Thursday, August 17, 2023

Kesaksian Siswi tentang Wajib Jilbab dan Perundungan di Indonesia

Komnas Perempuan Gelar Pertemuan Pertama Soal Peraturan yang Diskriminatif

Andreas Harsono
Indonesia Researcher
Human Rights Watch

Imam Nakha’i dari Komnas Perempuan membahas 120 peraturan wajib jilbab di Indonesia, 73 diantaranya masih berlaku, dalam pertemuan di Jakarta, 14 Agustus 2023. © 2023Andreas Harsono/Human Rights Watch


Hari Senin, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengadakan pertemuan pertama soal aturan wajib jilbab di negeri ini, mengundang dua siswi, enam perempuan, dan dua ayah untuk bersaksi.

Sejak pertama kali diperkenalkan di Sumatera Barat pada tahun 2001, Indonesia telah memiliki 120 aturan daerah wajib jilbab, 73 diantaranya masih berlaku. Sanksi berkisar dari peringatan lisan, dikeluarkan dari sekolah atau pekerjaan hingga hukuman penjara sampai tiga bulan.

Para siswi dan orang dewasa yang beri kesaksian berasal dari Aceh, Lampung, dan Sumatra Barat, serta Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Banyak siswi menangis, terkadang sembunyi di toilet sekolah, guna menghindar dari intimidasi guru dan siswa lain. Ada siswi pindah sekolah, hanya untuk menemukan bahwa guru di sekolah kedua, juga merundung soal jilbab. Kebanyakan kelakuan buruk tersebut dilakukan para guru dan kepala sekolah.

Dua ayah dari keluarga Protestan dan Katolik, mengatakan bahwa siswi non-Muslim biasa diminta “menyesuaikan” dengan pakai jilbab atau, bila tanpa jilbab, mengenakan rok panjang dan baju lengan panjang. Putri-putri mereka dipaksa pakai jilbab atau dipegang pahanya karena “rok pendek.”

Para perempuan, dalam kesaksiannya, bicara soal tekanan pada guru dan pegawai negeri untuk mengenakan jilbab jika mereka ingin tetap bekerja atau dapat promosi.

Seorang siswi kelas sembilan dari Cirebon, Jawa Barat, bicara soal menjadi satu-satunya siswi yang tak berjilbab di sekolahnya sejak masuk pada 2021. Ayahnya dapat izin setelah bicara dengan guru-guru di sekolah bahwa Islam tidak identik dengan jilbab, tapi ada banyak tafsir soal busana muslimah.

Meski dapat izin, siswi itu tetap jadi sasaran perundungan oleh guru dan murid lain. Dia mengatakan: “Oh ya, sejujurnya banyak temen-temen saya yang ingin lepas jilbab. Bilang, 'Re kamu mah enak ga pake jilbab, aku pengen kayak kamu tapi ....' Mereka ingin bebas, sepertiku, tapi mereka ga berani melihat apa yang saya alami. Karena itu, tolonglah... bebaskan temen-temanku. Biarkan mereka menghirup kebebasan. Memilih seragamnya sendiri.”

Imam Nakha'i dari Komnas Perempuan minta pemerintah, yang diwakili kementerian-kementerian, cabut semua aturan wajib jilbab, yang “… traumatik, (bikin) depresi, malu, tidak percaya diri.”

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama seyogyanya cabut peraturan yang diskriminatif ini, bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan guna hentikan guru dan pegawai sekolah menekan siswi dan guru untuk pakai jilbab.

Indonesian Schoolgirls Testify on Mandatory Hijab and Bullying

National Commission Holds First Hearing on Abusive Rules

Andreas Harsono
Human Rights Watch


Imam Nakha’i of the National Commission on Violence Against Women discussing the 120 mandatory hijab regulations, 73 of which are still in force, in Jakarta, Indonesia, August, 14, 2023.  ©2023 Andreas Harsono/Human Rights Watch

On Monday, Indonesia’s National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan) held its first-ever hearing on the country’s mandatory hijab regulations, inviting two schoolgirls, six mothers, and two fathers to testify.

Since first being introduced in West Sumatra in 2001, Indonesia has had 120 local mandatory hijab regulations, 73 of which are still in force. Sanctions range from verbal warnings, expulsion from school or work to jail terms of up to three months.

