Monday, January 22, 2024

A Step for Freedom of Religion and Belief in Indonesia

Government Agrees to Recognize Smaller Religions on National ID Card

Andreas Harsono
Indonesia Researcher

 In Indonesia, a believer in Judaism shows his new ID card with the religious column, "Belief in the one God." © 2023 Andreas Harsono/Human Rights Watch

In a step forward for freedom of religion and belief in Indonesia, citizens from smaller religious groups are now permitted to change the religious identity on their identity cards, with the introduction of a new category, kepercayaan (belief), alongside the six recognized religions.

Kepercayaan has become the seventh religious category to join the list of government-recognized religions – joining Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism – since the nationwide blasphemy law went into effect in 1965.

Marubat Sitorus, the secretary general of the Parmalim association, a local religious group located around Lake Toba, Sumatra Island, said that about 95 percent of its members had changed their religious identity to the new category. Starting in December 2017, the Parmalim were the first group to start changing their religious identity on their cards.

The introduction of a seventh category began in September 2016 when four believers of local religions filed a petition at the Constitutional Court to change the 2004 Population Administrative Law. The plaintiffs included Nggay Mehang Tana of Sumba Island, a Marapu believer; Pagar Demanra Sirait of Toba Samosir in Sumatra, a Parmalim believer; Arnol Purba of Medan Belawan in Sumatra, an Ugamo Bangsa Batak believer; and Carlim of Brebes, Java Island, a Sapta Darma believer.

In October 2017, the Constitutional Court found in their favor, ruling that it is discriminatory not to recognize their faith and ordering the Civil Registration Office to print “penghayat kepercayaan (practitioner of belief) in the appropriate slot on the ID cards’ rather than leaving it as a blank strip.

However, the Indonesian Ulama Council, an umbrella organization of Muslim groups, disagreed, contending that kepercayaan are different from “monotheistic religions,” and suggested the government provide two types of ID cards – for religion and for belief. After some negotiations, the government and the ulamas, Muslim clerics, compromised and added the sentence “Belief in the one God,” putting multiple small religions into a single category.

“This is a positive step even though it is not yet [fully] in accordance with the Constitutional Court's decision,” Sitorus told Human Rights Watch. “The pressure faced by the government, including individuals in the government itself, was immense.”

At least 138,000 Indonesians, from many religious groups, had chosen this new category nationwide, according to the Civil Registration Office. Now the government needs to move forward to end other forms of discrimination in government, society, and business against the adherents of these small, localized religions. 

Friday, January 19, 2024

10 Pertanyaan soal Sejarah Jurnalisme di Indonesia

SAYA susun semua pertanyaan ini buat diskusi bersama lembaga pers mahasiswa Didaktika di Jakarta pada 19 Januari 2024. Ini buat memantik diskusi soal sejarah jurnalisme di Indonesia. Ia mencakup periode Hindia Belanda. Semua jawaban, kecuali satu buah, dengan mudah bisa didapat dengan Google.  

-- Andreas Harsono

Diskusi di Didaktika, Universitas Negeri Jakarta.

 1.⁠ ⁠Pada 1744, suratkabar Bataviase Nouvelles terbit di Batavia. Ia dianggap sebagai suratkabar pertama yang terbit di Hindia Belanda. Kapan suratkabar ini dibredel?

 2.⁠ ⁠Tjahaja Sijang terbit sejak 1869 dari Manado. Ia dianggap sebagai suratkabar berbahasa Melayu pertama di Hindia Belanda. Kapan suratkabar ini tutup? 

 3.⁠ ⁠Pada 1933-1934, di kota Jember terbit suratkabar Pembrita Djember. Ia tutup sesudah editornya ditangkap dan dipenjara dengan tuduhan menghina seorang Belanda. Siapa nama redaktur kepala suratkabar ini? Apa judul bukunya yang terkenal terbitan 1947? 

 4.⁠ ⁠Di Bandung pada 1966, sekelompok mahasiswa menerbitkan suratkabar Mahasiswa Indonesia guna meliput berbagai perubahan yang terjadi di Indonesia. Ia dibredel pada 1974. Siapa pemimpin redaksi suratkabar mahasiswa ini? Berapa sirkulasi puncak suratkabar tersebut?

 5.⁠ ⁠Sejak 1967, ketika Indonesia sudah mulai menguasai Papua Barat, diberlakukan pembatasan terhadap wartawan asing. Ia berlaku sampai sekarang. Berapa jumlah anggota clearing house di Kementerian Luar Negeri yang ditugaskan seleksi permohonan wartawan asing? Kementerian dan lembaga mana saja yang diwakili mereka?

