Monday, December 01, 2003

Republik Indonesia Kilometer Nol

Kebangsaan Indonesia dan kebangsaan Aceh dalam peperangan di ujung Pulau Sumatra.

ANDREAS HARSONO
Pantau

PADA 1926, seorang wartawan yang tinggal di Batavia, nama Jakarta di zaman kolonial Belanda, menulis laporan perjalanannya dari Batavia ke Amsterdam nun jauh di benua Eropah. Dia Adi Negoro. Dalam buku Melawat ke Barat, ia bercerita tentang persinggahannya di macam-macam kota, antara lain Singapura, Colombo, Aden, Port Said, Marseille, Gibraltar, dan lain-lain. Laporannya memikat karena Adi Negoro menggabungkan cerita sehari-hari dengan acuan berbagai bacaan klasik, dari antropologi hingga theologi, dari sejarah hingga filsafat.

Salah satu tempat pemberhentiannya adalah pelabuhan Sabang di Pulau Weh, di ujung Sumatra, ketika kapal Tambora berhenti untuk mengisi bahan bakar batubara. Adi Negoro berkeliling Sabang dan membandingkan Sabang dengan Singapura milik Inggris yang baru saja disinggahinya.

“Tapi kalau menilik kepada pelabuhan saja, Sabang lebih bagus dari Singapura. Hanya perkara letaknya saja kurang baik. Biarpun pemerintah Belanda menjadikan Sabang satu pelabuhan bebas, tiadalah akan seramai Singapura, sebab letaknya jauh dari pusat perdagangan di Asia Timur.”

Dia juga menulis sedikit sejarah Sabang. Menurut Adi Negoro, Belanda menguasai Sabang sejak 1887. Sabang Maatschappij, sebuah perusahaan swasta, diberi wewenang untuk mengelola pelabuhan bebas tersebut, sekaligus membangun dermaganya antara 1896 dan 1911. Ia dilengkapi dengan dok perbaikan kapal seberat 2.600 ton. Ia juga punya empat derek raksasa untuk menaikkan batubara ke kapal-kapal yang berhenti di Sabang, dari Eropa, Cina, Jepang, Singapura, Batavia, dan sebagainya. Pada 1924, perusahaan ini membangun dok lagi, seberat 5.000 ton, untuk meningkatkan kapasitas perbaikan kapal.

“Penduduk Sabang hidup terutama sekali karena pelabuhan itu. Kampung Tionghoa dekat pelabuhan itu penuh dengan toko-toko dan warung-warung makanan. Di belakang tempat membongkar batubara adalah tangsi kuli. Di tepi laut berdiri kantor-kantor maskapai kapal Rotterdamsche Llyod dan Maatschappy Nederland,” tulisnya.

Apa yang tak diungkap buku itu adalah Sabang sebagai bagian dari Aceh –sebuah wilayah yang melawan pendudukan Belanda antara 1876 dan 1904. Belanda membangun Sabang bukan hanya karena minat dagang tapi juga untuk menjinakkan orang Aceh. Entah mengapa Adi Negoro tak menyentuhnya.

Juni lalu, saya naik speedboat selama satu jam dari Banda Aceh menuju Sabang. Dermaga Sabang ternyata cantik sekali dengan perahu-perahu nelayan. Di pinggiran dermaga ada gudang-gudang beratapkan seng. Depan pelabuhan ada masjid dengan kubah mengkilat, menara warna putih hijau, juga rumah-rumah yang belum sepenuhnya selesai dibangun. Saya ingin melihat apa yang sekitar 80 tahun lalu jadi kekaguman Adi Negoro. Di luar pelabuhan ada jalan kecil dan 300 meter lagi ada kawasan “Kampung Tionghoa” di Jalan Perdagangan.

Di luar pelabuhan, seorang pengemudi becak mesin mendekati saya dan menawarkan tumpangan.

“Ini pohon apa, Pak?” tanya saya.

“Pohon morai. Ada 300 tahun. Sudah tua,” kata Liyan Ramli, pengemudi becak itu. 

“Ada yang lebih besar lagi di depan (kantor) walikota. Berderet tuh. Ada 300 tahun.”

Sabang memang hijau. Nama Latin tumbuhan ini adalah Pithecellobium dulce. Ia banyak ditemukan di Thailand, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan konon asalnya dari Amerika Tengah. Dalam bahasa Inggris disebut guayamochil atau Manila tamarind. Di Indonesia disebut dengan beberapa nama: Asam Belanda, Asem Londo, asam koranji.

Pada zaman Adi Negoro, Singapura lebih besar dari Sabang, tapi perbedaannya kontras sekali hari ini. Singapura kini salah satu pelabuhan laut tersibuk dan termodern di dunia sedang Sabang, ironisnya, jadi mengecil, bahkan makin kurang pelayanannya dibanding 1926. Singapura sekarang berpenduduk empat juta orang sedang Sabang hanya 22.000.

Walikota Sabang Sofyan Haroen mengatakan pada saya bahwa pada zaman Belanda, Sabang memiliki dermaga dengan panjang total 2.700 meter. Sekarang hanya 572 meter. “Artinya kita mundur 100 tahun,” kata Sofyan.

Ketua DPRD Sabang Husaini berujar, “Djubir Sahi, ketua Badan Pengelola Kawasan Sabang, sering menunjukkan foto Sabang zaman Belanda di mana pada Teluk Sabang ini bisa menampung hingga 60 kapal. Sekarang berapa? Pemerintah kurang memberi perhatian pada Sabang. Dulu derek peti kemas yang pertama ada di Sabang –sebelum ada di Singapura, Jakarta atau Surabaya.”

Keluhan ini makin menjadi-jadi terutama karena Presiden Soeharto membubarkan status pelabuhan bebas Sabang pada 1985 dengan alasan banyak “penyelundupan” --walau tuduhan ini dibantah warga Sabang termasuk Sofyan Haroen dan Husaini. Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan status bebas ini tiga tahun lalu.

Saya mengunjungi Sabang bukan hanya karena kecantikan atau kekalahannya dari Singapura. Sabang memainkan peran penting dalam pemikiran politik warga Indonesia. Sabang terletak di ujung paling barat Republik Indonesia dan nama “Sabang” sendiri disebut dalam lagu nasional “Dari Sabang Sampai Merauke.” Liriknya mengatakan Indonesia terdiri dari pulau-pulau, dari Sabang sampai Merauke, tapi merupakan satu kesatuan. Semua anak sekolah tahu menyanyikan lagu ini.

Frase "Sabang-Merauke" ini juga sering disebut tiap kali Jakarta menghadapi pemberontakan daerah, termasuk Aceh dan Papua, yang benihnya bersemai puluhan tahun lalu tapi memanas lagi sesudah jatuhnya Soeharto pada Mei 1998. Pemberontakan Aceh jadi terlihat paling serius sesudah Indonesia kehilangan Timor Timur dalam referendum Perserikatan Bangsa-bangsa pada September 1999. Timor Timur sudah merdeka. Masakan Aceh dibiarkan merdeka? Presiden Megawati Soekarnoputri, yang menggantikan Wahid, akhirnya menyatakan darurat militer untuk Aceh sejak 19 Mei lalu. Keputusan ini tampaknya cukup populer mengingat meningkatnya rasa kebangsaan di Indonesia. 


Hari kedua di Sabang, saya menyewa sepeda motor dari Losmen Sabang Merauke untuk mengunjungi sebuah monumen di Ujong Batu, sekitar 30 km dari Sabang, yang disebut Monumen Republik Indonesia Kilometer Nol. Monumen ini simbol dari kesatuan wilayah Indonesia.

Ketika tahu tujuan saya, si pemilik motor kuatir dan minta seorang kawannya menemani. Bagaimana pun Sabang adalah wilayah konflik Aceh. Setiap hari ada berita warga Aceh meninggal tertembak. “Apa ada GAM?” tanya saya. Dia bilang tak ada tapi kita harus hati-hati. Saya dengan sopan menolak tawarannya. Saya ingin punya privacy. Saya ingin menikmati kesendirian saya.

GAM singkatan “Gerakan Aceh Merdeka” –sebuah jaringan gerilyawan yang mengupayakan pemisahan Aceh dari Jakarta. Kehadiran mereka sebenarnya tak begitu terasa di Pulau Weh walau polisi bilang di pulau ini ada “20 GAM benaran” dengan empat pucuk senjata api.

Tapi ada rasa kuatir begitu saya keluar dari Sabang. Saya melihat instalasi listrik dijaga polisi. Saya juga berpapasan dengan satu truk tentara, bersenjata lengkap, berseragam rimba, dan berjaket anti peluru. Seram. Mukanya dicoreng-coreng. Makin jauh dari Sabang, makin saya memasuki daerah pedesaan.

“Kilometer Nol mana Bu ya?” tanya saya pada dua orang perempuan desa.

“Masih jauh. Ikuti saja jalan ini sampai ujung.”

Saya teruskan dan daerahnya makin lama makin sepi. Pantai Iboih. Hutan wisata. Pohon-pohon tinggi. Ada pakis-pakisan, kuping gajah, bunga hutan warna merah, dan daun-daun kering menutupi badan jalan. Sempat juga bertemu serombongan monyet bermalas-malasan di pinggir jalan hutan. Mereka kaget melihat saya. Sebaliknya bulu kuduk saya merinding. Habis sepi sekali! Monyet terbesar duduk mengangkang sehingga penisnya kelihatan.

Menjelang puncak, saya melewati pos militer. Dua tentara dari Pasukan Khas Angkatan Udara menghentikan saya dan sopan minta kartu identitas. Saya jelaskan bahwa saya seorang wartawan dengan surat izin lengkap. Semua dokumen beres. Kami pun mengobrol. “Apa tidak bosan tiap hari hanya berdua di tempat terpencil begini?”

“Waktu kita ya jaga saja. Ya gini-gini saja. Baca koran,” kata Prajurit Satu Wahyu Hanes. 

Rekannya, Prajurit Satu Sutrisno, mengatakan mereka tiba dari Malang, Jawa Timur, dan ditempatkan di Pulau Weh sejak Desember 2002. Belum pernah ada "kontak senjata." Mereka bahkan jarang bertemu orang. Pengunjung hanya datang pada hari libur. Seorang turis Jerman bahkan mengunjungi mereka beberapa hari sebelumnya dengan bersepeda.

“Waktu baca koran tentang orang Jerman yang tertembak, saya pikir jangan-jangan dia,” kata Sutrisno, mengacu pada Luther Hendrick Albert Engel, seorang pengembara Jerman, yang tertembak mati oleh sembilan tentara Indonesia ketika berkemah di sebuah pantai di Aceh bagian barat seminggu sebelumnya. Engel hendak tidur di pantai bersama istrinya. Mereka dikira gerilyawan dan langsung ditembak. Pemerintah Jerman maupun Indonesia menyimpulkan peristiwa tersebut kecelakaan.

Empat kilometer kemudian tampak sebuah papan berbunyi, “Anda memasuki kawasan KM Nol Negara Republik Indonesia.” Saya terpesona. Pemandangan cantik sekali. Sejauh mata memandang hanya laut biru, ombak tenang, tak ada pulau satu pun, dan di kejauhan terlibat sebuah kapal kayu mungil. Suara angin laut menderu-deru. Tempatnya sepi dan indah, terletak di balik sebuah bukit, dalam sebuah kawasan hutan lindung di ujung Pulau Weh. Ibaratnya, selembar surga ditanamkan di muka bumi. Saya jatuh cinta dengannya. Ada perasaan tenang, sendu, dan teduh.

Tempat ini modelnya melingkar dengan diameter sekitar satu kilometer. Di tengah ada monumen berwarna putih. Di puncaknya terdapat angka “0” (nol). Ada prasasti marmer hitam yang menunjukkan posisi geografis tempat ini: Lintang Utara 05 54’ 21,99’’ Bujur Timur 95 12’ 59,02.’’

Inilah kilometer pertama Republik Indonesia.

Saya duduk dan berpikir. Apa makna Indonesia di tempat sesepi ini? Nasionalisme macam apa yang diinginkannya? Apa makna simbol ini ketika begitu banyak warga Indonesia, dari Aceh hingga Papua, dari petani hingga gerilyawan, dari aktivis hingga pengusaha, melawan apa yang mereka anggap sebagai ketidakadilan dari Jakarta? 

Di Sabang, saya lihat banyak tempat diberi nama keindonesiaan-indonesiaan. Ada “Stadion Sabang Merauke” atau “Yayasan Sabang Merauke” yang mengelola “Taman Kanak-kanak Malahayati” bahkan warung telekomunikasi “Sabang Merauke” –pemberian nama yang seakan-akan menggambarkan ada ikatan emosional antara semua warga “Sabang” dan semua warga “Merauke” nun jauh di Papua, ujung timur Indonesia.

