Wednesday, March 31, 2021

Kita semua adalah Nadya: Shariahisasi melalui 'jilbabisasi'

Julia Suryakusuma
The Jakarta Post

Ketika saya berusia 18 tahun
, setelah saya membuat debut sebagai penulis, saya sering mengunjungi  Taman Ismail Marzuki di mana saya bertemu seniman dan intelektual yang sama anehnya dengan saya - yang membuat saya merasa nyaman dan betah!

Suatu hari, di kafe kebun tempat kami biasa nongkrong, tiba-tiba Nashar (1928-1994), seorang pelukis terkenal, bertanya kepada saya, “Kamu siapa?” Saya segera paham bahwa dia sedang menguji saya, seorang penulis muda pemula, jadi saya menjawab, "Hmm, bahkan sayap un tidak tahu siapa saya".

Dia mengangguk dengan penuh semangat. Rupanya jawaban saya memuaskannya, ketika dia menyadari bahwa saya telah menafsirkan pertanyaan faktualnya sebagai pertanyaan filosofis eksistensial.

Memang, "Siapa saya?" adalah pertanyaan paling mendasar dalam hidup, terutama ketika seseorang menjalani kehidupan spiritual dan kesadaran diri.

Di masa politik identitas sekarang ini, saya kira kebanyakan orang tidak tahu siapa diri mereka sebenarnya. Mereka mengira mereka ini atau itu, tetapi seringkali identitas mereka dipaksakan secara sosial melalui pencucian otak oleh tokoh-tokoh otoritas, keluarga atau lembaga sosial lainnya, baik agama maupun sekuler.
 
Nadya Karima Melati, seorang mahasiswa pascasarjana Indonesia berusia 27 tahun di Bonn, Jerman, dipaksa untuk mengadopsi identitas yang dia rasa bukan miliknya. Selama tujuh tahun, dari 2008 hingga 2015, sejak ia duduk di bangku SMA hingga perguruan tinggi, ia harus mengenakan jilbab sebagai seragam sekolah yang diwajibkan.

Namun, di dalam dirinya,  dia memberontak. Karena hal itu membuatnya merasa terganggu secara mental dan emosional, dia terus-menerus berkonsultasi dengan psikolog, yang mendiagnosisnya dengan berbagai kondisi mental mulai dari depresi hingga gangguan bipolar. Akhirnya, psikolog mengidentifikasi bahwa dia menderita dysmorphia tubuh, gangguan mental obsesif yang membuat penderitanya memandang tubuh mereka sendiri sebagai cacat yang parah atau terdistorsi.

Nadya menceritakan, “Saya merasa jijik setiap kali saya melihat diri saya di cermin, sampai ingin muntah. Suatu kali, begitu bencinya saya pada bayangan yang saya lihat, saya meninju pantulannya begitu keras hingga memecahkan cermin, dan tangan saya luka hingga berdarah. "

Di penghujung semester terakhir kuliahnya, Nadya memberanikan diri melepas jilbabnya dan hanya menjalin hubungan dengan orang-orang yang bisa menerimanya tanpa jilbab. Keadaan itu sangat  sulit baginya. Dia dicap tidak bermoral dan diintimidasi serta dikucilkan oleh teman-teman, dosen-dosennya, orang-orang dewasa lain dalam hidupnya dan yang terburuk, keluarganya. Ibunya adalah yang paling kejam: Dia mengusir putrinya dari keluarga besarnya karena dia menganggap Nadya bukan lagi seorang Muslim. Dia dilarang menghadiri acara pernikahan keluarga bahkan juga perayaan Idul Fitri.
 
Hanya karena dia melepas sehelai kain penutup kepalanya, kain yang sama yang dikatakan Alquran tidak wajib? Betapa sesatnya mereka, dan juga banyak Muslim lainnya!

Baru-baru ini, Human Rights Watch merilis laporan dwibahasa berjudul “Aku Ingin Lari Jauh": Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia tentang jilbabisasi paksa. Sebanyak 142 wawancara mendalam dilakukan, mencakup 30 sekolah selama tujuh tahun, dari 2014-2021. Aturan wajib jilbab memiliki dampak yang luas bagi perempuan Indonesia.