The schoolgirls and parents who testified came from Aceh, West Sumatra, and Lampung on Sumatra Island, as well as Jakarta, Central Java, East Java, West Java, and Yogyakarta on Java Island. The schoolgirls cried about hiding in school restrooms to avoid bullying from teachers and students. Some girls even had to change schools, only to find that teachers at the second school also tormented them for not wearing the hijab. Teachers and principals were primarily responsible for the abuse.

Two fathers, themselves Christians, said that non-Muslim female students were routinely told “to adjust” to wearing the hijab, long skirts, and long-sleeved shirts. Their daughters had been forced to wear the hijab or had been physically molested because of their “short skirts.”

The women spoke about teachers and other civil servants being pressured to wear the hijab if they want to keep their jobs.

A grade nine student from Cirebon, West Java, spoke about being the only hijab-free student in her school since 2021. Her father had gotten special permission after arguing with the school authorities that Islam was not synonymous with the hijab but had multiple interpretations.

Despite the special dispensation, the daughter was still subjected to bullying by teachers and students. She told the commission: “Many of my friends want to take off their headscarves. They want to be free, like me, but they don't dare. Please.... free my friends. Let them breathe freedom to choose their own uniform. Please have mercy.”

Imam Nakha'i of Komnas Perempuan urged the government ministries represented to revoke the regulations, saying they had “triggered nationwide bullying, including against school children.”

Indonesia’s Ministries of Home Affairs and Religious Affairs should revoke these abusive regulations, working with the Ministry of Education to prohibit teachers and other school officials from compelling their female students and colleagues to wear the hijab.

Monday, August 14, 2023

Diskusi soal aturan wajib jilbab dengan Komnas Perempuan

Pernyataan dalam Focus Discussion Group dari Komnas Perempuan bersama beberapa kementerian, Badan Perencanaan Pembangunan, di Novotel Cikini, Jakarta

Imam Nakha'i dari Komnas Perempuan membuka acara di Novotel Cikini, Jakarta

Nama saya, Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch. Pada Maret 2021, kami meluncurkan laporan, “I Wanted to Run Away”: Abusive Dress Codes for Girl and Women in Indonesia. Penelitiannya, antara 2018 dan 2021 pada 15 provinsi, termasuk Bali, namun data masih bermunculan sampai sekarang. 

Temuannya, selama dua dekade terakhir, perempuan dan anak perempuan di Indonesia menghadapi tuntutan hukum dan tekanan sosial, yang belum pernah ada sebelumnya, untuk mengenakan pada yang disebut “busana Muslimah.”

Aturan wajib jilbab muncul pertama di Sumatera Barat (2001), Aceh (2002) sampai (Sulawesi Selatan 2022). Minimal tercatat 64 peraturan daerah dan nasional termasuk seragam Pramuka (2012) dan sekolah negeri (2014).

Kini wajib jilbab berlaku efektif di 24 provinsi. Ada 10 provinsi yang kurang efektif, termasuk Bali, serta provinsi mayoritas Kristen dan 50:50 Muslim-Kristen. Ada lima dari 10 provinsi tsb punya tindakan anti-jilbab.

Prinsipnya, perempuan berhak menentukan busana mereka, pakai atau tanpa jilbab.

Ada empat sektor pelanggaran jilbab:

• Sekolah negeri – siswi maupun guru perempuan.
• Pegawai negeri – kementerian plus perusahaan negara.
• Perempuan yang berkunjung ke gedung pemerintah termasuk sekolah.
• Tempat publik termasuk jalanan, gedung, pantai, misalnya Aceh.

Aturan jilbab dilengkapi berbagai sanksi. Dari himbauan, teguran lisan sampai peringatan tertulis. Ia memicu perundungan oleh sesama murid, guru, kolega atau atasan.

Kata kerja yang dipakai: dinasehati, diberi masukan, dipuji “cantik” bila pakai jilbab. 

Sanksi juga termasuk pengguntingan rambut, pengurangan poin nilai, dari pelajaran agama Islam sampai subjek non-agama a.l. biologi, matematika. 

Para pelaku banyak dari guru pelajaran agama Islam tapi juga guru-guru lain dan kepala sekolah. Korban ditekan buat keluar sekolah atau pekerjaan. Ada anak menangis dipaksa “hijab tutorial.” Sembunyi di toilet sekolah. Pindah sekolah. Di sekolah kedua pun alami perundungan. Ada anak pemain futsal dipaksa pakai jilbab walau tak mau. Kami juga menemukan siswi non-Muslim juga dipaksa berjilbab dgn kata “menyesuaikan” termasuk Kristen, Hindu, Kejawen, Sunda Wiwitan, Buddha dst.