Tapi jika hubungan itu ada, mengapa ada pemberontakan besar di seluruh Aceh? Mengapa banyak orang Aceh, setidaknya menginginkan “otonomi khusus” atau bahkan “kemerdekaan” dari Jakarta? Mengapa banyak warga Sabang macam Liyan Ramli, atau pedagang perabot rumah Nyik Siti Absyah, atau penjual roti Su Sien Jin, merasa getir dengan keputusan Jakarta mencabut status pelabuhan bebas Sabang pada 1985?

Dalam buku klasiknya, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, ilmuwan politik Benedict Anderson mengatakan bahwa “negara-bangsa” adalah sebuah pemahaman tentang komunitas maya. Sebuah komunitas yang sebenarnya adalah sebuah tempat di mana warganya tahu sebagian besar warga lain. Dalam “negara-bangsa,” bahkan seumur hidup pun, seorang warga negara tak tahu sejumlah besar warga lainnya.

Tapi justru itulah letak daya gaib nasionalisme. Liyan Ramli mengatakan dia tak pernah membayangkan kota Merauke. “Saya cuma pernah Jakarta, Jambi, Banda Aceh, dan Sabang,” katanya. Namun lewat media, termasuk lagu “Dari Sabang Sampai Merauke,” orang-orang macam Liyan ini mendapatkan semacam perasaan saling memiliki. “Bangsa” adalah sebuah proses, bukan sebuah produk. Proses inilah yang tampaknya kurang kita perhatikan. Kesibukan melakukan “pembangunan” dan mengatur semuanya dari Jakarta, membuat proses ini terbengkalai, sehingga nasionalisme lama yang ada bukannya membesar tapi mengecil. Hujan pun turun rintik-rintik.

Entah kebetulan, dalam kesendirian di tempat terpencil ini, saya berjalan-jalan sekitar monumen dan menemukan bahwa sebuah patung Garuda Pancasila sudah terlempar jatuh dari lambang tanduk angka “0.” Tak ada lambang keindonesiaan lagi di sana. Apa ini sebuah pertanda gaib keruntuhan Republik Indonesia? Ketika turun ke Sabang, saya juga sadar bahwa nama “Sabang-Merauke” buat Liyan Ramli hanyalah berarti pangkalan becak mesin depan Losmen Sabang Merauke. Hanya itu. 

“Bapak bisa mencari saya di sana,” kata Liyan. 

Praktis. Tidak lebih tidak kurang. Daya gaib nasionalisme terkadang bisa menyusup hingga jauh ke dalam ruang bawah sadar manusia. Nasionalisme adalah sebuah proses menjadi “bangsa” yang justru jadi gamang ketika merasa tujuannya sudah tercapai.


KALAU Anda mau meliuk-liuk di jalanan lintas Aceh yang mulus, Anda dengan mudah menghabiskan waktu hampir tiga jam untuk menempuh jarak 160 km dari Banda Aceh ke kampung Tiro di daerah Pidie. Kampung ini adalah jantung perlawanan Gerakan Aceh Merdeka. Tempatnya tenang, pemandangannya dipenuhi rumah-rumah kecil, pagar bambu, pohon kelapa, tapi juga beberapa lubang besar menganga di tengah jalan akibat ledakan bom. Karung pasir dan tentara Indonesia terlihat berjaga-jaga di banyak tempat.

Saya datang ke sana suatu pagi Juni lalu, bersama seorang sopir dan Murizal Hamzah, seorang wartawan Aceh yang bekerja sebagai fotografer Associated Press. Murizal putra Aceh. Orangnya suka bicara. Dia praktis memberi saya kuliah sepanjang perjalanan tentang bagaimana caranya masuk ke daerah operasi militer: Selalu lapor ke pos militer terdekat; Buka kaca mobil lebar-lebar; Jangan pernah pakai mobil dengan kaca gelap.

"Dan jangan pernah pakai Toyota Kijang tua. Kita bisa dikira SGI,” kata Murizal, mengacu pada sebuah unit intelijen militer yang anggota-anggotanya biasa bekerja dengan Toyota Kijang tua.

Ketika saya mulai mewawancarai orang di Sakti, sebuah kota dekat Tiro, dia mengingatkan saya agar tak menyapa warga setempat dengan “Mas.” Kita sebaiknya memanggil mereka “Bang” atau “Abang.” Agak kaget tapi saya menangkap maksudnya. Ada sentimen terhadap Jawa –sebuah kelompok etnik yang dominan di Indonesia—di antara para pendukung GAM. “Mas” dianggap sebagai lambang kejawaan. Saya tentu saja tak setuju karena “Mas” cukup lazim dipakai oleh etnik lain. Ternyata beberapa penduduk desa memang menolak menjawab ketika saya memakai kata tersebut atau menjawab dalam bahasa Aceh!

Kami menuju dusun Tanjung Bungoeng di Malichot untuk mengunjungi Aisyah Muhammad, saudara tiri dan satu-satunya saudara Hasan di Tiro, pendiri Gerakan Aceh Merdeka. Aisyah tinggal di sebuah rumah besar bergaya tradisional Aceh. Halamannya luas. Ada antena parabola menyembul dari atap rumah.

Tapi Aisyah tak ada di rumah. “Beliau sedang pergi. Mungkin beliau akan menginap semalam,” kata Muhammad Abubakar, seorang petani, yang kelihatan tampil sebagai tokoh di kampung itu. 

Abubakar menambahkan bahwa Aisyah seorang janda dan membiarkan rumahnya terbuka bagi warga desa. Ada belasan anak bermain dalam rumah. Aisyah seorang guru mengaji, mengajarkan Islam kepada anak muda dan bagaimana membaca Al Qur’an.

Ketika saya bertanya padanya tentang Hasan di Tiro, Abubakar mengatakan bahwa Hasan memang lahir di Malichot tapi belajar mengaji di Tiro. Hasan adalah cucu Teuku Chik di Tiro—seorang pemimpin Aceh yang dulunya berjuang melawan Belanda. Teuku Chik di Tiro diakui sebagai “pahlawan nasional” Indonesia tapi cucunya dianggap seorang “pengkhianat” Indonesia.

“Saya sekarang umur 55 tahun dan Wali (hampir) 80 tahun sekarang. Belum sekali pun saya bertemu dengannya,” kata Abubakar, mengacu pada Hasan di Tiro yang disebut “Walinegara” di kalangan pejuang GAM.

Saya tak terlalu kaget melihat besarnya rasa hormat warga Malichot terhadap Hasan di Tiro walau pemerintah Indonesia sering mendiskreditkannya. Hasan lahir pada 1930 dan tumbuh sebagai di Tiro —keluarga berdarah biru di Aceh. Hasan menulis bahwa tak kurang dari 10 orang kerabatnya —enam di antaranya bergelar Sultan— gugur di medan perang melawan Belanda. Sultan terakhir adalah pamannya, Tengku Tjhik Maat di Tiro, yang berusia 16 tahun ketika ia memilih berperang dan mati ketimbang bersepakat dengan Belanda.

Kisah keluarga ini dimulai seabad sebelumnya. Ironisnya, bukan dari Aceh tapi dari London, ketika Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda menandatangani Traktat London pada 1824. Perjanjian itu antara lain membagi wilayah kolonialisme mereka: Semenanjung Malaya untuk Inggris dan Pulau Sumatra untuk Belanda. Namun masalah perdagangan di Sumatra jadi bahan debat karena Inggris curiga Belanda punya niat menghalangi kegiatan dagang Inggris di Sumatra. Akhirnya, mereka sepakat mengakui kedaulatan Kesultanan Aceh.

Waktu itu Aceh menguasai sebagian besar pasaran rempah-rempah. Belanda belakangan khawatir dengan upaya diplomasi Kesultanan Aceh dengan negara-negara Barat lain. Sebuah perjanjian baru Inggris-Belanda ditandatangani pada 1871 yang memberi Belanda kekuasaan lebih banyak atas Sumatra, termasuk Aceh. Dua tahun kemudian, adanya pembicaraan antara konsul Amerika Serikat di Singapura dan diplomat-diplomat Aceh memberi alasan bagi Belanda untuk menyerang Aceh. Kapal-kapal perang Belanda mengebom ibukota kesultanan, Banda Aceh, dan pasukan Belanda menduduki tanah itu.

Istana dirampas dan Sultan gugur. Belanda membuat perjanjian dengan sultan baru, yang mau mengakui kedaulatan Belanda atas wilayah tersebut. Namun ia tak bisa meredakan kegusaran rakyatnya dan Belanda pun mulai terlibat dalam perang gerilya di seluruh negeri. Perang ini menguras uang dan menimbulkan protes di negeri Belanda.

Pemerintah Belanda sadar bahwa ketidaktahuan mereka terhadap Aceh menimbulkan masalah serius bagi mereka sendiri. C. Snouck Hurgronje, seorang profesor kajian Islam di Universitas Leyden, lalu diundang khusus untuk memberikan masukan bagi pemerintah Belanda. Hurgronje bikin penelitian dan belakangan menerbitkan sebuah buku tentang Aceh pada 1894. Sebuah “strategi benteng,” yang dibuat untuk memperlemah para gerilyawan, kemudian dipakai di Aceh.

Di bawah kepemimpinan Joannes Benedictus van Heutsz, yang jadi gubernur militer Aceh sejak 1899, strategi ini membuat posisi kesultanan melemah. Tuanku Muhamat Dawot menyerahkan Aceh ke pemerintah Belanda pada Januari 1903. Van Heutsz menaklukkan seluruh wilayah Aceh pada 1904.

Namun, perang gerilya dalam skala kecil masih sering terjadi. Hasballah Saad, seorang tokoh Aceh yang pernah jadi menteri pada kabinet Presiden Abdurrahman Wahid, berujar pada saya bahwa pada 1930-an masih sering terjadi pertempuran di Aceh. 

“Saya seumur hidup hampir tidak pernah melihat ada masa damai di Aceh,” kata Hasballah.

Setelah Perang Dunia II, Belanda menyerah dan mengembalikan wilayah jajahan kepada Republik Indonesia, negara baru yang berpusat di Pulau Jawa. Kaum nasionalis Aceh mengatakan tindakan tersebut ilegal: Belanda tak punya hak menyerahkan wilayah yang bukan milik mereka. Tapi Daud Beureueh, salah seorang tokoh ulama Aceh, memutuskan untuk mendukung republik baru ini. Ia menggerakkan warga Aceh untuk menyumbangkan uang dan perhiasan mereka untuk membeli dua pesawat terbang pertama Indonesia. Sebagai gantinya Presiden Soekarno menjanjikan akan memberikan status otonomi kepada Aceh. Soekarno tak menepati janjinya. Pada 1953, Beureueh mengambil langkah melawan Jakarta dan berlanjut sampai 1961 ketika Aceh diberi otonomi khusus dan Beureueh menghentikan perlawanannya. Beureueh meninggal pada 1987.

Hasan tak mengalami pergolakan tersebut. Pada 1951, sebagai seorang anak muda, ia meninggalkan Aceh dan pergi ke New York. Ia konon membantu membeli senjata untuk Beureueh. Setelah lulus dari Columbia University, ia berbisnis dengan mewakili perusahaan-perusahaan Amerika Serikat yang terlibat perdagangan minyak, ternak, dan perkapalan.

Pada 1974, Hasan meninggalkan istrinya, seorang Amerika, dan anak mereka di New York, serta kembali ke tanah kelahirannya. Ia menemui Gubernur Aceh Muzakkir Walad di Banda Aceh dan menawarkan kemungkinan ia terlibat dalam pengelolaan hutan atau kontrak dengan Exxon Mobil, perusahaan Amerika yang mengelola lahan gas alam di Aceh—salah satu yang terbesar di dunia. Hasballah Saad hadir pada pertemuan itu. 

“Muzakkir mengatakan ia tak bisa berbuat apa-apa karena keputusan dibuat dari Jakarta,” kata Hasballah.

Sejak masuk ke panggung kekuasaan pada 1965, Presiden Soeharto memang menjalankan Indonesia dengan sentralistis. Semua hal diputuskan dari Jakarta. Ia merekrut para ekonom lulusan Amerika yang menerapkan sistem ekonomi bebas tapi terencana. Soeharto juga menguasai militer untuk melakukan represi terhadap apapun yang dianggapnya mengganggu “stabilitas nasional.” Rezim Orde Baru mengontrol hampir semua sudut kepulauan Indonesia. Ada lelucon yang mengatakan bahwa hampir semuanya menunggu persetujuan Jakarta bahkan untuk membeli selembar buku tulis!

