Friday, February 23, 2018

Citra Dyah Prastuti Dapat Penghargaan Keberanian Dalam Jurnalisme


Rombongan Yayasan Pantau menyerahkan penghargaan Pogau kepada Citra Dyah Prastuti (baju kuning) di kantor Kantor Berita Radio pada 23 Februari 2018. 

Siaran Pers Yayasan Pantau: 31 Januari 2018

Citra Dyah Prastuti, seorang wartawan yang kini memimpin ruang redaksi Kantor Berita Radio (KBR) di Jakarta, mendapat penghargaan Oktovianus Pogau untuk keberanian dalam jurnalisme dari Yayasan Pantau.

“KBR sejak berdiri dikenal dengan liputan demokrasi, toleransi dan hak asasi manusia. KBR punya program ‘Kongkow bersama Gus Dur’ dari 2005 sampai Gus Dur meninggal pada 2009. Gus Dur bicara soal toleransi lewat program tersebut. Citra Dyah Prastuti mempertahankan tradisi ini dengan segala kesulitannya,” kata Andreas Harsono dari Yayasan Pantau.

Citra Prastuti mulai karir wartawan KBR pada 2002, setahun sesudah lulus dari Universitas Indonesia. Dia meliput Aceh ketika operasi militer dilancarkan dari Jakarta pada 2003. Citra juga berangkat ke Ambon membuat liputan soal suratkabar yang ikut bikin panas suasana.

Citra terlibat liputan atau menugaskan peliputan banyak peristiwa pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, dari upaya menemukan kuburan massal pembantaian 1965 sampai pembunuhan pengacara Munir Thalib, dari diskriminasi terhadap Ahmadiyah sampai penutupan gereja-gereja. Citra menyunting program Saga –sebuah program feature radio KBR yang banyak dapat penghargaan. Pada 2012, Citra bikin liputan soal anak-anak Timor Timur yang diambil oleh berbagai pihak dari Indonesia –militer, sipil, organisasi Islam maupun Kristen-- dan dibawa ke Indonesia. Mereka dicabut dari masyarakat Timor Timur. Citra juga sering bikin pelatihan buat wartawan khusus liputan hak asasi manusia.

KBR adalah media radio berita yang diproduksi PT Media Lintas Inti Nusantara. Ia menyediakan berita audio sejak 1999 dan dipakai sekitar 600 radio berbagai kota di Indonesia. KBR bisa didengar lewat internet di website KBR.ID juga lewat aplikasi telepon genggam.

Pada 2006, beberapa saat sesudah berita kelaparan di Yahukimo, Papua, KBR bikin program ‘Kabar Tanah Papua’ dengan harapan bila ada jurnalisme independen, kelaparan dan kematian tersebut bisa dicegah. Filep Karma, seorang tahanan politk Papua, memuji program tersebut. Ia memberi banyak manfaat bagi suara warga Papua. Sayangnya, program in berhenti pada 2012.

Pada 2014, Citra diangkat direktur produksi PT Media Lintas Inti Nusantara merangkap pemimpin redaksi KBR. Dia mempertahankan kebijakan redaksi KBR. Pada 2016, ketika kampanye homophobia muncul di Indonesia, KBR juga terus-menerus menyiarkan pandangan yang masuk akal soal seksualitas.

Citra sendiri bergulat dengan kanker payudara ganas sejak April 2016. Dia jalani operasi pengangkatan payudara, kemoterapi dan terapi hormon. Kanker membuat Citra sering menganjurkan kenalan perempuan periksa kesehatan. Dia tetap memimpin KBR ketika mereka meliput berbagai demontrasi terhadap Gubernur Jakarta Basuki Purnama maupun pemakaian pasal penodaan agama buat kegiatan politik.

Made Ali dari Pekanbaru serahkan
penghargaan kepada Citra.
Juri dari penghargaan ini lima orang: Alexander Mering (Gerakan Jurnalisme Kampung di Kalimantan Barat, Pontianak), Coen Husain Pontoh (Indo Progress, New York), Made Ali (Jikalahari, Pekanbaru), Yuliana Lantipo (Jubi, Jayapura) dan Andreas Harsono. Mereka menilai Citra Dyah Prastuti memiliki keberanian dalam menjaga editorial KBR.

Yayasan Pantau adalah organisasi yang bekerja di bidang riset dan pelatihan jurnalisme sejak 1999. Penghargaan Oktovianus Pogau tak diberikan uang maupun seremonial. Ia diberikan guna merangsang diskusi soal keberanian dalam jurnalisme. Yayasan Pantau ingin penghargaan ini berumur selama mungkin tanpa dibebani pendanaan.

