Tuesday, May 21, 1991

Dances with The Gulf War

Andreas Harsono
Bernas, 21 Mei 1991

Kata genocide mempunyai makna yang dalam sekali tentang pemusnahan secara sistematis, terhadap suatu golongan bangsa. Pemusnahan secara sistematis artinya pemusnahan secara perlahan serta melewati berbagai tahap penyempitan ruang gerak bangsa yang dimusnahkan. Dengan cara inilah manusia-manusia yang haus kekuasaan mampu menghancurkan bangsa yang sumber daya alam maupun sumber daya manusianya hendak dikuasai. Ini digambarkan oleh Kevin Costner dalam film Dances with Wolves

Dengan Dances with Wolves, Costner mengisahkan bagaimana keserakahan orang-orang kulit putih mendorong mereka untuk melakukan genocide terhadap suku Indian. Dalam film itu, suku yang dimaksudkan adalah suku Indian Sioux. 

Lewat penuturan John Dunbar, seorang prajurit Amerika Serikat jaman Wild West, genocide itu diceritakan secara memikat. Mula-mula Dunbar yang idealis, secara tak disangkanya, ditugaskan untuk menduduki posnya di Fort Sedgewick. 

“Benteng” itu ternyata hanya berupa sebuah rumah kayu sangat sederhana di tengah padang rumput indah. Letnan kavaleri dan bentengnya ini juga tidak memiliki pasukan. Karena sesampainya di gubuk kecil itu, Dunbar harus menemui kenyataan, bahwa prajurit-prajurit yang bakal jadi anak buahnya sudah tidak ada atau … tinggal kerangkanya saja. Dunbar hidup sendirian.

Pemahaman Dunbar tentang suku Indian tidak jauh berbeda dengan pengertian yang dikembangkan oleh pemerintahannya. “Orang Indian yang baik adalah orang Indian yang mati,” ujar seorang sais kereta kuda. “Mereka tidak lebih dari pada pengemis dan pencuri.” Sampai suatu hari, dalam kesendiriannya, Dunbar dikejutkan oleh kehadiran prajurit-prajurit Sioux.

Pertumpahan darah hampir terjadi kalau saja Dunbar tidak bersikap terbuka dengan terlebih dahulu mengunjungi perkampungan Sioux yang ada dekat benteng. Adegan cukup menarik. Dunbar dengan seragam lengkap membawa bendera Amerika Serikat berjalan menuju kampung Sioux. Legitimasi negara ditunjukkan dengan sebuah bendera. Dibumbui kisah asmara. Perburuan bison, pertempuran dengan suku Pawnee, singkat kata, terjadilah persahabatan antara Dunbar dan suku Sioux.

Satu kali Dunbar dijumpai oleh teman-teman Indiannya sedang bermain dengan seekor serigala dan seekor kuda. Kedua binatang itu adalah sahabatnya dalam kesepian. Dan orang-orang Sioux memberi nama Dunbar dengan sebutan Dances with Wolves (Menari dengan Serigala), ketika malam-malam mereka menjumpai Dunbar sedang menari dengan serigala yang tak jauh dari unggunnya. Orang-orang Indian merasa senang bergaul dengannya. Apalagi setelah Dunbar menikah dengan salah satu anggota suku Sioux. Tapi pertanyaan yang belum berani dijawab oleh Dunbar adalah “Apakah orang kulit putih akan datang kemari? Berapakah jumlahnya?"
***

Pertanyaan itu hari ini sudah terjawab. Orang kulit putih telah mendiami seluruh sudut benua Amerika Utara yang dulunya merupakan tanah Indian. Orang kulit putih merebutnya dengan senapan, kekejaman, kelicikan, dan kekuasaan untuk menguasai sumber daya alam di benua impian itu --emas, minyak, besi, rumput, kayu dan sebagainya. Genocide terhadap suku Indian hari ini terbukti telah terjadi.

Pertanyaan yang dulu diajukan terhadap Dunbar, memang dijawab dengan peristiwa ditangkapnya Dunbar, oleh pasukan AS yang diperintahkan untuk menempati benteng Sedgewick. Tujuan kedatangan pasukan dalam jumlah besar itu, dalam alasan resmi versi pemerintah AS, adalah “menghukum Indian jahat”. Biarpun Dunbar beralasan di sekitar benteng Sedgewick tidak ada Indian jahat, tetapi Dunbar yang berpakaian Indian itu, justru dituduh pengkhianat, deserter dan pelaku tindak subversi (dalam bahasa ala Orde Baru).