Hasan di Tiro berpikir bahwa tak ada gunanya berunding dengan Jakarta. Ia menemui orang-orang yang seide dengannya. Mereka mulai membangun organisasi pemberontakan dan masuk ke hutan. Hasan juga memperkenalkan konsep “bangsa Aceh” sebagai lawan dari “bangsa Indonesia.” Ia memandang orang Jawa sebagai musuh historis orang Aceh. Untuk telinga orang Indonesia, mungkin janggal mendengar frase “bangsa Aceh” karena konsep Indonesia sebagai sebuah bangsa, bukannya Aceh, sudah dianggap sesuatu yang final setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Hasan di Tiro tidak sepakat dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada 4 Desember 1976.

Dalam buku hariannya, The Price of Freedom, yang ditulis selama masa dua tahun yang ia habiskan di hutan-hutan Aceh, Hasan di Tiro mengingat pengalamannya tinggal di antara kera, lari dari kejaran “tentara Jawa,” menghindari ular, dan laba-laba sembari memutar lagu-lagu kesukaannya: Johann Sebastian Bach dan Antonio Vivaldi.

Ketika tentara menyerang kampnya, kakinya terserempet peluru. Ketika kiriman makanan tertahan, ia melewatkan beberapa hari hidup di hutan tanpa makan. Tapi sebagian besar waktunya adalah untuk memimpin revolusi dari dalam hutan dan menyiapkan materi propaganda nasionalisme Aceh melalui tulisan-tulisannya. 

“Kita tidak dilahirkan untuk menjadi budak siapa pun.”  

“Kita hidup sebagai manusia bebas atau lebih baik mati.”

Pada 1979, Hasan sudah berhasil membentuk sebuah organisasi kebangsaan, mendirikan pemerintahan bayangan, dan menunjuk pejabat-pejabat di cukup banyak daerah Aceh. Namun tak mudah baginya untuk mendapat senjata. Pemberontakannya juga tak mendapat dukungan internasional.

Hasan lalu pindah ke Swedia, negara yang menawarkan suaka bagi sekelompok kecil pengungsi Aceh, dan menjadi warga Swedia pada 1985. Ia memutuskan mencari bantuan dari Libya untuk melatih gerilyawannya. Namun tindakan itu tetap tak membuat gerakannya didukung negara-negara lain. Pada 1989, keberhasilan alumni Libya membuat Soeharto memerintahkan operasi militer. Operasi ini baru berhenti ketika Soeharto tumbang dari kekuasaan pada Mei 1998 dan lebih dari 10.000 orang Aceh terbunuh.

Operasi ini meliputi pengintaian, kegiatan mata-mata, pos pemeriksaan, jam malam, penggeledahan rumah, dan penangkapan secara besar-besaran. Antara 1989 dan 1990, beberapa organisasi hak asasi manusia sudah melaporkan penahanan banyak warga sipil, penyiksaan, penangkapan, dan pembunuhan.

Rumah-rumah Aceh banyak digeledah, dibakar, dan wanita dijadikan sandera atau dilecehkan secara seksual. Pada pertengahan 1990-an, tindakan tentara Indonesia makin menjadi-jadi. Disiplin rendah, biaya kurang, serta kebijakan yang kabur membuat pelanggaran hak asasi manusia makin meningkat. Akibatnya, banyak terjadi pengungsian di Aceh, baik secara internal maupun mereka yang melarikan diri ke Malaysia.

Setelah Soeharto jatuh, banyak warga Aceh berharap Indonesia bakal kocar-kacir dan provinsi mereka memperoleh kemerdekaan, namun Jakarta bersikeras bahwa Republik Indonesia ini tak boleh pecah apalagi setelah Indonesia kehilangan Timor Timur. Dukungan kepada para gerilyawan Aceh terutama terasa di daerah pedesaan, di mana ada keluarga-keluarga yang sudah terlibat dengan gerakan perlawanan dari generasi ke generasi. 

“Kami merindukan Wali. Kami ingin melihat Wali kembali ke tanah airnya,” kata Muhammad Abubakar.

Ibrahim Alfian, seorang ilmuwan Aceh dan dosen Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan Aceh adalah "bagian sah" dari Indonesia. Dia pernah terlibat dalam debat dengan tokoh-tokoh GAM di Washington DC pada 1999. 

"Saya tegaskan, berdasar Maklumat Ulama Seluruh Aceh tertanggal 15 Oktober 1945, wilayah Aceh sejak itu telah dinyatakan menyatu ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Kalau sekarang ini ada yang ingin merdeka dan mencoba memisahkan diri, seperti yang dia lakukan, mereka jelas tidak tahu sejarah. Menurut masyarakat Aceh, mereka yang mengabaikan seruan para ulama diberi istilah pengkhianat, tidak bisa lain," katanya kepada harian Kompas.

Ibrahim juga mempertanyakan integritas Hasan di Tiro. "Bagaimana mungkin orang Aceh percaya kepada the-so-called Walinegara kepada Hasan Tiro yang telah menikah dengan perempuan asing? Yang benar saja, masa Ratu Aceh orang asing dan pewaris takhtanya keturunan asing?"

Beberapa kilometer dari Malichot, saya mengunjungi sebuah pos militer Indonesia di kecamatan Tiro, di mana lima dasawarsa sebelumnya, Hasan di Tiro setiap sore kemungkinan besar melewati jalan itu untuk belajar mengaji. Karung pasir menutupi hampir seluruh pos tersebut yang dibangun di atas reruntuhan sebuah bangunan.

Komandannya, Letnan Dua Eka Andang, duduk dengan belasan anak buahnya. Sebagian memakai seragam loreng, lainnya hanya dengan kaos warna hitam. Sembari bercanda dan bercakap-cakap dengan saya, jejari mereka tetap menempel di pelatuk senapan atau pistol.

Selemparan batu dari pos penjagaan ini terdapat sebuah kedai kopi di mana warga desa bicara dengan suara berbisik dan menghirup kopi. Dekat pos terdapat sebuah sekolah –satu-satunya yang tak dibakar dalam serangkaian pembakaran sekolah setelah Megawati mendeklarasikan darurat militer 19 Mei lalu.

Eka mengatakan mereka tiba dari barak mereka di Bogor, Jawa Barat, dan menjaga pos ini pada 8 Mei. Seminggu kemudian mereka diserang. “Itu terjadi setelah shalat magrib. Mereka menyerang kami dari tiga arah yang berbeda.” Pertempuran terjadi dari pukul 9 malam hingga pukul 11.30. Para penyerang menggunakan grenade launching machine dan melemparkan 20 granat ke pos. Hanya tiga granat yang meledak. Beruntung tak ada yang terbunuh.

“Kami hitung. Kami tidak takut. Tapi kami tidak bisa hanya dor dor dor …,” kata Eka. Rekan-rekannya setuju. 

“Satu granat meledak dekat gerbang ini,” ujar Sersan Dua Asep Setiaman, “yang satunya di sungai dan yang lainnya di gedung sekolah.” 

Asep menambahkan bahwa serangan itu dipimpin oleh tokoh GAM yang dikenal sebagai “Achmad Provost.”

“Ia ketinggalan handy talkie Kenwood-nya. Saya khan biasa bicara dengan mereka lewat radio. Saya maki-maki untuk bikin mereka bicara,” kata Asep.

Eka mengatakan hambatan terbesarnya adalah membujuk warga setempat cerita siapa para gerilyawan itu. “Kadang-kadang mereka juga diancam GAM. Kami berusaha untuk akrab dulu. Ini butuh waktu. Benar ini butuh waktu. Menurut saya, perang ini seharusnya tidak terjadi. Kita ini khan saudara. Coba lihat (warna) kulit kita.”

Setelah mengobrol dengan para tentara itu, Murizal Hamzah dan saya pergi ke kedai kopi tempat dimana sopir kami menunggu. Keheningan merebak ketika kami masuk kedai. Semua orang memperhatikan kami. Murizal memecahkan kebekuan dengan bercakap dalam bahasa Aceh. Murizal menerangkan kami wartawan dan ingin minta pendapat mereka.

Beberapa warga mengatakan mereka trauma dengan suara tembakan. “Ini sudah terjadi bertahun-tahun. Dulu kita bisa pergi ke mana pun kita mau,” kata seorang petani, Muhammad Husin, sambil menambahkan bahwa suatu malam ia harus memeluk anak bungsunya ketika para gerilyawan menyerang pos yang dijaga Eka. “Anak saya menangis keras. Kami ketakutan.”

Sapari, petani lain yang juga duduk di sana, mengatakan mereka sekarang tak berani pergi ke sawah. “Tak ada orang yang melarang kami pergi ke sawah. Hanya menakutkan,” katanya.

Beberapa anak muda bergabung dengan kami dan Murizal memberi isyarat kepada saya. Belakangan di dalam mobil, Murizal mengatakan beberapa dari mereka yang ada di kedai kopi itu kemungkinan anggota GAM.

Ketika kami meninggalkan Tiro, dengan hati masih berdebar dan dengan jendela kaca yang masih harus terbuka, saya menyadari bahwa perang ini, antara Jakarta dan Aceh, akan jadi perang gerilya yang berkepanjangan –perang yang sama yang dihadapi J.B. van Heutsz seabad lalu.

Ini adalah perang tanpa medan pertempuran. Semuanya terlihat begitu tenang dan kehidupan berjalan begitu wajar. Tapi setiap desa, setiap sekolah, setiap kedai, dengan cepat dapat berubah menjadi medan tempur.


PADA suatu pagi yang cerah akhir Juni lalu, saya berkunjung ke kampus Universitas Syiah Kuala di Darussalam, pinggiran Banda Aceh, mengunjungi Hakim Nyak Pha, direktur Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Syiah Kuala yang didirikan awal 1970-an dengan dukungan Ford Foundation. Hakim orang terpelajar. Dia menyelesaikan pendidikan hukum di Prancis dan memperoleh gelar Ph.D dari l’ Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) di Sorbonne, Prancis, pada 1985. Ia pernah diundang bersama lima cendekiawan Aceh lainnya oleh Henri Dunant Center untuk bertemu dengan Hasan di Tiro di Geneva. Mereka mendorong para pemberontak dan pemerintah Indonesia untuk berunding. Kantor Hakim berada di sebuah gedung dua lantai. Perawakannya gemuk pendek. Sebagian kepalanya sudah tak ditumbuhi rambut lagi. Ia lelaki riang dan suka bercanda, tapi sebagai peneliti ilmu sosial, ia memberikan kesan sebagai seseorang yang berdedikasi.

Tapi hati saya jadi kecut melihat gedung ini. Sebagian catnya terkelupas. Saluran air di lantai dua tak bekerja. Retak dan lubang terlihat jelas di dinding. Di lantai dua, ada sebuah perpustakaan kecil yang dilengkapi dengan hasil penelitian dengan berbagai teks klasik tentang Aceh seperti buku Snouck Hurgronje berjudul The Achenese (terbitan 1906 Leyden) atau buku Henri Carel Zentgraaf berjudul Aceh (1938). Tapi hampir tak ada koleksi baru. Rak-rak buku pun juga tua dan sudah tak sanggup lagi menyimpan berbagai dokumen dan kertas yang ada.

“Kekurangan dana,” kata Hakim getir. Dia mengatakan sumber dana pusat pelatihan ilmu sosial ini mulanya dari Ford Foundation tapi sekarang semuanya dari Universitas Syiah Kuala yang kemampuan dana dan manajemennya terbatas. 

“Kami tak sanggup lagi mengundang ahli dari luar. Kami bekerja dengan apa yang mungkin saja, dengan apa yang kami punya.” Dana rutin mereka setahun kini hanya Rp 80 juta.

Jika tak punya uang kenapa tak ditutup saja? 

Hakim mengatakan tempat itu masih dibutuhkan untuk melatih dosen muda dari berbagai perguruan tinggi atau birokrasi pemerintahan di Aceh. Mereka berusaha berlatih walau hasilnya “tidak sempurna.”

Ide mendirikan lembaga ini berawal ketika John J. Bresnan, wakil Ford Foundation di Jakarta pada awal 1970-an, menyimpulkan bahwa Indonesia membutuhkan lebih banyak ilmuwan sosial. Ini ada latar belakangnya. Ford Foundation sejak 1950-an membantu melatih para ekonom Indonesia belajar ilmu ekonomi di Amerika Serikat. Mereka belakangan punya pengaruh besar dalam mengatur kebijakan ekonomi Indonesia. Para kritikus menyebut mereka “Mafia Berkeley”—merujuk pada fakta bahwa banyak dari mereka, termasuk Widjojo Nitisastro, orang yang mengepalai Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, belajar di University of California di Berkeley.

