Monday, June 04, 2001

Dari Hari ke Hari

Andreas Harsono

KEMAL Jufri punya sebuah mimpi. Ia ingin mengumpulkan beberapa fotografer Indonesia, teman-temannya, untuk memotret dan bekerja sama, mendirikan sebuah agen pemotretan dimana hasil jepretan mereka dikumpulkan, diatur, dan dipasarkan bersama.

Ide ini muncul setelah Jufri bekerja freelance melayani permintaan foto suratkabar internasional. Fotografer Indonesia belum bisa memenuhi permintaan suratkabar macam Time, Newsweek, The New York Times, Business Week, Asiaweek dan sejenisnya. Sering pekerjaan ini diberikan pada wartawan foto asing, baik yang tinggal di Jakarta maupun yang dikirim ke Indonesia untuk memotret.

Padahal jepretan wartawan lokal tak kalah mutunya. Apalagi mereka menguasai bahasa dan lapangan. Mereka juga tak kalah dari teknik pemotretan. Kekalahannya lebih pada kemampuan berbahasa Inggris, kecepatan melayani klien, serta manajemen. Penugasan pemotretan itu buntutnya lebih banyak diberikan pada fotografer asing.

“Saya bersaing mati-matian dengan bule-bule itu,” kata Jufri.

Jufri lebih sering melayani suratkabar asing karena upah harian atau day rate mereka cukup tinggi. Majalah Asiaweek membayar US$250 atau Rp 2.5 juta per hari. Majalah Time $500 sedang Business Week $800.

Wartawan foto freelance memang diupah harian, bukan dihitung setoran foto. Suratkabar bersangkutan minta hak pertama memakai foto. Tapi hak cipta tetap ada di tangan si wartawan. Kelak bila suratkabar bersangkutan ingin memakai lagi foto tersebut, ia harus membayar lagi tapi dengan tarif lebih rendah. Makin lama makin rendah.

Ironisnya di Jakarta tarif rata-rata foto yang dibeli kantor berita asing, maupun suratkabar lokal, berkisar Rp 100 ribu per lembar (termasuk negatif foto). Padahal kantor berita asing yang sama, di luar Indonesia membayar selembar foto setidaknya $35.

“Indonesia kayaknya yang paling parah,” kata Jufri.

Oscar Motuloh dari Galeri Foto Jurnalistik Antara mengatakan, “Banyak juragan koran (Indonesia) menganggap fotografer sebagai second citizen sementara fotografernya juga tak menyiapkan diri sebagai wartawan foto tapi tukang foto.”

Pada Maret 2001 Kemal Jufri menjadikan mimpinya itu Dina Purita Antonio, pacar-merangkap-partner kerjanya, dengan mendirikan agen foto Imaji. Mereka menyewa sebuah rumah kontrakan di daerah Menteng, Jakarta, yang dipakai bersama organisasi lain. Mereka pakai satu ruangan di mana foto-foto Jufri dibuat katalognya, diberi tanggal, keterangan dan sebagainya.

“Ini sebenarnya pindah kerja saja dari apartemen kami ke kantor,” kata Antonio, seorang produser film, yang kini membantu manajemen Imaji. Ia mengatakan pekerjaan buat Jufri terkadang mengalir bertubi-tubi. Terkadang mereka harus menolak karena Jufri sedang mengerjakan pemotretan lain. Ketika Jufri menawari temannya, pihak klien biasanya ragu-ragu. Kalau ada kantor, setidaknya nama kantor itu bisa dijual.

“Saya akan pilih fotografer lokal yang bagus, freelance. Saya akan ajak dia jadi associates. Kita coba market foto-foto kita sendiri,” kata Jufri, mantap.


YUDHI Soerjoatmodjo baru memimpin Galeri Foto Jurnalistik Antara pada 1994 ketika seorang pemuda tanggung, berkulit bersih dengan kumis tipis, datang menemuinya dan bilang tertarik belajar fotografi. Si pemuda lulusan sekolah menengah di Hawaii, Amerika Serikat. Bahasa Inggrisnya lancar. Pemuda itu menyatakan ingin ikut sanggar kerja selama lima atau enam bulan yang diadakan oleh Soerjoatmodjo.