Bahkan setelah laporan itu dirilis, kasus-kasus baru terus bermunculan. Ada juga perempuan yang mengunggah kesedihan mereka di Facebook, seperti Tati (bukan nama sebenarnya), yang dipukuli oleh suaminya karena menolak memakai jilbab. Akibatnya, dia tidak pernah meninggalkan rumah dan mengatakan dia hanya menunggu saat dia meninggal. Sedihnya!

Ifa Hanifah Misbach, psikolog berusia 45 tahun yang menjadi salah satu pembicara di webinar pada 18 Maret untuk meluncurkan laporan HRW, terus-menerus diintimidasi. Dia bilang dia muak harus terus-menerus seperti Batman, “the caped crusader” (tentara berjubah), yang tutup kepalanya mirip jilbab, memiliki kehidupan ganda. Pada satu titik, Ifa memutuskan cukup sudah, dan melepas jilbabnya.
 
Diperkirakan 75 persen perempuan Muslim di Indonesia sekarang mengenakan jilbab. Entah, berapa banyak dari mereka yang mengalami gangguan mental dan ketidakbahagiaan ekstrim seperti Nadya dan “Tati” akibat jilbabisasi paksa?

Studi kasus dalam laporan tersebut sangat mengejutkan untuk dibaca, begitu pula pengungkapan betapa parah  penderitaan para perempuan korban jilbabisasi paksa tersebut. Di sisi lain, hal itu tidak mengherankan. Syariahisasi melalui berbagai cara ini sudah berlangsung sejak awal Era Reformasi (1998), dengan otonomi daerah yang memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk mengeluarkan peraturan daerah (perda) yang seringkali berdasarkan syariah, termasuk tata cara berpakaian bagi perempuan.

Pada 2008, UU Pornografi disahkan. Kenyataannya, undang-undang ini adalah Perda berskala nasional yang merupakan kemenangan (simbolik) bagi Islam politik guna mempengaruhi kebijakan nasional, identitas, dan pada akhirnya, karakter negara.

Slogan feminis yaitu "the personal is political" (yang pribadi adalah politis) sangatlah tepat, di mana identitas perempuan dikonstruksikan secara sosial untuk melayani kepentingan negara atau masyarakat pada umumnya. 

Pada jaman fasisme Jerman  (1933-1945), ada Kinder, Kuche, Kirche (anak-anak, dapur, gereja), di mana kehidupan perempuan dianggap harus berputar di sekitarnya. Pada zaman kapitalisme awal di dunia industri Barat, ada gejala housewifization (pengiburumahtanggaan), di mana perempuan yang didefinisikan sebagai ibu rumah tanggap, harus menyediakan pekerjaan domestik tanpa bayaran untuk suami dan anak-anak mereka untuk kebutuhan dan kelangsungan kapitalisme.

Di Iran setelah Revolusi Islam 1979, hukum syariah diberlakukan, jilbab untuk perempuan menjadi wajib – jika perempuan tidak mengenakannya, mendapat sanksi hukum. Di Orde Baru Soeharto (1966-1998), pengertian ibuisme negara - yang mendefinisikan perempuan terutama sebagai istri dan ibu, serta pencari suara untuk Golkar, partai pemerintah yang berkuasa - adalah norma yang berlaku.

Sekarang kita punya ibuisme Islam, di mana jilbab itu wajib, atau paling tidak, sanksi sosialnya begitu berat, sehingga perempuan terpaksa menurut. Itu semua adalah bagian dari shariahisasi secara diam-diam atau secara gerilya.