Pada awal 1970-an, kritisi menilai faktor ekonomi tak cukup untuk pembangunan nasional di Indonesia. Faktor “non ekonomi” harus diperhatikan dan lahirlah ide perlunya lembaga pelatihan ilmu-ilmu sosial.

Pada 1971, ketika mengunjungi Chicago, Bresnan bertemu dengan antropolog Clifford Geertz dari Princeton University. Bresnan minta Geertz membuat proposal tentang bagaimana mengembangkan ilmu sosial di Indonesia. Geertz saat itu baru saja selesai menulis bukunya The Religion of Java. Geertz setuju datang ke Indonesia untuk melakukan penelitian. Geertz hanya minta biaya perjalanannya ditanggung. 

“Geertz saya minta karena saya menganggapnya ilmuwan sosial terbaik dari semua kenalan yang saya punya. Ia menghabiskan waktu selama dua bulan di Indonesia dan kemudian pada bulan Agustus ia menulis di daerah pengunungan New England,” kata Bresnan kepada saya.

Geertz menyerahkan proposal 30 halaman. Dia menggambarkan kurangnya dana dan pelatihan di bidang ilmu sosial di Indonesia. Ia menyarankan Ford Foundation mendirikan sebuah pusat penelitian untuk ilmuwan sosial di Indonesia. Geertz menyarankan lembaga pertama didirikan di luar Jawa. Geertz juga menyarankan proyek tersebut dipimpin oleh dua orang: satu dosen internasional dan lainnya ilmuwan sosial Indonesia.

Proposal itu didiskusikan di kalangan ilmuwan sosial, Indonesia maupun internasional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendukung saran Geertz dan sebuah yayasan dibentuk untuk proyek ini. Tiga univesitas lokal melamar jadi tuan rumah: Syiah Kuala di Aceh, Padang di Sumatra Barat, dan Makassar di Sulawesi Selatan. Madjid Ibrahim, saat itu rektor Univeritas Syiah Kuala, berjanji akan menyediakan asrama dan gedung kantor jika proyek tersebut diberikan padanya. Gubernur Aceh Muzakkir Walad juga menunjukkan dukungannya pada proyek ini.

“Pada waktu itu Aceh lagi bagus-bagusnya. Syiah Kuala sangat berpengaruh di Aceh. Gubernur dan beberapa bupati direkrut dari dosen,” ujar Taufik Abdullah, ketua Yayasan Ilmu-ilmu Sosial di Jakarta, yang membantu Ford Foundation menjalankan program ini. Aceh singkatnya terpilih menjadi pelaksana program ini.

Pada 1974, pusat penelitian ini dimulai di Universitas Syiah Kuala. Koordinator pertama adalah Dr. Alfian, sejarahwan asal Solok, Minangkabau, yang belajar di University of Wisconsin, dan Stuart Schlegel, antropolog budaya Amerika yang menguasai grounded theory serta menaruh perhatian pada Filipina dan Indonesia.

Duabelas peserta pertama direkrut dari seluruh Indonesia. Mereka datang dari berbagai tempat, seperti Makassar dan Surabaya, untuk tinggal selama 10 bulan di Aceh. Mereka diberikan pengetahuan dasar teori dan sesudahnya dikirim untuk melakukan penelitian sosial di seluruh Aceh.

Program ini berkembang jadi prestisius. Ford Foundation membiayai program serupa di Makassar, Surabaya, dan Jakarta. Tapi Universitas Syiah Kuala tetap dianggap sebagai tempat terbaik pembelajaran ilmu-ilmu sosial. Banyak dari aluminya kini jadi ilmuwan sosial di lembaga penelitian yang mereka tangani. Taufik Abdullah memperkirakan program ini menghasilkan lebih dari 400 lulusan.

Para direkturnya juga menjadi orang terkemuka seperti Ibrahim Alfian (Universitas Gadjah Mada), Syamsuddin Mahmud, Ali Basyah Amin, dan Dayan Dawod (ketiganya pernah jadi rektor Syiah Kuala, Syamsuddin bahkan jadi gubernur Aceh), Lance Castle (co-editor buku klasik Indonesia Political Thinking 1945-1965 dengan akademikus Australia Herbert Feith), Bill Liddle (profesor Ohio State University and dikenal luas sebagai ilmuwan yang berpengaruh dalam melatih ilmuwan sosial Indonesia). Geertz dan Bresnan belakangan juga menerima Bintang Jasa Pratama dari pemerintah Indonesia. Bintang ini adalah penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah Indonesia kepada orang asing yang dinilai berjasa terhadap Republik Indonesia. Hanya tiga orang Amerika yang pernah menerima Bintang Jasa Pratama. Geertz, Bresnan, dan almarhum George McTurnan Kahin dari Cornell University, seorang penentang Perang Vietnam, yang menulis buku soal nasionalisme di Indonesia.

Hakim Nyak Pha jadi peserta program ini pada 1978. Ia ditunjuk mengelola pusat penelitian ini sejak 1998 ketika keadaannya sudah memburuk. Ford Foundation tak memberi bantuan sejak akhir 1980-an. Pada 1998 Indonesia juga memasuki perubahan besar dengan kejatuhan Presiden Soeharto. Aceh makin terjerumus dalam kebingungan plus makin maraknya kegiatan gerilyawan GAM dalam menguasai pedesaan Aceh. Aktivis mahasiswa jadi makin radikal. Mereka minta Perserikatan Bangsa-bangsa mengadakan referendum di Aceh.

Saya sedih melihat melorotnya mutu pusat penelitian ini. Hakim mengatakan pendidikan takkan bisa berkembang dalam situasi peperangan macam Aceh. Saya kira secara proporsional, ia juga mencerminkan merosotnya sistem pendidikan di Aceh.

“Sistem pendidikan di Aceh itu menurun pada semua tingkatan. Sekolah masih ada di Banda Aceh dan Lhokseumawe tapi murid dan para gurunya mengalami gangguan psikologis. Di daerah macam Banda Aceh, Aceh Timur, Bireuen, inftrastruktur sekolah hampir hancur total dan guru-guru melarikan diri,” kata Abdi A. Wahid, rektor Universitas Syiah Kuala.

Menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sejak diberlakukannya darurat militer pada 19 Mei hingga 10 Juni, ada 504 sekolah dibakar di Aceh, 259 di antaranya terdapat di Pidie dan 138 di Bireuen. Guru sekolah sering diganggu. Banyak guru non-Aceh meninggalkan sekolah karena tak tahan dengan gangguan dari GAM. Gerilyawan GAM memandang kurikulum Indonesia sebagai “propaganda Jawa.”

Pendidikan tentu saja adalah isu politik, bukan saja di Aceh, tapi di berbagai tempat di Indonesia. Di gedung Parlemen misalnya, baru-baru ini ada pertikaian yang dahsyat tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah. Politisi Islamis ingin sekolah-sekolah Katholik dan Kristen Protestan menyediakan guru agama Islam. Guru sekolah dan politisi nasionalis keberatan karena tak praktis dan mahal. Sejumlah nasionalis Aceh juga melawan Jakarta dengan mengganggu proses belajar-mengajar di berbagai daerah.

Sersan Dua Asep Setiaman, tentara asal Sunda yang ditempatkan di daerah Tiro, mengatakan pada saya bahwa peletonnya pernah suatu saat “diundang” datang ke sebuah sekolah di mana orang-orang GAM bersiap membakar gedung sekolah. Mereka menantang Asep Setiaman.

“Kami tidak mau mati. Mereka ada sekitar 500 sedang di sini cuma ada belasan. Sekolah itu akhirnya dibakar. Ibu-ibu guru datang kesini dan minta bantuan tapi kami khan tidak bisa berbuat apa-apa?” kata Asep.

Zaini Abdullah, menteri luar negeri GAM, dari markasnya di Stockholm, Swedia, membantah orang-orangnya membakar sekolah. Dia mengatakan pada saya, “Apapun yang terjadi, mereka selalu salahkan GAM. Militer Indonesia hendak menciptakan kesan bahwa mereka jujur membantu warga sipil. Sebenarnya merekalah yang membakar sekolah-sekolah itu.”

Keadaan ekonomi yang memburuk juga membebani orang tua untuk tetap membiayai anak mereka ke sekolah. Abdi Wahab mengatakan di Universitas Syiah Kuala, tingkat mahasiswa drop out meningkat dari satu persen jadi tiga persen dalam dua tahun terakhir. Syiah Kuala punya 19.000 mahasiswa atau rata-rata 500 mahasiswa mengundurkan diri tiap semester. Abdi berusaha menekan biaya kuliah serendah mungkin. Kantornya sendiri cukup spartan. Mati listrik --sesuatu yang lazim di Aceh-- juga mengganggu kinerja sekolah. Abdi berkeringat deras ketika bertemu saya. Pendingin ruangannya mati. Mahasiswa sering mengeluh karena kesulitan fotokopi.

Para pendidik yang mencoba bersikap independen, baik dari GAM maupun militer Indonesia, seringkali menemukan diri mereka dalam kesulitan. Hakim Nyak Pha mengatakan bahwa ia sering merasa ketakutan. Dia jarang keluar malam dan mengunci rapat-rapat pintu pagarnya saat magrib.

Dayan Dawood, pendahulu Abdi Wahab sebagai rektor, bernasib jelek. Dayan ditembak mati pada September 2001 oleh seorang penembak gelap dari sebuah sepeda motor, dekat pusat kota Banda Aceh. Dayan naik mobil bersama sopirnya ketika dua orang yang naik sepeda motor berboncengan mendekati dan menembaknya.

Pada 16 September 2000, Safwan Idris, rektor Institut Agama Islam Negeri Ar-Raniry, juga ditembak mati di rumahnya oleh orang yang menaiki sepeda motor. Si pembunuh datang ke rumah Safwan seakan-akan untuk bertamu. Mereka dipersilahkan masuk dan ketika Safwan muncul ditembak mati.

Kedua pembunuhan itu hingga hari ini tak diketahui siapa pelakunya. Baik GAM maupun militer Indonesia menuduh satu sama lain sebagai pelakunya. Sidney Jones dari Human Rights Watch/Asia, organisasi hak asasi manusia dari New York, mengatakan, “Pembunuhan itu bukan saja berarti hilangnya cendekiawan yang terhormat namun ia juga menghantam kebebasan berpendapat di Aceh. Orang sudah ketakutan untuk bicara tentang isu yang bisa ditanggapi secara tak bersahabat oleh GAM maupun militer Indonesia; pembunuhan ini membuat mereka makin ketakutan.”

Januari lalu saya bertemu John Bresnan di Jakarta ketika ia menerima Bintang Jasa Pratama dari Presiden Megawati. Saya minta komentarnya tentang keadaan pusat pelatihan di Universitas Syiah Kuala. Bresnan kelihatan sudah berdamai dengan kekurangannya sendiri. Dia bilang bahwa Clifford Geertz sendiri “sangat curiga pada apa-apa yang berlangsung terlalu lama.”

“Ada orang Ford Foundation yang sering bicara soal institution building. Saya selalu curiga dengan institution building. Well, karena dalam rangka membangun institusi, seringkali kita harus melakukan investasi pada orang-orang kelas tiga, yang tertarik ke institusi tersebut atau diajak oleh para pemimpinnya. Padahal kalau kita memperhatikan individu, dan mencari mereka yang paling cerdas, di mana pun mereka berada, kelak mereka sendiri yang akan membangun institusi.”

“Mereka akan membangun sesuatu dalam karir mereka. Dan tidak setiap institusi punya peranan di masa depan. Banyak dari mereka harus hilang, terutama dalam masyarakat yang berubah dengan cepat.” 

Pusat penelitian macam itu sangat mahal dan Ford Foundation mengalami pengetatan dana.

Bresnan sendiri sibuk di tempat lain. Dari Jakarta, dia naik pangkat jadi kepala Ford Foundation untuk urusan Asia dan Pasifik dari kantor mereka di New York. Dia tak ingin penggantinya di Jakarta merasa bahwa dia sering mengawasi kerja mereka. “Saya kira pusat penelitian itu berjalan beberapa tahun lebih lama dari perkiraan karena mendapat dana dari lembaga donor lain.”

Tapi uang dan keamanan bukan satu-satunya persoalan. Abdi Wahad mengatakan bahwa kemunduran itu bisa juga dihubungkan dengan kenyataan bahwa Hakim Nyak Pha sibuk dengan pekerjaan sampingan. Hakim juga mendapat posisi penting ketika ia ditunjuk sebagai hakim Mahkamah Agung di Jakarta Maret lalu.

