Monday, August 31, 2009


Journalists probably have more impact on shaping public opinion than any other group of professionals. Better informed journalists mean a better informed public and better informed policymakers."

-- Susan Kreifels, a media specialist at the East West Center in Honolulu, Hawai'i

Joesoef Isak died on Aug. 15, 2009 in Jakarta. He is a solid personality. Joesoef was the editor of Hasta Mitra, an influential publishing house in Jakarta. His father was a post-office employee from Minangkabau. Joesoef is also a left-wing intellectual. He was a strong advocate of free speech during President Suharto's authoritarian New Order administration, and was imprisoned from 1967-1977 without trial. Hasta Mitra was the publisher of Pramoedya A. Toer's Buru quartet. We had dinner in late July in a Jakarta restaurant during which he asked me, along with some other younger friends, to help running Hasta Mitra.

Dari Sabang Sampai Merauke
Berkelana dari Sabang ke Merauke, wawancara dan riset buku. Ia termasuk tujuh pulau besar, dari Sumatera hingga Papua, plus puluhan pulau kecil macam Miangas, Salibabu, Ternate dan Ndana.

Ketegangan Etnik di Singkawang
Zeng Wei Jian dan Danu Primanto melaporkan ketegangan Melayu versus Tionghoa sesudah Hasan Karman terpilih sebagai walikota Singkawang.

Training Ganto di Padang
Lembaga media mahasiswa Ganto dari Universitas Negeri Padang bikin pengenalan investigative reporting. Ada 46 mahasiswa dari dari berbagai kota Sumatera plus Jawa dan Makassar.

Homer, The Economist and Indonesia
Homer Simpsons read the dry Economist magazine in a First Class flight. Homer talked about "Indonesia" ... and later The Economist used the Simpsons joke to describe ... Indonesia.

Bagaimana Meliput Agama?
Dari Istanbul dilakukan satu seminar soal media dan agama. Dulunya Constantinople, ibukota kerajaan Romawi Timur, hingga direbut kesultanan Ottoman pada 1453.

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama
Di Protestant Cemetery, Penang, terdapat sebuah makam untuk James Richardson Logan, seorang juris-cum-wartawan, yang menciptakan kata Indonesia pada 1850.

Makalah Criminal Collaborations
S. Eben Kirksey dan saya menerbitkan makalah "Criminal Collaborations?" di jurnal South East Asia Research (London). Ia mempertanyakan pengadilan terhadap Antonius Wamang soal pembunuhan di Timika.

Panasnya Pontianak, Panasnya Politik
Borneo Barat adalah salah satu wilayah perang di Indonesia. Jamie Davidson menyebutnya sebagai "the unknown war" atau perang yang tak disadari. Bagaimana memahami perang yang sudah makan ratusan ribu korban ini?

Moedjallat Indopahit
Satu majalah didisain sebagai undangan pernikahan. Isinya, rupa-rupa cerita. Dari alasan pernikahan hingga kepahitan sistem kenegaraan Indonesia keturunan Majapahit.

Kolam renang Apartemen Permata Senayan. Juli 2009, 10 orang pengurus apartemen mengundurkan diri semua. Mereka bertengkar sendiri. Satu menuduh lainnya korupsi. Kepengurusan baru dipilih dengan pimpinan Edward Limbong, seorang kapten Lion Air. Ternyata semua pengurus lama tak bayar service charge dan sinking fund. Malah ada yang tak bayar tagihan listrik dan air dua tahun. Mudah-mudahan periode Limbong lebih baik. Target mereka apartemen ini bisa mulai bayar pajak. Anyway, siapa mau ikut berenang?

Media dan Jurnalisme
Saya suka masalah media dan jurnalisme. Pernah juga belajar pada Bill Kovach dari Universitas Harvard. Ini makin sering sesudah kembali ke Jakarta, menyunting majalah Pantau.

The Presidents and the Journalists
In 1997, President Suharto lectured editors to have "self-censorship." Now President Susilo Bambang Yudhoyono also lectured about "self-censorship." What's wrong?

Burrying Indonesia's Millions: The Legacy of Suharto
Suharto introduced a "business model" for soldiers and businessmen. He built ties to merchants Liem Sioe Liong and Bob Hasan, accummulating immense wealth while using violence to repress dissension.