Pertanyaan "Siapa saya?" adalah pertanyaan yang juga harus diajukan baik kepada Islam maupun Indonesia. Apakah Islam menjadi bentuk moralitas pendendam di mana sebuah kelompok memutuskan bahwa ia lebih unggul secara moral, dan semua orang lain salah dan harus dihukum jika mereka tidak mengikuti aturan yang diberlakukan oleh kelompok ini pada mereka? Ini namanya totalitarianisme, yang menindas dan bertentangan dengan semangat Islam yang damai dan demokratis. Nabi Muhammad akan berbalik di kuburnya menyaksikan tren tersebut.

Apakah Indonesia akan menyerahkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika, yang telah menyatukan imagined community Indonesia sejak 1945, kepada versi Islam yang fasis ini?

Dan apakah kita akan terus mengizinkan pemerkosaan terhadap orang Indonesia melalui jilbabisasi? Ya, itu  adalah pemerkosaan, terhadap hak-hak perempuan, kebebasan memilih dan kesejahteraan mental dan sosial mereka. *

Penulis Julia’s Jihad. Terjemahan dari We are all Nadya: Shariaization by ‘jilbabizationdari The Jakarta Post

We are all Nadya: Shariaization by ‘jilbabization’

Julia Suryakusuma

When I was 18, after I had made my debut as a writer, I used to go to the Jakarta Arts Center Taman Ismail Marzuki (TIM) where I met artists and intellectuals just as weird as myself —which made me feel right at home! 

One day, in the outdoor café where we used to hang out, out of the blue, Nashar, a well-known painter asked me, “Who are you?” Understanding immediately that he was testing me, an upstart young writer, I replied, “Hmm, even I don’t know who I am”. 

He nodded vigorously. Apparently my answer satisfied him, as he realized that I had interpreted his presumably factual question as an existential, philosophical one. 

Indeed, “Who am I?” is one of the most basic questions in life, certainly when one embarks on a path of spirituality and self-awareness. 

In these days of identity politics, I reckon most people are clueless as to who they really are. They think they are this or that, but often their identity is socially imposed through brainwashing by authority figures, the family or other social institutions, whether religious or secular. 

Nadya Karima Melati, a 27-year-old Indonesian post graduate student in Bonn, Germany, was forced to adopt an identity she felt was not hers. For seven years, from 2008 to 2015, from the time she was in high school to university, she had to wear the jilbab (Muslim headscarf) as it was the required school uniform. 

However, internally, she revolted against it. As it made her feel mentally and emotionally disturbed, she kept on going to a psychologist, who diagnosed her with a range of mental conditions from depression to bipolar disorder. Eventually, the psychologist identified her as having body dysmorphia, an obsessive mental disorder that has the sufferer view their own body as severely flawed or distorted. 

Nadya recounted, “I felt repulsed whenever I saw myself in the mirror, to the point of wanting to throw up. Once, I hated the image I saw so much, I punched the reflection so hard, I smashed the mirror, cutting my hand, causing it to bleed.” 

At the end of her last semester at university, Nadya mustered the courage to remove her jilbab and only engaged with people who could accept her without the headscarf. It was tough. She was branded immoral and intimidated and ostracized by friends, her teachers, the adults in her life and worst of all, her family. Her mother was the most merciless: She expelled Nadya from her extended family as she considered Nadya no longer a Muslim. She got barred from family weddings and even Idul Fitri, the celebration of the end of the fasting month. 

Just because she took off the piece of cloth covering her head, the same piece of cloth the Quran says is not obligatory? How misguided they, and many Muslims are! 

Recently, Human Rights Watch released a bilingual report titled “I Wanted to Run Away": Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia about forced “jilbabization”. As many as 142 in-depth interviews were conducted, covering 30 schools over a period of seven years, from 2014-2021. 

Even after the report was released, new cases kept on being submitted. Women have also posted their plight on Facebook, such as Tati (not her real name), whose husband beats her because of her refusal to wear a jilbab. As a result, she doesn’t leave the house and says she’s just waiting for the time she dies. How sad! 

Ifa Hanifah Misbach, a 45-year-old psychologist who was one of the speakers at a webinar on March 18 to launch the HRW report, was constantly bullied. She said she got fed up with being like Batman, the jilbabed, i.e. caped crusader, of having a double life, and at one point decided she had had enough. 

