Tuesday, April 29, 2008

Kayapa Gerang Nulis Nang Bujur?


KIRI KE KANAN Andreas Harsono, Nurni Sulaiman (kontributor The Jakarta Post), Herry Trunajaya, Susy (baju merah, wartawan Antara), Ikram al Qodrie, Roshan Fauzi, Rita Abdullah, Danang Agung, Devi Alamsyah, Andy Ar Evrai, SAI Leequisach Panjaitan, Ferry Cahyanti, Nadia Yusticka Bintoro, Michael Mailangkay (baju merah, mengacungkan tangan), Nurliah (duduk di patung kura-kura), Sarida Mariani Asen, Linda Christanty, Ardines Pakpahan, Mauliana Noor.
Photo by Dayu Pratiwi

Minggu lalu, selama empat hari, aku jadi instruktur workshop penulisan untuk wartawan dan praktisi jurnalisme di Hotel Blue Sky, Balikpapan. Ada dua instruktur. Linda Christanty, kepala redaktur feature service Pantau Aceh, mengampu satu kelas dengan 15 orang. Aku mengampu kelas satunya, juga 15 orang.

Judulnya dalam bahasa Banjar, Kayapa Gerang Nulis Nang Bujur? Artinya, "Gimana sih nulis sing benar?"

Total Indonesie, sebuah perusahaan Perancis yang menambang gas di Kalimantan, menjadi sponsor acara ini. Beberapa karyawan Total juga ikutan. Acaranya ramai. Aku cukup senang jumlah peserta relatif stabil, 15 orang terus-menerus.

Kami banyak bikin praktek. Ada latihan wawancara di Kampung Atas Air. Aku juga sempat main ke kantor harian Tribun Kaltim. Sempat wawancara Charles Komaling, wartawan Tribun Kaltim, yang pernah kerja di harian Timika Pos, serta mengambil foto-foto pembunuhan di Mile 63, dekat tambang tembaga Freeport McMoran.

Aku cukup terkejut melihat harian ini, maupun saingan mereka, Kaltim Pos, mengizinkan orang beriklan dengan cara menulis berita. Tribun Kaltim memberi inisial (advertorial). Sedang Kaltim Pos pakai inisial (hms) alias "humas." Biasanya, "berita palsu" ini dibuat oleh kantor pemerintah atau tim kampanye politisi.

Prihatin juga melihat suratkabar Balikpapan melakukan self-censorship terhadap protes etnik Dayak. Mereka tidak suka tak ada calon gubernur atau wakil dari golongan Dayak pada pemilihan daerah Mei ini. Golongan Dayak merasa suara mereka tak diperhatikan. Mereka merasa mereka "penduduk asli" Kalimantan Timur. Semua kandidat dianggap golongan "pendatang." Self-censorship, terlepas dari setuju atau tak setuju terhadap pandangan Dayak, takkan membantu warga Balikpapan dan Samarinda memahami masalah yang sebenarnya.

Hari Kamis sore, sesudah workshop selesai, sebagian dari kami mejeng di pinggir kolam renang Blue Sky. Hendratno Eko Putro dari Total lantas traktir kami bernyanyi di karaoke. Rame euih!

Thursday, April 10, 2008

Bikin Buku-bukuan?


KEMARIN ketika melihat Linda Christanty bikin draft kumpulan karangan Dari Jawa Menuju Acheh, saya makin ingin mengikuti kegiatan ini. Buku Linda akan ditawarkan ke Gramedia. Dia minta saya menyusun antologi tersebut. Juga memberi judul.

Ini mendorong saya untuk ikut bikin antologi. Ini bukan ide baru. Dulu Hamid Basyaib mendorong saya bikin kumpulan karangan soal jurnalisme, terutama tanya-jawabnya. Mungkin Anda tahu sejak pulang dari Cambridge pada pertengahan tahun 2000, saya sering mengirim email kepada wartawan atau mahasiswa, yang tanya macam-macam soal jurnalisme.

Belakangan isteri saya, Sapariah Saturi-Harsono, juga mendorong saya mengumpulkan macam-macam naskah soal jurnalisme buat dijadikan buku. Mungkin ini berguna buat pegangan mahasiswa atau wartawan muda. Saya senantiasa ragu-ragu. Saya selalu berpikir paling baik adalah bikin buku utuh. Bukan apa yang disebut Ulil Abshar-Abdalla, salah seorang pendiri majalah Pantau: non-book book. Buku-bukuan bikin orang malas menulis buku beneran.