Hakim Nyak Pha tertawa ketika saya minta komentar, “Negeri ini sangat tidak menghormati intelektualnya. Berapa gaji orang macam saya? Apa cukup kalau saya tidak mempunyai pekerjaan lain?”  

Sedih memang mengetahui bahwa Aceh bukan saja kehilangan sekolah tapi juga putra-putra terbaiknya. Bagaimana orang Aceh bisa membangun tanpa sekolah dan tanpa putra-putri terbaik mereka? Saya keluar dari kantor Hakim dengan hati makin gelisah. Masa depan buram ada pada negeri yang tak memiliki sekolah-sekolahnya, yang guru-gurunya merasa tertekan, dan lambat laun meninggalkan negeri itu.


YULI SURIANI seorang mahasiswi Universitas Syiah Kuala yang juga bekerja sebagai penyiar radio di Banda Aceh. Orangnya cantik, mungil, serta biasa memakai blue jeans dan jaket kanvas. Tapi layaknya kebanyakan perempuan di Banda Aceh, Yuli memakai jilbab buat menutupi kepalanya. Warna jilbab biasanya disesuaikan dengan warna pakaiannya. “Tanpa jilbab saya merasa tidak sempurna. Jilbab adalah simbol perempuan bermartabat,” katanya pada saya.

Perempuan 27 tahun ini memilih memakai selendang katun sejak 1999 untuk melindungi apa yang disebutnya sebagai “aurat”—kata bahasa Arab yang secara harfiah berarti “bekas luka” atau “lubang.”

Menurut sebuah tafsir umum Al Qur’an, “bekas luka” adalah sesuatu yang memalukan dan harus ditutupi. Aurat laki-laki adalah daerah antara pusar hingga lutut, artinya seorang lelaki muslim tidak boleh bercelana pendek. Aurat perempuan adalah daerah dari rambut hingga kakinya. Tapi penafsiran yang lebih ketat mengatakan bahwa wajah juga termasuk aurat perempuan, sehingga perempuan disarankan mengenakan jalabiya (jubah hitam) dan cadar (penutup wajah).

Karen Amstrong, penulis buku A History of God: The 4,000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam, menulis bahwa Al Qur’an sebenarnya tak mewajibkan jilbab untuk semua perempuan. Jilbab awalnya hanya bagi istri-istri Nabi Muhammad, sebagai tanda status mereka. Ia menulis bahwa Muhammad mendorong kaum perempuan untuk berperan dalam kehidupan sosial dan mereka bisa mengemukakan pandangannya dengan bebas. Mereka juga percaya mereka didengarkan oleh Nabi. 

Meski ada beragam penafsiran dan cara berpakaiannya sendiri, Yuli Suriani tak setuju dengan peraturan pemerintah Aceh yang mengharuskan semua perempuan memakai jilbab. Ia percaya bahwa iman adalah masalah pribadi. Ada orang yang penampilannya terlihat seenaknya, tapi siapa tahu apa yang ada dalam hatinya? 

“Islam itu fleksibel. Islam itu tidak memaksa orang. Memakai jilbab atau tidak, adalah urusan kita sendiri dengan Tuhan,” kata Yuli.

Aceh adalah salah satu provinsi berpenduduk Muslim terbesar di Indonesia. Sekitar 98 persen dari 4,4 juta penduduknya adalah Muslim. Kota-kota dan desa-desanya dipenuhi oleh ribuan masjid yang terpelihara baik. Para pedagang Arab memperkenalkan Islam ke wilayah ini 900 tahun lalu dan sejak itu Islam menyebar ke seluruh daerah yang sekarang disebut Indonesia.

Pada Januari 2002, sebuah undang-undang yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Aceh mendapatkan keistimewaan untuk menerapkan syariah Islam. Pemerintah daerah Aceh segera menunjuk 27 anggota Dewan Permusyawaratan Ulama (MPU), yang tugas utamanya adalah membuat fatwa dan membuat dirinya sebagai pilar keempat pemerintahan di Aceh —guna menambah pilar yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

Muslim Ibrahim, ketua MPU, mengatakan kepada saya bahwa para anggota dipilih mulanya dari tingkat kecamatan. Tiap kecamatan mencalonkan 10 ulama yang dianggap memahami syariah dan menguasai bahasa Arab. Di tingkat kabupaten, calon dari semua kecamatan ini dipilih lagi menjadi 10 ulama. Sepuluh ulama inilah yang akan mewakili kabupaten pada seleksi di tingkat propinsi. Aceh punya 13 kabupaten, artinya ada 130 ulama dari kabupaten-kabupaten ditambah 20 wakil dari perguruan tinggi yang akan mengikuti seleksi 27 kursi MPU. Pemungutan suara dilakukan oleh mereka sendiri. Tempo hari Muslim terpilih sebagai ketua pertama MPU.

Muslim Ibrahim mewakili dunia akademis. Pada 1984 ia mendapatkan PhD dalam bidang syariah dari Universitas al-Azhar di Kairo. Ia mengajar “fiqih modern” di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Ia juga satu dari banyak ulama Aceh yang mendukung keputusan pemerintah untuk menerapkan syariah di Aceh, dengan alasan bahwa kesultanan Aceh, yang kini tiada, telah menggunakan syariah untuk menjalankan negara selama berabad-abad.

“Islam bisa diterapkan dalam sembarang tempat dan waktu,” kata Muslim Ibrahim, sambil menambahkan bahwa MPU sekarang ini sibuk menyiapkan aturan yang akan mengatur hampir semua hal berdasarkan Islam. Ia mengatakan bahwa sumber aturan-aturan itu adalah Al Qur’an, hadist (ucapan), sunnah (tindakan) Muhammad dan para sahabatnya, serta iqtihad (penafsiran).

Tak ada yang baru dalam pernyataan Muslim Ibrahim. Pro dan kontra tentang tafsir Islam adalah sebuah debat lama. Pada masa-masa awal Islam, hal ini membawa akibat pada formulasi syariah, yang dibuat berdasarkan Al Qur’an serta cara hidup dan petuah-petuah Nabi Muhammad. Kata demi kata ini dikumpulkan selama abad VIII dan IX oleh beberapa pencatat, yang paling terkenal di antaranya adalah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari dan Muslim ibn al-Hijjah al-Qushayri. Hari ini Muslim Ibrahim dan kawan-kawannya berusaha mewujudkan petuah-petuah itu.

Namun hingga Juni lalu belum jelas benar bagaimana hukum Islam secara praktis akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di Aceh. Banyak orang masih bingung bagaimana pengadilan harus mengadili kejahatan atau perbuatan illegal lain? Bagaimana syariah memandang perang gerilya dan begitu banyak kekejaman di Aceh? Juga belum jelas bagaimana syariah akan diterapkan kepada non-Muslim? Bagaimana syariah yang dipahami secara ortodoks akan menjawab persoalan-persoalan modernitas seperti demokrasi, kebebasan sipil, ketidakberagamaan dan sebagainya. 

Tapi di antara keputusan pertama dewan pimpinan Muslim Ibrahim adalah menetapkan aturan berpakaian. Perempuan diharuskan memakai jilbab. 

“Itu sudah tertulis dalam teks,” kata Muslim.

Sebaliknya, Gerakan Aceh Merdeka dan organisasi-organisasi hak asasi manusia berpendapat orang Aceh tak memerlukan penerapan syariah untuk membuktikan Islam hidup di Aceh. Mereka berpendapat orang Aceh telah mempraktikkan Islam dalam semua hal yang mereka kerjakan. Orang Aceh mempraktikkan syariah secara formal dalam kehidupan sehari-hari selama berabad-abad, seperti perkawinan, perceraian, dan pelarangan alkohol. Tapi mereka juga menentang banyak hukuman yang keras, seperti pemotongan tangan bagi pencuri, yang secara teoritis dibolehkan dalam syariah.

“Hukum syariah bukan tujuan perjuangan orang Aceh, ia juga bukan sebab terjadinya konflik antara Aceh dan Jakarta. Indonesia berupaya memunculkan isu ini hanya untuk alasan politik —tepatnya sebuah cara baru, sebuah trik untuk mengalihkan perhatian Anda dan dunia dari isu yang sebenar-benarnya, yaitu hak rakyat Aceh untuk menentukan nasibnya sendiri,” kata pemimpin GAM Eropah Husaini Hassan dalam sebuah surat kepada para dutabesar negara-negara Islam di Indonesia pada Desember 2000.

“Menurut saya, jika syariah diterapkan, mereka yang akan paling menderita adalah perempuan. Semua penafsiran dan keputusan toh dibuat laki-laki,” kata Lily Zakiah Munir, direktur Center for Pesantren and Democracy Studies, yang membuat survei tentang syariah di Aceh, sembari menambahkan bahwa tak satu pun dari 27 ulama itu berjenis kelamin perempuan.

Di provinsi-provinsi lain Indonesia, organisasi-organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, secara terbuka tak mendukung kampanye syariah. Mereka mengatakan bahwa kampanye itu melulu retorika. Dua organisasi itu percaya bahwa gagasan Islam tentang keadilan sosial dan martabat manusia secara teoritis bisa diterapkan di Indonesia tanpa mengusung bendera syariah Islam.

Syariah di Aceh juga banyak bikin cerita tentang perempuan tanpa “pakaian pantas” dihentikan di tengah jalan dan diminta menutup kepala mereka oleh polisi syariah. Ketika saya berkunjung ke Banda Aceh Juni lalu, tampaknya setiap perempuan di tempat publik memakai jilbab walau banyak juga yang pakaiannya “modis” dengan memperlihatkan garis-garis tubuh mereka. Saya juga melihat banyak gadis muda menutup kepalanya tapi memperlihatkan belahan dada mereka. Canda yang juga sering saya dengar adalah pelacur pun memakai jilbab di Aceh. Saya belum pernah membuktikannya tapi suatu malam saya datang ke sebuah bar karaoke. Ternyata para gadis penerima tamu di sana tak memakai jilbab.

Di Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala, tak sulit menemukan mahasiswi cantik yang memakai jilbab sekedar sebagai formalitas atau kebanyakan sebagai sebuah model. 

“Lehernya masih terlihat. Jilbab hanya sebagai formalitas,” kata Yuli.

Saya menjumpai lebih banyak perempuan tak berjilbab di daerah pedesaan atau di kota pelabuhan bebas Sabang di mana perempuan bebas berjalan-jalan ke luar rumah dengan celana jeans, celana pendek, tanpa kerudung.

Bagi Muslim Ibrahim, para perempuan ini dinilainya kurang saleh, kurang Islami. Tapi bagi banyak perempuan seperti Yuli Suriani, Islam adalah sebuah keberadaan, sebuah kehadiran, ia bukan sebuah tuntutan.

Saya mengunjungi Imam Syuja’, ketua Muhammadiyah Aceh, salah satu kelompok Muslim terbesar di Indonesia, untuk mengetahui pandangannya tentang syariah. Saya bertanya padanya relevansi banyaknya pembunuhan yang terjadi di Aceh padahal sedang terjadi kampanye sariah?

Menurut Syuja’, “Para ulama kita terlalu sibuk berbicara tentang syariah ketimbang berbicara tentang keadilan. Ulama-ulama kita terlalu sibuk mendekati kekuasaan ketimbang mengembangkan sebuah mekanisme kerja yang independen terhadap pemerintah. 

"Bukankah ini sebuah ironi?” 

Dia menjelaskan keruwetan masalah Aceh adalah sebuah campuran antara tumbuhnya nasionalisme di kalangan orang Aceh, sentimen melawan Jakarta, dan kampanye syariah di tengah-tengah peperangan.

Ketika saya mengingatkannya bahwa dia sendiri adalah seorang dari 27 anggota MPU yang sangat berpengaruh itu, Imam terdiam dan menarik nafas panjang. Ia tersenyum pahit dan tidak menjawab pertanyaan saya.

Memberikan syariah seolah-olah memberi permen kepada anak kecil memperlihatkan bagaimana cara pandang orang Jakarta terhadap pandangan hidup orang Aceh dan juga kebutuhan mereka. Orang Aceh sebenarnya butuh seperangkat hukum, apapun namanya, yang tidak memberikan kekebalan, yang bisa mengadili tentara, pejabat, koruptor, atas berbagai kejahatan atau pelanggaran hak asasi yang mereka lakukan —sesuai dengan ajaran Al Qur’an yang sangat menekankan keadilan.