An estimated 75 percent of Muslim women in Indonesia now wear a jilbab. I wonder, how many of them are suffering mental distress and extreme unhappiness like Nadya and “Tati” from forced jilbabization? 

The case studies in the report were shocking to read, as was the extent of the suffering and abuse inflicted on the women. On the other hand, it was not surprising. This shariaization by stealth has been going on since the beginning of the Reform Era, with its regional autonomy that gave leaders the authority to issue bylaws (Perda) that were often sharia-based, including dress codes for women. 

In 2008, the Pornography Law was passed. It was in fact Perdas writ large on a national scale — a (symbolic) victory for political Islam influencing national policy, identity and ultimately, state character. 

Feminist are spot on in pointing out that “the personal is political”, whereby women are socially constructed to serve the interests of the state or society at large. In fascist Germany (1933-1945), there was Kinder, Kuche, Kirche (children, kitchen, church), around which women’s lives were supposed to revolve. In early capitalism in the industrial West, there was housewifization, whereby women provided unpaid domestic work for their husbands and children for the needs of capitalism. 

In Iran after the 1979 Islamic Revolution, sharia law was imposed, the hijab for women was made mandatory and the failure to wear one was punishable by law. In Soeharto’s New Order (1966-1998), the notion of state ibu-ism — which defined women primarily as wives and mothers, as well as vote-getters for the ruling Golkar Party — was the norm. 

Now we have an Islamic ibu-ism whereby wearing the jilbab is mandatory or where the social sanction is so heavy, women succumb. It’s all part of the shariaization by stealth. 

The “Who am I?” question should be posed to both Islam and Indonesia. Is Islam becoming a vindictive form of morality where a group decides it is morally superior, and everyone else is wrong and ought to be punished if they don’t follow the rules that this group imposes on them? This is called totalitarianism, which is oppressive and against the true peaceful and democratic spirit of Islam. Prophet Muhammad would turn in his grave witnessing the trend. 

Is Indonesia going to surrender its pluralistic principle of Bhinneka Tunggal Ika (Unity in Diversity), which has held together the “imagined community” of Indonesia since 1945, to this fascistic version of Islam? 

And are we going to continue to allow the rape of Indonesians through jilbabization? Yes, it’s rape: of women’s rights, their freedom to choose and their mental and social wellbeing. * 


The writer is the author of Julia’s Jihad. It is published here with the permission of the author.

Thursday, March 18, 2021

Aturan Busana Diskriminatif bagi Anak dan Perempuan

Siswi dan Pegawai Perempuan Menderita soal Aturan Busana yang Tidak Adil


(Jakarta) – Aturan busana bagi anak dan perempuan di Indonesia diskriminatif buat para siswi, pegawai negeri perempuan, dan pengunjung perempuan ke kantor pemerintah serta seharusnya dicabut, kata Human Rights Watch dalam peluncuran laporan hari ini. Pemerintah seyogyanya menegakkan Surat Keputusan Bersama buatan Februari 2021, yang melarang aturan busana yang sewenang-wenang dan diskriminatif bagi siswi serta guru perempuan di sekolah-sekolah negeri dan mengambil langkah hukum tambahan guna akhiri diskriminasi pada perempuan dan anak.

Laporan setebal 98 halaman, berjudul 'Aku Ingin Lari Jauh’: Ketidakadilan Aturan Berpakaian bagi Perempuan di Indonesia, mendokumentasikan bagaimana berbagai peraturan pemerintah mewajibkan anak perempuan dan perempuan untuk mengenakan jilbab, busana Muslim yang menutupi kepala, leher, dan dada. Human Rights Watch menerangkan sejarah bermacam  peraturan wajib jilbab dan bagaimana perundungan yang terjadi secara luas untuk memakai jilbab telah menyebabkan tekanan psikologis pada perempuan dan anak perempuan. Anak yang tidak patuh dengan jilbab dipaksa keluar sekolah atau mengundurkan diri di bawah tekanan, sementara pegawai negeri perempuan kehilangan pekerjaan mereka atau mengundurkan diri untuk menghindari tuntutan terus-menerus memakai jilbab.

