Friday, December 31, 2004

SKB 1969 Diskriminatif dan Kontraproduktif


Sinar Harapan, Sabtu, 27 November 2004

Oleh WEINATA SAIRIN


Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri secara bersama menerbitkan Keputusan No. 01/Ber/MDN-MAG/1969 tanggal 13 September 1969 tentang "Pelaksanaan tugas aparatur Pemerintah dalam menjamin ketertiban dan kelancaran pelaksanaan pembangunan dan ibadat agama oleh pemeluk-pemeluknya". SKB ini diterbitkan sesudah terjadi serangkaian kasus perusakan gedung gereja antara lain di Makasar (Oktober 1967), Slipi (April 1969) dan "gagalnya" Musyawarah Antar-Agama 30 November 1967.

Wakil Protestan dan Katolik dianggap telah menyebabkan gagalnya musyawarah tersebut karena mereka menolak suatu rumusan yang telah disiapkan pemerintah di akhir musyawarah dalam bentuk piagam sehingga piagam tersebut tidak jadi dikeluarkan. Dari tiga butir pemikiran yang menjadi isi piagam tersebut, salah satu butirnya ditolak wakil Protestan dan Katolik yang berbunyi: "Saling membantu satu dengan lainnya, moril-spiritual dan materil dan berlomba-lomba untuk meyakinkan golongan atheis untuk berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan tidak menjadikan umat yang telah beragama sebagai sasaran penyebaran agama masing-masing" (cetak tebal dari WS).

Pelarangan penyebaran agama seperti itu bertentangan dengan hakikat agama itu sendiri apalagi agama yang bersifat misioner/dakwah seperti Kristen dan Islam.

Titik lemah

Dalam pelaksanaan di lapangan, ternyata SKB tersebut banyak menimbulkan kesulitan, khususnya yang dialami oleh gereja-gereja di Indonesia. Titik pangkal permasalahan terutama sekali oleh karena isi Pasal 4 SKB tersebut yang tanpa Petunjuk Pelaksanaan yang jelas telah membuka kemungkinan interpretasi yang beragam yang justru makin mempersulit izin pembangunan gereja. Pasal 4 ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa Kepala Daerah /pejabat memberikan izin setelah mempertimbangkan pendapat Kepala Perwakilan Departemen Agama setempat, planologi, kondisi dan keadaan setempat bahkan jika dianggap perlu dapat diminta pendapat dari organisasi-organisasi keagamaan dan ulama/rohaniwan setempat.

Dari pengalaman konkret, sulit sekali pejabat memberikan izin oleh karena berbagai hal:

a) Pejabat yang berwenang acapkali tidak mampu memerankan diri sebagai pejabat pemerintah dengan visi kenegaraan yang memadai sehingga bersedia mengayomi warga negara serta membantu perizinan pembangunan rumah ibadah; tapi lebih berfungsi sebagai pejabat yang beragama tertentu dan sebab itu memihak kepada suatu kelompok agama tertentu.

Pejabat yang berwenang acapkali tidak berani/mampu bersikap objektif dan bertindak sebagai pejabat yang arif dalam hal pemberian izin, namun sikapnya amat ditentukan oleh sejumlah tanda tangan dari perorangan/organisasi yang digunakan sebagai syarat untuk memperoleh izin, dan yang sering terjadi adalah masyarakat sekitar menolak pembangunan rumah ibadah (gereja), walaupun mereka tinggal jauh dari tempat pembangunan gedung gereja.