Kronologi Pengasuhan Norman
Norman kekurangan waktu belajar, istirahat dan bermain sejak dipindahkan ibunya dari Pondok Indah ke Bintaro. Jarak tempuh ke sekolah 120 km pergi-pulang. Ini ibu celaka. Child abuse adalah isu publik.

Polemik Sejarah, Pers dan Indonesia
Kapan "pers Indonesia" lahir? Apa 1744 dengan Bataviasche Nouvelles? Apa 1864 dengan Bintang Timoer di Padang? Soerat Chabar Betawie pada 1858? Medan Prijaji pada 1907? Atau sesuai proklamasi Agustus 1945? Atau kedaulatan Desember 1949?

Murder at Mile 63
A Jakarta court sentenced several Papuans for the killing of three Freeport teachers in August 2002. Why many irregularities took place in the military investigation and the trial? What did Antonius Wamang say? How many weapons did he have? How many bullets were found in the crime site?

Protes Melawan Pembakaran Buku
Indonesia membakar ratusan ribu buku-buku pelajaran sekolah. Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, maupun Hindia Belanda, dimana buku sekolah disita dan dibakar.

Indonesia: A Lobbying Bonanza
Taufik Kiemas, when his wife Megawati Sukarnoputri was still president, collected political money to hire a Washington firm to lobby for Indonesian weapons. This story is a part of a project called Collateral Damage: Human Rights and US Military Aid

Hoakiao dari Jember
Ong Tjie Liang, satu travel writer kelahiran Jember, malang melintang di Asia Tenggara. Dia ada di kamp gerilya Aceh namun juga muncul di Rangoon, bertemu Nobel laureate Aung San Suu Kyi maupun Jose Ramos-Horta. Politikus Marrissa Haque pernah tanya, “Mas ini bekerja untuk bahan tulisan atau buat intel Amerika berkedok ilmuwan?”

State Intelligence Agency hired Washington firm
Indonesia's intelligence body used Abdurrahman Wahid’s charitable foundation to hire a Washington lobbying firm to press the U.S. Congress for a full resumption of military assistance to Indonesia. Press Release and Malay version

From the Thames to the Ciliwung
Giant water conglomerates, RWE Thames Water and Suez, took over Jakarta's water company in February 1998. It turns out to be the dirty business of selling clean water.

Bagaimana Cara Belajar Menulis Bahasa Inggris
Bahasa punya punya empat komponen: kosakata, tata bahasa, bunyi dan makna. Belajar bahasa bukan sekedar teknik menterjemahkan kata dan makna. Ini juga terkait soal alih pikiran.

Dewa dari Leuwinanggung
Saya meliput Iwan Fals sejak 1990 ketika dia meluncurkan album Swami. Waktu itu Iwan gelisah dengan rezim Soeharto. Dia membaca selebaran gelap dan buku terlarang. Dia belajar dari W.S. Rendra dan Arief Budiman. Karir Iwan naik terus. Iwan Fals jadi salah satu penyanyi terbesar yang pernah lahir di Pulau Jawa. Lalu anak sulungnya meninggal dunia. Dia terpukul. Bagaimana Iwan Fals bangkit dari kerusuhan jiwa dan menjadi saksi?

Saturday, August 29, 2009

Kolom Dahlan Iskan soal Soemarsono


Dua minggu lalu Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group, menulis tiga kolom, serial berturut-turut dengan judul "Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya."

Isinya, peranan Soemarsono, seorang tokoh PKI Illegal, dalam memimpin koalisi pasukan pemoeda di Soerabaja pada tahun 1945. Soemarsono ditunjuk sebagai ketua koalisi tsb dengan nama "Pemoeda Repoeblik Indonesia."

Organisasi inilah yang secara heroik melawan Sekutu --Soemarsono pakai istilah "dihukum" Sekutu-- dalam peristiwa 10 November 1945. Detail ini bisa dibaca dalam buku Soemarsono berjudul Revolusi Agustus. Soemarsono tokoh bawah tanah. Pada 1948, dia Gubernur Militer Madiun ketika Perdana Menteri Moh. Hatta memerintahkan membersihkan kaum kiri.

