Friday, June 30, 2006

Jim Simon on Minahasa chapter

Dear readers,

From today I will publish email correspondences that take place between Jim Simon and me. Mr. Simon is my book editor in Seattle. We hope that by knowing this editing process, which I found out to be intellectually stimulating, we could help you understand this project on nationalism better.

Jim Simon is the City Desk editor of The Seattle Times. He is a fine editor. We met first in 2001 when Jim did a work for the Washington-based International Center for Journalists in Jakarta. I admire this patience and his knowledge on Indonesia. It is a voluntary work. He helps edit my book without payment.

We are moving quite steadily now. We have just finished the third chapter on Minahasa. The next chapter is Java.

Andreas Harsono


From: Jim Simon
Date: Mon, 26 Jun 2006 19:38:47 -0700
To: Andreas Harsono

Andreas -- Just finished editing the third chapter. I'll send it UPS or FedEx as soon as possible. I learned a lot about the 1950s rebellion in particular.

A couple of thoughts:

--- While I like the idea of the personal travelogue opening to the chapter, I think you need to be more explicit sooner in the chapter about how Miangas fits with the rest of the book. Does the island represent the extreme geographic and cultural reach of Indonesian nationalism -- and is thus, a metaphor for why it is failing? If so, you need to tell readers that.

Some anecdotes or examples of how this tension between Minahasan identity and Indonesian identity is playing out on this tiny island right now would be helpful. (It's interesting, by the way, that northern Sulawesi hasn't erupted in significant ethnic violence.) In the other chapters, the current day tension is far more obvious -- and bloody. There is a more subtle shifting going on in places like Miangas. Do residents really feel like Indonesians?

-- In the history section, you use specific dates quite liberally. That's often confusing because you really aren't telling the story chronologically. I think you can write about historical events while being more general about the time period.

Also, from chapter to chapter, you repeat background detail about events in Java such as the overthrow of Sukarno. Try to avoid that kind of repetition.

--I'd also suggest trying to trim the historical sections on both the rebellion and the development of Christianity. I found myself hungry for more about the current situation.

Be well,
Jim

Kesulitan Dana dan Kesibukan Kerja


Kembali ke Jakarta sesudah mengunjungi lebih dari 100 kota dari Sabang sampai Merauke, aku kembali menghadapi kesulitan keuangan. Bagaimana harus tetap menulis buku ketika aku juga harus menulis freelance untuk membayar pengeluaran rutin?

Dulu ada Ford Foundation yang bersedia membantu keuangan. Mereka memberi Rp 175 juta buat membantu biaya. Jumlah itu tidak cukup buat bekerja selama tiga tahun. Tapi lumayan bisa bernafas. Kini aku kembali ke titik awal ketika harus bekerja, melakukan liputan, agar punya uang buat tetap membayar uang sekolah Norman, sewa apartemen, belanja mingguan, bayar telepon dan sebagainya.

Liputan buku ini aku mulai pada Juli 2003 ketika bekerja untuk harian The Star meliput darurat militer ala Megawati Soekarnoputri di tanah Aceh. Hasilnya, sebuah esai sepanjang 12,000 berjudul "Republik Indonesia Kilometer Nol" --mulanya dalam versi bahasa Inggris lalu dimelayukan.

Liputan itu dapat pujian. Ia mendorong aku melakukan liputan serupa terhadap daerah-daerah lain. Maka aku pun bertekad bikin riset. Aku mengurangi pekerjaan secara drastis. Aku memakai tabungan buat bikin riset awal selama hampir setahun. Lalu Ford Foundation bantu. Juga Yayasan Pantau. Juga ada bantuan dari beberapa kenalan.

Maka aku bisa jalan ke daerah Minahasa di Pulau Sulawesi; Sambas di Kalimantan; Pulau Timor dan Pulau Flores; kepulauan Maluku; dan Papua. Tentu saja tiap daerah bukan sekedar sekali kunjungan. Juga bukan sekedar satu tempat tapi sekaligus beberapa titik.

Aku juga bisa beli buku. Bikin fotokopi. Duduk lama di bermacam perpustakaan. Riset internet. Aku baca buku-buku klasik. Benedict Anderson. George McTurnan Kahin. Herbert Feith. Donald K. Emmerson. Gerry van Klinken. Barbara Harvey. Jamie Davidson. Anthony Reid. Aku mempelajari statistik, sejarah, populasi dan sebagainya. Intinya, aku belajar soal nasionalisme.

Kini aku aku sudah sampai pada tahap duduk dan menulis sendirian. Tapi bagaimana bisa duduk tanpa bekerja yang menghasilkan uang?

Aku kembali mengambil pekerjaan menulis untuk International Center for Investigative Journalism atau majalah internasional buat menambah uang. Aku juga bersedia jadi konsultan buat International Center for Journalism. Aku juga mau saja bicara di seminar soal bajak laut demi tambahan sedikit uang belanja.

Aku senantiasa cemas dengan nasib buku ini. Menulis buku ini macam mau melahirkan anak. Aku cemas apakah ia bisa lahir? Kelak bila sudah lahir, aku mungkin juga akan cemas apakah ia bisa bertumbuh besar?