Soerjoatmodjo melihat pemuda itu berbakat walau belum pernah pegang kamera. Ternyata Kemal Jufri jatuh cinta pada fotografi. Di sinilah Jufri, si pemuda itu, belajar memotret, mengenal angle, mengamati obyek, dan memindahkan drama kehidupan ke atas kertas.

Seusai sanggar kerja, Oscar Motuloh, waktu itu redaktur foto kantor berita Antara, mengajak Jufri magang di Antara. Motuloh menyuruh Jufri memotret melulu hanya dengan kamera sederhana, lensa tunggal, hitam putih dan tanpa lampu.

Tetapi Motuloh selalu mengajaknya diskusi. Mana yang kurang, mana yang bagus. Perlahan-lahan foto Jufri ada yang dipakai oleh Antara. Ini pelajaran yang sangat berharga buat Jufri. Motuloh senang karena Jufri masih muda, bakatnya besar dan menunjukkan kemajuan cepat.

Jufri pun mulai bekerja freelance, memotret buat majalah Asiaweek, Media Indonesia Minggu, Agence France Presse dan sebagainya. Niatnya untuk kuliah tak kesampaian karena ia tak pernah sepi pekerjaan. AFP yang berkantor di daerah Menteng bahkan mengontraknya untuk memotret selama dua tahun. Jufri bahkan sempat tiga bulan jadi penanggungjawab foto di kantor berita ini.

Ia bersama seorang fotografer Indonesia juga sempat diminta oleh Sebastiao Salgado, fotografer legendaris dari Brazil, untuk menjadi asisten Salgado ketika Salgado sedang berada di Indonesia, memotret untuk bahan bukunya Migrations: Humanity in Transition.

Jufri mengamati bagaimana Salgado mengambil gambar demi gambar. Salgado adalah seorang Marxis asal Brazil. Ia belajar ekonomi di Prancis tapi memutuskan pindah jalur. Buku Salgado sebelumnya Workers: An Archeology of the Industrial Age memenangkan banyak penghargaan karena kemampuan Salgado selama 15 tahun mendokumentasikan berbagai wajah pekerja di banyak negara. Ada gambar buruh baja di Prancis dan Ukraina, pemetik teh di Rwanda, kuli dam di India, buruk pabrik di Rusia, penambang belerang di Indonesia.

Karena rasa ingin tahu, selama membantu Salgado, Jufri sempat tanya berapa upah harian Salgado?

Fotografer senior ini mengatakan di dunia sekarang ada tiga fotografer yang menentukan sendiri day rate mereka: Mary Ellen Mark, Richard Avedon dan dirinya. Ketiganya menentukan upah harian $60.000 buat kerja jurnalisme. Jufri terbelalak!


PADA 13 Mei 1998, sehari setelah empat mahasiswa Universitas Trisakti tertembak mati, Jufri berada di depan kampus Trisakti di kawasan Grogol, Jakarta. Banyak orang marah terhadap pembunuhan itu. Kemarahan tak terkendali, massa mulai merusak, membakar mobil, dan mendekati sebuah pompa bensin. Jufri ada di tengah-tengah mereka.

Dari arah yang berbeda ada polisi. Mereka melepaskan tembakan peringatan dan massa berlarian. Jufri ikut lari sambil memotret. Tiba-tiba … tek … terasa panas di punggung. “Kayaknya ditimpa batu yang keras banget. Kayak sesuatu nusuk, nyelekit, panas,” kata Jufri.

“Nih kayaknya ketembak.”

Jufri minta seorang teman memeriksa.

“Wah berdarah!”

Orang-orang yang marah itu berhenti, mengelilingi Jufri dan ribut, “Wartawan ketembak! Wartawan ketembak!” 

