Monday, March 23, 2009

Homer, The Economist and Indonesia


In The Simpsons episode "Catch 'Em If You Can," Homer was traveling by air and got upgraded, with his wife Marge, to First Class. As they were enjoying living the life of the jet-setting upper class, Homer told Marge, "Look at me, I'm reading The Economist. Did you know Indonesia is at a crossroads?"

When Marge asked his opinion, Homer simply replied, "It is!"

Someone at The Economist had a good sense of humor. Four days later, with its customary dry wit, The Economist magazine alluded to the quote, and published an article about Indonesia referring to the "crossroads". The title of the issue was "Indonesia's Gambit". About seven months later, an Economist editor told me, The Economist ran a cover headline reading "Indonesia at a Crossroads."

The Simpsons is an American animated television sitcom created by Matt Groening for the Fox Broadcasting Company. It is a satirical parody of a middle class American lifestyle epitomized by its eponymous family, according to a Wikipedia entry. They include father Homer, mother Marge and their children Bart, Lisa, and Maggie. The show usually lampoons American culture, society and television.

My son, Norman Harsono, is a big fan of the series. He usually watches the series on Star TV.

Crossroads means an intersection of two or more roads. It also means a point at which a crucial decision must be made that will have far-reaching consequences. Many editors, including those at The Economists, like to use this word.

-- A fictional story that I learned from Simon Long, Asia editor of The Economist magazine

Monday, March 16, 2009

Sebuah Renungan Merauke

Selama seminggu saya berada di Merauke, sesudah sempat mengadakan training di Jayapura. Tujuannya, bikin wawancara, jalan-jalan, bertemu banyak orang Marind, serta mencium aspirasi kemerdekaan bangsa Papua dari kolonialisme Indonesia. Ini kunjungan kedua ke Merauke. 

Sama dengan kunjungan pertama tiga tahun lalu, saya juga sempat datang ke Monumen Benny Moerdani di daerah Tanah Miring. 

Kapten Moerdani memimpin penerjunan 206 tentara Indonesia, waktu itu disebut Operasi Naga, ke daerah Merauke pada Juni 1962. 

Tujuan mereka adalah menjalankan perintah Presiden Soekarno untuk menggagalkan rencana kerajaan Belanda membikin "negara boneka" di Papua. Mereka hendak memperkuat diplomasi Indonesia di United Nations. 

Penyerbuan ini berakhir dengan New York Agreement pada Agustus 1962 dimana Amerika Serikat, menekan Belanda menyerahkan Papua ke pihak Indonesia. Belanda menyerah. Belanda merasa takkan menang bila perang melawan Indonesia di West Papua. Namun Belanda minta diadakan referendum. 

Orang-orang Papua merasa dikhianati oleh Belanda maupun Amerika Serikat. Sejak awal 1970an, dengan bantuan World Bank, Indonesia mendirikan koloni-koloni di Papua, terutama Merauke, dengan menamakannya sebagai program transmigrasi. Ratusan ribu transmigran dari Jawa didatangkan ke Papua. 

Daerah sekitar Tanah Miring kini adalah daerah mayoritas etnik Jawa. Mereka menjadikan Merauke sebagai koloni Jawa. Saya berbahasa Jawa Ngoko bila belanja di Merauke. Disini juga didirikan beberapa markas batalion Indonesia. Hingga hari ini, orang-orang Papua masih berjuang melawan "penjajahan" Indonesia.
   Di Merauke, saya juga berkunjung ke kampung-kampung Marind. Daerah mereka rawa-rawa. Jalanan rusak. Lubang sebesar kerbau. Masih banyak rumah semut di kampung-kampung Marind. Kampung-kampung mereka berbeda dengan daerah transmigran. 

Di kampung Marind, kalau ada klinik, pastilah tertutup, tanpa dokter, tanpa perawat. Di setiap kampung ada pos penjagaan tentara Indonesia. Mereka biasa bikin gapura dengan angka 17-8-1945. Mereka hendak menciptakan kesan bahwa kemerdekaan Indonesia juga berarti kemerdekaan Papua. 

Di beberapa pos, saya juga baca kalimat, "NKRI Harga Mati." Semboyan militer ini sering sekali saya baca di tanah Papua (termasuk juga slogan "Pakailah Bahasa Indonesia yang baik dan benar"). Orang Papua sering bilang, "NKRI itu dorang punya, kitorang punya ... ya harga mati." 

Birokrat-birokrat bahasa Melayu Indonesia menghambat orang Papua memakai kata "dorang" dan "kitorang." Ini mengingatkan pada film-film Hollywood. Daerah penduduk kulit putih terkesan maju. Daerah kampung orang Indian terkesan tradisional. Banyak orang Marind mati karena terkena virus HIV. 

Beberapa orang Marind maupun Muyu bilang bahwa banyak keluarga mereka mati pelan-pelan sesudah dipukul oleh tentara Indonesia. Biasanya tentara Indonesia memukul kepala bagian belakang atau ulu hati. Tujuh, delapan atau sembilan tahun sesudah pemukulan mereka mati. 

Atmakusumah Astraatmadja, mantan ketua Dewan Pers, sering mengatakan bahwa media Jakarta seringkali luput memberitakan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Papua maupun Maluku. Dia menyebut laporan Human Rights Watch belakangan ini, Protest and Punishment: Political Prisoners in Papua serta Out of Sight: Endemic abuse and impunity in Papua's Central Highlands

Dua laporan itu tajam menyoroti pelanggaran hak asasi manusia di Papua oleh aparat keamanan Indonesia. Pada 1962 hingga 1969, Papua menjadi bagian dari Indonesia karena United Nations memakai doktrin uti possidetis juris

Intinya, doktrin ini mengatakan batas-batas negara-bangsa pasca-kolonialisme Eropa sebaiknya mengikuti batas-batas negara kolonial. Alasannya, guna mengurangi munculnya peperangan yang tidak perlu. Batas-batas Indonesia, misalnya, sebaiknya mengikuti batas-batas Hindia Belanda. 

Doktrin ini mencegah restu Belanda untuk mengalihkan kekuasaan kepada bangsa Papua. Belanda diminta mengalihkannya ke Indonesia. Papua tidak jadi merdeka. 

Menurut Michael Freeman dari Essex University, doktrin uti possidetis juris terbukti argumentasi yang cacat. Kebanyakan negara-bangsa pasca-kolonialisme adalah multinasional atau polyethnic. Indonesia misalnya, terdiri dari bangsa Jawa, bangsa Sunda, Melayu, Madura, Acheh, Minangkabao, Bugis dan sebagainya. 

Banyak kelompok menganggap doktrin ini memberikan pembenaran kepada kelompok kuat menindas kelompok-kelompok lemah. Akibatnya, separatisme dan represi terhadap mereka jadi menonjol. 

Negara Indonesia adalah saksi ketidaksempurnaan uti possidetis juris. Indonesia menyaksikan dominasi "bangsa Jawa" dan penindasan terhadap hampir semua kelompok yang melawan dominasi Jawa. Mayoritas tentara Indonesia orang Jawa. 

Dari Acheh hingga Papua, dari Minahasa hingga Ambon, dari Ternate hingga Minangkabao, sejak tahun 1950, sudah mengalami penindasan atau pertikaian dengan tetangganya berkat politik divide et impera Indonesia. Hindia Belanda diganti Indonesia. Kelompok paling kuat menindas kelompok-kelompok minoritas atas nama "nasionalisme Indonesia." 

Inilah kritik terhadap uti possidetis juris. Ia juga terjadi di Afrika, Asia, Amerika Latin dan sebagainya --bekas kolonialisme Eropa.