Wednesday, June 21, 2006

Kaos Jurnalisme dari Pantau


Saya hendak membantu penjualan sebuah kaos buatan Yayasan Pantau. Saya kira pesannya menarik untuk dipakai para wartawan atau dijadikan kado. Gambarnya berupa sebuah kalimat lengkap dengan sumbernya sebagai berikut: 

"Aku tak peduli kau tiduri gajah sekalipun, asal kau tidak meliput sirkusnya." 
-- A.M. Rosenthal, The New York Times soal independensi wartawan

Rosenthal bekerja selama 56 tahun untuk The New York Times. Dia jadi redaktur eksekutif harian ini pada 1977-1988. Jabatan ini kalau di Jakarta setara dengan "pemimpin redaksi." 

Rosenthal pernah memimpin newsroom salah satu suratkabar terbaik di planet ini. Kalimat tersebut diucapkan Rosenthal untuk mengingatkan wartawan Times agar TIDAK berteman dengan politisi atau pengusaha atau orang berkuasa lainnya. Kalau mereka berteman, ya mereka jangan menulis apapun soal temannya itu. 

Kutipan aslinya dalam bahasa Inggris, Rosenthal mengatakan, "... you can [make love to] an elephant if you want to, but if you do you can't cover the circus." 

Kalimat ini sangat terkenal dan belakangan disebut "Rosenthal rule." Saya kira kalimat ini relevan untuk dipakai di negeri ini mengingat perselingkuhan wartawan dengan politisi/pengusaha/jenderal/birokrat sudah mencapai tahap yang mencemaskan. 

Banyak juga wartawan kita yang merangkap jadi politisi. Entah di partai politik, entah jadi speechwriter, entah jadi humas. Saking jengkelnya, Rosenthal mengatakan wartawan boleh "meniduri" gajah sekali pun asal si wartawan tidak meliput sirkusnya. Kalimat Rosenthal ini sangat terkenal. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel mengutip kalimat ini dalam buku Sembilan Elemen Jurnalisme

Ide soal memakai kalimat ini datang dari Budi Setiyono dari Yayasan Pantau. Disainnya dikerjakan Muid Mularnoidin dari Muem Art Studio. Saya suka dengan ide dan disainnya. Sederhana. Cerdas. 

Kaos ini tersedia dengan dua macam warna dasar: putih dan hitam. Harganya Rp 50,000. Kalau Anda beli lebih dari satu, kami bersedia mengantarnya bila di sekitar Senayan-Palmerah-Kebon Jeruk. 

Di luar wilayah ini, kami bisa membantu pengiriman via pos atau kurir. Kalau Anda tertarik mau memesan, silahkan menelepon Siti Nurrofiqoh (0813-82460455) di Yayasan Pantau (021-7221031). 

Tuesday, June 20, 2006

Workshop Universitas Indonesia

Program Pascasarjana Komunikasi, Salemba, Senin-Jumat, 3-7 Juli 2006


Jumlah peserta dibatasi 15 orang agar waktu diskusi dan pekerjaan rumah memadai. Peserta mahasiswa pascasarjana komunikasi Universitas Indonesia.

HARI PERTAMA 10:00-12:00 dan 13:00-15:00
Pembukaan: perkenalan, pembicaraan silabus dan diskusi soal jurnalisme dasar, isu tentang “objektifitas” wartawan dengan membahas “Sembilan Elemen Jurnalisme” dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel serta membandingkannya dengan praktek jurnalisme di Jakarta a.l. byline, firewall, advertorial.

Bacaan: Resensi buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” oleh Andreas Harsono (kalau tertarik baca bukunya The Elements of Journalism atau versi Indonesia Sembilan Elemen Jurnalisme)

Pekerjaan rumah: Bacalah “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia; “Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita” oleh Andreas Harsono. ; “A Boy Who Was Like a Flower’’ oleh Anthony Shadid.

HARI KEDUA
SESI 10:00-12:00
Diskusi soal jurnalisme sastrawi, bagaimana Tom Wolfe memulai gerakan ini di Amerika Serikat pada 1960-an dan bagaimana suratkabar-suratkabar Amerika mengambil elemen-elemen genre ini. Diskusi tentang prinsip-prinsip dasar dalam melakukan reportase, membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi, kriteria dari gerakan “literary journalism.”

Bacaan: “Kegusaran Tom Wolfe” oleh Septiawan Santana Kurnia; “Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita” oleh Andreas Harsono; “A Boy Who Was Like a Flower’’ oleh Anthony Shadid.

SESI 13:00-15:00
Diskusi soal narasi dengan tekanan pada pemakaian deskripsi dan dialog. Kita akan membaca bersama-sama “Kejarlah Daku Kau Kutangkap.”

Pekerjaan rumah: Bacalah “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah dan bikin satu lembar deskripsi. Caranya, bikin wawancara dan pengamatan dengan satu orang. Lalu gunakan materi tersebut untuk membuat suatu gambaran tentang orang itu dengan deskripsi relevan. Kalau bisa usahakan memasukkan emosi a.l. lucu, sedih.

HARI KETIGA
SESI 10:00-12:00
Diskusi soal “Hiroshima” karya John Hersey. Ini sebuah karya klasik, dimuat majalah The New Yorker pada Agustus 1946, yang pernah dipilih sebuah panel wartawan dan akademisi Universitas Columbia sebagai naskah terbaik jurnalisme Amerika pada abad XX.