“Sejumlah peraturan dan kebijakan di Indonesia sudah terlalu lama memberlakukan aturan busana yang diskriminatif terhadap perempuan dan anak perempuan di sekolah dan tempat kerja. Ini melanggar hak mereka untuk bebas dari pemaksaan dalam beragama,” kata Elaine Pearson dari Human Rights Watch. “Pemerintah pusat, provinsi, dan daerah seyogianya hentikan berbagai praktik diskriminatif ini dan membiarkan perempuan dan anak perempuan memakai apa yang mereka pilih tanpa mengorbankan hak mereka atas pendidikan atau pekerjaan."

Sesudah keluhan ayah dari seorang siswi sekolah menengah di Padang, Sumatra Barat, menjadi viral, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menandatangani Surat Keputusan Bersama pada 3 Februari yang memungkinkan siswi atau guru untuk memilih pakaian apa yang akan dipakai di sekolah, dengan atau tanpa “atribut agama”. Makarim mengatakan, sekolah negeri "salah menafsirkan" peraturan seragam sekolah tahun 2014. Yaqut Qoumas mengatakan kasus Padang adalah “puncak gunung es” dan aturan wajib jilbab selama ini digunakan untuk “pemaksaan, diskriminasi, intimidasi” terhadap murid perempuan.

Human Rights Watch mendokumentasikan banyak kasus di mana para siswi dan guru beragama Kristen dan non-Muslim lain dipaksa memakai jilbab. Di Indonesia, istilah “jilbab” biasanya dipadukan dengan rok panjang dan kemeja lengan panjang. Dalam Bahasa Inggris, penutup kepala ini lebih dikenal dengan istilah hijab.

Sejak 2001, berbagai pemerintah daerah telah mengeluarkan lebih dari 60 peraturan untuk menegakkan apa yang mereka klaim sebagai “busana Muslimah.” Sebagian besar dari hampir 300.000 sekolah negeri di Indonesia, terutama di 24 provinsi berpenduduk mayoritas Muslim, mewajibkan anak-anak perempuan beragama Islam untuk mengenakan jilbab sejak sekolah dasar.

“Setiap ada pelajaran agama, dan kapanpun pak guru agama Islam menghampiri, dia bertanya kenapa anak saya tidak berjilbab,” cerita seorang ibu dari siswi SMP Negeri di Yogyakarta kepada Human Rights Watch. Guru itu bahkan bertanya “Besok jilbabnya dipakai ya?” Putri saya hanya menjawab, “Ya, baik.” Tapi begitu dia pulang, dia cerita pada saya soal ketidaknyamanannya, “Mengapa mereka seperti itu ya, Ma?”

Pada tahun 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan aturan seragam sekolah di mana digambarkan “busana Muslimah” dengan rok panjang, kemeja lengan panjang, dan jilbab. Ia memberi kesan bahwa itulah satu-satunya pilihan bagi para gadis Muslim. Aturan itu mendorong dinas pendidikan di daerah untuk memperkenalkan peraturan-peraturan baru, yang pada gilirannya, mendorong ribuan sekolah negeri, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, untuk menulis ulang tata terbit seragam sekolah, yang mewajibkan jilbab bagi Muslimah.

Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menandatangani peraturan tahun 2014, mengatakan kepada Human Rights Watch bahwa peraturan itu memberi dua pilihan: kemeja lengan panjang, rok panjang dan jilbab, atau seragam tanpa jilbab. Dia mengatakan, “Saya membuat peraturan itu. Tapi jilbab tidak wajib. Tidak ada kata wajib di sana." Dia menekankan bahwa setiap siswi Muslim seharusnya bisa memilih apakah akan memakai jilbab atau tidak.

Banyak kepala sekolah mengakui bahwa aturan itu tidak mewajibkan jilbab, namun keberadaan gambar dalam peraturan tersebut, memungkinkan sekolah untuk menekan siswi Muslim memakai jilbab.