Elisa Sekenyap, sahabat Oktovianus Pogau dari Suara Papua, mengatakan, “Citra mewakili cita-cita sahabat saya Oktovianus, yang telah pergi tapi keberanian dan keinginannya untuk menyuguhkan fakta di Papua Barat, salah satu daerah paling direndahkan di Indonesia, masih diteruskan. Ia bukan saja diteruskan di kalangan wartawan Papua namun juga produser Citra Dyah Prastuti di Jakarta.”

Background Oktovianus Pogau

Oktovianus Pogau depan White
House, Washington DC.
Oktovianus Pogau, lahir di Sugapa, pada 5 Agustus 1992 dan meninggal di usia 23 tahun, pada 31 Januari 2016 di Jayapura.

Pada Oktober 2011, dia melaporkan pelanggaran terhadap ratusan orang Papua ketika mereka bikin Kongres Papua III di Jayapura buat Jakarta Globe. Pogau wartawan pertama yang melaporkan penembakan polisi dan militer Indonesia ketika membubarkan acara yang berlangsung damai tersebut. Tiga orang meninggal luka tembak dan lima orang Papua dipenjara dengan vonis makar.

Kegelisahan karena tak banyak media Indonesia memberitakan pelanggaran tersebut mendorong Pogau bikin Suara Papua pada 10 Desember 2011, persis pada hari hak asasi manusia internasional.

Pogau seorang penulis sekaligus aktivis yang menggunakan kata-kata untuk berdiskusi dan mengasah gagasan-gagasan politiknya. Dia bersimpati kepada Komite Nasional Papua Barat, organisasi pemuda Papua, yang menggugat pemerintahan Indonesia terhadap Papua Barat. Dia dianiaya polisi ketika meliput demonstrasi KNPB di Manokwari pada Oktober 2012. Organisasi wartawan tempatnya bernaung menolak lakukan advokasi. Alasannya, Pogau tak sedang melakukan liputan namun melakukan aktivitas politik.

Pogau juga sering menulis pembatasan wartawan internasional meliput di Papua Barat. Dia juga protes pembatasan pada wartawan etnik Papua maupun digunakannya pekerjaan wartawan buat kegiatan mata-mata. Ia secara tak langsung membuat Presiden Joko Widodo pada Mei 2015 minta birokrasi Indonesia hentikan pembatasan wartawan asingmeliput Papua Barat. Sayangnya, perintah Jokowi belum dipenuhi.

Coen Husain Pontoh, salah seorang juri Yayasan Pantau yang mengusulkan pemakaian nama Pogau, mengatakan, “Dia berasal dari etnik minoritas, yang lebih penting dia berani mempertaruhkan nyawanya untuk melaporkan peristiwa-peristiwa yang tidak berani dilaporkan oleh wartawan lain menyangkut kekerasan militer dan polisi di Papua serta kondisi Papua sesungguhnya.”

Keberanian dalam jurnalisme serta keberpihakan pada orang yang dilanggar hak mereka membuat Yayasan Pantau menilai Oktovianus Pogau sebagai model bagi wartawan Indonesia yang berani dalam meliput pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai aspek.

Tuesday, February 13, 2018

Mengapa Nahdlatul Ulama tak mau negara Islam?


Yahya Cholil Staquf

Asia Liberty Forum 2018, Oriental Mandarin Hotel, Jakarta, 11 Februari 2018

Di sebuah lembaga kajian di Washington, Kamis siang yang lalu, seseorang bertanya kepada saya:

'Kalian (Nahdlatul Ulama) adalah mayoritas diantara umat Islam di negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Mengapa kalian tidak mau negara Islam?'

Begini ceritanya:

Ada sebuah gedung bersejarah tak jauh dari sini --cuma 10-12 menit-- di Jalan Pejambon dekat Gambir. Dulu dinamai Gedung Chuo Sangi In --bahasa Jepang. Sekarang disebut Gedung Pancasila.

Di gedung itu ada satu ruangan yang --jika Anda memasukinya lebih dari 70 tahun yang lalu dan melihat sekeliling ruangan-- Anda akan menyaksikan dinamika seluruh jagad tergambar disitu. Ruangan itu dipenuhi orang-orang yang menganut segala macam ideologi dan pandangan tentang masa depan peradaban umat manusia. Dari liberalisme Barat sampai integralisme Jawa. Dari Islamisme sampai komunisme. Maka, orang-orang di ruangan itu --para Bapak Pendiri Indonesia-- butuh menemukan cara untuk mengelola perbedaan-perbedaan diantara mereka agar tidak terjadi konflik dan kekerasan. Itulah sebabnya --ketika mereka menyusun konsep landasan bagi Bangsa dan Negara Indonesia-- visi yang mereka bangun tidak terbatas hanya tentang kemerdekaan Indonesia, yaitu hak kami untuk merdeka dari penjajahan dan penindasan.