Jufri menenangkan mereka, minta agar jangan dibesar-besarkan.

Ternyata pelurunya karet sehingga tak tembus. Hanya ada luka agak dalam di punggung. Jufri merasa punggungnya mati rasa. Mereka usul Jufri ke rumah sakit tapi ia menolak.

“Saya lagi dalam tugas dan kerusuhan masih akan berlangsung.”

Jufri istirahat sebentar. Seusainya Jufri pun memotret lagi dan kembali ke kantor AFP dan mengirim foto. Petangnya ia pergi ke sebuah klinik, lukanya dibersihkan dan dokter memberinya obat infeksi.

Saat itu redaktur foto AFP di biro regional Hongkong adalah Johanna Sherry. Ia sering berhubungan dengan Jufri. Ketika Sherry pindah ke majalah Time, Jufri juga sering dimintanya memotret buat Time.

“Saya kira Kemal adalah salah satu wartawan foto Indonesia yang terbaik, dia selalu menghasilkan foto-foto yang solid bila sedang ditugaskan oleh Time,” kata Johanna Sherry. Jufri tak pernah mengecewakannya. Jufri selalu bekerja keras, selalu menghasilkan yang terbaik.

Pada suatu petang bulan November 1998, Jufri pergi ke Semanggi, Jakarta, dan berada di antara dua kelompok besar yang sedang berhadap-hadapan. Di satu sisi adalah pasukan Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) sedang di sisi satunya para mahasiswa yang menuntut pemerintahan Presiden B.J. Habibie diganti.

Ketegangan memuncak. Jufri memperhatikan senjata di tangan tentara dikokang. Tiba-tiba para prajurit Kostrad mulai menembak mahasiswa. Ia memperhatikan seorang prajurit Kostrad menembaki mahasiswa dari sebuah panser dengan marah.

Ia mendekati prajurit itu dan memotretnya. Jepretan yang luar biasa! Jepretan yang memindahkan drama Semanggi ke lembaran foto. Tentara satunya cepat-cepat menggamit si pemarah dan memberitahu kalau ia sedang dipotret. Jufri dipelototi tapi Jufri cepat-cepat menyingkir.

Saat pemilihan umum pertama pasca-Soeharto, Jufri pernah terjepit di antara polisi dan demonstran Partai Rakyat Demokratik depan kantor Komisi Pemilihan Umum. Tiba-tiba polisi menembak. Kamera Jufri terkena peluru nyasar sehingga ujung lensanya hancur. Kalau saja peluru itu meleset satu sentimeter, bokong Jufri yang tertembus peluru.

Tapi pemuda tanggung itu sudah berubah jadi wartawan foto kelas internasional. Jufri terus mengambil foto. Ia selalu mau yang paling depan, yang paling dekat bahaya. Hasil jepretannya memenangkan banyak pujian. Sebuah organisasi di Amerika Serikat bahkan menghadiahnya penghargaan “The Picture of the Year” karena sebuah fotonya dimuat oleh majalah US News & the World.

“Saya merasa bangga. Dia mungkin yang paling bikin saya bangga. Dia murid pertama saya,” kata Soerjoatmodjo, kini bekerja di lembaga grafis “i see” di Jakarta.

Wayne Arnold dari The New York Times juga memuji Jufri. Arnold adalah reporter ekonomi dan Jufri beberapa kerja memotret buat menyambung laporan Arnold. Memotret buat halaman ekonomi lebih sulit karena foto itu harus mampu menerangkan konsep ekonomi dalam garapan. “Tapi Kemal mampu menyesuaikan matanya untuk melihat komposisi yang peka dan cocok dengan topik tersebut.”

Kelebihan Jufri lainnya, menurut beberapa wartawan, adalah kemampuannya untuk mengambil foto buat kulit depan majalah. “Di kepalanya sudah terbentuk untuk cover majalah. Pemasaran pun sudah ada di kepalanya,” kata Motuloh.