Apalagi saya pikir toh semua naskah ini juga ada dalam blog. Bukankah orang bisa baca di blog? Bertahun-tahun saya menolak buku-bukuan. Tapi sudahlah. Keraguan ini akhirnya saya tebas juga. Banyak sekali orang bikin kumpulan karangan. Tak ada yang salah. Semua karya Ulil buku-bukuan. Noam Chomsky juga bikin kumpulan karangan.

Saya coba kumpulkan naskah-naskah. Lumayan bingung. Ada yang hanya email sepanjang 500 kata. Tapi ada juga yang panjang lebih dari 7,000 kata. Ada yang cukup populer, misalnya, "Sembilan Elemen Jurnalisme" atau "Bagaimana Menulis Bahasa Inggris?" Ukurannya saya lihat dari Google serta hit di blog saya. Namun ada banyak sekali yang tak dikenal orang, termasuk yang bahasa Inggris, yang saya tulis di luar Indonesia.

Ada yang ditulis dengan rekan saya, Esti Wahyuni. Ada yang saya tulis dari reportase banyak wartawan Pantau. Ada pula yang berupa wawancara. Judul buku-bukuan ini, saya justru ingin pakai dari wawancara Kajian Islam Utan Kayu bertajuk Agama Saya Adalah Jurnalisme. Saya suka dengan identitas sebagai wartawan!

Melihat semua naskah ini, saya sekali lagi disadarkan bahwa pemikiran saya soal jurnalisme sangat dipengaruhi oleh Bill Kovach. Mulai dari resensi buku hingga berbagai macam argumentasi soal independensi wartawan, semuanya bermuara pada ide-ide Kovach, atau kalau mau ditelusuri lebih ke belakang, ya Walter Lippman, yang menulis buku Public Opinion (1922).

Eva Danayanti, rekan kerja di Yayasan Pantau, usul dicari saja semua naskah ini dan dikerjakan dulu daftarnya. Nanti disusun bareng-bareng. Saya urutkan sesuai tahun pembuatan, dari 1999 hingga 2008. Atau disusun sesuai tema? Ada soal etika, ada studi kasus dan sebagainya.

Menurut Anda urutan yang baik gimana? Sesuai urutan waktu atau pembagian tema? Atau tidak usah?


Daftar Calon Isi

Apa Itu Investigative Reporting? (1999)
Beasiswa untuk Wartawan
Byline dan Tagline
Kecepatan, Ketepatan, Perdebatan
Pagar Api

Sembilan Elemen Jurnalisme
Nasionalisme dan Jurnalisme
Tempo Versus Tomy Winata
Diskusi Pendidikan Jurnalisme di Pulau Jawa
Wartawan, Wawancara dan Ratu Kecantikan

Wartawan atau Politikus?
Independensi Bill Kovach
Bagaimana Cara Rekrut Wartawan?
Analisis Perubahan Bisnis Indonesia
Media Palmerah

Tujuh Kriteria Sumber Anonim
“Asing” di Tanah Acheh
Belajar Menulis Bahasa Inggris
Ibarat Kawan Lama Datang Bercerita
Kapan Wartawan Mencuri?

Menulis Butuh Tahu dan Berani
Model Pelatihan Wartawan Mahasiswa
Jungkir Balik di El Tari
Sengkarut Harian Equator
Lampung, Lampung, Lampung

"Agama Saya adalah Jurnalisme"
Elemen Kesepuluh
Pers, Sejarah dan Rasialisme
Quo Vadis Jurnalisme Islami?
Sexism, Racism dan Sectarianism

Bagaimana Meliput Pontianak?
Apa itu Kriminalisasi Pers?
Apakah Wartawan Perlu Dipidanakan?
(2008)

Tuesday, April 08, 2008

Retno dan Rukmi Menemui Norman


NORMAN tiba-tiba menelepon aku di kantor Yayasan Pantau. Suaranya terdengar panik. Ada suara sayup-sayup suara di background. Pesannya tidak jelas. "Pa, I will kill you!" ujarnya. Aku bingung. Aku tanya ada apa? "Don't you know?" teriak Norman.