ADA sebuah kedai kopi di seberang masjid Baiturrahman di Banda Aceh di mana banyak orang, kebanyakan lelaki, biasanya datang membaca harian Serambi, berbicara dengan teman, merokok, dan minum kopi hitamnya. Harganya tak terlalu mahal. Dari sana kita bisa memandang sungai Krueng Aceh, masjid, dan satu dari beberapa gereja Katolik di kota itu. Pada pagi hari tersedia nasi gurih --nasi yang dimasak dengan uap santan—plus berbagai macam lauk yang bisa kita pilih sendiri. Sorenya kita bisa memesan mie Aceh, yang dimasak dengan banyak rempah dan rasanya pedas.

Pagi hari 12 Juni lalu, ketika menyantap nasi gurih, saya perhatikan bahwa lalu lintas di luar makin lama makin sangat macet. Sedan, minivan, truk tentara, jip, sepeda motor, dan pejalan kaki berdesakan melewati kedai ini menuju lapangan Blang Padang, yang berdekatan dengan Baiturrahman, di mana lebih dari 5.000 pegawai negeri dijadwalkan menghadiri upacara bendera menyatakan “kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Saya ikut berjalan dengan mereka. Di lapangan mereka diminta berbaris sesuai dengan kantor masing-masing. Para petugas militer, kebanyakan membawa senjata, mengeluarkan perintah dan minta para pegawai melakukan ini dan itu. Mereka disuruh berbaris mengelilingi tiang bendera utama yang berdiri tegak di tengah lapangan. Mereka mengenakan pita di lengan: merah dan putih. “Kami bekerja semalaman untuk menjahit pita-pita ini,” kata seorang karyawan Perusahaan Listrik Negara.

“Bete,” keluh seorang karyawati TVRI. 

Bete adalah bahasa gaul “bad tempered.” 

Maksudnya, siapa sih tak jengkel pada kemacetan lalu lintas dan berbagai hambatan hanya untuk menghadiri upacara gaya militer. Dia hanya mengikuti apa yang diperintahkan atasannya. Ikut upacara atau masalah dengan pekerjaan!

Beberapa hari sebelumnya Gubernur Aceh Abdullah Puteh mengatakan pemerintah akan melakukan “screening” pegawai negeri atas sikap mereka terhadap GAM. Bentuknya berupa daftar pertanyaan. Misalnya, apa yang Anda lakukan kalau punya anggota keluarga yang mendukung GAM? Apakah akan lapor atau diam saja? Apa pendapat mereka tentang kesatuan Republik Indonesia?

Puteh mengatakan mereka yang “bermuka dua” akan menghadapi konsekuensi, sembari menambahkan ada sejumlah pegawai negeri yang simpatik terhadap GAM. Puteh menekankan bahwa ia tak bisa menerima dualisme. Pegawai negeri seharusnya setia dengan siapa yang membayar gaji mereka!

Para pegawai negeri itu berbaris menghadap tiang bendera. Di sisi lain Blang Padang terdapat sebuah panggung dan tenda di mana para VIP duduk di kursi mereka yang teduh. Bendera dan spanduk raksasa mengelilingi lapangan itu dengan pesan-pesan anti-GAM dan cinta Indonesia.

Sambil menunggu kedatangan Mayor Jendral Endang Suwarna, komandan militer Aceh, setiap koordinator barisan membagikan daftar hadir. Para pegawai negeri ini harus tanda tangan. Ketika Puteh dan Suwarna tiba, pembawa acara pun mulai. Para pegawai bersumpah setia pada Indonesia. Mereka menyanyikan lagu “Indonesia Raya,” meneriakkan ayat-ayat Al Qur’an, dan pidato-pidato pun mengalir. Puteh tersenyum puas.

Upacara pagi itu ternyata menjadi pembuka dari banyak upacara bendera yang digerakkan di seluruh Aceh. Para pejabat militer dan sipil menggerakkan acara serupa di setiap kabupaten, kecamatan, kelurahan, dan sekolah. Mereka seakan-akan hendak menunjukkan bahwa GAM sudah tamat dan semua orang Aceh cinta Indonesia. Murid sekolah, penduduk desa, petani, nelayan, pegawai negeri, dan sebagainya diminta hadir di lapangan, menggunakan warna merah-putih.

Inilah nasionalisme yang dikobarkan Jakarta untuk merangkul hati orang Aceh. Mereka mencoba memperlihatkan pada orang Aceh bahwa otonomi khusus Aceh adalah pilihan yang lebih baik ketimbang kemerdekaan yang dicari Hasan di Tiro dari Stockholm.

Mungkin ini pilihan yang realistis tapi apakah akan berhasil? Banyak orang mempertanyakan keberhasilan penggalangan massa macam ini.

Sidney Jones, orang Amerika yang bekerja untuk Indonesia sejak 1970-an, yang pernah memimpin Human Rights Watch, dan sekarang bekerja untuk International Crisis Group, menulis bahwa apa saja yang dilakukan penguasa darurat militer counter productive. “Tidaklah mungkin memaksa orang untuk setia pada negara Indonesia dengan mengadakan upacara bendera dan menaikkan bendera merah putih.”

Jones mengatakan, “Saya ada di Timor Timur sebelum referendum 1999 ketika para milisi memaksa orang menaikkan bendera atau menyaksikan rumahnya dibakar. Kebanyakan ya memasang bendera ketimbang kehilangan harta benda mereka. Tapi akhirnya, mereka justru membenci bendera. Bendera merah putih bahkan menjadi simbol penindasan.”

Contoh lain: Jakarta mungkin mengira mereka mendapat simpati orang desa dengan memindahkan penduduk dari desa-desa di mana operasi militer terhadap GAM direncanakan. Logikanya, jangan sampai ada korban sipil. Mereka diberi tempat penampungan sementara.

Namun banyak dari puluhan ribu pengungsi ini dipindahkan begitu saja tanpa pemberitahuan memadai. Sering tak ada persediaan air dan makanan di tempat penampungan. Ternak, barang elektronik, dan barang berharga lain seringkali hilang ketika mereka kembali. Pencurinya bisa siapa saja tapi mereka jelas menyalahkan pemerintah, apalagi setelah Puteh dan Suwarna memberikan janji bahwa rumah-rumah yang dikosongkan itu akan dijaga dan takkan ada penjarahan.

Suwarna memang berusaha menjaga janjinya. Beberapa bulan lalu ada dua tentara Indonesia yang dihukum karena mengambil uang senilai Rp 2 juta dan perhiasan emas seberat 2,6 mg ketika mereka menggeledah sebuah rumah di Aceh Utara. Ada juga tiga tentara yang dihukum penjara karena memperkosa empat perempuan Aceh walau hukuman terberat yang mereka terima cuma 3,5 tahun. Ada juga enam tentara Indonesia yang dipenjara, antara empat hingga lima bulan, karena memukul warga sipil di desa Lawang, Bireuen.

Jendral Endriartono Sutarto beberapa kali juga menekankan bahwa operasi militer ini dilakukan untuk merangkul rakyat Aceh. Dia terbuka minta maaf, terutama kepada penduduk desa, karena perbuatan-perbuatan prajuritnya di lapangan.

Mungkin hukuman-hukuman terhadap para tentara ini bisa dianggap kemajuan di Indonesia. Bukankah banyak tentara, terutama yang pangkatnya tinggi, yang kebal hukum? Namun hukuman maupun permintaan maaf itu tak cukup untuk merangkul hati dan pikiran rakyat Aceh.

Tentara-tentara Indonesia di Aceh terkenal karena pelanggaran hak asasi manusianya. Pemahaman soal nasionalisme juga sangat sempit sekali. Banyak wartawan di sana sering ditanyai tentara, “Merah putih atau bukan?” Orang macam Suwarna, yang gemar melontarkan isu ini, lupa bahwa sama dengan dokter, yang harus merawat pasien tanpa membedakan garis politik pasiennya, seorang wartawan harus bekerja juga tanpa membedakan garis politik sumber-sumber mereka. Dokter tak mungkin hanya mengobati tentara Indonesia. Wartawan juga tak mungkin hanya mengutip sumber-sumber yang mendukung Indonesia. Justru dengan mengobati atau mewawancarai semua orang, si dokter atau si wartawan menunjukkan kemampuannya sebagai warga yang baik –dan ini artinya nasionalisme.

Juni lalu, Jakarta juga mengeluarkan satu kebijakan baru tentang KTP warga Aceh. Tujuannya, membedakan anggota GAM dan warga biasa. Semua warga wajib mengganti KTP lama dengan KTP baru. Disain kartu ini beda dengan KTP lain di seluruh Indonesia. Namun tidakkah perbedaan ini justru memperkuat alasan GAM bahwa orang Aceh memang beda dengan orang Indonesia lainnya? Apalagi pejabat-pejabat Indonesia di kota besar macam Jakarta dan Medan juga mengeluarkan surat edaran ke kelurahan agar mengawasi semua orang Aceh yang tinggal di wilayahnya.

Jones menulis bahwa perang ini punya cacat karena tak ada kriteria yang jelas untuk mengukur keberhasilannya. Perang ini juga tak punya exit policy. Kapan darurat militer dianggap berhasil? Hasballah Saad mempertanyakan apabila kabinet Presiden Megawati benar-benar sudah maksimal dalam mengupayakan solusi lewat meja perundingan yang dulu dibantu oleh Henri Dunant Center.

Penyaringan pegawai negeri juga akan membuat Jakarta kehilangan simpati. Kebijakan ini langkah mundur karena ia meniru persis praktek-praktek rezim Soeharto –screening atas Partai Komunis Indonesia. Rasa curiga akan dibangkitkan dan informasi busuk bakal berkeliaran. Orang Aceh dipaksa untuk tak menghargai kesetiakawanan. Mereka bakal dipaksa untuk jadi manusia rendah. Persaingan dagang, tetangga yang cemburu, dan lainnya bisa saja memberikan informasi busuk. Dan tanpa verifikasi, si tertuduh bisa diasingkan, dipecat, bahkan ditangkap.

Nasionalisme macam apa ini? Saya kuatir ini hanya nasionalisme sempit: Anda di pihak saya atau di pihak mereka? Nasionalisme macam ini sering menutup mata terhadap ketidakadilan. Ia buta terhadap pilihan bahwa manusia, pada galibnya hidup dengan banyak identitas. Saya bisa jadi warga Indonesia tapi juga orang Aceh, yang tak suka dengan kesewenang-wenangan upacara bendera, tapi bukan berarti saya harus mendukung GAM. Saya bisa kritis terhadap tentara Indonesia tapi saya tak berarti membenci Jakarta.

Wartawan BBC Michael Ignatieff menulis dalam bukunya, Blood and Belonging: Journeys Into the New Nationalism, bahwa secara kultural nasionalisme sesungguhnya bisa memberi sebuah “bentuk kepemilikan” atau “primary form of belonging” kepada orang-orang yang tinggal di satu negara, baik laki-laki maupun perempuan. Rasa memiliki dan rasa kebersamaan ini memberikan landasan moral “bagi pengorbanan yang heroik, penggunaan kekerasan dalam rangka membela negara dari musuh, baik dari luar maupun dalam.”

Ignatieff membedakan dua macam nasionalisme: (1) nasionalisme kewarganegaraan (civic nationalism) di mana kepercayaan utama orang-orang yang ada dalam sebuah “bangsa,” yang percaya pada kredo politik “bangsa” itu, adalah para warganegaranya. Basis nasionalisme ini adalah warga negara; (2) nasionalisme etnik (ethnic nationalism) di mana orang-orang yang ada dalam suatu “bangsa” percaya bahwa mereka mewarisi kebangsaannya karena keturunannya, bukan karena pilihannya. Basis nasionalisme ini adalah etnik. “It is the national community which defines the individual, not the individuals who define the national community,” jelas Ignatieff.

Hasan di Tiro cenderung memakai nasionalisme jenis kedua. Dia percaya “bangsa Aceh” dijajah “bangsa Jawa” --yang memakai nama samaran “bangsa Indonesia.” Pada sisi lain, pemerintah Indonesia, teoritis mengembangkan nasionalisme kewarganegaraan untuk menyatukan berbagai macam kelompok etnik dan agama yang tersebar di kepulauan ini sejak kemerdekaan 1945. Tapi terjadi inkonsistensi baik pada zaman Soekarno maupun Soeharto. Banyak kelompok merasa tidak didengar dan sakit hati karena dibedakan, yang buntutnya memunculkan ketidakpuasan pada orang Aceh, orang Papua, orang Dayak, kelompok minoritas Cina, pendatang Madura di Kalimantan, orang Muslim di Maluku, dan sebagainya.