Semua aturan dan tindakan ini melanggar standard hak asasi manusia:

• Kebebasan beragama dan berekspresi
• Larangan terhadap diskriminasi
• Hak akan privasi dan otonomi pribadi (tubuh perempuan)
• Hak akan pendidikan
The best interest of the child
• Hak minoritas
• Hak ekonomi buat pekerjaan, penghidupan, rumah tinggal

Beberapa psikolog di kota besar bantu pasien perundungan jilbab yang menderita body dysmorphic disorder karena tekanan emosional. Menangis adalah gejala awal. Ada yang harus dirawat di rumah sakit jiwa. Ada beberapa korban usaha bunuh diri.

Bersama kita, ada belasan penyintas wajib jilbab. Salah seorang adalah Elianu Hia dari Padang. Sejak videonya viral pada Januari 2021, pemerintahan Presiden Jokowi bikin Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang melarang pemaksaan jilbab. 

SKB 3 Menteri digugat di Mahkamah Agung serta dibatalkan pada Mei 2021 lewat gugatan satu organisasi Padang. Ada 800an individu berpengaruh teken petisi minta SKB 3 Menteri diganti dengan aturan serupa. Tahun 2022, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim bikin aturan baru namun ia belum efektif karena terhambat aturan lain. 

Pembatalan SKB 3 Menteri ikut buka gerbang keluhan sehingga muncul Forum Berbagi, sebuah komunitas online, buat saling bantu. Sudah banyak perempuan mengeluh, saling bantu, dari memberikan waktu buat berbagi sampai gotong-royong menanggung dampak wajib jilbab, dari pindah sekolah sampai pindah rumah. 

Kami minta agar berbagai lembaga pemerintahan dalam pertemuan ini, terutama Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Agama, bekerja sama mencabut puluhan aturan tersebut. Mereka juga perlu bekerja dengan instansi lain bantu pemulihan kesehatan korban. Terima kasih.

Monday, August 07, 2023

Pelajaran Agama dan Kepercayaan

My daughter Diana E. Harsono presented me with her drawing on my best friend Filep Karma, a West Papuan man, who spent more than a decade in Indonesian prison. Karma is a spiritual individual, believing in God but not in his organized religious group. 

HERE I am organizing reports and videos in English which I consider to be helpful in studying religions and beliefs in several important countries in the world including China, Indonesia, India, Iran, Israel, Saudi Arabia, the United States asl well as countries in South East Asia. 

Harvard Online: Learn about the rich diversity of Hindu sacred texts – hymns, narratives, philosophical thought – and their interpretations.

Harvard Online: Key beliefs and practices of Judaism through an examination of its sacred texts and their interpretation.

Harvard Online: Learn about the rich and diverse beliefs and practices of Buddhists across time and place. Experience Buddhism through its scriptures, both relationally as well as academically.

Harvard Online: Learn about Christianity through a study of its sacred scriptures. We will explore how diverse Christians have interpreted these writings and practiced their teachings over a 2000 year, global history.

Harvard Online: Learn about the Quran, the central sacred text of Islam, through an exploration of the rich diversity of roles and interpretations in Muslim societies.


Thursday, August 03, 2023

Perundungan, Intimidasi, dan Kekerasan Wajib Jilbab

Sebuah sekolah negeri di Cibinong, dekat Jakarta, dengan aturan wajib jilbab. Ia salah satu sekolah yang muncul dalam laporan Human Rights Watch dengan beberapa kasus pemaksaan jilbab. 

PADA November 2010, Human Rights Watch menerbitkan laporan setebal 89 halaman, berjudul, Policing Morality: Abuses in the Application of Sharia in Aceh, Indonesia. Ia berisi persoalan yang ditimbulkan dua aturan daerah soal busana perempuan serta lelaki serta perempuan yang berduaan. 

Pada Maret 2021, Human Rights Watch menerbitkan laporan 98 halaman dengan judul “I Wanted to Run Away": Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia. Ia mencakup wilayah yang lebih luas di Indonesia. 