Makin bingung. Lantas aku tanya, dengan menduga-duga, ada kaitan dengan ibu kandungnya, Retno Wardani. "Is Mama visiting you?" tanyaku. Norman menjawab ya! Dia bilang ibunya ada di dalam kelas bersama Laksito Rukmi. Lantas telepon mati.

Aku segera telepon Sri Maryani, pengasuh Norman, yang diminta Norman menemaninya di sekolah. Yani ternyata tak tahu kalau Retno ada di sekolah. Saat itu lagi jam istirahat makan siang. Yani bilang dia akan segera menuju ruang kelas.

Laksito Rukmi adalah kakak kandung Retno. Dia memiliki sebuah toko di Baturaja, antara Lampung dan Palembang di Pulau Sumatra. Dua anak Rukmi, Taufik Hidayat dan Ayu Paramita, berumur sebaya Norman. Tampaknya Retno minta bantuan Rukmi guna membujuk Norman tinggal dengan Retno di Bintaro, rumah orang tua mereka, M.Th. Koesmiharti.

Aku telepon Norman lagi. Dia terdengar lebih tenang. Dia bilang mereka sudah pergi. Norman mengatakan bahwa Rukmi mengajaknya "pulang" ke Bintaro. Norman menjawab tidak. Rukmi bilang Taufik dan Paramita ingin bertemu Norman. Norman bilang kenapa tidak membawa Taufik dan Paramita ke Senayan?

Aku segera pergi ke sekolah. Sempat diberhentikan Bripka A. Mulyana dari Polsek Sawah Besar di perempatan Pasar Baru karena melanggar rambu jalan. Untung polisinya mengerti bahwa aku sebenarnya ada dalam jalur benar, tapi menghindar dari sebuah bajaj, yang main potong saja. Di sekolah menunggu sekitar 30 menit. Aku mengobrol dengan beberapa satpam Gandhi Memorial International School.

Norman mengomel sepanjang perjalanan pulang. Dia merasa aku tidak mengerti "bahasa sandi" ("I will kill you") bahwa Retno ada di sampingnya. Dia juga mengomel Yani tidak memperhatikan kedatangan Retno dan Rukmi ke sekolah. Dia tak suka dibuat kaget dengan kunjungan mereka. Dia ingin Yani duduk di kantin sekolah dan mengamati kalau Retno datang. Dia juga kesal Retno masih menahan komputernya. Retno pernah bilang dia akan antar komputer ke apartemen. Hari ini Retno minta Norman ambil sendiri komputernya di Bintaro. "It's a trick," kata Norman.

Dia menggerutu dan menyalahkan kami berdua sekitar 15 menit. Aku bilang siapa pun tak mungkin menjaga Norman 100 persen. Dia selalu ada kemungkinan didatangi Retno, ibu kandungnya sendiri. Kami toh tak mungkin menghalangi ibunya bertemu dia. Norman bilang dia minta Retno dihalangi. Minimal beritahu lebih dulu. Aku bilang bagaimana pun Yani juga harus ke toilet atau makan siang. Norman lantas berlinang air mata di mobil. Dia kelihatan capek dan ketiduran. Sesampainya di apartemen, dia tidur pulas di kamarku.

Perasaannya baru lapang sesudah sore bangun tidur. Sejak beberapa tahun lalu aku mengetahui Norman kurang cocok dengan ibunya. Tapi sejak dia tinggal di apartemen, aku sering terkaget-kaget mengetahui betapa dalamnya ketidaksenangan Norman. Retno juga tak mengerti betapa bodohnya memperlakukan anak dengan paksaan. Betapa bodoh berbohong pada lingkungan terdekatnya. Terkadang aku menyesal mengapa aku tak mendengarkan Norman lebih awal, ketika dia kelas tiga atau empat, dan minta pindah ke tempatku. Mungkin keadaan takkan seburuk ini.

Monday, April 07, 2008

Pengasuhan Norman Harsono

Sejak Agustus 2007, anak saya, Norman Harsono, dipindahkan oleh ibu kandungnya, dari rumah gono gini kami di Pondok Indah, ke rumah neneknya di Bintaro. Tindakan ini membuat jarak Norman pergi-pulang sekolah di Kemayoran, jadi lebih dari 120 km setiap hari. 