Rezim Soeharto menciptakan istilah “pribumi” sebagai antitesa dari warga Indonesia keturunan Cina. Ada diskriminasi pada KTP dan dokumen-dokumen orang Tionghoa. Soeharto juga tidak mencegah pembunuhan besar-besaran yang terjadi pada 1960-an terhadap aktivis kiri maupun pendukung Soekarno. KTP mereka lalu diberi label “ET” untuk “eks tahanan politik.” Kini kebijakan sama dilakukan atas Aceh.

Darah banyak tumpah dalam sejarah kepulauan ini. Dan kini darah juga tertumpah atas nama nasionalisme tanah Aceh, di ujung Pulau Sumatra. Kaum kebangsaan Aceh mungkin kalah dalam pertempuran kali ini, tapi mereka belum kehilangan kebenciannya pada ketidakadilan yang mereka anggap datangnya dari Jakarta. Proyek nation building yang dibangun generasi Soekarno sejak 1945 itu mungkin juga makin kehilangan relevansinya. Satu lapis generasi GAM akan disapu habis tapi bagaimana generasi anak-anak mereka? Tidakkah dendam dan masa lalu akan senantiasa membayangi tanah yang seabad lalu diremukkan J.B. van Heutsz? Tidakkah upacara-upacara bendera yang digagas Puteh dan Suwarna justru akan menggerogoti simpati orang Aceh terhadap Jakarta?

Pada hari saya meninggalkan Aceh untuk pulang ke Jakarta, saya naik kelas ekonomi Garuda Indonesia dan tak sengaja bersua dengan Sofyan Haroen, walikota Sabang yang bersemangat itu. Dia kelihatan banyak diam, mungkin lelah, namun tetap sopan terhadap sesama penumpang. Saya suka melihat pejabat yang sederhana, mau naik kelas ekonomi, dan bersikap ramah pada orang-orang yang tak mengenalnya. Saya ingat ketika ada di Sabang, ia berujar, “Mari kita bangun Indonesia dari Kilometer Nol.”


Diterjemahkan dari naskah aslinya dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia oleh Helena E. Rea

Thursday, November 13, 2003

Obituari Layla Mirza


SEPANJANG Sabtu kemarin saya risau ketika mengerjakan tata letak Pantau edisi Desember. Sejak pagi hari, ada telepon masuk. Antara lain dari Mbak Rani, salah satu orang penting di radio Mara; Mbak Titin, salah satu dosen Universitas Padjajaran, Mohamad Sunjaya dari Actors Unlimited, dan beberapa rekan lain di Bandung.

Pesannya, macam-macam. Mulai dari laporan perkembangan kritis Mbak Ea –panggilan akrab Layla Mirza. Sunjaya, salah satu pendiri Institut Studi Arus Informasi, adalah mentor dari Mbak Ea sekaligus orang yang memperkenalkan kami pada 1996 ketika Indonesia mulai bergejolak. Mbak Ea lantas sering mengundang saya ke Bandung, memberi kuliah di Universitas Padjajaran.

Sekitar pukul 12:00 Titin bilang sekarang juga saya harus terbang ke Bandung. Saya harus lihat Mbak Ea. Mungkin waktunya tidak lama.

Sedih sekali. Minta tolong seorang rekan mencarikan tiket pesawat terbang ke Bandung tapi tak dapat.

Sekitar pukul 17:00 telepon masuk lagi –kali ini mungkin lebih dari 20 kali: Mbak Ea sudah tiada. Ada Mohamad Iqbal, Budi Setiyono, Yusuf, Bakti Tejamulya dan istrinya, di kantor dan saya merasa tertekan sekali.

Saya pergi ke sebuah ruang yang sepi, tak ada orang, di kantor LeBoYe Kemang yang lengang itu, dan berpikir, soal hubungan akrab kami. Saya tiba-tiba menangis sedih mengenang almarhumah.

She is such a sweet person! Why should she die? She is needed by so many people.

Rasanya ada ketidakadilan di sini. Ea masih muda. Anaknya dua masih kecil-kecil. Mirza, suaminya, juga sangat mencintai Ea. Mirza orang praktis yang selalu membantu Ea.

Cerita penyakitnya, mula-mula rahim Ea diangkat pada 1999 karena terkena kanker. Ea sempat mengirim email pada saya, ketika itu tinggal di Cambridge, Boston, dan mengeluh karena ia merasa sudah bukan perempuan lagi –karena tak bisa hamil lagi. Aduh, duh, saya bilang tak benar. Kami curhat-curhatan lewat email karena perasaan kehilangan begitu dalam pada Ea.

Dia cerita bagaimana biaya operasi begitu mahal tapi ada teman-teman membantu.

Ketika pulang ke Indonesia, saya baru tahu bahwa Ea mengalami begitu banyak kesulitan karena perawatan pasca-operasi, antara lain, chemotherapy. Rambuknya rontok, kesehatannya menurun, harus menelan banyak obat, tapi Ea masih orang yang menggembirakan. Senyumnya lebar. Selalu cium pipi. Selalu merangkul.

Dia mengundang saya beberapa kali memberi ceramah di Universitas Padjajaran. Kami sering main bersama, makan di Bandung, main bowling. Rekan-rekan kerjanya ikut bersinar dan ceria karena keberadaan Ea. Baik di radio Mara maupun di Universitas Padjajaran.

Dia cerita merasa dekat dengan Gusti Allah karena pengalaman kanker. Dia cerita bagaimana Mirza begitu memperhatikannya. Dia juga menjadi lebih saleh dan memakai jilbab –dengan model yang terkadang aneh.

Sebaliknya, sejak 1999 saya juga banyak terlibat membantu Ea dengan radio Mara. Kami mencari dana bersama-sama untuk melakukan perbaikan gedung, membeli alat, dan melatih para wartawannya. Jadinya, sering bolak-balik Bandung-Jakarta.

Belakangan kami sering bicara soal perbaikan kurikulum pendidikan wartawan di Padjadjaran. Dia minta saya ikut mengajar bahkan sempat terpikir ide bikin kuliah rutin.

Ea juga banyak tahu berbagai macam kesulitan pribadi yang saya alami. Dia pula yang duduk berjam-jam di suatu kamar di Hotel Horizon, Bandung, awal tahun ini ketika saya kecewa dengan penutupan Pantau. Dia mendukung upaya penerbitan Pantau lagi.

Ea juga menyediakan telinga ketika saya butuh teman bicara. Mulai dari soal anak hingga pekerjaan. Orang yang manis sekali. Orang yang mau mendengarkan. Saya jarang punya teman dengan kualitas keramahan dan ketulusan sekelas Ea.

Pertengahan tahun ini ketahuan kalau kanker itu ternyata masih ada. Ea masuk rumah sakit lagi. Dia sempat minta doa ketika akan operasi. Kanker menjalar ke ususnya. Ternyata keadaan makin buruk. Ususnya harus dipotong 50 centimeter.

Sempat kirim-kiriman SMS ketika saya tahu ia harus operasi lagi. Saya bilang, “Cantik, kau harus hadir kalau saya nanti ….”

Ea menelepon balik dan gemas bilang kenapa disapa “cantik” maka kami pun mengobrol lagi. Saya ingat saya sedang mengalami macet di Jalan Radio Dalam. Hingga sampai Pondok Indah, kami masih mengobrol soal macam-macam. Saya juga mendorongnya untuk menerima pencalonan dari Institut Studi Arus Informasi agar bersedia jadi anggota Komisi Penyiaran Indonesia.

Dia bilang mungkin waktunya tak lama. Saya sedih sekali. Tapi dia tetap optimis.

Kamis lalu, ibunya memberitahu saya bahwa Ea dioperasi sekali lagi, selama 7.5 jam. Dia tak pernah siuman hingga meninggal kemarin.

Di pojok LeBoYe itu saya menangis. Ada rasa kehilangan. Ada rasa menyesal tak ada di sampingnya ketika Ea pergi.

Selamat jalan sahabat!

Hilang satu tumbuh seribu!

Kau pergi meninggalkan nama harum, kenangan manis, dan ribuan sahabat. Beristirahatlah dengan tenang. Everything would be okay.

Saturday, November 01, 2003

Daoed Joesoef



At the beginning of the 1950’s, I served as an assistant to Professor Sumitro Djojohadikusumo in his endeavors to develop the study of economics at FEUI. I was responsible for the development of economics faculties at universities in the regions, including Makassar, where the university was originally established by the Dutch, and which later became the Hassanuddin University.

In fact, previously, I’d sent a letter to Prime Minister Hatta, after the recognition of sovereignty in 1949, to suggest that the school of economics at Makassar be dissolved. This was for reasons of efficiency, and also because the school was unsympathetic to the Republic. However, Sumitro insisted that we should overlook the past. I accepted the justice of those arguments, and served as a visiting lecturer. I also established schools for the study of economics in Palembang and Lampung. 

In 1956, the PRRI-Permesta rebellion broke out. One day, just after I’d flown into Makassar to teach, the airport was bombed by the rebels. I was trapped in Makassar. It was quite ironic, really, because Sumitro was actually one of the leaders of the rebellion.

Sumitro played a significant role in the establishment of FEUI. He introduced Keynesian economics to Indonesia and approached the Foundation for assistance in the development of FEUI’s teaching staff. He also facilitated the recruitment of teaching staff from the US. Prior to that, when FEUI had been under the influence of Dutch teachers, Keynesian economics was unknown. At the time, almost the entire collection of material in the library was in Dutch.

The Foundation assisted in sending Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, and various others to America. I didn’t go, because of my other duties. Also, my mother was unwell. As the oldest child, I felt particularly responsible for her after the death of my father.

At the time, I was also an active writer. I’d written an article criticizing Hatta’s assertion that it was not necessary to maintain gold reserves to guarantee the Indonesian currency. At the time, it was stipulated that gold reserves must equal 20 per cent of the value of currency in circulation. However, in the unstable political environment, the government paid its bills simply by printing money. Hatta had
suggested that the gold standard be eliminated. I argued this point through an article in Mimbar Indonesia. I took view that it was necessary to maintain the gold standard, but that its level should be determined with respect to the value of imports.

Not long later, I was invited to join the vice president’s group as he traveled through Tegal, Pekalongan, and the surrounding areas. We traveled by chartered train, with me in the same carriage as Hatta. 

Hatta engaged me in discussions throughout. While these did not result in decisive conclusions, I felt honored by the attention Hatta paid me.

By the end of the 1950s, I felt that economics as taught at FEUI did not prepare students to play a part in the public economy. In a work entitled Economic Development: Theory, History and Policy, Meier and Baldwin argue that issues related to development were far too important to be controlled by economists alone. This argument influenced FEUI to establish a new department, the Department of Public Economic Administration.

In order to achieve this, funding for experienced lecturers was required. The Foundation was prepared to fund the education of teaching staff. I decided that training should be conducted at the Sorbonne, because of the high quality of the education provided to their civil servants in post-graduate training programs at l’école d’administration.

Being a Francophile, I was the only one interested in studying at the Sorbonne. I am an enthusiastic painter, and I appreciate Paris as an artistic center. However, things didn’t go as smoothly as planned. Widjojo, the deputy dean of FEUI, refused to approve my departure to Paris, and the Foundation didn’t want to send an academic without the approval of his superiors.

I took this matter up with Representative Frank Miller. In the end, Miller agreed, on condition that the government approved. I visited the Minister for Education Syarif Thayeb, a military officer from Aceh. Syarif Thayeb was surprised to hear that Widjojo had refused to sign my letter, saying that the Sorbonne was even older than UC Berkeley.

I studied at the Sorbonne for eight years. When I returned, I found that my department had been dissolved. Widjojo and I held divergent views on the issue of economic development. I always felt that the economy was too important to be handled by economists alone. 

When I joined the Cabinet as minister of education and culture, I hoped that I would be able to promote my vision. However, Suharto told me that I should confine myself to issues directly related to education as he had other people who could handle the economy.

Celebrating Indonesia: 50 Years with the Ford Foundation 1953-2003

Celebrating Indonesia: Fifty Years with the Ford Foundation 1953-2003

Celebrating Indonesia: Fifty Years with the Ford Foundation 1953-2003 commemorates the Ford Foundation’s long partnership with Indonesia, presenting the voices of some of the many individuals who have interacted with the Foundation over the past five decades and honoring their role in their country’s development. The distinguished essayist, Goenawan Mohamad, wrote the narrative. A team of talented writers and interviewers, Sandra Hamid, Andreas Harsono, and Laksmi Pamuntjak, prepared "sidebars" about some of the institutions and projects the Foundation has supported in Indonesia; and edited interviews they conducted with a number of current and former grantees. This text, illustrated by over 200 contemporary and historical photographs, offers a collective account of themes and challenges that have resonated over Indonesia’s first half-century, and evokes the diversity and pluralism of this vast and complex country. While the authors' point of departure was the legacy of the Ford Foundation’s engagement with Indonesia over the past fifty years, they brought their own critical perspective to bear, presenting an original and unvarnished reflection of their country’s past. In this way they celebrate Indonesia, recalling the struggles it has faced as a new nation and challenging readers to imagine possibilities for its future.