Tapi terkadang Jufri tak mendapatkan kehormatan kulit depan. Pada Februari 2001, Jufri dikirim Sherry dari Time pergi ke Sampit, di jantung Kalimantan, di mana orang-orang Dayak bersengketa melawan orang Madura. Ada ratusan orang Madura dibunuh.

Time justru memakai foto Associated Press ketimbang Jufri. Foto itu memperlihatkan dua tubuh Madura tanpa kepala dan seorang Dayak memegang tombak. “Salah satu redaktur saya ingin ngotot ingin memperlihatkan horor Sampit dan AP punya gambarnya,” kata Sherry.

Jufri sempat repot menerangkan hal ini pada teman-temannya di Jakarta, seakan-akan ia kalah dari Charles Dharapak dari Associated Press. Bagaimana Jufri yang justru dibayar oleh Time tapi foto kulit depan justru milik Dharapak?

Yudhi Soerjoatmodjo menganggap baik jepretan Jufri maupun Dharapak, sebenarnya tak istimewa. Sampit menawarkan momen yang luar biasa. Yang perlu dipuji dari kedua fotografer muda itu, satu orang Indonesia dan satunya orang Thai-Amerika, adalah keberanian mereka menempuh risiko.

Sherry dalam emailnya kepada saya mengatakan ia puas dengan penugasan itu. Dalam bisnis majalah biasa terjadi foto diambil dari kantor berita. Jepretan Jufri ada yang kuat dan dipakai di majalah Time. Serangkaian foto Jufri tentang Sampit juga diletakkan sebagai esei di situs web Time.


PADA 1974 suhu politik di Indonesia cukup tegang karena munculnya demonstrasi-demonstrasi antimodal asing. Dalam suasana macam itulah seorang wartawan majalah Tempo, Fikri Jufri menyaksikan kelahiran putra pertamanya. Fikri menamai bayi laki-laki itu Kemal.

Kemal adalah anak kedua. Kemal punya seorang kakak dan adik perempuan. Mereka dibesarkan dalam tradisi keluarga Arab-Indonesia.

Bicara soal Kemal Jufri tak lengkap bila tak menyinggung Fikri Jufri. Soalnya, Fikri adalah salah satu nama terkenal dalam dunia jurnalisme Indonesia. Selentingan sering terdengar bahwa sukses Kemal terjadi karena Fikri.

“Oh itu kan anaknya Fikri.”

“Mal, kameranya ini-ini aja? Minta sama babe lu!”

Fikri adalah salah seorang pendiri Tempo. Ia juga dikenal sebagai wartawan ekonomi yang bagus. Fikri pernah bikin reportase soal korupsi perusahaan minyak Pertamina. Ia pernah mewawancarai Liem Sioe Liong, pengusaha kelas kakap dari Salim Group, yang terkenal suka menghindari publikasi.

Tempo jadi majalah yang secara ekonomis menguntungkan bahkan beranak pinak melahirkan Jawa Pos News Network, sebuah kelompok media dengan lebih dari 100 perusahaan, yang berpusat di Surabaya. Fikri adalah pemegang saham minoritas baik Tempo maupun Jawa Pos. Kantongnya cukup tebal.

Tapi Fikri juga dikenal sebagai seorang selebritas. Kehadirannya diharapkan di berbagai acara. Fikri tertawa, Fikri bergurau, dan Fikri punya banyak teman. Dia juga moderator ulung, pandai melontarkan humor, membuat acara seminar serius mudah dicerna segar.

Ketika Kemal duduk di bangku sekolah menengah, ibunya Anisa, meninggal dunia karena penyakit pernafassan. Ada kesedihan yang sangat mendalam pada keluarga Jufri. Fikri mengatakan pada saya bahwa Kemal sangat terpukul karena kematian ibunya.

Fikri otomatis jadi single parent, jadi ayah maupun ibu bagi Amira, Kemal dan Karima. Fikri mengurangi urusannya di Tempo

“Saya bukan ayah yang minta anak ini atau itu. Tapi siap kalau diminta bantuan,” kata Fikri, seraya menambahkan kalau biaya untuk belajar, apapun dilakukannya.