Bacaan: “Hiroshima” oleh John Hersey; “Menyusuri Jejak John ‘Hiroshima’ Hersey”
oleh Bimo Nugroho bisa dibaca dalam www.pantau.or.id/news.detail.php?id=208

SESI 13:00-15:00
Diskusi pekerjaan rumah soal deskripsi. Kita akan membaca pekerjaan rumah masing-masing. Tolong pekerjaan rumah difotokopi sesuai jumlah peserta.

Pekerjaan rumah: Bacalah “Republik Indonesia Kilometer Nol” karya Andreas Harsono dan buatlah sebuah narasi pendek, satu halaman, dengan gaya orang pertama ("saya" atau “aku” atau “kita”) untuk menggambarkan sebuah ide dengan adegan. Referensi buku biasanya membantu argumentasi sebuah ide.

HARI KEEMPAT
SESI 10:00-12:00
Diskusi soal struktur karangan dengan melihat “Republik Indonesia Kilometer Nol” serta makna bahasa Melayu dalam bangunan sosial Indonesia. Soal feature, penciptaan adegan, penggunaan dialog juga akan dibahas.

SESI 13:00-15:00
Diskusi pekerjaan rumah. Kita akan membaca pekerjaan rumah satu demi satu.

Pekerjaan rumah: Buatlah sebuah feature maksimal 800 kata tentang suatu isu yang Anda geluti. Cari karakter yang bisa mengantar cerita ini. Bacalah “Semangkin Dikangeni: Pocapan Umar Kayak dalam KR” oleh Jennifer Lindsay

HARI KELIMA
SESI 10:00-12:00
Diskusi soal bahasa dan bangsa serta bagaimana melihat isu itu dalam kepenulisan di Jakarta.

Bacaan: “Semangkin Dikangeni: Pocapan Umar Kayak dalam KR” oleh Jennifer Lindsay

SESI 13:00-15:00
Warna sari, tanya jawab. Penutupan.

Instruktur Andreas Harsono, seorang wartawan Jakarta, pernah bekerja di harian The Jakarta Post (1993-1994) serta The Nation di Bangkok (1995-2003). Ia menang beberapa penghargaan internasional antara lain The Correspondent of the Year dari The American Reporter pada 1997. Pada 1999, ia mendapatkan Nieman Fellowship dari Universitas Harvard dan belajar jurnalisme bersama Bill Kovach. Jakarta pada 2000, ia menyunting majalah bulanan Pantau hingga tutup Februari 2004. Bersama Budi Setiyono, ia menjadi editor buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat (2005).

Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (1994), Institut Studi Arus Informasi (1995), Komunitas Utan Kayu (1996) dan Southeast Asia Press Alliance (1998). Kini ia sedang menyelesaikan buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism sebagai sebuah political travelogue.

Friday, June 16, 2006

Biak, Militer dan Melanesia


Aku tiba di Biak pada hari Rabu sore, 14 Juni 2006, dengan pesawat Merpati. Aku pergi menginap di Hotel Arumbai. Ini hotel milik pengusaha Ambon. Tampaknya cukup tua.

Selama di Papua, ini pertama kali aku bisa menonton siaran Piala Dunia dari Jerman lewat saluran SCTV di kamar sendiri. Di Jayapura, penginapannya bahkan tak ada televisi. Aku harus naik mobil, jalan kaki menyeberangi sungai, untuk nonton pertandingan pembukaan Jerman versus Costa Rica.

Malamnya aku pergi makan ikan baronang bakar di sebuah restoran Bugis. Enak sekali. Lalu jalan kaki keliling blok pusat kota. Aku punya kesan yang menyenangkan di Biak. Pusat kota ini, antara lain Jalan Selat Makassar, tata letaknya berkotak-kotak. Kesannya rapi. Aku juga punya kesan kota ini lebih "Melanesia" daripada Jayapura, Timika maupun Merauke.

Grafiti depan apotik: Papua Pasti Merdeka.
Di ketiga kota itu, orang Melanesia, yang rambut keriting dan kulit gelap, rasanya tidak sebanyak orang rambut lurus. Biak juga punya kebudayaan yang lebih Melanesia daripada kota-kota di daratan Papua. Biak lebih terasa Melanesia.

Menurut Dicky Iwanggin, ketua Komisi Pemilihan Umum Biak, kesan itu mungkin timbul karena Biak hanya sebuah pulau di Papua. Biak tidak dibanjiri transmigran dari Jawa maupun pendatang dari Bugis dan tempat-tempat lain di Indonesia sebanyak daratan Papua.

Musik yang menggelegar di jalan juga banyak pakai bahasa etnik Biak. Di pasar, aku dengar orang banyak bicara dalam bahasa Biak.

Tapi kesan ini bisa salah bila mengingat berbagai fasilitas militer Indonesia yang ada di Biak. Di sini ada pangkalan Angkatan Udara Manuhua. AURI juga menguasai tanah luas sekali di kota Biak. Angkatan Laut sekarang tak mau kalah. Posisi Biak yang strategis menghadap Samudera Pacifik membuat ia jadi pilihan militer. Angkatan Darat menempatkan sebuah komando resor militer di kota Biak. Alhasil, menurut beberapa orang Biak, lebih dari separuh tanah di kota Biak dikuasai militer Indonesia.