b) Pejabat setempat sering membuat persyaratan lokal (jumlah pemeluk agama, radius dari rumah ibadah agama lain, jumlah rumah ibadah sejenis yang telah ada), yang lebih berat dari isi SKB itu sendiri.
  • Instruksi Gubernur Jabar, No. 28 Tahun 1990 menetapkan antara lain plafon 40 KK untuk bisa memperoleh izin pembangunan.
  • Keputusan Walikota Kodya Palembang No. 11/1990 antara lain mensyaratkan penelitian lapangan bagi pejabat pemda untuk mengecek apakah di lokasi pembangunan ada tempat peribadatan lain, atau tempat peribadatan sejenis, fasilitas hiburan.
Menghadapi berbagai kesulitan yang dijalani gereja-gereja dalam memperoleh izin pembangunan gedung gereja yang diakibatkan oleh SKB tersebut, PGI telah beberapa kali meminta kepada pemerintah agar SKB tersebut dicabut/ditinjau kembali karena SKB tersebut ternyata tidak dapat menjamin kemerdekaan beragama seperti tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 bahkan dapat membahayakan kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia (Memorandum DGI/KWI, 10 Oktober 1969, Keputusan-keputusan MPL SR PGI, Surat kepada Presiden Soeharto, 4 April 1996/Habibie, 24 Juni 1998 permintaan kepada berbagai pejabat/lembaga).

Mengingat sulitnya mendapat izin pembangunan gedung gereja, warga gereja menyelenggarakan ibadah di rumah tinggal, di ruko serta di hotel-hotel. Penggunaan rumah tinggal yang difungsikan sebagai gereja oleh beberapa jemaat Kristen, telah memicu ketegangan hubungan antar-umat beragama bahkan dalam suatu kasus pernah menjurus kebentrokan fisik.

Sebab itu Mendagri dalam Surat Kawat No. 264/KWT/DITPUM/DV/1975 menyatakan agar rumah tinggal tidak difungsikan sebagai gereja. Namun oleh karena ada kesalahan interpretasi terhadap isi Surat Kawat itu maka pernyataan itu ditegaskan lagi melalui Surat Kawat No. 933/KWT/SOSPOL/DV/XI/1975 yang menyatakan bahwa "yang berkumpulnya orang Kristen/Katolik dalam satu rumah tinggal sedangkan berkumpulnya orang Kristen/Katolik dalam satu rumah dengan kegiatan kekeluargaan tidak pernah dilarang."

Berkaitan dengan kesulitan pembangunan rumah ibadah PGI berulang kali dalam berbagai kesempatan meminta kepada pemerintah agar kondisi seperi itu tidak terjadi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagai penegasan Memorandum tanggal 10 Oktober 1969. Adalah hal yang menggembirakan jika para pejabat pemerintah mengungkapkan concern yang serius terhadap pergumulan yang disampaikan oleh PGI. Hal itu tercermin antara lain melalui surat Menteri Menkopolkam No. R34/MENKO/POLKAM/6/1992 tanggal 9 Juni 1992; dan ceramah Menko Polkam Sudomo dalam Sidang MPH PGI tanggal 26 November 1991.

Beberapa titik lemah yang amat signifikan dari SKB Menag-Mendagri 1969 adalah:

a) Ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum karena SKB tidak termasuk dalam Tata Urutan Peraturan Perundangan RI (TAP MPR No. III/MPR/2000).

b) Ketentuan tersebut bertolak belakang bahkan menyeleweng dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 walaupun dalam konsiderans SKB tersebut menyebut Pasal 29 UUD 1945.

c) Penyebaran agama dan pelaksanaan ibadah agama diturunkan/direndahkan derajatnya menjadi kewenangan kepala daerah untuk mengaturnya, membimbing dan mengawasinya sehingga penyebaran tersebut tidak menganggu Ketertiban Umum (Pasal 1,2).

d) Peranan pemerintah/Kepala Perwakilan Departemen Agama amat besar bahkan cenderung dapat mengintervensi khotbah di rumah-rumah ibadah sebagai suatu kegiatan sekuler yang mesti diawasi Pemerintah demi terwujudnya stabilitas keamanan.

e) Pendirian/pebangunan rumah ibadah tidak dipahami sebagai pembangunan sebuah gedung yang tingkat kerawanannya amat tinggi sehingga membutuhkan "rekomendasi" dari berbagai pihak (Pasal 4).