Kemal dikirimnya ke Hawaii untuk sekolah menengah. Amira dikirimnya ke Australia. Fikri juga jadi ketua asosiasi orang tua murid di sekolah Amira di Al Azhar Jakarta.

Kemal mengatakan ayahnya banyak membantu. “Tapi dia nggak gampang ngasih duit ke anak.” 

Kemal sering mencicil buat beli peralatan. Fikri ingin mendidik Kemal dengan benar. Fikri tidak pelit tapi juga tahu batas. Ketika Kemal mulai belajar memotret, Fikri menyediakan waktu mengantar Kemal ke lokasi-lokasi pemotretan.

“Kalau nggak butuh-butuh banget saya nggak akan datang ke dia,” kata Kemal.

Hubungan anak laki-laki dengan ayahnya terkadang rumit. Apalagi bila keduanya berada dalam satu lapangan yang sama. Kemal dan Fikri sama-sama wartawan. Bedanya Fikri wartawan tulis sedang Kemal wartawan foto. 

“Kalau ada bahaya gua sembunyi, kalau dia justru lari mendekati bahaya,” kata Fikri.

Ini sering bikin Fikri khawatir. Tidak sekali dua Fikri harus berdebar-debar memikirkan Kemal. Terkadang Fikri sampai tak mau mendengarkan cerita saksi mata karena bikin hatinya kecut.

Jufri senior berpendapat layaknya semua orang tua, ia ingin semua anaknya maju, bahkan lebih baik dari orang tua mereka. Kemal sudah memilih jalannya dan Fikri berharap Kemal bisa mempunyai kehidupan ekonomi yang baik. Dia mengatakan bangga terhadap Kemal.

Warren Caragata dari Asiaweek memberitahu saya suatu hari dia ketemu Fikri, “Ketika tahu saya dari Asiaweek, Fikri cerita soal anaknya yang juga kerja di Asiaweek. Dari pembicaraan itu, jelas sekali bahwa ayahnya Kemal ini sangat bangga dengan anaknya.”

Sebaliknya Kemal juga sering khawatir terhadap kesehatan dan gaya hidup ayahnya. Sejak ditinggal Anisa, sebagai bujangan, harap maklum, kalau kurang ada yang menjaga Fikri. Seiring meningkatnya usia Kemal, ia sekarang yang gantian merasa khawatir dengan gaya hidup hura-hura dan kesehatan Fikri.

Kemal berpendapat sebagai wartawan foto semua jaringan yang dibangunnya dibuatnya sendiri tanpa bantuan si ayah.

“Dia jadi sendiri,” kata Fikri. Kalau ada masukan buat anaknya, Fikri usul manajemen Imaji diatur oleh orang yang mengerti. Ia juga ingin anaknya kuliah, mungkin lewat sekolah jarak jauh.

“Saya tak tahu latar belakang Kemal ketika ia mulai bekerja buat kami. Kemal menunjukkan bakat besar sejak awal. Dalam dua atau tiga tahun ini, dia bahkan berkembang jadi seorang fotografer jempolan dengan standar internasional,” kata Johanna Sherry dari Time.

“Sekarang dalam posisi ini, dia sudah melebihi bapaknya pada usia yang sama,” kata Motuloh.

Soerjoatmodjo berpendapat Jufri belum menunjukkan kematangannya sebagai individu. Teknik sudah beres. “Banyak hal yang mesti dia lakukan untuk personality, relationship. Itu perlu untuk bekerja.” 

Friday, June 01, 2001

Indonesian Media at the Crossroads

By Andreas Harsono/Jakarta

The Irrawaddy June 01, 2001

Three years after the fall of Suharto, the Indonesian press is facing new challenges in the wake of sudden media liberalization and rapid market expansion.


Andy F. Noya’s schedule has changed these days. He still goes regularly to his office very early in the morning, has editorial meetings and discusses budgets, but now most days he stays and works until after midnight.