Dahlan Iskan mewawancarai Soemarsono, sekarang warga negara Australia, di rumah anaknya, di Bintaro, awal Agustus. Yayasan Pantau dan Teater Utan Kayu kebetulan, sebelumnya ikut membuat diskusi dengan Soemarsono. Ini tampaknya menarik perhatian Dahlan, serta belakangan, lewat Goenawan Mohamad, mengatur janji antara Soemarsono dan Dahlan.

Gara-gara kolom tiga hari inilah, Front Pembela Islam hari Rabu ini rencana demonstrasi di Graha Pena Surabaya. Mereka menyebut Dahlan hendak "memutihkan" kaum komunis. Mereka menuntut Dahlan Iskan minta maaf. Ini agak aneh karena 17 anggota keluarga Dahlan mati dibunuh orang komunis di Madiun pada 1948.

Jawa Pos melaporkan Dahlan juga membawa Soemarsono ke pondok pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran, Magetan. Ini salah satu lokasi peristiwa 1948. Soemarsono bertemu dengan saksi sejarah dan keluarga korban di Kecamatan Take­ran. Mereka, antara lain, Rosyid dan Sutikno, warga Desa Kiri­ngan; serta Jamingan, warga Desa Takeran.

Kerabat Dahlan Iskan dari pesantren tsb juga jadi korban peristiwa 1948. Mereka, antara lain, Imam Mursid Mutakin, Muhammad Nor, dan Imam Fatah. Menurut para saksi, tiga orang itu merupakan orang Masyumi yang diculik PKI, yang bermarkas di Kawedanan, Magetan. Mereka dibunuh dan dimasukkan ke sumur di Desa Soco, Bendo, Magetan.

Kedatangan Soemarsono mengagetkan sejumlah orang pesantren. Setelah para saksi cerita tentang peristiwa 1948, barulah Dahlan memperkenalkan sosok Soemarsono. "Pak Soemarsono ini adalah orang ketiga setelah Amir Sjarifoedin dan Musso. Dia saat itu menjabat gubernur militer Madiun," ujar Dahlan.

Saya rekomendasi Anda membaca buku Revolusi Agustus karena, saya duga, isi buku ini tampaknya akan bergulir jadi lebih besar, minimal di Jawa Timur, salah satu provinsi paling padat dan paling penting di Indonesia.

Dalam buku tsb Soemarsono juga menerangkan peranan Bung Tomo --misalnya, mau dibunuh para pemoeda karena dianggap mau main sendiri namun diselamatkan Soemarsono-- maupun Roeslan Abdulgani --seorang penakut dan oportunis. Dua isu ini juga akan bergulir karena keturunan Soetomo dan Roeslan juga kemungkinan akan kasih reaksi.

Kolom Dahlan bisa dibaca dalam link sebagai berikut:
"Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (1)"
"Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (2)"
"Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya (3)"

Friday, August 21, 2009

Makam Soekarno di Blitar 1972



Entah kenapa Papa sangat kagum pada Presiden Soekarno. Ketika Soekarno meninggal dunia tahun 1971, dia ikut menyambut peti jenazah Soekarno dan mengantarkannya ke sebuah pemakaman umum di Blitar. Dia sering cerita bahwa dia menangis ketika Soekarno meninggal.

Setahun sesudah pemakaman, Papa datang lagi ke Blitar dari kota kami, Jember, untuk ziarah. "Papa satu2nya yang boleh masuk waktu itu. Itu kira2 tahun 1972 saat pemugaran," katanya. Namun diizinkannya Papua masuk ke pemakaman membuka jalan untuk para pengunjung lain datang.

Dari bacaan, aku tahu bahwa pada awal 1970an, masa konsolidasi Orde Baru, berkunjung ke makam Soekarno bukan pekerjaan mudah. Kecurigaan terhadap kaum kiri maupun Soekarnois tinggi sekali. Ada ratusan ribu, bila bukan jutaan orang komunis dibunuh, dan 100,000 ditahan tanpa pengadilan. Keluarga kami hanya keluarga biasa, tak punya kaitan dengan organisasi politik apapun. Papa cuma seorang pedagang, yang entah mengapa, kagum pada Soekarno. Papa bernama Ong Seng Kiat.