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama yang baru, pemerintah daerah dan kepala sekolah diperintahkan mencabut semua aturan wajib jilbab sebelum 5 Maret 2021 dan sanksi akan mulai diberlakukan kepada kepala sekolah dan kepala daerah, yang tidak mematuhi keputusan itu, pada 25 Maret 2021. Menteri Pendidikan dan Kebudayan diberi wewenang untuk menahan dana Bantuan Operasional Sekolah untuk sekolah yang mengabaikan keputusan tersebut.

Surat Keputusan Bersama tersebut hanya mencakup sekolah negeri yang berada di bawah pengelolaan pemerintah daerah dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia tak meliputi sekolah negeri dan perguruan tinggi Islam di bawah Kementerian Agama. Ia juga mengecualikan Aceh, yang memiliki otonomi lebih besar daripada provinsi-provinsi lain, dan merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia, yang resmi menjalankan syariat Islam.

Laporan ini juga dilengkapi dengan lampiran yang menjelaskan berbagai aturan busana di Chechnya (Rusia), Prancis, Jerman, Iran, Arab Saudi, wilayah Suriah di bawah kekuasaan Negara Islam, Turki, dan Xinjiang di Tiongkok.

Hukum internasional menjamin hak setiap manusia untuk menjalankan keyakinannya, hak atas kebebasan berekspresi, dan hak atas pendidikan tanpa diskriminasi. Perempuan memiliki hak yang setara dengan laki-laki, termasuk hak untuk mengenakan apa yang mereka pilih. Pembatasan apa pun terhadap hak-hak ini hanya bisa dilakukan demi tujuan yang sah, diterapkan dengan cara yang tidak sewenang-wenang dan nondiskriminatif. Aturan wajib jilbab, termasuk yang berlaku di Aceh, merongrong hak anak perempuan dan perempuan untuk bebas “dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun” berdasarkan konstitusi Indonesia.

“Peraturan soal busana di Indonesia merupakan bagian dari serangan yang lebih luas oleh kelompok konservatif terhadap kesetaraan gender dan kemampuan perempuan dan anak perempuan untuk mendapatkan hak mereka, seperti pendidikan, mata pencarian, dan tunjangan sosial,” kata Pearson. “Pemerintahan Jokowi harus memegang teguh dan menegakkan SKB Tiga Menteri ini yang melarang pemaksaan jilbab, dan kemudian melangkah lebih jauh dengan mengakhiri semua peraturan yang diskriminasi gender di sekolah atau tempat kerja.”

Kutipan beberapa individu dari laporan ini

“Jika kami mencapai pelanggaran 100 poin, kami akan diminta mengundurkan diri dari sekolah. Kerudung haruslah tebal, tidak ada rambut yang terlihat, dan jilbab harus cukup lebar untuk menutupi dada. Baju harus cukup panjang untuk menutupi pinggul. Jika kerudung terlalu tipis atau terlalu pendek, guru akan [menggambar] tanda silang dengan spidol di baju atau jilbab. Begitu pula kemeja yang tidak menutupi pinggul akan dicoret.”

––Seorang perempuan, kini berusia 27 tahun, mengingat kembali pengalamannya dengan sistem skor di sebuah SMA Negeri di Solok, Sumatra Barat.
 

“Setiap ada pelajaran agama, dan kapanpun pak guru agama Islam menghampiri, dia bertanya kenapa anak saya tidak berjilbab.” Guru itu bahkan bertanya “Besok jilbabnya dipakai ya?” Putri saya hanya menjawab “Ya, baik.” Tapi begitu dia pulang, dia cerita pada saya soal ketidaknyamanannya, “Mengapa mereka seperti itu ya, Ma?” Saya menyadari bahwa pihak sekolah telah menekan para siswi untuk memakai jilbab meskipun kepala sekolah menyangkalnya.”[AH1] 

––Seorang ibu yang putrinya bersekolah di sebuah SMP negeri di Yogyakarta.