Dunbar justru disiksa. Dari kejauhan rekan-rekannya dari suku Sioux melihat dan bersumpah menuntut balas. Dalam suatu perjalanan melaksanakan “penghukuman” terhadap Indian jahat, pasukan AS diserang oleh prajurit-prajurit Sioux. Dibantai habis. Digorok, dikampak dan dalam adegan di film memang di perlihatkan bagaimana sikap prajurit Sioux terhadap musuh-musuh mereka (kebrutalan yang sama juga diperlihatkan Costner lewat tingkah pola prajurit-prajurit AS yang bermoral rendah, tidak mampu baca tulis dan bengis). 

Kevin Costner cukup lihai mempermainkan perasaan penonton, dengan membuat adegan mengejar prajurit AS yang hendak mencari Dunbar serta suku Sioux, lewat musim salju dan daerah perbukitan. Jejak demi jejak dipasang terus. Dan berkebalikan dengan kisah legendaris tentang Buffalo Bill, yang digambarkan senantiasa didampingi oleh orang Indian pencari jejak yang mahir dan memerangi Indian jahat, dalam film Dances With Wolves, justru para pencari jejak digambarkan sebagai penjilat-penjilat yang bersedia bekerja sama dengan orang kulit putih demi sedikit kemewahan (perhiasan, uang, perempuan, minuman keras). 

Klimaksnya tentu saja, dengan kehalusan yang luar biasa, Costner menutupnya dengan narasi yang mengatakan genoside terhadap Indian Sioux akhirnya tuntas juga.

Dumbar mungkin mati dalam perjuangannya. Demikian halnya dengan rekan-rekan yang lain, secara halus, penonton dipersilahkan menerka sendiri bagaimana kebudayaan Indian dihancurkan, gaya hidup mereka dipaksa menjadi “putih”, penyakit kelamin merajalela, bermabuk-mabukan, berjudi dan lain-lain. Dan di atas pemusnahan daya tahan suku Sioux serta ratusan suku Indian lainnya, kemegahan Amerika putih (WASP = White, Anglo Saxon Protestant) didirikan.

Dances with Wolves menceritakan pada kita, bagaimana pemerintah AS memusnahkan bangsa lain yang dianggap menjadi penghalang mengalirnya sumber daya alam dan sumber daya manusia ke kantong mereka. Dua ratus tahun yang lalu, secara sistematis bangsa Indian dihapus dari peta Amerika. Bagaimana sekarang?

Adanya satu pesan penting dari film Dances with Wolves. Kevin Costner terlambat dua ratus tahun dalam memproduksi film yang mampu menggugah kehormatan bangsa Amerika tetapi banyak ditolak kalangan Hollywood itu. 

Kesadaran akan bagaimana pemerintah AS, dengan berbagai legitimasi hukum dan perundang-undangannya memusnahkan bangsa lain, yang dianggap menjadi penghalang kelancaran aliran sumber daya alam dan sumber daya manusia ke kantong mereka, adalah keterlambatan yang menyolok mata, yang menutupi kenyataan, bahwa masyarakat Amerika tidak bisa hidup dengan baik tanpa kehadiran yang seimbang dari bangsa -bangsa lain. 

Perang Teluk Persia adalah keterulangan peristiwa yang digambarkan dalam film Dances with Wolves. Pemusnahan suku Indian dua ratus tahun silam diulangi lagi secara terus-menerus oleh pemerintah AS, dan salah satu puncak yang paling dramatis adalah genocide terhadap rakyat Irak. Kevin Costner seharusnya membuat film “Dances with the Gulf War” agar tidak bisa dituduh terlambat dua ratus tahun. 

Dalam Perang Teluk terlihat, bahwa tujuan AS tidak lain selain mengamankan berbagai kepentingannya di kawasan Timur Tengah. Dari berbagai urutan kejadian Perang Teluk terlihat bahwa AS sesungguhnya memang tidak mempunyai maksud lain selain menaklukkan Irak. 

AS mula-mula telah memiliki pengetahuan terhadap maksud Irak menyerbu Kuwait. Dutabesar AS untuk Irak April Glaspie telah diberitahu oleh Saddam Hussein beberapa minggu sebelum penyerbuan ke Kuwait, jika Kuwait masih melanjutkan peningkatan produksi minyaknya (sehingga menurunkan harga), Irak tidak punya pilihan lain selain menyerang Kuwait. Dutabesar AS menanggapi pemberitahuan ini dengan mengatakan bahwa hal tersebut seluruhnya menjadi masalah Arab, dan AS tidak akan campur tangan.

