi sedu-sedannya, menguatkan hatinya.

Ah, andai aku bisa menyusut kepedihan itu. Kubiarkan ia berlalu. Kubayangkan lelaki yg telah berlaku keji itu. Sungguh biadap!