 
“Tidak ada aturan resmi buat dosen dan mahasiswi untuk pakai jilbab di kampus. Tapi tekanannya sangat kuat. Saya baca Kode Etik kampus. Hanya menyebut tata busana yang sopan. Saya selalu berpakaian sopan. Saya dapat komentar mengapa saya tidak menutupi rambut saya? Saya trauma akibat kejadian-kejadian itu. Kebanyakan orang di kampus ini menghakimi saya, langsung maupun tidak, hanya karena saya memutuskan untuk tidak memakai jilbab seperti yang mereka mau.”

––Seorang dosen kampus negeri di Jakarta yang akhirnya mengundurkan diri pada 2020, melepaskan status pegawai negeri.

 
“Kalau [anak] saya pakai jilbab, seakan-akan saya membohongi identitas agama saya. Ya kan? Di mana hak agama saya? Hak asasi saya? Apakah ini hanya imbauan atau kewajiban?”

––Elianu Hia, seorang ayah, datang di sekolah putrinya di Padang, Sumatra Barat saat seorang guru minta Elianu memastikan agar putrinya, Jeni, yang beragama Kristen, pakai jilbab. Elianu Hia mengunggah videonya ke Facebook. 

Tuhan, Aku Bertanya Pada-Mu


Puisi lama, saat saya remaja ini, saya dedikasikan buat para anak perempuan Muslim, yang tak berdaya untuk memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri, yang menyimpan trauma bisu tak mampu bersuara karena bullying yang intense ketika memilih tidak berjilbab, yang mendapat penghakiman dari sesama perempuan akan masuk neraka karena berdosa sehingga berhak disindir dan diintimidasi sepanjang waktu. Tanpa sadar banyak perempuan menghakimi moral dan pakaian perempuan lain dengan memakai standar alam laki-laki. 
Then, we need women support womenNot kill each other

Let me speak up for you, dear young girls 💚❤️💜

Jakarta, 18 Maret 2021


=========================================


Aku sudah tak ingat berapa lama aku berjalan kaki dalam keadaan linglung.
Aku terjatuh di bawah pohon pinus di hutan sambil memandang kota kelahiranku dari kejauhan. Ah… biasanya indah tapi kenapa kali ini buram, ah… aku lupa air mataku banjir terus menutupi pandanganku. Dadaku sesak dan ngilu sakit sekali.

Aku pandangi langit ke atas mencari yang namanya Tuhan.

Mencari arti keadilan buat anak perempuan yang malang sepertiku.

Aku hanya ingin curhat sama Tuhan

Tuhan, 
Apa kabar-Mu? Engkau baik sekali ya memberiku langit mendung, semendung hatiku…. 

Tuhan,
Aku kehilangan ibuku yang manis.
Tak terkira betapa banyak pengorbanan yang menguras tenaga untuk patuh membahagiakannya. Aku pikir aku anak baik. 
Aku rajin sholat, puasa sunat, mengaji, tahajjud, khatam Al-Quran berkali-kali, dzikir setiap hari.
Tapi ibuku tetap marah, kemarin kakak kelasku perempuan melaporkan aku pakai celana pendek waktu tanding basket di sekolah. Aku dianggap anak pembangkang. 

Kata ibuku aku tetap berdosa tidak pakai jilbab. Katanya aku bikin malu ibuku karena diomongin orang-orang di pengajian.

Ibuku dianggap tak bisa mendidik anak perempuan sholehah. 
Ibuku bilang aku bisa membuatnya tidak bisa ke surga, karena ibuku akan diminta pertanggungjawaban tidak bisa mendidik anak perempuan, ada di surat Lukman katanya. 
Artinya, aku tidak bisa masuk surga karena membangkang perintah ibuku atas perintah Alloh karena surga berada di bawah telapak kaki ibu. 