Aku membaca otobiografi Soekarno, hasil wawancara dengan Cindy Adams, ketika kumisku belum tumbuh. Di bangku lanjutan atas, aku bikin paper soal Soekarno muda dan pemikirannya. Kini aku membaca banyak sekali buku tentang Soekarno. Aku kira aku kini lebih tahu banyak soal Soekarno. Ketika Mayor Jenderal Soeharto menggulingkannya, Soekarno sang playboy sibuk ngeloni seorang isteri mudanya, yang belum umur 20 tahun.

Suasana pemakaman ini berubah total ketika ia diubah pada zaman Presiden Megawati Soekarnoputri. Ia kini berubah menjadi sebuah mauseleum, lengkap dengan musium dan arsitektur menawan. Pada 2006, Sapariah dan aku mengunjungi makam ini, yang sudah jadi mauseleum.

Namun aku selalu ingat gambar-gambar ini. Mereka diberi pigura besar dan diletakkan di rumah Papa di Jember. Pada 1972, aku baru duduk kelas satu sekolah dasar. Dan gambar-gambar inilah yang menghiasi salah satu tembok rumah kami.

Related link
Blitar dan Laptop Dicuri

Saturday, August 15, 2009

Joesoef Isak Died



Joesoef Isak (1928-2009) was the editor of Hasta Mitra, an influential publishing house in Jakarta. His father was a post-office employee from Minangkabau, western Sumatra, moving to Jakarta during the Dutch period. Joesoef was born in Jakarta in 1928. He once edited the Merdeka daily. He was also known as a translator, a left-wing intellectual and imprisoned from 1967-1977 without trial.

After his release, he became a strong advocate of free speech during President Suharto's authoritarian New Order administration. Hasta Mitra was the publisher of Pramoedya Ananta Toer's Buru quartet.

We had dinner in late July during which he asked me, along with some other younger friends, to help running Hasta Mitra. We were planning to have another meeting.

Earlier this year, Joesoef shared a secret with me. He said I was the first person who asked him that particular issue. Unfortunately, he did not want me to publish his story. It was one of the most important things that I need to debunk another newly-created myth about Indonesian nationalism. It was meant for my book A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

Joesoef Isak died in the wee hour of today.


Related Links
Joesoef Isak Passed Away oleh Max Lane

Friday, August 07, 2009

Selamat Jalan Rendra


Jumat ini saya mendatangi rumah W.S. Rendra, dekat stasiun Citayam, Depok, guna memberikan penghormatan terakhir kepada Rendra. Dia meninggal Kamis malam dalam usia 74 tahun. Saya tak kenal pribadi Rendra. Saya memang cukup sering bertemu dan beberapa kali pernah interview Rendra --sejak saya masih kuliah di Salatiga pada 1980an lalu saat periode protes melawan pembredelan media pada 1994-1995-- namun saya tak pernah bergaul dengan Rendra. Saya datang karena ingin menghormati Rendra, salah satu penyair terbaik, yang pernah ada di Pulau Jawa.

Lebih dari 30 karangan bunga berderet di jalan masuk Bengkel Teater. Dari perusahaan media hingga komunitas seni, dari pribadi hingga keluarga. Komunitas Salihara pimpinan Goenawan Mohamad kirim salam, "Rendra tak pernah mati. Ia memberi kita puisi."

Rumah Rendra luas sekali. Ia merangkap padepokan Bengkel Teater. Tanpa pagar. Banyak pepohonan. Jalanan sempit. Hanya cukup untuk dua mobil berpapasan. Sepanjang perjalanan, kami berpapasan dengan mobil-mobil menteri maupun jenderal. Mereka tampaknya baru pulang dari rumah Rendra. Kaya dan miskin. Tua dan muda. Lelaki dan perempuan. Penguasa dan rakyat. Semua datang.

Ada lebih dari 1,000 orang datang memberikan penghormatan kepada Rendra. Sawung Jabo, pemusik Komunitas Barock dan sahabat Rendra, membawa foto Rendra. Jabo berdiri, memimpin kerumunan lelaki yang bergantian mengangkat keranda. Muka Jabo berat sekali. Pada 1990, Rendra dan Jabo pernah sama-sama mendukung kelompok musik Swami, lantas Kantata Takwa bersama Iwan Fals, Setiawan Djody dan sebagainya.

Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Kehidupan adalah cakrawala
dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata

Rendra kelahiran Solo 1935. Dia sempat kuliah di Universitas Gadjah Mada. Ia mendirikan Bengkel Teater di Jogjakarta pada 1967 dan belakangan pindah ke Depok. Dia pernah punya isteri tiga orang: Sunarti Suwandi (lima orang anak), Sitoresmi Prabuningrat (empat anak) dan Ken Zuraida (dua anak). Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979 dan Sunarti pada tahun 1981.

Rendra ikut bergerak melawan pembredelan Detik, Editor dan Tempo oleh Presiden Soeharto pada 21 Juni 1994. Dia menyumbang satu puisi, yang sering dibaca dan disebarkan, pada protes-protes anti pembungkaman kebebasan pers:

Karena kami dibungkam dan kamu mrocos bicara
Karena kami diancam dan kamu memaksakan kekuasaan
Maka kami bilang TIDAK kepadamu
Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati
Maka air akan mengikis batu.

Wakil presiden terpilih Boediono dari masjid memasuki rumah Rendra bersama walikota Depok Nur Mahmudi Ismail.

Saya lihat banyak sekali seniman, cendekiawan, orang media maupun politisi dalam pemakaman Rendra. Wakil presiden terpilih Boediono, dengan pengawalan ketat, juga datang untuk memberikan pengormatan terakhir. Dia datang bersama Nur Mahmudi Ismail, walikota Depok. Saya senang Boediono datang ke pemakaman Rendra. Ketika kampanye, Boediono paling sering berjanji untuk menegakkan dan menghormati hak asasi manusia.

Saya sempat memotret punggung seorang kamerawan, yang sedang sibuk merekam gambar Boediono. Pesan dari kaos hitamnya, "Facebook 100 Persen Nggak Haram." Boediono mungkin tak membaca pesan itu. Minimal dia bisa membaca surat Human Rights Watch yang berisi serangkaian rekomendasi langkah-langkah apa yang harus diambil Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono lima tahun lagi. Saya kira, Rendra akan senang bila Boediono mau ikut menegakkan hak asasi manusia maupun kesenian di Indonesia. Selamat jalan Rendra!

Monday, August 03, 2009

Pengurus baru apartemen

Kolam renang Apartemen Permata Senayan. Juli 2009, 10 orang pengurus apartemen mengundurkan diri semua. Mereka bertengkar sendiri. Satu menuduh lainnya korupsi. Kepengurusan baru dipilih dengan pimpinan Edward Limbong, seorang kapten Lion Air. Ternyata semua pengurus lama tak bayar service charge dan sinking fund. Malah ada yang tak bayar tagihan listrik dan air dua tahun. Mudah-mudahan periode Limbong lebih baik. Target mereka apartemen ini bisa mulai bayar pajak.

Aku sudah tinggal di apartemen ini sejak Desember 2003. Mula-mula kontrak sebuah unit di lantai 18. Sempat pindah ke unit lain, milik pengacara Ria Latifah, seorang penasehat hukum Megawati Soekarnoputri. Lalu atas nasehat Latifah, aku mengambil kredit dari bank BCA dan beli satu unit. Sejak awal, aku suka lokasi apartemen ini. Sangat strategis. Sejak awal, aku perhatikan kepemimpinan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun ini amburadul --terminologi PPRS adalah terminologi hukum. Mulanya, ketua PPRS seorang anggota redaksi harian Kompas. Dia menggaji dirinya sendiri. Belakangan, seorang politikus Partai Golkar. Kacau semua. Dua periode pengurus, semuanya mundur dengan masalah.

Anyway, siapa mau ikut berenang?

Kolam renang penuh lumut pada pertengahan Juni 2009 ketika para pengurus lama, sudah tak saling bisa bertemu. Ada yang menggunakan kekerasan untuk intimidasi. Korbannya, kebersihan apartemen. Lift sering macet. Jalanan penuh lubang. Keamanan gedung menurun. Petugas security diperalat untuk kepentingan satu pihak yang berantem. Beberapa pengurus merasa terintimidasi. Dokumen keuangan dicuri. Pada 1 Agustus 2009, semua petugas security, total 22 orang, diganti dengan outsource PT Cakra Kurnia Nusantara.

Saturday, August 01, 2009

Komentar soal Tangga Busway dari Facebook

You posted a link
.