Beberapa saat sebelum peperangan dimulai, dalam pertemuan di Bagdad dengan Sekretaris Jenderal PBB Perez de  Cuellar, Saddam juga mengatakan bahwa Irak  bersedia untuk mendiskusikan sebuah “paket perjanjian.” 

De Cuellar sendiri melaporkan kepada PBB, bahwa Menteri Luar Negeri Irak, Tariq Aziz, berulang-ulang menekankan keinginan Irak untuk berdialog dengan AS dan Masyarakat Ekonomi Eropa maupun negara-negara Arab. Sementara pada saat yang hampir bersamaan AS melarang pendaratan pesawat Aziz di New York untuk merundingkan proposal Irak kepada PBB. Surat kabar Amman Al Rai (14/2) mengungkapkan bahwa AS telah menasehati Emir Kuwait untuk tidak membuat kompromi apapun dengan orang-orang Irak pada saat perundingan penghindaran perang, jauh sebelum Irak menyerbu Kuwait pada 2 Agustus 1990. Demikian halnya ketika Mikhail Gorbachev dari Uni Soviet melancarkan paket gencatan senjata, dan Irak menanggapinya dengan baik, AS justru melancarkan serangan darat.

Ini sebenarnya penjebakan terhadap Saddam Hussein, seperti halnya dua ratus tahun yang lalu, prajurit-prajurit AS menjebak suku-suku Indian untuk melakukan kesalahan kecil, sedemikian rupa sehingga memberi peluang bagi militer AS untuk memusnahkan musuh-musuhnya. Esensinya sama walau detailnya  berbeda. 

Sekarang perangkat hukum yang dimain-mainkan dalam Perang Teluk, jelas lebih rumit dan lebih canggih dari perangkat hukum yang dipergunakan dua ratus tahun yang lampau. Memanipulasikan kekuatan AS dalam forum PBB, dua ratus tahun yang lalu belum terjadi. Tetapi pesan utama dari Perang Teluk tidak berbeda jauh dengan pesan yang hendak disampaikan oleh film Dances with Wolves

Dua ratus tahun lalu, John Dunbar dan hampir seluruh masyarakat kulit putih dicuci-otak dengan ide, “Indian yang baik adalah Indian yang mati.” Sekarang pun, dalam ketidakseimbangan coverage pers Barat terhadap Perang Teluk, yang diperburuk oleh adanya sensor dari pasukan gabungan, masyarakat dunia diajak untuk berpikir, “Saddam adalah maniak, dan Irak yang baik adalah Irak tanpa Saddam  Hussein”. 

Tragisnya, berbagai pesawat televisi di penjuru dunia, membuat peristiwa perang ini sedemikian “menghiburnya” sehingga tidak kalah dengan Piala Dunia. Atau di mata sebagian orang lebih cocok dianggap sebagai space invaders game di layar monitor komputer. Dua ratus tahun yang lalu kekejaman dan kebengisan perang, mampu direduksi sedemikian rupa, menjadi permainan koboi-koboian anak kecil. Ada Indian menyerang koboi.  Tembak-menembak dan Indian jahat mati. Anak kecil pun dibuat berpikir seperti itu. Sekarang anak-anak belajar mengucapkan kata “Patriot”, “Scud” dan sebagainya dalam konotasi perang Irak-Amerika Serikat.

Karena itulah, film Dances with Wolves hanya menambah kekecewaan saya terhadap sikap kita dalam Perang Teluk. Sebagai sesama negara Dunia Ketiga, saya pikir, Indonesia seharusnya berperan lebih besar dalam krisis tersebut. Seperti halnya John Dunbar memaksa suku Sioux melarikan diri dan memisahkan diri dari Dunbar, dalam abad pesawat ruang angkasa ini pun, pemerintah Indonesia seharusnya menasehati Irak untuk segera keluar dari Kuwait (setidaknya hanya menyisakan dua pulau untuk dikuasai) sambil menghalangi intervensi AS dalam melakukan genocide terhadap rakyat dan kebudayaan Irak. 