The emblem on the book’s cover, created by artist Enrico Soekarno, is comprised of motifs from five of the country’s many cultural and ethnic groups. Starting clockwise from the top, they are: a Batak weaving pattern, a Papuan bamboo-carving design, an ikat motif from Sumba, a house-carving design from Toraja, and Dayak bamboo ornamentation. This is intended to symbolize continuity, diversity, and dynamism in Indonesian society; and this message is echoed in the sampler of music from around the archipelago presented in the compact disc at the back of this volume.

Monday, October 13, 2003

Puri Lukisan Ubud


Jalan Raya Ubud tergolong kecil, hanya cukup untuk dua jalur mobil, sehingga ramai apalagi di sana ada pasar, teater, warung internet, persewaan sepeda, dan bermacam kedai. Suasananya enak. Bau kemenyan terasa lembut. Dekat pasar terdapat sebuah museum penting bernama Puri Lukisan – tempat orang bisa merenung dan mengagumi karya-karya klasik seniman Bali.

Ada lukisan dinding karya I Gusti Nyoman Lempad. Ukurannya raksasa. Beberapa bagiannya rusak. Warnanya kalah melawan waktu. Di dalam ada karya Anak Agung Gede Meregeg, Bima mencari arwah ibu dan bapaknya (1939). Inilah Puri Lukisan. Ada mitologi Bali. Ada Bima. Garuda, Leak, dan bermacam cerita wayang. Tapi juga ada gambar gadis-gadis muda bertelanjang dada, mandi di kolam.

Menurut Jean Couteau, seorang peneliti-cum-sastrawan Prancis, dalam buku Museum Puri Lukisan, koleksi Puri Lukisan merupakan saksi mata pembaruan seni lukis dan seni patung Bali.

Pembaruan ini terjadi pada masa Hindia Belanda. Seniman Bali hingga abad ke-19 berkesenian untuk melayani keperluan ritual agama atau aristokrasi. Ketika kerajaan-kerajaan Bali ditaklukkan Belanda, maka pengaruh orang asing pun pelan-pelan masuk ke Bali. Kolonialisme membuat kesenian Bali berubah. Seni ini pun makin marak dengan berkembangnya turisme Bali pada 1920-an.

“Sekarang koleksinya lebih dari 200 lembar lukisan, patungnya mungkin ada 80-an,” kata Tjokorda Bagus Astika, direktur Museum Puri Lukisan. Koleksinya kebanyakan dikumpulkan Rudolf Bonnet. Bicara Puri Lukisan memang harus bicara tentang Bonnet, Walter Spies, maupun Tjokorda Agung Sukawati – tiga serangkai yang berperan besar dalam pembaruan seni rupa Bali.

Walter Spies kelahiran Moskow 1895 dari sebuah keluarga Jerman. Pada 1923 Spies pergi melihat Hindia Belanda dan sempat bekerja sebagai musikus di keraton Yogyakarta. Di sana Spies bertemu seorang pangeran dari Ubud bernama Tjokorda Raka Sukawati – anggota Volksraad yang pernah belajar di Paris dan beristrikan perempuan Prancis. Si pangeran mengundang Spies ke Ubud dan memperkenalkan adiknya, Tjokorda Gede Agung Sukawati. Merasa cocok, Spies memutuskan menetap di kota kecil ini.

Dalam beberapa tahun saja Spies dianggap sebagai orang non-Bali yang paling tahu soal Bali. Dia jadi kolektor serangga, pengarah musik, konsultan pembuatan film, menciptakan koreografi –termasuk tari Kecak – menulis artikel dan buku, serta membantu pengembangan seni rupa Bali.

Spies membuka pintu rumahnya untuk tamu mancanegara yang mulai berdatangan ke Bali. Seorang di antaranya Rudolf Bonnet dari keluarga Belanda keturunan Huguenot (orang Prancis beragama Protestan).

Kehadiran dua seniman Eropa ini membuat gerakan pembaruan seni Bali mendapat momentum besar. Spies dan Bonnet menyediakan materi dan teknik baru. Spies menjadikan rumahnya untuk melatih 12-15 anak muda Bali melukis. Tiga sekawan itu juga membantu pemasarannya.

Pada 1936 mereka mendirikan perkumpulan Pita Maha. Nama ini diambil dari bahasa Kawi kuno yang artinya “nenek moyang luhur.” Ketuanya Ida Bagus Putu dan komite artistiknya Tjokorda Agung, Bonnet, Spies, dan Lempad. Keanggotaannya tersebar pada semua sentra kesenian Bali: desa Peliatan, Padangtegal, Pengosekan, Mas, Nyuhkuning, Batuan, Sanur, Klungkung, dan Celuk. Anggotanya 120-150 seniman.

Tiap minggu pengurus bertemu di rumah Spies. Mereka menyelenggarakan pameran di Batavia, Bandung, Medan, Palembang, Surabaya, maupun Belanda, Paris, New York, Nagoya. Pendek kata, pembaruan seni Bali ini membuat publik kesenian dunia kagum – setara dengan kekaguman terhadap kesenian dari Cina, Jepang, maupun India. Kekuatan anatomis Lempad jadi termasyhur di seluruh negeri.

Perang Dunia II meletus. Spies dikeluarkan dari Pita Maha dengan tuduhan terlibat homoseksualisme. Bonnet protes dan mundur dari Pita Maha. Masuknya tentara Jepang membuat kegiatan Pita Maha berhenti. Beberapa seniman menghimpun diri dalam Golongan Pelukis Ubud. Pada 1942 Pita Maha dibubarkan.

Spies dan Bonnet ditahan pasukan Jepang. Malang nasib Spies, kapal yang membawanya pulang ke Jerman, tenggelam terkena torpedo Jepang dekat perairan Srilanka. Bonnet ditahan di Makassar tapi berhasil kembali ke Bali sesudah kemerdekaan Indonesia.

Masa revolusi dimanfaatkan Bonnet untuk riset, mendidik pelukis muda, dan mengumpulkan koleksi Pita Maha. Cita-cita membangun museum bersama Tjokorda Agung dihidupkan lagi.

Mereka membeli sebidang tanah dekat puri keluarga Sukawati. Pada 1953 terbentuklah Yayasan Ratna Wartha dengan tujuan membangun museum. Pada Januari 1954 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, yang kebetulan teman dekat Tjokorda Agung, datang ke Ubud dan meletakkan batu pertama pembangunan museum.

Donasi pun mengalir dari pemerintah Indonesia, lembaga kebudayaan Belanda Sticusa, serta Ford Foundation. Dua tahun kemudian museum itu diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Yamin. Nama "Puri Lukisan" yang artinya istana karya lukis, diciptakan Yamin.

Bonnet dan Tjokorda Agung meninggal pada 1978. Jenasah mereka di-ngaben-kan bersama pada 1979. Tapi Puri Lukisan maupun museum lain di Ubud tetap menarik minat seniman dari daerah lain, termasuk Affandi, S. Sudjojono, Dullah, maupun negara lain, untuk menggali ide serta belajar.

Adrien Le Mayeur (1880-1968): Bermain

Naskah saya ini dimuat, tanpa byline, dalam buku Menyambut Indonesia: Limapuluh Tahun bersama Ford Foundation 1953-2003. Saya bikin liputan di Ubud selama seminggu. Bahan-bahannya jauh lebih banyak dari yang bisa muncul dengan dua halaman buku. Musium lukisan Adrien Le Mayeur terletak di Sanur. Le Mayeur pindah ke Bali sejak 1932.

A Palace for the Arts in Ubud


Along the narrow main road in Ubud are markets, a theater, internet cafes, bike rentals and eateries. The atmosphere is relaxed, and the scent of incense from temples wafts on the winds.

Puri Lukisan ("palace of painting"), near the market, houses a significant collection of historic Balinese paintings. Here, the myths of Bali are on display. Bima is present. So is Garuda, and a witch, and several figures from the wayang. But there are also pictures of bare-breasted maidens bathing in a pool. Unfortunately, some of the paintings have deteriorated over time. Jean Couteau, researcher and author, says in his book Museum Puri Lukisan that the collection bears witness to the renewal of the arts of painting and sculpture in Bali. Until the 19th century, Balinese artists worked exclusively to serve the needs of religious institutions and the aristocracy. The Dutch colonial influence, however, created conditions for the opening up of Balinese arts, which then were further encouraged by the development of tourism in the 1920s.

"The collection now consists of more than 200 paintings, and maybe 80 pieces of sculpture," says the director, Tjokorda Bagus Astika. Most of these works were originally collected by Rudolf Bonnet. Any discussion of the museum must mention Bonnet, Walter Spies, and Tjokorda Agung Sukawati, each of whom played a significant role in the renewal of Balinese fine arts.

Walter Spies was born in Moscow in 1895 into a family of German descent. In 1923 he travelled to the Netherlands East Indies, where he worked for a while as a musician in the Yogyakarta kraton. There, Spies met a prince from Ubud, Tjokorda Raka Sukawati, a member of the Volksraad who had studied for a while in France and who was married to a French woman. The prince invited Spies to Ubud and introduced him to his younger brother, Tjokorda Gede Agung Sukawati. Spies decided to spend some time in the small town.

Over a period of several years, Spies came to be known as the foremost non-Balinese authority on Balinese culture. He was variously an insect collector, a composer, a film production consultant, an author of books and articles, a patron of the arts, and a choreographer — he was the first to arrange the now-famous kecak dance as a secular performance. Spies opened up his house to guests from abroad, including Rudolf Bonnet, a Dutchman of Huguenot ancestry.

These two European artists gave added momentum to the renewal of the Balinese arts. Spies and Bonnet provided artists with materials and instructed them in new techniques. Spies himself oversaw the training of 12 to 15 young painters in his own house. He also helped them market their work.

In 1936 the Pita Maha association was established. This name, which was taken from ancient Kawi, means "honored ancestors." The association was headed by Ida Bagus Putu, while the artistic committee included Tjokorda Agung, Bonnet, Spies, and the painter I Gusti Nyoman Lempad. The association became established in art centers around Bali, and involved between 120 and 150 artists.

Each week, committee members met at Spies' house. The association sponsored exhibitions in Batavia (now Jakarta), Bandung, Medan, Palembang, Surabaya, and abroad in the Netherlands, Paris, New York, and Nagoya. Bali became established as an artistic center equal to China, Japan, and India. Lempad, in particular, became acknowledged around the world as a major artist. And then, World War II broke out. Accused of sexual misconduct, Spies was expelled from Pita Maha. Bonnet protested and also withdrew from the association.

In 1942, Pita Maha was dissolved. Spies and Bonnet were arrested by Japanese troops. Sadly, during his return to Germany, Spies' boat was torpedoed and sank off Sri Lanka. Bonnet was held in Makassar but eventually returned to Bali after Indonesian independence. He used the revolutionary period to do research, train young painters, and collect the works of Balinese painters. He revived his plans to establish a museum in company with Tjokorda Agung.

They purchased land near Tjokorda Agung's family seat in Sukawati. In 1953, the Ratna Wartha Foundation was established to develop the museum. In January 1954, Prime Minister Ali Sastroamidjojo, a close friend of Tjokorda Agung, came to Ubud to lay the cornerstone. Donations flowed from the Indonesian government, from the Dutch cultural association Sticusa, and from the Ford Foundation. Two years later, the museum was inaugurated by Minister for Education and Culture Muhammad Yamin. The name "Puri Lukisan" was coined by Yamin.

Bonnet and Tjokorda Agung died in 1978. Their remains were cremated in a shared ceremony in 1979. Puri Lukisan continues to attract the interest of artists from other areas, including such notable figures as Affandi, S. Sudjojono, Dullah, and many from abroad. These artists come to study in Ubud and to find inspiration from one of the finest collections of Balinese art in existence.

Adrien Le Mayeur (1880-1968): Bermain

I wrote this piece, without a byline, for the book Celebrating Indonesia: Fifty Years with the Ford Foundation 1953-2003. It was published in 2003. I did many interviews and research in Ubud for the two-page story. I also researched Le Mayeur's paintings in his museum in Sanur. Le Mayeur made Bali his home in 1932.