Hal yang amat mendasar di sini adalah munculnya interpretasi seolah pembangunan rumah ibadat itu amat tergantung pada rekomendasi/persetujuan/belas kasihan seorang pejabat atau suatu kelompok golongan tertentu. Arogansi birokrasi dan arogansi mayoritas pemeluk agama bisa terjadi di sini. Kondisi ini bertentangan secara diametral dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pemerintah menyadari adanya banyak kelemahan dari SKB tersebut, sebab itu pada tahun 1992, Depdagri melakukan penelitian di lima wilayah: DKI Jakarta, Kodya Pontianak, Kodya Palembang, Kodya Surabaya, Provinsi Jabar.

Berdasarkan evaluasi itu, Departemen Dalam Negeri pada tanggal 15 Maret 1993, 23 Maret 1994 mengundang PGI bersama dengan lembaga-lembaga keagamaan lain dalam rangka membahas Rancangan Mendagri tentang Pendirian Rumah Ibadat. Rancangan yang berisi 16 pasal itu ingin mengatur tentang izin pembangunan rumah ibadat sebagai pengganti SKB 1969. Terhadap Rancangan itu PGI memberikan usul perubahan antara lain agar Rancangan itu harus mengacu kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, agar pemberian keterangan tertulis dari pejabat tidak didasarkan pada jumlah riil penganut agama di suatu wilayah, tetapi pada urgensi karena ada banyak denominasi di sesuatu wilayah dan anggota jemaat tidak hanya berdomisili di sekitar rumah ibadat yang akan dibangun; pelaksanaan ibadah tetap berlangsung sambil menunggu izin keluar; kepala daerah agar meminta pertimbangan organisasi keagamaan dari umat beragama yang sedang membangun rumah ibadah. Hingga saat terakhir Rancangan tersebut tidak terdengar lagi.

Arah ke depan Dalam suasana reformasi yang menuntut perubahan paradigma segala bentuk ketentuan perundangan berbagai aras yang diskriminatif perlu diganti.

SKB Menag-Mendagri 1969 amat merugikan semua agama di Indonesia, terutama sekali gereja-gereja telah mengalami penderitaan yang amat dalam sehubungan dengan SKB tersebut. Secara hukum, konstitusional, material, teologis, SKB itu amat kontraproduktif dan diskriminatif.

Tak ada pilihan lain kecuali pemerintah mencabutnya dan mengupayakan agar ada penyamaan izin pembangunan rumah ibadah dengan izin bangunan-bangunan yang lain. Penyusunan suatu ketentuan baru tentang pembangunan rumah ibadah harus menjadikan hal berikut sebagai referensi utama:

a) Ketentuan tersebut harus berangkat dari kondisi realistik bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang menganut berbagai agama, dana agama-agama itu mempunyai hak serta kewajiban yang sama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan tidak boleh diperlakukan dengan bertolak dari jumlah penganut.

b) Ketentuan tersebut harus mengacu serta mencerminkan jiwa dan semangat Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, GBHN, Wawasan Nusantara yang memberi posisi sentral bagi kehidupan keagamaan masyarakat Indonesia dan yang di dalamnya kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya dijamin oleh negara.

c) Ketentuan tersebut harus memberi peluang bagi penambahan sarana-sarana rumah ibadah sebagai bagian padu dari pembinaan mental-spiritual.

d) Ketentuan tersebut memberikan penegasan tentang peranan negara (sesuai dengan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945) sehingga pembangunan rumah ibadah tidak seakan-akan tergantung dan atau merupakan belas kasihan dari seorang pejabat atau suatu kelompok/golongan tertentu di dalam masyarakat.

d) Ketentuan tersebut tidak boleh membatasi/menghalangi hak setiap makhluk untuk mengekspresikan keberagamaannya kepada Sang Khalik. Artinya jika oleh karena satu dan hal, rumah-rumah ibadah belum dapat dibangun, maka hak umat beragama untuk mengungkapkan keberagamaannya kepada Allah Yang Esa itu tetap dijamin, walaupun untuk sementara tidak dilaksanakan di dalam ruang gereja/ ruang ibadah yang khusus.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres M. Jusuf Kalla bersama Kabinet Indonesia Bersatu mesti memberi perhatian serius terhadap realitas ini!