Ada juga acara pembentukan "Forum Bela Negara" di Hotel Mapia Biak oleh Departemen Pertahanan dari Jakarta. Orang-orang Papua dikumpulkan dan diberikan pendidikan "civic education."

Aku sempat bicara dengan beberapa pejabat militer Indonesia untuk mendapatkan pandangan mereka. Sayang, tak ada satu pun yang mau dikutip namanya. Bambang Sulistiyono, seorang perwira Angkatan Udara urusan intelijen, mengatakan aku harus minta izin dari Jakarta buat wawancara di Biak.

Aku juga lihat banyak grafiti di kota. Paling besar adalah grafiti, "Papua Pasti Merdeka" tercoret dekat tempat beberapa dokter praktek bersama di Jalan Selat Makassar. Ada juga grafiti sejenis, "Papua Tetap Merdeka" terletak dekat menara air Biak.

Menara Air Biak.
Pada 6 Juli 1998, di menara air ini terjadi penembakan orang-orang Papua oleh militer Indonesia. Ada 23 orang mati ditembak tapi hingga hari ini masih banyak yang hilang diambil oleh militer Indonesia. Mereka ditembak karena selama beberapa hari menaikkan bendera Papua "Bintang Kejora" di puncak menara.

Ini bukan kejahatan tapi sebuah pernyataan politik. Tapi begitulah. Orang-orang tak bersalah itu dibunuh. Sebagian besar diculik dari rumah mereka dan tidak kembali termasuk satu keponakan Iwanggin. Ada beberapa perkiraan tentang jumlah korban. Ada yang bilang 100. Ada yang bilang 200. Mereka diduga dibawa ke laut dan dibunuh. Jumlah yang benar tak diketahui.

Biak memang salah satu pusat perlawanan terhadap kolonialisme Indonesia di Papua. Aku juga sering dengar lelucon soal singkatan "Irian."

Dulu Frans Kaisiepo, politikus Papua yang mendorong Papua masuk Indonesia, memanjangkannya "Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands."

Kini "Irian" diartikan, "Ikut Republik Indonesia Akibatnya Neraka."

Orang Papua kebanyakan lebih suka memakai kata "Papua" daripada "Irian."

Christian Padwa, seorang aktivis Organisasi Papua Merdeka, memanjangkan "Papua" sebagai "Pintu Australia, Pintu Untuk Asia."

Padwa dulu pernah ditahan dua kali oleh Indonesia, 1967-1969 dan 1984. Kini orang tua satu ini lebih sering jalan-jalan menjaga kesehatan sambil bergurau. Ia diet. Ia tak minum apapun selain air putih. Ia cinta pada Biak. Ia mengajakku jalan-jalan kota Biak serta bertukar gurauan. Kami pergi ke pasar. Kami mencicipi kue-kue yang enak di sebuah toko roti.

Aku juga diajaknya melihat konstruksi toko "Sarinah" yang dijanjikan Presiden Indonesia Soekarno dibangun di Biak pada 1962. Hingga tahun ini, konstruksi itu ya tetap konstruksi. Soekarno dulu minta Partai Komunis Indonesia membangun toko ini. Tapi pada 1965, partai ini dihancurkan lebur dan bangunan toko ini pun terbengkalai.

Orang-orang Jawa yang didatangkan membangunnya juga hilang --mungkin ditangkap dan dibunuh juga. Tapi sudah empatpuluh tahun lebih, konstruksi telanjang toko itu tegak dan tetap mengingatkan janji-janji kosong Indonesia kepada warga Biak.

Padwa bilang pasukan Indonesia yang mendarat di Biak pada 1960an "buas sekali." Ia menyaksikan bagaimana pasukan Indonesia membakar buku-buku dan suratkabar berbahasa Belanda. Mereka juga sering main pukul orang. Juga ada perempuan Biak diperkosa tentara Indonesia. Padwa berpendapat Belanda bukan penjajah yang baik tapi Indonesia jauh lebih buruk daripada Belanda.

Kota yang mengesankan. Ia mengesankan justru karena kegigihannya untuk bertahan. Padwa mengatakan OPM punya slogan, "We cassoaries cannot fly but by God we can run."

Siapa tak tahu kalau burung kasuari bisa lari cepat sekali?

Thursday, June 15, 2006

Merpati Sentani

Saya menulis posting ini untuk menyatakan terima kasih kepada kantor perusahaan penerbangan Merpati di Sentani. Mereka bekerja baik untuk membantu saya mendapatkan kembali sebuah buku catatan perjalanan saya yang tertinggal dalam pesawat Merpati.

Ceritanya, Rabu 14 Juni 2006, saya naik pesawat Merpati Merauke-Jayapura. Ketika turun di airport Sentani, saya lupa mengambil buku saya di saku bangku 5C. Saya baru sadar ketika minum teh di airport seraya menunggu penerbangan berikutnya, dari Sentani menuju Biak. Maka saya cepat-cepat menuju kantor Merpati di bandar udara Sentani.

Mereka sigap sekali mendengarkan masalah saya. Catatan itu mungkin sama sekali tak ada harganya (cuma buku kecil). Namun nilainya untuk saya tinggi sekali. Catatan itu berisi rekaman-rekaman saya selama berjalan di Merauke.