Mereka mengajukan visi yang agung tentang masa depan kemanusiaan dan peradaban secara keseluruhan. Suatu visi yang ditujukan untuk mendorong stabilitas, keamanan dan harmoni internasional, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Ini semua adalah ciri-ciri kemuliaan. Karena cita-cita para Bapak Pendiri Bangsa ini adalah untuk mencapai 'Peradaban yang Mulia".

Sejak Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, cita-cita agung ini telah menjadi satu faktor paling kuat yang mempersatukan Indonesia beserta segenap bangsanya. Sejak kemerdekaan, kami telah menghadapi berbagai kesulitan yang tak terhitung jumlahnya, tapi kami bertahan karena kami punya sesuatu yang agung sebagai alasan untuk tetap bersatu dalam kebersamaan. Yaitu cita-cita akan peradaban mulia ini.

Mengingat keadaan dunia dewasa ini, mengapa kita --yang datang dari sekian banyak bangsa, budaya dan etnis yang berbeda-beda ini-- melakukan hal yang sama? Ditengah begitu banyak perbedaan diantara kita, mengapa kita tidak menjemba cita-cita akan suatu peradaban mulia, dan akhlak mulia, sebagai sesuatu yang bisa mempersatukan kita semua atas dasar kemanusiaan?

Saya yakin ini tidak sulit. Kemuliaan adalah konsep sederhana, yang setiap orang baik-baik pasti memahami. Hanya manusia-manusia jahat dan keji yang gagal paham terhadap makna kemuliaan manusia.

Kemuliaan itu erat kaitannya dengan kemerdekaan, martabat, kasih-sayang, dan keadilan. Kita semua tahu ini!

Maka, ketika kita bicara tentang ekonomi, misalnya, mengapa kita tidak berpikir tentang 'perekonomian yang mulia'? Ketika kita mendiskusikan politik, kenapa kita tidak berpikir tentang 'politik yang mulia'? Dan seterusnya...."

Tuesday, February 06, 2018

BBC Correspondent Detained in Indonesia Now Freed

Authorities Restrict Independent Journalism in Papua

Andreas Harsono
Human Rights Watch

Indonesian soldiers along with a local resident unload food and medical aid in Ewer, Asmat District, in the remote region of Papua, Indonesia January 29, 2018 in this photo taken by Antara Foto. © 2018 Antara Foto/M Agung Rajasa/via Reuters

Last week, Indonesian authorities arrested a BBC correspondent for tweets she made while reporting from Papua. The journalist, Rebecca Henschke, was questioned for a total of 17 hours by immigration and military officials before being freed.

Henschke, based in Indonesia’s capital, Jakarta, went to Papua to report on both the measles outbreak, which has killed roughly 100 indigenous Papuan children, and on how logging and deforestation have destroyed forests where the staple food, sago palm, grows, leading Papuans to eat more instant noodles and cookies. She had a travel permit, a requirement for foreign journalists traveling to Papua.

She was arrested the day she arrived, February 1, after tweeting a photo of supplies on a river dock, writing, “aid coming in for severely malnourished children in Papua – instant noodles, super sweet soft drinks, and biscuits.” Another tweet said, “Children in hospital eating chocolate biscuits and that’s it.”

The military detained Henschke because those tweets “hurt the feelings” of the soldiers, Indonesian military spokesman Col. Muhammad Aidi said, adding that, “[The food and drink] that she took the picture of at the speedboat pier are not donations or aid. It was merchandise from merchants that was incidentally there.”

Police and immigration officials questioned Henschke in her hotel for five hours. The following day they transferred Henschke to the local mining town of Timika, where she was questioned for 12 hours at the immigration office. Immigration authorities found all her documents in order, and she and her team – journalist Heyder Affan and cameraman Dwiki Marta – were told they could continue their trip. Deciding they’d had enough, the team returned to Jakarta.

All this could have been avoided if Indonesia had implemented President Joko “Jokowi” Widodo’s 2015 policy that the government lift restrictions on foreign journalists reporting from Papua. The current system pressures journalists to limit reporting on Papua, and signals to the military and police that journalists can be interfered with.

President Jokowi should insist on the implementation of his decision to end restrictions on access to Papua. He should also prohibit the security forces from arresting journalists for doing their jobs. After all, the government could simply have responded to Henschke with a clarifying tweet or statement, as opposed to detaining and questioning her.