Saya menyesalkan sikap pemerintah Indonesia, ikut mengecam Irak sambil melupakan bagaimana emir-emir Kuwait menikmati uang minyak mereka, demi kepentingan mereka sendiri, tanpa mengingat kepentingan jutaan rakyat Arab, yang miskin dan dieksploitasi negara-negara Dunia Pertama. 
***

Andreas Harsono adalah mahasiswa teknik Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga

Saturday, May 04, 1991

Polemik di Balik “Bagimu Negeri”

Andreas Harsono
Harian Kartika, Sabtu, 4 Mei 1991

Empat bulan yang lalu, secara tidak sengaja, saya mendapat guntingan-guntingan koran tahun 1978, yang isinya berkisar pada persoalan-persoalan siapa pencipta lagu “Bagimu Negeri”. Almarhum Kusbini (1910-1991), yang selama ini dikenal sebagai pencipta lagu “Bagimu Negeri”, mendapat sorotan tajam karena adanya orang-orang yang berani bereaksi, bahwa penciptanya adalah J. Semedi (lahir 1924).

Polemik itu besar gaungnya. Dalam rekaman saya, tak kurang dari 22 orang, yang klaim dirinya sebagai saksi sejarah, yang terlibat dalam polemik tersebut. Lebih menarik lagi, karena kebanyakan pendukung J. Semedi, justru “orang-orang kebanyakan” yang pernah berhubungan dengan J. Semedi. sementara saksi pendukung Kusbini nisbi sedikit. Saya tertarik dengan polemik itu dan mencoba menelusurinya lebih jauh.

Versi Joseph Semedi

Joseph Moeljo Semedi, pada tahun 1940-an adalah guru di Sekolah Rakyat III (SR III) Pati. Semenjak mengikuti pendidikan di HIK Muntilan --sekolah guru yang terkenal telah melahirkan komponis besar semacam Cornel Simanjuntak, Binsar Sitompul maupun RAJ Soedjasmin – Semedi memperoleh pelajaran musik dari pastur pengajarnya. Tentang lagu “Padamu Negeri” (judulnya berbeda dengan judul ala Kusbini), Semedi menciptakan semasa libur di rumah kakaknya di Solo. Ilhamnya diperoleh setelah mengikuti upacara Natal 1944 di Gereja Purbayan. Sedang liriknya disempurnakan di rumah orang tuanya di Kopen, Boyolali.

Semedi memperkenalkan lagu itu setelah liburan sekolah selesai pertama kali di rumah S Benyamin di Randukung, Pati. Lagu itu dibawakannya dengan biola bersama dengan C. Setyoprayitno (Kepala Kantor P&K Kabupaten Rembang saat polemik berlangsung) serta dua orang murid SR III, yaitu Suryaningsih dan Suryoutomo. 

Sekitar bulan Mei 1945, dalam rangka perlombaan menyanyi yang diadakan oleh pemerintah pendudukan Jepang, Semedi memperkenalkan nyanyian itu kepada Nagasima (waktu itu Kepala Jawatan Pengajaran SR di Pati). Nagasima kemudian mengiringi Semedi membawakan nyanyian itu di hadapan atasannya. Reaksi kedua pejabat Jepang itu baik. Artinya, sebagai penguasa saat itu, lagu itu katakanlah “lolos sensor”.

Sejak saat itulah lagu “Padamu Negeri" populer di kalangan guru dan murid-murid sekolah di Pati. Dalam kesaksian Semedi, yang dibenarkan oleh kolega maupun murid-murid Semedi dalam berbagai surat pembaca, teks lagu itu beredar dari tangan ke tangan, guru ke guru, bahkan sampai ke Solo, Blora dan Blitar. 

Pada tahun 1947, lagu “Padamu Negeri” sudah dinyanyikan oleh murid-murid SPG Blitar karena diperkenalkan oleh salah satu guru menyanyi di sana. Semedi sendiri, sebagaimana layaknya guru tingkat pendidikan dasar, adalah guru yang selain mengajar pelajaran secara umum juga gemar menyanyi.

Dari berapa kesaksian murid-muridnya maupun rekan-rekannya, Semedi digambarkan sebagai pribadi yang sederhana, jujur, taat beribadah dan tidak neko-neko. Keterkejutannya ketika pada tahun 1950 membaca majalah Berita Radio, bahwa lagu yang diciptakannya diklaim oleh penggubah lain. Ini membuat Semedia membuat mencoba mencari keterangan lebih lanjut. Usaha ini berakhir dengan senyap dengan berbagai halangannya. Sampai pada tahun 1978, tigapuluhlima tahun setelah diciptakan, persoalan lagu itu meletus lagi gara-gara ada wartawan yang menulisnya.

Versi Kusbini 

Saksi yang paling diandalkan Kusbini adalah Presiden Sukarno di Jakarta. Pada tahun 1942, baris terakhir lagu “Bagimu Negeri” berupa kalimat “Bagimu negeri Indonesia Raya”. 