Norman kehilangan banyak waktu untuk istirahat, belajar dan bermain. Sang ibu, Retno Wardani, kesulitan uang. Retno tak bekerja tetap sejak Januari 2007. Dia tak sanggup bertahan di Pondok Indah tanpa pendapatan tetap. Dia mengontrakkan rumah Jl. Pinang Perak, Pondok Indah, Rp 40 juta setahun agar bisa tetap bertahan. Rencananya, setahun kontrak namun belakangan jadi dua tahun. 

Agustus itu, saya usul agar Norman tinggal bersama saya di apartemen kami di Senayan. Jaraknya relatif lebih dekat ke sekolah, hanya 20 menit. Norman juga ingin tinggal di Senayan. Dia merasa jengah dengan ibunya dengan beberapa alasan lain. Pilihan tinggal di Senayan akan membuat semua persoalan jadi praktis. Jarak sekolah dekat. Biaya transportasi murah dengan bus sekolah. 

Di Bintaro, harus pakai mobil pribadi karena bus sekolah tak mau menjemput. Norman juga bisa menengok Retno kapan pun Norman mau. Retno menolak. Retno bahkan menggunakan polisi ketika Norman tak mau meninggalkan Senayan. Dia sering memaki, menyodok kepala serta melukai perasaan Norman. 

Kami terpaksa melaporkan Retno ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Retno dipanggil tiga kali namun tak pernah datang. 

Pada Desember 2007, panggilan keempat, sesudah dibujuk orang Komisi Perlindungan Anak, Retno menyatakan bersedia datang. Pada detik terakhir dia juga tidak datang. Retno selalu beralasan ketika kami bercerai Desember 2003, pengadilan Jakarta Selatan memutuskan pengasuhan bersama, lima hari Norman tinggal dengan Retno, dua hari dengan saya. Saya menanggung semua biaya pendidikan, kesehatan dan pertumbuhan Norman. 

Saya senantiasa membayar kebutuhan Norman. Tapi perjanjian itu sudah tak sesuai dengan keadaan sekarang. Norman makin besar. Dia merasa tak nyaman tinggal di Bintaro. Ini belum lagi soal asma, pelajaran, tanggungjawab, kecelakaan dan sebagainya. 

Retno merasa punya persoalan dengan perceraian kami. Dia ratusan kali mengatakan pada Norman dia "balas dendam" terhadap papanya Norman. Retno tak tahu bahwa kebenciannya juga mengenai Norman, darah dagingnya sendiri. 

Kini kami berjuang untuk Norman mendapatkan hak-haknya sebagai anak, yang bisa tumbuh dengan nyaman, tanpa rasa takut, tanpa jadi alat penyaluran dendam ibunya. Kronologi ini saya buat, dan senantiasa saya update, agar memudahkan siapa pun yang ingin mengikuti perkembangan masalah ini. Norman hanya satu dari jutaan anak di Indonesia yang dicelakakan oleh orang-orang terdekatnya sendiri. 

Letter from Norman - 10 July 2004 
Singapura dan Norman - October 2005 

Norman Birthday Party - 26 January 2006 
Kepulauan Wakatobi - May 2006 
Sebentuk Cinta yang Tak Tergantikan oleh Linda Christanty 
Surat dari Ende oleh Esti Wahyuni 
Norman's Birthday at School - 26 January 2007 

Norman Operasi Mata - May 2007 
Norman Menjelang Perceraian - 28 April 2007 


Kemayoran-Bintaro 64 Kilometer - 3 September 2007 
Susilahati dari Komisi Anak - 6 September 2007 
Retno Menolak Mediasi KPAI - 26 September 2007 

Norman Kurang Istirahat - 28 September 2007 
Superhero Norman - 29 September 2007 
Mobil Norman Serempetan - 4 October 2007 
Catatan Liburan Lebaran - 20 October 2007 

Janji Games, Janji Kosong - 29 October 2007 
Closure dan Perceraian - oleh Janti Wignjopranoto 
Retno Menudung Pembohong - 11 November 2007 
Messages from Norman - 14 November 2007 

Food Monster Cards - 29 November 2007 
Perkembangan Saga Norman - 30 November 2007 
SMS dari Norman - 5 January 2008 

Norman Got Tattos - 11 January 2008 
Harry Potter di Bangkok - 20 January 2008 
Menunggu di Airport Bangkok - 22 January 2008 

Yani Mundur Norman Panik - 28 February 2008 
Seragam Lusuh, Daki Hitam - 5 March 2008 

Wednesday, April 02, 2008

Norman Menegaskan soal Tempat Tinggal


SIANG kemarin, Norman mengirim SMS pendek, "Call hp." Aku baru selesai bertemu dengan Eri Sutrisno, mantan pemasaran majalah Pantau, yang hendak pergi ke Washington DC dan New York. Aku pun segera menelepon handphone Norman di sekolah.