 6.⁠ ⁠Pada Oktober 1975, militer Indonesia menembak mati lima wartawan Australia di kota Balibo, ketika mereka meliput penyerbuan Indonesia ke Timor Timur. Siapa nama kelima wartawan tersebut? Dan siapakah nama wartawan keenam yang ditembak mati di Dili?

 7.⁠ ⁠Pada Juni 1994, pemerintahan Presiden Soeharto bredel tiga mingguan: Detik, Editor dan Tempo. Sebuah organisasi wartawan muncul sebagai alat perjuangan buat kemerdekaan pers. Beberapa anggotanya lantas ditangkap dan dihukum penjara. Apa nama organisasi tersebut? Kapan ia didirikan?

 8.⁠ ⁠Pada Juli 1998, detik.com mulai muncul dari Jakarta, namanya diambil dari mingguan Detik, yang dibredel 1994. Ia menjadi media digital pertama di Indonesia. Pada Agustus 2011, Detik dijual kepada perusahaan lain. Apa nama perusahaan pembeli ini? Berapa harga yang dibayar? 

 9.⁠ ⁠Pada Juli 1999, Jawa Pos News Network bikin suratkabar lagi di Ambon, guna mengimbangi Suara Maluku, suratkabar milik mereka, agar liputan suratkabar satunya bisa meliput komunitas Muslim. Suara Maluku dituduh hanya menyuarakan komunitas Kristen. Apa nama suratkabar baru tersebut?

10.⁠ ⁠Pada 28 September 1999, seorang wartawan dari lembaga pers mahasiswa Teknokra memotret sebuah demonstrasi di Universitas Bandar Lampung. Dia gugur dalam tugasnya. Siapakah nama wartawan ini? Bagaimana dia meninggal?

Tuesday, January 09, 2024

"Kami Beragama Kristen, Tapi Sekolah Wajibkan Anak Perempuanku Berjilbab"

Seorang ayah di Padang, Sumatera Barat, menceritakan pemaksaan jilbab yang dialami anak perempuannya di sekolah. Ini menambah panjang deret kasus perundungan terhadap perempuan dan anak yang dipaksa berjilbab.

Andreas Harsono

Elianu Hia, seorang ayah di Padang, membagikan video di Facebook tentang pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah anaknya. Di sekolah tersebut, anak perempuannya harus memakai seragam jilbab. 

Kisah pemaksaan ini terjadi di sebuah sekolah di Padang, Sumatera Barat. 

Pada video yang Ia bagikan pada Januari 2021 itu, dia rekam pertemuan dengan wakil kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 2

Alasannya, “Ini peraturan sekolah. Aturan wajib hijab.” 

Elianu Hia mendatangi Kementerian Pendidikan di Jakarta pada Agustus 2023. Dia diundang Komnas Perempuan guna memberikan kesaksian soal pemaksaan jilbab terhadap putrinya di Padang, Sumatera Barat
Padahal, Hia bilang mereka keluarga Kristen. Termasuk anak perempuannya, namanya Jenni.   

Papa dan anak itu lantas disuruh teken surat yang menyatakan bahwa Jenni, tak bersedia mengenakan jilbab. Langkah ini, dugaannya untuk mengeluarkan Jenni dari sekolah.

Video tersebut viral di media lokal dan nasional. Menteri Pendidikan Nadiem Makarim kemudian membuat video yang mengecam aturan wajib jilbab dan minta pemerintah daerah untuk mengubah aturan di sekolah ini.

Persoalannya, terdapat puluhan provinsi dan ratusan kota serta kabupaten di Indonesia yang memberlakukan aturan berpakaian yang diskriminatif. Juga keras terhadap para perempuan dan anak perempuan, termasuk di sekolah-sekolah negeri.

Sebagai peraturan dari pihak eksekutif atau pemerintah, aturan wajib jilbab muncul mulai tahun 2001 di tiga kabupaten, yaitu Indramayu dan Tasikmalaya di Jawa Barat, serta Tanah Datar di Sumatera Barat. 

Ia menyebar dengan cepat selama dua dekade terakhir. Hal itu mendorong jutaan anak perempuan dan perempuan di Indonesia untuk mulai memakai jilbab. Biasanya baju jilbab ini dipadu dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang.

Para pejabat tersebut berpendapat jika jilbab adalah “wajib bagi Muslimah” untuk menutupi “aurat” yang mereka anggap mencakup rambut, lengan, dan kaki, kadang juga lekuk tubuh. Siswi Kristen, Hindu, Kejawen, Sunda Wiwitan, Buddha dan lainnya, lalu diminta “menyesuaikan.” Perempuan dan anak perempuan akan menghadapi tekanan sosial dan ancaman sanksi, kecuali mereka mematuhi aturan.