Sukarno, yang mendengarkan lagu itu di depan rapat Pusat Tenaga Rakyat, organisasi bentukan Jepang, usul ganti kalimat lain dengan pertimbangan security. Selanjutnya lagu itu dikumandangkan pertama kali lewat radio penguaa Jepang. Hal ini dimungkinkan karena Kusbini saat itu bekerja di radio Jepang bersama Ny. Bintang Soedibjo (Ibu Sud) yang menjadi Kepala Bagian Siaran Lagu untuk Anak-anak radio Jepang (sekarang RRI Pusat).

Secara musikal kedua lagu itu sama. Bahkan susunan kata demi kata, hampir semuanya sama. Ini memang aneh ketika keduanya tidak pernah bertatap muka. 

Rasanya mustahil dua orang yang berbeda mendapat ilham yang persis sama. Ketika Kusbini disebut sebagai “buaya keroncong” sehingga sulit dimengerti apabila mampu menciptakan lagu bermodel hymne, dengan tegas dia menjawab, “Saya buaya dalam segala musik”. 

Biarpun lagu-lagu keroncong ciptaannya banyak dan populer sekali, Kusbini memang menciptakan lagu lain di luar keroncong. 

Sementara Ibu Sud, mengatakan pernah melihat coretan lagu “Bagimu Negeri” ketika masih bekerja dengan Kusbini. Tetapi tidak bisa memastikan saat Kusbini menciptakan lagunya. Hanya Ibu Sud percaya bahwa lagu itu diciptakan Kusbini karena setiap kali mendapat lagu baru, biasanya Kusbini memperlihatkannya kepada Ibu Sud. 

Itu pula yang terjadi ketika lagu “Bagimu Negeri” hendak disiarkan lewat radio. Dalam polemik itu, Kusbini juga mendapatkan pembelaan dari Karkono, seorang sastrawan, yang mengatakan pernah diajak berdiskusi mengenai lagu “Bagimu Negeri” pada tahun 1943. 

Jadi apabila memperhatikan tahunnya, jelas Kusbini menciptakan lagu tersebut lebih dahulu dari pada J.Semedi. Ada dua orang saksi (Ibu Sud dan Karkono) yang mengatakan hal itu. 

Sementara versi J Semedi, bahwa lagu “Padamu Negeri” dikarang akhir tahun 1944, juga mendapatkan saksi-saksi, terutama jika diikuti dari banyaknya penulis surat pembaca, yang memperkenalkan diri sebagai bekas murid atau kolega Semedi. 

Mungkin perbandingan itu pula yang membuat Kusbini tidak pernah berniat menuntut Semedi ke depan meja pengadilan --setidaknya dengan tuduhan mencemarkan nama baik apabila masalah hak cipta pada saat itu belum jelas hukumnya. Sementara Semedi sendiri memang tidak menunjukkan keinginan menghangatkan suasana ini.

Analisa Sementara

Khusus saksi bagi J. Semedi, kedua pejabat pendidikan masa Jepang saja yang tidak diwawancarai pers. Padahal peranan kedua pejabat Jepang itu sangat penting. Sisanya, baik atasan Semedi, rekan-rekan guru yang ikut membantu mengajarkan lagu “Padamu Negeri” di kelas, maupun sebagian murid-murid Semedi, yang mengalami sendiri jaman tersebut, bisa dihubungi wartawan. 

Mereka menulis surat pembaca kepada Suara Merdeka, koran Semarang, yang getol meliput polemik tersebut: Ny. Soebaidah Rawoen (guru), Ny. Soemijati (guru), Ny. Kusnowo (murid), Sadirun Suryodiredjo (murid). Mereka adalah saksi yang pro Semedi.

Fenomena murid-guru ini bisa mengerti apabila mengingat belum begitu komersialnya bisnis rekaman pada tahun 40-an dan 50-an. Dalam jaman seperti itu, sebuah lagu biasanya dipopulerkan lewat radio atau dari mulut ke mulut. Untuk cara yang belakangan, lagu-lagu yang disebarluaskan biasanya berirama sederhana dan liriknya pendek (agar mudah diingat). 

Dalam berbagai literatur yang saya baca, untuk cara yang kedua ini, pemenang peran penting adalah jaringan guru-guru. Waktu itu, status sosial seorang guru, tinggi sekali di hadapan masyarakat. Dalam perkara pembentukan moral murid-muridnya, peranan guru sangat menentukan. Salah satu sarana pengembangan kepribadian murid yang ideal adalah lewat musik. Disinilah peranan Semedi bisa dimengerti apabila menciptakan lagu yang liriknya diwarnai oleh nasionalisme.