His wife has stopped waiting for him to come home for dinner. He has a simple reason for this extra work. Noya helped set up Indonesia’s first 24-hour news-only Metro TV station in December and now has to work non-stop to keep it running well.

All across Indonesia, far from the glittering capital of Jakarta, in the more self-governing provincial cities in this vast archipelago, many journalists, producers, photographers, radio hosts and cameramen are sharing a similar experience. They work harder, if necessary from dawn to dusk, and keep joining as well as setting up new news organizations.

These massive changes have taken place rapidly since the fall of Indonesian dictator Suharto in May 1998, 32 years after he seized power. Suharto’s successors rushed to lift Dutch-inherited media laws that had had a stranglehold on the media for more than two centuries.

One law required newspapers to apply for government licenses. Another regulation prevented private radio and television stations from producing news reports. A ministerial decree also required reporters to join the single and compulsory state-sanctioned journalists’ association.

Many journalists played hide-and-seek with the Suharto regime to publish underground newspapers or to organize alternative unions. Suddenly all of these laws have gone, and they are free to do whatever they want.

Noya found himself establishing Metro TV with an investment of around US $50 million. Three other new stations are going to join the market this year, making altogether 10 stations in this country of 200 million.

The number of newspapers has also increased dramatically from around 200 during the three-decade rule of Suharto to more than 1,000 newspapers just one year after his dramatic exit.

Now it is difficult to even count the number of new newspapers. The democratically elected President Abdurrahman Wahid closed down the notorious Ministry of Information just a week after he was elected president in October 1999. "What’s its use? It did nothing but monitor and censor the media," said Wahid when responding to protests of around 40,000 ministry employees.

More than 800 radio stations have also been set up, racing to produce their talk shows and news reports. Dotcom startups have also joined the competition, creating many Internet portals whose contents range from news reports to cultural shows, from hobbies to pornography.

However, setbacks have also taken place. Atmakusumah Astraatmadja, winner of the Magsaysay Award for media and literature and the chairman of Indonesia’s Press Council, has repeatedly warned the media that their credibility is suffering as more and more inaccurate news reports appear throughout the country.

The problem is simple—the Indonesian media cannot afford to keep up the boom. Several inexperienced people have jumped into the media market. Andy F. Noya’s credibility was also questioned, when he conducted a so-called interview with former Indonesian army chief Gen Wiranto. It turned out that the interview was paid for by Wiranto to help soften his image. Wiranto allegedly masterminded the burning and killing in East Timor after a UN-sponsored referendum in 1999.

Mobs have often taken the law into their own hands, attacking journalists and news organizations over what they believe to biased reports. Some journalists have been found killed for allegedly conducting activities not related to journalism, such as blackmailing politicians or businessmen or becoming middlemen in shady activities.

In June 2001, Wahid himself accused the media of conducting a "character assassination" campaign against him. Wahid was not specific, but apparently this was a reference to some media speculations on a cabinet reshuffle as well as to an allegation that Wahid had had an affair with a young woman.

Indeed, the affair did cause a hot debate among journalists—perhaps one of the most important debates among journalists in Indonesia. The affair began in 1995 when a common friend introduced the then 33-year-old Aryanti Sitepu to Wahid, who was an influential cleric. They fell in love and began meeting either in Jakarta or on the tourist island of Bali. Sitepu kept the relationship a secret, although she managed to make pictures of their frequent meetings.

According to Sitepu, Wahid had promised to marry her, prompting Sitepu to ask for a divorce from her husband. Wahid allegedly had some elder Muslim clerics seeking a second wife since his first wife was crippled in a traffic accident.

But the affair quieted down after Wahid suffered a stroke. The nearly blind cleric, however, managed to overcome the worst of his agony and was elected president in 1999. Sitepu and her ex-husband, Muh Yannur, however, could not take it and wanted to expose the affair. Yannur began to circulate Sitepu’s letters, along with a private photo, and began to talk to opposition leaders.