Saya memperhatikan tangga stasiun busway Sarinah. Besi tangga sebagian sudah aus dan licin. Ini koridor paling tua di Jakarta. Ia diresmikan Januari 2004. Umurnya sudah lima tahun. Ribuan orang melewatinya setiap hari. Bila tak ditanggulangi, mungkinkah ia jadi berlubang? http://andreasharsono.blogspot.com/2009/07/tangga-busway-sarinah-sudah-aus.html.

Anjani Dyah Paramita, Weka Gunawan and like this.

Jonminofri Nazir
Jonminofri Nazir
di depan hotel sultan ada lembaran lantai jembatannya yang semua bautnya copot, mengerikan. Di terminal kampung melayu juga begitu lembarannya besinya lepas. Mereka kayaknya tidak melakukan perawatan yang baik...
Thu at 9:12am · Delete
Kiky Wuysang
Kiky Wuysang
kalo belum parah llobangnya dan menimbulkan korban, tangga tersebut gak akan diperbaiki.
Thu at 9:13am · Delete
Buni Yani
Buni Yani
yang di depan gelora bung karno juga, sudah berlubang. sebulanan lalu saya lewat sana sama anak yg berumur 5,5 th waduh bahaya sekali. harus ada wartawan yg nulis. yg di depan bank muamalat sudah mulai copot2, bentar lagi juga berlubang.
Thu at 9:15am · Delete
Abraham Hamzah Subekti
Abraham Hamzah Subekti
Setuju dengan pendapat Kiky,ya beginilah cara kerja orang kita......kalau tidak menimbulkan korban,ya tidak diperhatikan.....
Thu at 9:26am · Delete
Oktafiandi Wibisono
Oktafiandi Wibisono
waktu di jakarta saya sudah mencoba busway .... dibandingkan dengan platform subway di NY dan platform busway, platform busway sangat jauh dari safety, bagaimana pun saya sangat menghargai ide busway yang dengan murah meriah bisa keliling jakarta, semoga ide busway ini dikembangkan lagi dengan perawatan dan peningkatan mutu dari segala sisi, seperti perawatan platform dan mobil derek jika bus mogok misalnya. Karyawan yang bekerja di busway dan pintu masuk sepertinya ramah2, enak ditanyai jalan kalau kesasar, moga2 mereka bisa bahasa Inggris sehingga turis2 juga mau pakai busway.
Thu at 9:27am · Delete
Andreas Harsono
Andreas Harsono
Nazir dan Buni Yani, saya tak sangka sudah ada yang berlubang dan baut2nya lepas. Serem juga ya. Saya heran kenapa lima tahun sudah begini? Apa karena pemakaian sangat tinggi?
Thu at 9:40am · Delete
Jonminofri Nazir
Jonminofri Nazir
kalau melihat jalur busway lebih parah lagi. Ada yang dibonkar pasang seperti di pasar rebo. Ada yang pemisahnya sudah lepas dan hancur seperti di bypass... saya kira bukan karena tingkat pemakaiannya yang tinggi, tapi spek bangunan atau kualitas bahan tidak cocok untuk bus way..
Thu at 9:46am · Delete
Matius Gunadi Henoch
Matius Gunadi Henoch
bagaimana kalo dgn sengaja vandalism atau dicopot baut2nya utk dijual kembali? kapan hari saya dengar elshinta melaporkan baut2 rel KA di dekat jembatan2 tinggi di purwakarta itu (jalur parahyangan jkt-bdg) dicopoti orang. petugas pengawasan jalur KA berlomba waktu dgn pencurinya. waktu lewat aman, bbrp saat kemudian, bautnya sdh hilang. klo harga per kilonya lumayan, org bisa berpikir utk mencurinya saja.
Thu at 10:22am · Delete
Suwito 吳樹偉
Suwito 吳樹偉
selain sudah rusak, jembatan busway di Jelambar juga kotor dan jorok banget. Bau pesing. ada yang iseng kencing di sana. Sejumlah halte yang belum aktif saja sudah ada yang rusak, lampunya hilang, dsb.
Thu at 10:32am · Delete
Lienche F. Maloali
Lienche F. Maloali
Bahkan kaki saya pernah terantuk pada sisi ujung plat untung sepatunya tertutup karena jika menggunakan sepatu hawainas pasti udah menganga tu.. salah satu jari kaki... wiiih (kalau ingat)
Thu at 5:43pm · Delete