Ia mendokumentasikan bagaimana puluhan aturan wajib jilbab di Indonesia, muncul sejak tahun 2001 di Sumatera Barat, memicu berbagai pemaksaan jilbab, intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap anak sekolah maupun perempuan dewasa. Ia menyebar ke seluruh Indonesia, pada 2002 Aceh sampai 2022 di Sulawesi Selatan. 

Pelanggaran terjadi pada empat sektor: sekolah negeri; pegawai negeri; para pengunjung perempuan di berbagai kantor pemerintahan; dalam daerah yang lebih terbatas juga terjadi di tempat publik misalnya Aceh dimana semua perempuan harus berjilbab di luar rumah mereka. 

Pelanggaran terjadi terhadap kebebasan beragama dan berekspresi, best interest of the child (hak anak), hak akan pekerjaan buat orang dewasa, perlindungan minoritas dari diskriminasi --perempuan non-Muslim juga dipaksa berjilbab-- serta hak akan privacy dan personal autonomy

Saya menaruh berbagai laporan dan video soal masalah jilbab dalam halaman ini agar ia mudah dipakai siapa pun yang tertarik mempelajari berbagai pelanggaran ini. Ia termasuk video yang direkam Elianu Hia, seorang ayah di Padang, Sumatera Barat, ketika mendatangi sekolah putrinya, bertanya soal mengapa putrinya, seorang Kristen, dipaksa berjilbab. 


Human Rights Watch dukung Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang memerdekakan anak dan guru perempuan memilih busana mereka sendiri.

Tujuh perempuan Indonesia tampil mendukung SKB 3 Menteri soal kedaulatan siswi dan guru perempuan memilih busana mereka. 

Siaran pers Human Rights Watch saat peluncuran laporan Maret 2021. Ia diterjemahkan ke 11 bahasa termasuk Indonesia. Semua karya ditulis aslinya dalam bahasa Inggris. 

Human Rights Watch mengumpulkan setidaknya 64 aturan wajib jilbab, dari tingkat daerah sampai nasional di seluruh Indonesia. Komnas Perempuan menyimpan hardcopy semua aturan ini.

Julia Suryakusuma menulis kolom The Jakarta Post soal dampak jilbabisasi dengan contoh Nadya Karima Melati, dulu siswi sebuah SMAN2 Cibinong, yang cemas karena perundungan terus-menerus. 

Widiya Hastuti menulis bahwa aturan wajib jilbab di Aceh memicu tekanan sosial, perundungan, dan intimidasi terhadap perempuan. Ia melanggar melanggar konstitusi dan perjanjian Helsinki.

Puisi karya Ifa Hanifah Misbach, seorang psikolog Bandung, yang sering bantu pasien perempuan yang cemas karena perundungan dan intimidasi jilbab. 


Mahkamah Agung membatalkan SKB 3 Menteri yang memperbolehkan jutaan anak dan guru perempuan buat mendapatkan hak dasar mereka: memilih busana.

Lebih dari 800 tokoh masyarakat di Indonesia protes terhadap keputusan tiga hakim Mahkamah Agung yang batalkan SKB 3 Menteri. 

Para pelajar sekolah negeri dan pegawai negeri perempuan berikan kesaksian berbagai sanksi dan penderitaan mereka akibat peraturan wajib jilbab.

Ni Putu Eka Budi, seorang Hindu Bali dan lahir di Padang, menulis bagaimana dia ditekan buat berjilbab, mengucapkan syahadat di Padang. 

Seorang siswi SMAN1 Banguntapan lari ke toilet sesudah dipaksa "hijab tutorial" oleh tiga guru. Siswi menangis, menolak kembali ke sekolah tsb. 

Sebuah keluarga Kristen, protes aturan wajib jilbab di SMKN2 Padang. Dampaknya, boikot sosial, bisnis keluarga bangkrut, terancam rumah disita.

Komnas Perempuan gelar rapat dengar pendapat, pertama di Indonesia, masalah peraturan wajib jilbab.

Chairunnisa Aminuddin seorang pengelola pesantren di Pandeglang, Banten, yang didirikan ayahnya Aminuddin. Dia menulis buku, Puber Beragama di Negeriku dan memimpin "Serumpun Bakung" komunitas  yang bantu perempuan korban perundungan dan intimidasi atas nama "wajib jilbab." Dia sering menulis lewat Facebook.