Tuesday, April 08, 2008

Retno dan Rukmi Menemui Norman


NORMAN tiba-tiba menelepon aku di kantor Yayasan Pantau. Suaranya terdengar panik. Ada suara sayup-sayup suara di background. Pesannya tidak jelas. "Pa, I will kill you!" ujarnya. Aku bingung. Aku tanya ada apa? "Don't you know?" teriak Norman.

Makin bingung. Lantas aku tanya, dengan menduga-duga, ada kaitan dengan ibu kandungnya, Retno Wardani. "Is Mama visiting you?" tanyaku. Norman menjawab ya! Dia bilang ibunya ada di dalam kelas bersama Laksito Rukmi. Lantas telepon mati.

Aku segera telepon Sri Maryani, pengasuh Norman, yang diminta Norman menemaninya di sekolah. Yani ternyata tak tahu kalau Retno ada di sekolah. Saat itu lagi jam istirahat makan siang. Yani bilang dia akan segera menuju ruang kelas.

Laksito Rukmi adalah kakak kandung Retno. Dia memiliki sebuah toko di Baturaja, antara Lampung dan Palembang di Pulau Sumatra. Dua anak Rukmi, Taufik Hidayat dan Ayu Paramita, berumur sebaya Norman. Tampaknya Retno minta bantuan Rukmi guna membujuk Norman tinggal dengan Retno di Bintaro, rumah orang tua mereka, M.Th. Koesmiharti.

Aku telepon Norman lagi. Dia terdengar lebih tenang. Dia bilang mereka sudah pergi. Norman mengatakan bahwa Rukmi mengajaknya "pulang" ke Bintaro. Norman menjawab tidak. Rukmi bilang Taufik dan Paramita ingin bertemu Norman. Norman bilang kenapa tidak membawa Taufik dan Paramita ke Senayan?

Aku segera pergi ke sekolah. Sempat diberhentikan Bripka A. Mulyana dari Polsek Sawah Besar di perempatan Pasar Baru karena melanggar rambu jalan. Untung polisinya mengerti bahwa aku sebenarnya ada dalam jalur benar, tapi menghindar dari sebuah bajaj, yang main potong saja. Di sekolah menunggu sekitar 30 menit. Aku mengobrol dengan beberapa satpam Gandhi Memorial International School.

Norman mengomel sepanjang perjalanan pulang. Dia merasa aku tidak mengerti "bahasa sandi" ("I will kill you") bahwa Retno ada di sampingnya. Dia juga mengomel Yani tidak memperhatikan kedatangan Retno dan Rukmi ke sekolah. Dia tak suka dibuat kaget dengan kunjungan mereka. Dia ingin Yani duduk di kantin sekolah dan mengamati kalau Retno datang. Dia juga kesal Retno masih menahan komputernya. Retno pernah bilang dia akan antar komputer ke apartemen. Hari ini Retno minta Norman ambil sendiri komputernya di Bintaro. "It's a trick," kata Norman.

Dia menggerutu dan menyalahkan kami berdua sekitar 15 menit. Aku bilang siapa pun tak mungkin menjaga Norman 100 persen. Dia selalu ada kemungkinan didatangi Retno, ibu kandungnya sendiri. Kami toh tak mungkin menghalangi ibunya bertemu dia. Norman bilang dia minta Retno dihalangi. Minimal beritahu lebih dulu. Aku bilang bagaimana pun Yani juga harus ke toilet atau makan siang. Norman lantas berlinang air mata di mobil. Dia kelihatan capek dan ketiduran. Sesampainya di apartemen, dia tidur pulas di kamarku.

Perasaannya baru lapang sesudah sore bangun tidur. Sejak beberapa tahun lalu aku mengetahui Norman kurang cocok dengan ibunya. Tapi sejak dia tinggal di apartemen, aku sering terkaget-kaget mengetahui betapa dalamnya ketidaksenangan Norman. Retno juga tak mengerti betapa bodohnya memperlakukan anak dengan paksaan. Betapa bodoh berbohong pada lingkungan terdekatnya. Terkadang aku menyesal mengapa aku tak mendengarkan Norman lebih awal, ketika dia kelas tiga atau empat, dan minta pindah ke tempatku. Mungkin keadaan takkan seburuk ini.

5 comments:

Rudi said...

Cia yo Norman... :)

Unknown said...

Wah,Norman...You are on right track!
Viva Norman!

Welcome to My Pieces of Life said...

Salam kenal Mas Andreas,

Salam juga untuk Norman, tetap semangat ya...

Saya link ke blog saya Mas.

Unknown said...

Saya sedih dan "ngeri" membaca ketidak-sukaan Norman pada ibu kandungnya.

Kebetulan saya seorang ibu dari anak berusia 7 tahun yang mulai kritis pada dunia sekitarnya.

Terlepas dari fakta yang memberikan gambaran bahwa ibu kandung Norman bukanlah sosok ibu ideal dan ibu idaman, jujur saya tetap ngeri membayangkan bagaimana rasanya seorang ibu bila anak kandungnya sampai antipati terhadap orang yang sudah melahirkan dan mengurus si anak dari bayi.

Semoga rasa ketidak-sukaan dan antipati itu dapat dinetralisir sedemikian rupa sehingga Norman tidak tumbuh dengan kebencian dalam hatinya.

mice said...

Salam kenal, Mas Andreas...
Ga sengaja saya ketemu blog Mas dan ngeliat cerita2 Mas ttg Norman.
Saya iri dengan Norman yang punya figur seorang Ayah yang dekat dan tidak segan menunjukkan afeksinya.
My Father didn't do such things, but i know he loves me =)
I'm just 21, not have a child yet, but it's very sad to know how a child hates his mother so much.
Saya gatau apa yang terjadi antara Norman dengan mamanya dan mungkin dia bukan mama yang baik untuk Norman.
tapi ada satu hal yang saya tau pasti, bgaimanapun perilaku orangtua kita, mereka tetap orangtua kita.
apalagi ketika saya baca Norman ke Gereja, dimana saya yakin, firman Tuhan mengatakan Hormatilah ayah dan ibumu...
Saya berharap, Mas Andreas sebagai seorang Ayah yang begitu mengasihi Norman dapat memberi pengertian pada Norman to act properly to his mom without hates her.
But, I think it should come first from you, Mas =)
God Bless...