Penulis adalah teolog, pengamat masalah sosial keagamaan.

Sunday, December 26, 2004

Earthquake in the Indian Ocean



The US Geological Survey recorded an earthquake at a magnitude of 9.0 Richter scale on Dec. 26, 2004 in the Indian Ocean.

The temblor began on Sunday at 7:58 a.m. Its epicenter is around 255 km southeast of Banda Aceh. It is the fourth largest earthquake in the world since 1900 and is the largest since the 1964 Prince William Sound, Alaska earthquake.

But the subsequent tsunami, which began between 15 and 30 minutes after the temblor, depending on the distance between each village to the epicenter, caused more casualties than any other disaster in recorded history. It drastically changed the Acehnese cause.

Monday, December 13, 2004

Dinner with lecturers from New York

.
Having dinner in a Minahasan restaurant in Jakarta with Michael Cowan (left in blue shirt) and Mila Rosenthal (far right with green shirt) of Columbia Graduate School of Journalism, New York. They came to Jakarta in December 2004 to conduct training with Pantau. Michael taught TV production. Mila taught labor coverage. My Pantau colleagues were (from left to right): Paul Dillon (writing for The Globe and Mail), Indarwati Aminuddin, Anugerah Perkasa, Esti Wahyuni, Dame Ambarita (working for a chain newspaper in northern Sumatra). We had great sessions! We were all exhausted but enjoyed the Minahasan cuisine so much.

Saturday, December 11, 2004

Wheel Street's Public Forum

By Andreas Harsono


MANADO, Indonesia, Dec 11 (IPS) -- Lalampa is a delicious rice cake made of glutinous rice. The steamed rice is rounded around a piece of fish meat, wrapped up with banana leaves and barbequed in charcoal heat. It is finger-sized, rather oily and tasty, but also a little bit sweet.

Lalampa is usually consumed while one has tea or coffee. It is popular throughout Minahasa, a region in northern Sulawesi, which is a predominantly Christian area in Indonesia, the world's largest Muslim country.

In North Sulawesi, some of the best lalampa sellers can be found in Manado city's Jalan Roda -- a crowded downtown alley -- where more than a dozen ‘warungs' or food stalls cater to office workers, middlemen, students and activists.

Yuni Husain, a bank clerk, said that she likes to drop in Jalan Roda in her after-office hours. ‘'Everybody is equal here and the ambiance is comfortable,'' she told IPS.

‘'The prices are fair; the crowd practically knows one another. People also call it the third-level DPRD,'' said Muin Sumaila, a high school teacher, referring to Indonesia's two-pronged local parliaments, namely the Dewan Perwakilan Rakyat Daerah or the House of Regional Representatives, known by its acronym DPRD. The provincial parliament is called DPRD Level I and the city council is DPRD Level II.

Indeed, Indonesia has no DPRD Level III, but Sumaila's joke has a ring of truth in it.

Many government officials and other public figures have to visit Jalan Roda to meet its customers. Politicians, artists, public intellectuals -- including the internationally recognised Muslim scholar Nurcholish Madjid -- also visited this alley to test their ideas. Their talks are mostly about self-governance and public welfare.

In mid-2000, Aif Darea, a journalist-cum-activist made a breakthrough in Jalan Roda. Darea was then working for ‘Radio Al Khairat' FM 102 MHz, the largest Muslim-based radio station in Manado.

He decided to launch a weekly political talk show in Jalan Roda. Every Monday from 7 am till 10:30 am, he broadcasted live from a small table in the Warung Pak Hari stall. That was his talk show platform, transmitting lively political conversations from Jalan Roda.