Pada 2021, Human Rights Watch mengeluarkan laporan, “Aku Ingin Lari Jauh”: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia. Laporan itu mendokumentasikan perundungan yang meluas terhadap perempuan dan anak perempuan untuk memaksa mereka pakai jilbab, serta tekanan kejiwaan yang dapat ditimbulkan dari aturan ini.

Setidaknya ada 24 dari total 38 provinsi Indonesia dimana sejumlah anak perempuan terpaksa meninggalkan sekolah. Mereka juga mengundurkan diri karena tekanan, sementara sejumlah pegawai negeri perempuan. Termasuk guru, dokter, kepala sekolah, dan dosen, kehilangan pekerjaan mereka atau terpaksa mengundurkan diri. Ada setidaknya 150,000 sekolah negeri di Indonesia. 

Pada 2012 dan 2014, Gerakan Pramuka dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan peraturan berpakaian dengan persyaratan jilbab khusus untuk “murid Muslimah” dari kelas 1 hingga 12. Peraturan tingkat nasional ini memperkuat keputusan di daerah. 

Perundungan dan intimidasi untuk memakai jilbab juga terjadi di media sosial. Human Rights Watch mendokumentasikan perundungan, intimidasi, dan ancaman kekerasan yang disampaikan melalui Facebook dan Whatsapp.

Februari 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim bersama dua menteri lain, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, mengubah peraturan menteri pendidikan tahun 2014 tentang pakaian seragam sekolah. Surat keputusan bersama tiga menteri tersebut menetapkan bahwa para siswa perempuan bebas memilih untuk memakai jilbab atau tidak. Empat bulan kemudian, Mahkamah Agung membatalkan peraturan tersebut. 

Pada September 2022, Menteri Nadiem Makarim mengeluarkan aturan seragam sekolah baru dimana ditekankan “pengadaan seragam sekolah menjadi tanggung jawab orang tua atau wali.” Ia juga menekankan pakaian seragam “tak boleh mengatur kewajiban.” 

Aturan 2022 lebih baik dari aturan 2004. Namun ia belum berjalan baik mengingat ada puluhan aturan wajib jilbab tingkat daerah. 

Di Indonesia, sekolah menengah atas milik provinsi, sedang sekolah dasar dan menengah pertama milik kabupaten dan kota. Kementerian Pendidikan hanya punya wewenang langsung pada universitas. Kementerian Agama punya wewenang pada semua sekolah dan universitas berlabel agama. Sedangkan Kementerian Dalam Negeri, yang bertugas mengawasi kinerja pemerintah daerah, seharusnya membatalkan berbagai aturan daerah tersebut. Jumlahnya 73 buah, menurut Komnas Perempuan. 

Padahal hukum hak asasi manusia internasional menjamin hak untuk secara bebas menjalankan agama dan keyakinan seseorang, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak untuk mendapatkan pendidikan tanpa diskriminasi. 

Perempuan berhak atas hak yang sama dengan laki-laki, termasuk hak untuk memakai apa yang mereka pilih. Setiap pembatasan yang dikenakan terhadap pemenuhan hak-hak ini harus untuk tujuan yang sah dan diterapkan dengan cara yang tak sewenang-wenang dan tidak diskriminatif.

Segenap pelindungan ini termasuk dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, Konvensi Hak Anak, dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Indonesia telah ratifikasi semua perjanjian internasional tersebut. Aturan wajib jilbab melemahkan hak anak perempuan dan perempuan dewasa untuk merdeka “dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun” berdasarkan pasal 28(i) UUD 1945.

Pada 2006, Asma Jahangir, pelapor khusus Perserikatan Bangsa-bangsa untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan, mengatakan bahwa “penggunaan paksaan dan penerapan sanksi pada individu yang tidak mau mengenakan busana agamis atau simbol tertentu yang dilihat sebagai kewajiban oleh agama” menunjukkan “tindakan legislatif dan administratif yang tidak sesuai dengan hukum hak asasi manusia internasional.”

Hukum Indonesia memberi wewenang kepada Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan keputusan eksekutif di tingkat lokal, dari gubernur, walikota sampai bupati, yang bertentangan dengan hukum-hukum nasional dan konstitusi. Kementerian Agama juga perlu hapus aturan bahwa setiap guru pendidikan agama Islam perlu membuat siswi-siswinya memakai jilbab.

Di Padang, Elianu Hia bisa membela hak anaknya dalam memilih pakaian. Belakangan siswi-siswi Kristen di sekolah tersebut juga berhak memilih busana. 

Ini sebuah langkah kecil dari perbaikan yang diperlukan di seluruh Indonesia. Keluarga tersebut dapat ancaman, intimidasi serta boikot sosial. Mereka kehilangan bisnis keluarga dalam pemeliharaan AC. 

Hia bilang, kondisi ini adalah “harga dari perjuangan.” 

Andreas Harsono adalah peneliti Human Rights Watch