Seorang petugas Merpati bernama "Eko" mengirim telex ke Timika. Menurutnya, pesawat saya dari Sentani terbang ke Timika. Dia minta petugas kebersihan di Timika memeriksa kantong dimana saya duduk. Saya dimintanya menunggu di kantor Merpati. Beberapa petugas perempuan juga duduk disana. Mereka mengajak saya mengobrol. Mereka tanya kesan-kesan saya berjalan dari Sabang hingga Merauke. Mereka cerita suka duka pekerjaan mereka.

Tak terasa setelah satu jam menunggu, pesawat Merpati yang saya tumpangi itu, sudah kembali ke Sentani, lengkap dengan catatan saya. Saya berangkat dengan pesawat yang sama menuju Biak.

Saya sangat berterimakasih untuk Merpati kantor Sentani. Mereka menunjukkan pelayanan yang sempurna untuk urusan ini.

Wednesday, June 14, 2006

Merauke soal HIV dan Populasi


Aku akhirnya menginjak tanah Merauke setelah 35 bulan lalu memulai perjalanan ini dari Sabang, Aceh, guna mengumpulkan bahan buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism.

Merauke terletak dekat perbatasan dengan Papua New Guinea. Border crossing terdekat terletak di daerah Sota, sekitar 80 km dari Merauke. Artinya, Merauke sebenarnya secara geografis bukan kota yang benar-benar paling timur di Papua. Di selatan Sota juga ada border crossing bernama Kondo. Ia lebih jauh dari Merauke, di daerah lepas pantai, yang lautnya berhadapan dengan benua Australia.

Jangan kaget mengetahui Merauke sebenarnya bukan kota paling timur Indonesia, sesuai slogan "Dari Sabang Sampai Merauke." Kota Sabang, yang terletak di Pulau Weh, sebenarnya juga bukan titik paling barat Indonesia. Ada Pulau Rondo yang lebih barat lagi dari Pulau Weh.

Semua ini khan untuk keperluan slogan. Bayangkan kalau lagu "Dari Sabang Sampai Merauke" diganti jadi "Dari Rondo Sampai Kondo." Ritmenya mungkin lebih enak ya ... pakai do ... do ... do ... do. Atau kalau "Dari Rondo Sampai Sota" maka ritmenya jadi do ... ta ... do ... ta. Ritme ini bisa diplesetkan:

Dari Rondo sampai ke Kondo
Berjajar do do do do
Sambung menyambung menjadi bodoh
Itulah Indobodoh


Tapi siapalah kita ini. Ketika Presiden Soekarno memakai slogan Sabang dan Merauke, ya dia punya media besar untuk melancarkan slogan itu. Ia menguasai podium, media pemerintah dan seterusnya. Soekarno tentu punya pertimbangan sendiri. Slogan itu sendiri diciptakan J.B. van Heutsz, yang diangkat gubernur jenderal Hindia Belanda pada 1904, sesudah mengalahkan Aceh dengan sadis. Pasukannya membunuh 2,900 orang Aceh, termasuk 1,100 wanita dan anak-anak. Van Heutsz lantas menciptakan slogan "vom Sabang tot Merauke" untuk menerangkan wilayah Hindia Belanda. Mungkin nama Sabang dan Merauke, berkat Van Heutsz dan Soekarno, relatif lebih dikenal daripada Sota, Rondo, Kondo maupun Wutung (border crossing di utara Papua, dekat Jayapura, yang segaris dengan Sota maupun Kondo). Pulau Rondo juga tak ada penghuninya. Ia terlalu terpencil.

Di Merauke, aku tinggal di Hotel Nirmala, kamar semalam Rp 285,000 dengan ruang luas, ada air panas. Pelayanan ya pas-pasan. Ada pesawat televisi tapi tak menyala. Pokoknya, ada ranjang bersih dan ia terletak di Jalan Raya Mandala. Ini jalan utama dan terpenting di Merauke.

Merauke terletak di dataran rendah dekat laut dan sungai-sungai. Kabupaten Merauke tergolong subur. Agapitus Batbual, wartawan mingguan Suara Perempuan Papua, mengatakan bahwa kota ini terletak 1 meter di bawah permukaan laut. Jalan-jalan lurus dan lebar. Kota berbentuk kotak-kotak.

Sekilas ada dua isu yang menarik perhatianku di Merauke. Pertama, kota ini sering disebut sebagai tempat pertama penyebaran virus HIV/AIDS di Papua. Sumbernya dari nelayan-nelayan Thai. Disini memang ada pelabuhan dimana nelayan Thai sering berhenti.

Aku mewawancarai beberapa pekerja seks di Merauke, dari yang kerja di bar hingga di tempat pelacuran liar "Bel Rusak" --singkatan dari "Belakang Rumah Sakit."

Banyak orang Papua mengatakan mereka mati sebagai bangsa, antara lain, karena penyebaran HIV. Mereka membandingkan jumlah penduduk Papua Barat pada 1962, ketika mulai diperintah Indonesia, ada 800 ribu dan PNG sekitar 1 juta.

Empatpuluh tahun ikut Indonesia, penduduk Papua asli paling banyak 1.5 juta sedang di PNG ada enam juta. Mengapa di PNG bisa naik hingga enam kali sedang Papua cuma dua kali?