‘'I also added a speaker so that the programme could be heard outside the ‘warung'. People were very proud if they could talk on radio,'' Darea said, adding that he usually invited one or two commentators and four other sources to talk in his show. On-lookers and other ‘warung' patrons would sometimes also join in.

Warung Pak Hari is one of the Jalan Roda ‘warungs' that sells the delicious ‘lalampa'. It is always crowded in the mornings and evenings. Next to Warung Pak Hari is a billiards place. Some other ‘warungs' also provide space for their customers to play cards. There is also a brothel whose small entrance is located next to Warung Pak Hari.

‘'I have known Warung Pak Hari since I was a kid selling newspapers or scavenging around for plastic bags. I sometimes slept in this ‘warung' and called the couple that owned it Papa and Mama,'' Aif Darea said.

Jalan Roda customers are mostly Muslims. Sumaila is a Muslim from Tidore Island. Yuni Husain's father is an Acehnese while her mother is a Javanese.

Most customers come from Gorontalo, a predominantly Muslim region south of Minahasa, or Bolaang Mongondow, a Muslim enclave inside southern Minahasa.

This religious affinity in Jalan Roda started since it was established in the 1930s when cattle traders from Gorontalo parked their bullock- carts in the neigbourhood while selling their cattle in a nearby market. Roda literary means ‘'wheel'' in Indonesian Malay.

The Jalan Roda visitors also share a general feeling that they are a minority inside a Christian enclave, although Minahasa itself is located inside a huge Muslim country.

Many of the Jalan Roda visitors are also critical toward the social structures in Minahasa. Most Gorontalons are traders or street vendors. The Minahasans control the bureaucracy, the academic circles and the military while the Sangihes, who are mostly Christians, become shop keepers or restaurant waiters.

‘'The Gorontalons also want to climb the social ladders. There is a feeling of being marginalised. There is the hegemony of the Minahasans,'' said Suardi Hamzah, a Gorontalon activist, who is a regular customer in Jalan Roda.

Friko S. Poli, an editor of the Komentar daily, a newly-established newspaper whose founding editors were mostly Minahasans, denied such an allegation, saying that one might see it as a discrimination but such a view ‘'underestimates those professions (street vendors).''

Poli believes that the Manado government has to enforce the law, including sometimes eradicating street vendors, but strictly on a legal basis. The street vendors, he stressed, were not removed because of their ethnic or religious backgrounds.

The Minahasans themselves always feel that they are a tiny minority whose total population is less than one percent of the whole population in Indonesia. Between 1957 and 1962, the Minahasans were involved in an armed rebellion against Jakarta but they lost and more than 3,000 of their people were killed.

In 1999 when Christian-Muslim violence broke out in the Maluku Islands, killing nearly 10,000 people, many Minahasans established militia groups. Their leaders did not have confidence that Jakarta could contain the violence from engulfing Minahasa.

The largest group is Brigade Manguni, whose members in black uniforms are frequently seen on the streets of Manado. Their presence, although not directed toward the Muslim minority, created quite a stir among the Muslims.

Suardi Hamzah helped his fellow Gorontalons forward their demands to the Jakarta government, in 2002, indicating their desire to breakaway from North Sulawesi in the form of a separate administrative region.

They succeded in their campaign. Gorontalons today have their own province, separate from Minahasa. But activists like Hamzah became frustrated when the new DPRD Gorontalo elected a notorious businessman to become its first governor.

‘'I'm not returning to Gorontalo as long as Fadel Muhammad is still governor,'' said Hamzah.

Reiner Ointoe, a lecturer at Manado's Sam Ratulangie University, himself a regular Jalan Roda visitor, believes that the street is a public forum in which outrage and criticism could be channeled.

This forum, he said, does help to maintain civil liberties in Manado.

(END/IPS/AP/CR/AE/IP/DV/AH/SI/04)
[c] 1998, InterPress Third World News Agency (IPS)