Gatra weekly magazine broke the news on September 2, 2000. The report gave standard coverage, covering both sides, printing interviews with Sitepu but also a denial from the Wahid family. "We would like to implement the principle of amar ma’ruf nahi mungkar, especially as he is a public figure," said Gatra chief editor Widi Yarmanto, referring to a Koranic verse which basically encourages Muslims to uphold justice and to fight injustice. Other newspapers immediately jumped on the bandwagon, prompting Sitepu to go into hiding, though she still managed to conduct interviews with several radio stations.

Newspapers such as Kompas, Indonesia’s largest serious daily, or the Surabaya Post, an evening newspaper in Indonesia’s second largest city, Surabaya, declined to print even her name. "We want to appear a decent newspaper that can be trusted," said editor Zaenal Arifin Emka of the Surabaya Post.

These editors argued it was a private matter. Moreover it took place four years prior to the beginning of the Wahid administration, while Wahid himself is not known to be a cleric who likes to preach about married life. Wahid is better known as a champion of religious tolerance and human rights. He is also known as the leader of the Nahdlatul Ulama, the largest Muslim group in Indonesia.

When asked by reporters about the affair, Wahid declined to comment, "Why should you bother to report it? Who is that woman?" he asked.

Other newspapers did not report the allegation until the police summoned Sitepu on the charge of slander. At this point, editors argued that the private affair had entered the public sphere.

"The person involved here used his own money, not public money. If he had used public money, the case would be different, the story would have to be reported and the case would have to be questioned on the grounds that the public interest was corrupted," said Atmakusumah Astraatmadja.

Meanwhile, democratization in Indonesia has also opened up the media market to foreign players. International newspapers such as the International Herald Tribune and the Asian Wall Street Journal began printing in Jakarta. They are still printed in English, unlike women’s magazines like Cosmopolitan, Female, Seventeen or Her World. These magazines set up their own editorial offices in Indonesia, translated most of their stories into Indonesia-styled Malay language, ranging from gossip columns to articles on how to improve your sex life, and now publish their own Indonesian edition.

What about the economic crisis? What about political instability in Indonesia? Isn’t it bad? Doesn’t the rupiah keep on fluctuating? Also, President Wahid is widely considered a controversial leader, making erratic decisions and allegedly being involved in two financial scandals.

Despite these problems, expatriate journalists see Indonesia as a land of opportunity. The Indonesian market is simply too large to be ignored. More than 250 million people in Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapore and parts of Thailand and Cambodia speak the Malay language. Nonetheless, Indonesian-language media companies usually end up burning a lot of money before they can establish any sort of brand-name recognition. Many local newspapers have been forced to shut down shop a year or two after entering the market.

In Jakarta there is currently a fierce newspaper war between Kompas, whose daily circulation is around 600,000, and a newcomer, Koran Tempo, which is published by Indonesia’s leading magazine Tempo.

Tempo is the name of a weekly magazine founded by Goenawan Mohamad, who is also known as a poet, in 1971 when Goenawan and his friends were still very young. It became a major magazine in the 1980s and famous worldwide when President Suharto banned it in 1994. Goenawan, however, refused to be scared and challenged the ruling. He won at a local and a high court. But the Supreme Court ruled in favor of its boss: Suharto.

Tempo was republished five months after the fall of Suharto. But the 60-year-old Goenawan soon retired, saying: "I want to write my opera." His successor, Bambang Harymurti, decided that the magazine was too small to allow for growth of the company. Harymurti suggested that they publish a daily newspaper, which hit the streets in April 2001.

It is perhaps still too early to predict what light the Indonesian media will see at the end of the tunnel. Some say Indonesia will become the Yugoslavia of Asia, torn by ethnic conflicts and separatism. Others believe that the country’s problems are still manageable, and that it will survive in one piece—though perhaps a little bit smaller. Meanwhile, the Indonesian media will continue to play a critical role in seeking answers to many questions. ***


Andreas Harsono is the editor of Pantau magazine.