Norman langsung bilang ibunya, Retno Wardani, tadi menemuinya saat pelajaran bahasa Prancis. Guru mengizinkan Norman bertemu Retno.

Menurut Norman, Retno hanya ingin bertemu Norman serta bertanya apabila Norman mau "pulang" ke Bintaro. Norman menjawab dia mau tinggal di Senayan, tak mau ke Bintaro.

Retno juga bilang tinggal di Senayan membuat Norman membenci ibunya. Norman membantah. Norman bilang aku membebaskan dia untuk kapan pun mau pergi ke Bintaro. Namun Norman memilih tinggal di Senayan.

Norman menambahkan bahwa tinggal di Senayan membuatnya merasa "calmer" menilai mamanya. Kelak kalau dia merasa ingin pergi ke tempat mamanya, dia akan pergi sendiri. Retno lantas pergi dari sekolah.

Siangnya, ketika aku menjemput Norman dari sekolah, dia cerita sekali lagi pertemuan itu. Retno bersikap baik, tidak memaksa-maksa. Norman menunjukkan lembaran Rp 50,000 dua buah. "These are from her. She said to use this to buy a toy," kata Norman, tertawa. Dia menghitung-hitung jumlah tabungannya sekarang.

Sri Maryani, pengasuh Norman, yang kebetulan pagi ini aku mintai tolong bayar uang bulanan sekolah, tersenyum mendengar cerita ini.

Tuesday, April 01, 2008

Gerry van Klinken: From Physics to Politics

Gerry van Klinken of Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies

Text and Photo by Alpha Amirrachman
The Jakarta Post
Leiden, the Netherlands


Making a switch from geology to Asian studies may not be the conventional path for an academic to take, but a fascination with Indonesian politics was enough for Gerry van Klinken.

Now a research fellow with the 157-year-old KITLV (Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies) in Leiden, van Klinken describes the move as "a big shift".

Over ten years of teaching physics at universities in Malaysia and Indonesia, his passion for Asian culture and politics, and particularly Indonesia where he spent his early childhood, grew.

So he decided to pursue a PhD in Indonesian history at Griffith University in Australia, which he completed in 1996. Since then he has taught and conducted research at universities in Brisbane, Sydney, Canberra, Yogyakarta and now Leiden.

From 1998 he became a frequent media commentator on Indonesian current affairs.

Born in the eastern part of the Netherlands in 1952, van Klinken spent his early childhood in Doom, a small island of Sorong in what is now known as West Papua, after his family moved there in 1956.

His father was a police officer who trained would-be Papuan officers, though he accepted the role more for his enthusiasm to explore the then Dutch colony.

The family moved back to the Netherlands in 1962, three years before West Papua's integration into the newly independent Indonesia.

"But like any other Dutch family who had spent time in Indonesia, we found the Netherlands too small and too cold," the self-effacing scholar said.

His family decided to move to Australia where they found open space and nicer weather. To earn a living, his father became a businessman.

It was in Australia that van Klinken met Helene, who he married in 1976. The couple now have two grown up children, Ben and Rosie.

During the early years of their marriage, van Klinken and his wife talked about making a trip to Indonesia, the country that thrilled him with childhood memories.

So they departed for Indonesia, learnt Indonesian in Salatiga, Central Java, and made a trip through the archipelago as hippies in 1977.

After receiving MSc in geophysics from Macquarie University in Sydney in 1978, van Klinkan aspired to teach at universities in Indonesia.

However, since no jobs were available, he moved to Malaysia in 1979 and taught physics at universities for three years before moving back to Indonesia to teach physics at Satyawacana University, Central Java, in 1984 for seven years.

It was during this period van Klinken mingled with Indonesian intellectuals such as George Junus Aditjondoro, Arief Budiman, Ariel Heryanto and student activists like Stanley Adi Prasetya and Andreas Harsono, who gradually bolstered his passion for Indonesian politics.