Aku bicara dengan aktivis HIV dari Yayasan Santo Antonius. Aku juga baca buku-buku soal kontroversi ini. Menariknya, aku juga sempat bicara dengan seorang germo yang pekerjaan sehari-harinya ada tentara Angkatan Darat.

Isu kedua adalah populasi. Merauke adalah lokasi sasaran transmigasi besar-besaran dari Pulau Jawa sejak 1983/1984. Ada delapan sarana pemukiman transmigran disini. Nama-nama desa juga Jawa: Sumber Mulya, Sumber Harapan, Jaya Makmur, Rawa Sari, Marga Mulia, Semangat Jaya, Telaga Sari dan sebagainya. Bahasa Jawa dipakai luas disini.

Di kota (downtown) Merauke, menurut Perwita Sari dari Badan Pusat Statistik Merauke, kelihatannya lebih banyak "pendatang" daripada "penduduk asli." Tapi jumlah total di seluruh kabupaten tidak diketahui karena tidak ada sensus etnik. Mereka tak punya data etnik dan agama karena "keterbatasan dana."

Yulianus Bole Gebze dari lembaga masyarakat adat Malind mengatakan migrasi adalah sesuatu yang wajar dalam peradaban manusia. Administrasi Belanda juga mendatangkan pekerja dari Jawa pada 1920-an. Malind atau Marind adalah etnik yang dianggap "asli" di Merauke. "Kita butuh pendatang tapi tidak seperti jumlah sekarang," kata Gebze.

"Dengan jumlah seperti sekarang, tidak mungkin orang Papua berkembang. Job opportunities are all occupied by non Papuans." Gebze orang yang menyenangkan. Lagu bicaranya pelan dan sopan. Ia seorang kepala kampung Malind. Ia mencerminkan opini mayoritas orang Papua yang ingin merdeka dari Indonesia. Orang Papua bukan orang Indonesia. Mereka punya kebudayaan dan gaya hidup Melanesia.

Aku juga bicara dengan banyak transmigran atau keturunannya. Banyak yang asal Banyuwangi dan Jember! Aku sempat praktek bicara bahasa Madura di daerah SP II Tanah Tinggi. Mereka juga senang mendapati seorang "bapak wartawan" bisa bicara Madura. Ini bahasa yang pernah aku pakai ketika masih kanak-kanak. Aduh, keluhannya banyak banget. Bahkan ada ibu Madura kelahiran Jember yang pesan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar memperbaiki rumahnya!

Aku juga mengambil foto tugu L.B. Moerdani di Tanah Tinggi. Ini semacam tugu yang dibangun oleh pemerintah Merauke untuk memperingati operasi Mandala. Kebetulan Mayor Moerdani pada 1962 ikut pasukan Indonesia yang diterjunkan dengan payung ke Merauke. Pada 1983-1988, Moerdani menjadi panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan tangan kanan Jenderal Soeharto.

Aku bekerja keras selama tiga hari di Merauke. Wawancara dan cari dokumen. Hari pertama, aku kerja hingga larut malam. Hari kedua, tak terlalu malam tapi waktu habis untuk berkemas. Lucunya, ini pertama kali aku lihat Piala Dunia disiarkan langsung lewat layar lebar dalam gedung gereja! Maklum siaran SCTV jarang bisa ditangkap televisi di Papua ini. Maka gereja mengambil inisiatif nonton bareng di dalam gereja. Paginya dipakai misa.


Update
Agapitus Batbual mengirim pesan pada 15 Oktober 2007, "Sekitar pukul 15:00 Pak Yul menghembuskan nafasnya dengan damai di RSUD Merauke." Aku ikut berduka dengan perginya Yulianus Bole Gebze dari masyarakat adat Malind. Merauke kehilangan seorang pemimpin.

Sunday, June 11, 2006

Perjalanan di Jayapura


Senin ini aku tiba di airport Sentani untuk memulai perjalanan bab terakhir buku From Sabang to Merauke. Naik pesawat Garuda Indonesia, berangkat dari rumah di Senayan pukul 2:00 dan pesawat terbang pukul 3:45. Cukup berat mata. Kami singgah di Makassar dan Biak. Sepanjang jalan, lebih banyak tidur mendengarkan lagu-lagu rock klasik dari MP3 Samsung. Aku baru bangun sesudah Biak.

Di Jayapura, tinggal di guest house Pusat Pembinaan dan Pengembangan Wanita (P3W) Gereja Kristen Injili di Tanah Papua di daerah Padang Bulan. Seorang teman kuliah, Abraham Ondi, yang bekerja untuk sinode GKI Papua, merekomendasikan aku tinggal disini. Tempatnya enak. Sebuah bangunan dua tingkat. Tanah luas. Ada kebun sayur dengan bayam, pepaya, bunga dan lain-lain. Semua karyawan perempuan kecuali sopir. Ini organisasi didirikan 1962 untuk melatih para aktivis perempuan gereja.

Aku tinggal di lantai dua. Di luar jendela, semuanya hijau, ada suara serangga malam hari. Juga tidur tanpa AC. Di belakang rumah ada bukit tinggi. Isinya cuma hutan. Ini pertama kalinya aku tidur di ruangan tanpa AC sejak pindah dari rumah Bumi Serpong Damai pada 1999 untuk menuju Cambridge, Amerika.