Apabila mengamati Kusbini dan Semedi dalam menghadapi polemik tersebut, saya punya kesan Kusbini sangat emosional. 

Semedi sendiri, dalam berbagai keterangannya, tidak memperlihatkan diri sebagai pemberang. Ketika ditanya wartawan, bahwa yang mempermasalahkan bukan dia tetapi justru "orang lain" (wartawan). 

Pada tahun 1950, dia tidak tahu, kalau masalah kecil itu berbuntut sepanjang ini. Artinya, pada tahun 1950 Semedi juga tidak menyangka apabila lagu ciptaannya menjadi lagu demikian penting bagi sejarah Indonesia. Waktu itu, Semedi hanya bisa melakukan protes dengan bercerita kepada murid dan rekan-rekannya, dan itu dilakukannya dari tahun ke tahun. Inilah protes gaya seorang guru.

Soal tahun, Ibu Sud maupun Karkono, menurut pengamatan saya, tak memberikan bukti mengenai tahun ketika Kusbini memperlihatkan coretan lagu ciptaannya. Mungkin perlu diingat, bahwa kehadiran Jepang di Indonesia tidak lenyap begitu saja setelah Proklamasi pada Agustus 1945. 

Dalam jangka waktu yang agak panjang, Jepang masih memegang beberapa pusat militer, antara lain radio, yang dianggap penting sebelum diserahkan kepada pihak Sekutu. Ini lain dengan guru-guru, yang terbiasa bekerja rapi dan mencatat kegiatan mereka. 

Pada sisi lain, seorang seniman yang baru menciptakan karyanya, biasanya saat itu juga meminta pendapat orang lain. Antusiasme seorang seniman tidak bisa terulang dua kali dalam waktu yang berbeda (1942 dan 1943).

Selain sebagai “seniman borongan”, dan ini biasanya terjadi dimana-mana, terbuka kemungkinan Kusbini mengambil lagu-lagu rakyat yang didengarnya, untuk diubah sana-sini dan disiarkan lewat radio. 

Waktu pertama kali mengambil lagu Semedi, boleh jadi Kusbini tidak berniat membajaknya. Mungkin saat itu rasanya lagu itu baik untuk disiarkan. Artinya juga sudah lolos sensor Jepang karena lagu itu sudah dinyanyikan dimana-mana. Perkaranya jadi lain ketika lagu itu naik daun, dan diklaim sebagai ciptaan Kusbini --mungkin lewat orang lain seperti Ibu Sud dan Karkono yang tidak ditolak oleh Kusbini. Dan ketika belakangan jadi perkara, Kusbini mau tidak mau harus mempertahankan namanya.

Mengenai isu Sukarno dan rekan-rekannya sebagai saksi, cerita ini mirip dengan cerita bagaimana lagu “Indonesia Raya” mula-mula diperdengarkan W.R. Supratman di depan Kongres Pemuda II tahun 1928. Kusbini memang pernah dekat dengan Supratman. Dan heroisme Kongres Pemuda II memang bisa menimbulkan keinginan orang lain untuk menirunya. 

Dan perlu diingat, mengkait-kaitkan sesuatu dengan orang besar, biasanya hanya dilakukan seseorang yang merasa kurang yakin dengan kemampuannya. Sementara dari saksi-saksi Semedi, terungkap bahwa Semedi adalah komponis yang baik dalam menciptakan lagu rakyat --pendek dan sederhana. Jadi, menurut pengamatan sementara saya, tampaknya Kusbini memang bukan pencipta lagu wajib tersebut.

Akhir kata, dalam suasana duka seperti sekarang, dan juga dalam pemahaman tentang hari tua Kusbini, yang secara keuangan kurang menguntungkan, bukanlah maksud saya untuk melupakan jasa-jasa Kusbini sebagai seniman besar. Rinto Harahap juga pernah diadili gara-gara mengklaim karya seni orang lain. Saya sebagai pemuda yang merasa tertarik dengan masalah ini mengingat Milli Vanilli saja bisa memperdaya warga dunia. Dan keterlibatan saya, hanya sebatas sebagai pihak ketiga, yang masih duduk di bangku sekolah dasar di pojok Jawa Timur ketika polemik ini berlangsung. 

Andreas Harsono adalah peminat masalah musik, tinggal di Salatiga.