Tuhan, 
Kemarin aku disidang bibi-bibiku, katanya bapaku di alam sana bisa masuk neraka karena anak perempuannya tidak pakai jilbab. Nanti juga kakak-kakak laki-laki aku terseret masuk neraka. Tetanggaku juga suka ada yang lapor ibuku aku pakai pakaian apa.

Tuhan,
Aku letih tidak bisa jadi diri sendiri.
Jika surga diciptakan hanya untuk perempuan sholehah yang berjilbab yang patuh pada ibunya, lalu where am I kelak?

Tuhan,
Apakah betul aku akan menyeret almarhum bapa, semua saudara laki-laki aku ke neraka karena aku tidak berjilbab? Kalau betul, berarti semua anak perempuan akan menawar untuk tidak mau dilahirkan di keluarga Islam, mereka seperti aku akan bertanya di alam azali sebelum masuk ke alam rahim untuk minta dilahirkan jadi anak laki-laki saja. Karena kami anak perempuan tidak memiliki kuasa atas tubuh kami sendiri. 

Kami tidak bisa jadi diri sendiri…

Tuhan,
Jika aku tidak mendapatkan ridho dari ibuku padahal surga ada di bawah telapak kakinya, betapa aku adalah anak Adam yang paling malang di muka bumi. Aku mau lari kemana? Kemana pun aku pergi, surga itu tak pernah ada untukku.

Tuhan, 
Bukankah buah dari agama itu adalah akhlak?
Dan bukankah puncak tertinggi akhlak itu adalah jujur?
Aku hanya ingin jujur Tuhan,
Jujur menjadi diriku sendiri. Itu saja. Tapi mengapa jujur saja sulit sekali?

Tuhan,
Aku mau jujur padamu,
Aku tidak sanggup pakai jilbab.
Hatiku memberontak gelisah ketika dipaksa dan ditakuti masuk neraka.
Aku tidak mau membohongi-Mu, aku pakai jilbab untuk mendapatkan pujian manusia atau menyenangkan ego ibuku. Aku bisa gila hidup menjadi orang munafik mencari rasa aman tapi membohongi Engkau. Bagaimana mungkin aku membohongi Engkau sebagai pencipta-Ku sedangkan aku hanya mahluk-Mu.

Tuhan, 
Biarkan aku jujur bilang nggak sanggup pakai jilbab. Aku akan ambil resiko dicibir oleh omongan-omongan manusia, entah besok, lusa atau entah kapan. 
Aku akan selalu diserang tidak pakai jilbab. Biarlah … aku akan menghadapinya dengan tabah.
Karena membohongi-Mu jauh lebih akan membuatku gila. 
Aku percaya pada keadilan-MU dengan sifat Rahman dan Rahim di surat Al-Fatihah yang aku baca setiap hari.

Wahai Ibuku, mamah…
Hatiku letih karena hatiku dan hatimu tak pernah bisa bertemu.
Kenapa kau begitu keras dan kejam tak pernah menghargai pengorbananku tak ada artinya hanya karena aku tidak mau memakai jilbab.
Tapi aku tidak pernah akan sanggup membencimu karena aku paham mamah juga korban dari alam patriakat di sekeliling kita.

Maafkan aku tidak bisa menjadi anak sholehah yang mamah inginkan.

Tenanglah mah…
Jika suatu hari kelak di akhirat, mamah diminta pertanggungjawaban oleh Alloh kenapa aku tidak berjilbab, aku akan lindungi mamah depan Alloh. 
Aku akan bilang:

“Ya Alloh, Ibuku sudah mendidikku dengan baik, itu bukan kesalahan ibuku. Tapi kesalahanku. Maka aku pasrahkan keputusan-Mu memasukan aku ke surga atau ke neraka. Itu hak-Mu”.

I love you, mah…. sampai kapan pun karena Alloh sudah menitipkan mamah untuk aku jaga.

Tapi ....

Ijinkan aku berdiri di atas pilihanku sendiri karena buatku, pilihan hidup di dunia harus berangkat dari kejujuran hati..


Bandung, di bawah pohon pinus, 
di bukit somewhere nowhere,
saat air mataku banjir tak henti menetes