Van Klinken witnessed and involved himself in a new generation of student activism at the time of the controversial development of a dam in Kedungombo, Central Java -- a New Order development disaster that became a research topic for George Junus Aditjondro's PhD dissertation.

"But it was the late Herbert Feith who really excited me about Indonesian study and influenced me seriously to switch to this area of study," van Klinken said.

Herbert Feith was an Australian academic whose work on Indonesia was greatly referred to by many scholars.

Van Klinken completed his PhD in Indonesian history from Griffith University with a dissertation on political biographies of three Indonesian Christian figures, Amir Syarifuddin, Kasimo and Sam Ratulangi.

He later became editor of the Australian quarterly magazine Inside Indonesia (1996-2002), publishing stories on the people of Indonesia, their culture, politics, economy and environment.

From 1999 to 2002 van Klinken became resident director in Yogyakarta for the Australian Consortium of In-Country Indonesian Studies (ACICIS).

The Commission for Reception, Truth and Reconciliation in East Timor (CAVR) also recruited him as research advisor from 2002 to 2004.

"Basically since 1998, I have been working on contemporary Indonesia. Ethnic and religious conflicts are really a new chapter in Indonesian history," he said, referring to violence that engulfed some areas in Indonesia after the collapse of the New Order regime.

Van Klinken was especially disturbed by what he dubs "the silence in Jakarta" about ethnic cleansing in Central Kalimantan, where a sizable Madurese population was reportedly massacred and driven out of the territory during a terrible bloodbath with other ethnic groups in Central Kalimantan.

Madurese figures in Jakarta like Amir Santoso, Didik Rachbini and Atmonegoro tried hard to speak on behalf of the victims but to no avail, van Klinken said.

"So there was a crisis in the conception of Indonesian citizenship," he said.

The Education, Internalization, and Implementation of Pancasila (P4) program that had been enforced for decades was called into question after the collapse of the New Order.

Post-1998 also saw four streams of political changes, van Klinken said.

First was the cosmopolitan movement, where elite intellectuals like Garin Nugroho produced movies about being an Indonesian at the time of the crisis.

Second was the Islamist movement, which saw the mushrooming of Islamic-oriented political parties with narrow-minded conceptions of Indonesian citizenship.

Third was the putra daerah, or "local son", a revival of pride in local identity, which also neglected migrants that had also lived in an area for a long time, such as the Madurese in Central Kalimantan.

Fourth was the labor movement, with more worker unions established, along with a new generation of labor activists.

"Another interesting phenomenon is the revival of Indonesian-Chinese identity. Many of my Indonesian-Chinese friends began to write about their own social identities and Chinese cultural inheritance in Indonesia," van Klinken said.

He mentioned people like Ong Hok Ham, Liem Soei Liong, Andreas Susanto and Stanley Adi Prasetya.

"For example, I asked human rights activist Liem Soei Liong to present his paper on Indonesia's human rights situation for an upcoming conference on the Indonesian reformasi movement at Universiteit van Amsterdam this May, but he refused because he said he wanted to write specifically about the Chinese now," van Klinken said.

Liem Soei Liong is a co-founder and editor of the UK-based Tapol magazine, which regularly reports human rights abuses by Indonesian authorities.

Van Klinken's passion for Indonesia has also been passed on to his wife. Helena is now completing her PhD at Queensland University in Australia.

Her dissertation is about East Timorese children who were taken away to live in Indonesia.

"There were mixed motives, human and religious motives and thousands of East Timorese children (were involved)," he said.

There was also evidence that an emotional bond developed between Indonesian soldiers and Timorese youths during the Indonesian occupation.

Back then many East Timorese youths were employed by the Indonesian army as Tenaga Bantuan Operasi (TBO) or Operational Force Assistants.

Van Klinken said Alfredo Reinado, an East Timorese military renegade and rebels' leader who was killed during a recent failed coup in East Timor, was one such example.

In May 2006, Reinado led a revolt against the government after its controversial dismissal of 600 soldiers in the newly independent country.

Back then the young Reinado was a TBO and was taken to Indonesia by a soldier he had become close to.

"But the soldier's family mistreated him as they considered him to be a burden, as they already had children to raise," van Klinken said.