Angin malam masuk. Aku wawancara banyak orang di Jayapura ini. Dari aktivis hingga tentara, dari wartawan hingga orang biasa. Aku membawa segepok buku dan dokumen dari Jakarta.

Aku juga menggali sejarah Organisasi Papua Merdeka yang bergerak sejak 28 Juli 1965. Mereka intinya sebuah jaringan orang-orang Papua yang hendak mempertahankan kedaulatan Papua dari "aneksasi" Indonesia.

Mereka sendiri menyatakan Papua merdeka pada 1 Desember 1960. Namun Presiden Soekarno menyebutnya "negara boneka buatan Belanda." 

Pada 1963, Indonesia menyerbu Papua Nieuw Guinea dari Belanda dan mengganti namanya jadi "Papua Barat" dan belakangan "Irian Jaya." Orang Papua tetap menyebut tanah mereka Papua. "Bangsa Papua" punya bendera "Bintang Kejora" dengan lagu kebangsaan "Hai Tanahku Papua" dan lambang nasional burung mambruk. Slogan mereka, "One People, One Soul."

Belanda angkat kaki dari Papua. Perserikatan Bangsa-bangsa memutuskan diadakan Act of Free Choice. Ini diadakan pada Juli-Agustus 1969. Namun Indonesia memanipulasi voting ini. Indonesia hanya memilih sekitar 1,100 orang Papua dan menganggapnya sebagai representasi dari seluruh populasi Papua, yang ada sekitar 800,000. Indonesia juga membunuh serta memenjara orang-orang Papua yang ingin berdiri sendiri sebagai satu bangsa. Soekarno memperkenalkan istilah "kembali ke pangkuan ibu pertiwi" untuk Papua dan Indonesia. Cita-cita Soekarno dilanjutkan Presiden Soeharto dengan cara yang berlipat lebih kejam lagi.

Macam-macam deh masalah hari ini. Dari ketidakpuasan terhadap praktek UU Otonomi Khusus No. 21/2001 terhadap Papua maupun berbagai pelanggaran hak asasi manusia. Disini juga berkembang isu "Papua asli" serta bagaimana membuat kriterianya. Aku mempelajari seberapa kuat nasionalisme Papua.

Ada juga cerita soal orang mabuk. Tiga lelaki Papua mabuk dekat kamar pada Minggu pagi. Mereka baku minum dan baku nasehat. Teriak-teriak. Aku lihat mereka pegang satu botol besar alkohol berisi carian biru. Minumnya, pakai gelas bekas minuman air mineral. Lucu deh. Seorang di antaranya kaki buntung.

Hari Minggu, aku sempatkan belanja souvenir di Pasar Sentral Jayapura di daerah Hamadi. Beli kalung kerang dari Wamena. Ia mengikat leher. Cakep sekali. Aku lihat Dr. Benny Giay, anthropolog dari Sekolah Tinggi Theologia Walter Post, memakai kalung ini. Juga beli kalung dari tulang burung kasoari serta noken (tas anyaman akar kayu). 

Giay sering menulis soal demitologisasi sejarah Papua. Pada pengantar buku Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM karya Socratez Sofyan Yoman, Giay menulis, "Setelah menduduki Papua Barat, Indonesia memperkenalkan sejarah Indonesia dan menggiring orang Papua untuk menerima sejarah Indonesia sebagai sejarahnya, karena terkait dengan semangat Indonesianisasi rakyat Papua. Maka proses pemaksaan sejarah Indonesia ke atas rakyat Papua dimutlakkan."

"Akibatnya, semua upaya orang Papua untuk menggali dan mengangkat sejarah Papua Barat dicurigai dan diawasi, sehingga sejarah Indonesia di Papua Barat dan sejarah Papua Barat di Indonesia, dikelola oleh penguasa Indonesia dan dijaga sebagai barang yang berbahaya dalam rangka membangun kekuasaan di Papua Barat."

Aku juga sempat jalan-jalan di Jayapura, sendirian naik "taxi" (kalau di Pulau Jawa disebut "angkutan kota"). Aku merasa makin hafal Jayapura. Aku juga sempat jatuh sakit di Jayapura. Pergi ke rumah sakit Dian Harapan di daerah Waena. Dokter mengatakan aku terkena radang tenggorokan, diberinya antibiotika, obat batuk dan pilek. Dokternya tertarik ketika tahu aku sudah jalan-jalan di seluruh Indonesia, dari Sabang hingga Jayapura, selama tiga tahun.

Macam-macam deh isi perjalanan tiga tahun ini. Kecelakaan di Gunung Kelimutu di Pulau Flores. Mau ditembak milisi Timor Leste dekat Kupang. Dicegat beberapa kali oleh tentara Indonesia dan gerilyawan di Aceh. Dicurigai sebagai wartawan gadungan di Pulau Tidore. Dikira pendeta di Tobelo, Pulau Halmahera. Entah berapa kali dianggap pengusaha Tionghoa. Dekat Pulau Buton, kapal menabrak karang. Kini jatuh sakit di Jayapura.

Tak terasa perjalanan buku ini, yang aku mulai dari Aceh pada Juli 2003, makin mendekati tujuan akhirnya: Merauke.

Saturday, June 03, 2006

Shattered Hymns

Indonesia's Hindu heritage suffers as a quake hits home

ANDREAS HARSONO
Outlook

When the May 27 quake originating under the sea jolted the Java island, it reduced to rubble a lot of Indonesia's present. It also ravaged the nation's carefully reconstructed past. Alongside the 10,000-odd modern buildings destroyed in the city of Jogjakarta, also list the enchanting Prambanan temple. A world heritage site, this 9th century complex takes its name from the area where it is located, about 18 km from Jogjakarta.

As the city and nearby villages counted their dead, news came in about the damage, perhaps irreparable, that the Prambanan temple had suffered. A less quantifiable, but equally tangible loss: of the Hindu cultural memory of what is now the world's largest Muslim nation.

The temple complex was a picture of devastation: debris from broken walls and intricate carvings were strewn all over the place. Decades of reconstruction involving the piecing together of thousands of reliefs which, in their decrepit condition, were 'stone puzzles', was undone in a few seconds. Agus Waluyo of the Jogjakarta Archaeological Conservation Agency says, "We found wreckage at the Shiva, Vishnu and Brahma temples, and at several minor temples."

People were relieved to know the stone structures themselves hadn't collapsed. But even this relief was short-lived. Waluyo says, "It will take months to identify the precise damage. We must ensure that (unstable) earth under the temples will not cause the structures to subside." Fortunately, the famous Buddhist stupas of Borobudur, 50 km from Prambanan, survived the earthquake intact. Both temples attract a million tourists annually.

The Prambanan temple was built around 850 AD by either Rakai Pikatan, king of the second Mataram dynasty, or Balitung Maha Sambu during the Sanjaya dynasty. However, it was abandoned soon after construction—and rapidly fell into disuse. Built in the typical Hindu style of tall and pointed architecture, the complex is dominated by a 47-metre-high central structure dedicated to Shiva. It has four chambers, one of which contains a three-metre-high idol of his. The other three have statues of Durga, Agastya and Ganesha each. There are also shrines of Vishnu and Brahma. Also, the Prambanan complex is surrounded by 250 smaller temples.

On every full moon, the Prambanan complex is illuminated and the Ramayana ballet—depicting Sita's abduction and Rama's war against Ravana to rescue his wife—is performed. Scenes from the Javanised version of the Ramayana are depicted in reliefs in the Prambanan temples. Some of these are erotic, raising eyebrows in Indonesia's conservative Muslim corners.

Prambanan is not a solitary example of Indonesia's Hindu past. Historian Jean Gelman Taylor writes in her book, Indonesia: Peoples and Histories, that Hinduism and Buddhism flourished before Java was Islamised during the 11th and 12th centuries. European historians use the term "Indianisation" to explain archaeological discoveries of Sanskrit inscriptions and sculptures of Buddhist and Hindu gods in Java, Sumatra and eastern Kalimantan. Indonesia's "Indianisation" can also be discerned in local versions of Indian epics, in dance and music and names of places—and also in the existence of Sanskrit words in the vocabulary of the many languages spoken here.

Archaeological investigations show that between 700 and 900 AD, 33 temples and temple complexes were constructed on the southern slopes of Mt Merapi, north of Jogjakarta, which included Prambanan and Borobudur. Some authors say these temples were abandoned during the period the local rulers clashed with those who had converted to Islam. Subsequent volcanic explosions partially buried these temples under ash; then they were slowly overtaken by thick jungle growth.

Borobudur was rediscovered in 1814 by Lt Governor Sir Thomas Stanford Raffles during the English occupation of the island during the Anglo-Dutch Java war.

Though Prambanan wasn't buried under volcanic ash, restoration work here began only in 1918 under the Dutch colonial rule. The main structure's reconstruction was completed in 1953. But the complex, as such, languished in ruins until the restoration of Borobudur provided a fresh impetus.

The restoration work on Borobudur was spearheaded by Daoed Joesoef, who, as education and culture minister, undertook the project in 1978. Financed by Unesco, the reconstruction was completed in 1983. "Our experts learned a great deal about temple restoration from Borobudur," Joesoef told Outlook

Inspired, President Suharto ordered the restoration of Prambanan to recreate its pristine glory.

In 1985, as the Prambanan restoration was under way, Islamic militants bombed Borobudur, destroying nine Buddhist stupas. They said the government should spend its scarce resources on the poor, instead of bankrolling un-Islamic monuments. Suharto ordered a crackdown on Muslim militants. Subsequently, in the 1990s, the Jogjakarta government built a park around the Prambanan complex, in the process evicting villagers and fuelling protests.

It will be an enormous challenge to once again reconstruct the Prambanan temple. For one, as archaeologist Waluyo says, it will be a gargantuan task to locate the stones used to build the temple. Much of the stonework was stolen before the restoration, and taken to areas far from Prambanan for construction purposes. This is why many parts of the complex have concrete slabs without the characteristic temple carvings.

Joesoef says reconstructing such invaluable cultural heritage shouldn't be hostage to exigencies of the present. "It won't be easy as the government has to first assist the people whose houses have been destroyed," he admits, suggesting that Prambanan may need a coordinated international reconstruction exercise. 

For Indonesia, though, it's a question about restoring its past without which the present would seem incomplete.