Saturday, February 20, 1999

Apa itu Investigative Reporting

Andreas Harsono 
Institut Studi Arus Informasi

Apakah semua wartawan menjalankan fungsi investigasi? Jawabnya bisa ya bisa tidak. 

Sebagian wartawan mengatakan setiap reporter juga seorang investigator. Namun ada yang mengatakan tidak setiap wartawan melakukan investigasi. 

Wartawan yang ikut pertemuan pers, menyodorkan tape recorder dan sekali-kali menerima amplop, pasti bukan seorang investigator. Namun ada juga yang berpendapat setiap wartawan seyogyanya menjadi seorang investigator. Atau dipertajam lagi, ada yang mengatakan bahwa setiap wartawan harus bisa menjadi seorang investigator. Entah itu wartawan di kota atau reporter bisnis. Bahkan wartawan yang bertugas meliput pakaian mode baru juga bisa menjadi investigator. Logikanya, kejahatan tak mengenal bidang-bidang liputan. Di mana-mana bisa terjadi kejahatan. 

Sebagian wartawan juga mengatakan bahwa investigasi adalah pekerjaan jurnalisme yang dikaitkan dengan upaya membongkar apa-apa yang salah dan dirahasiakan. Namun apakah membongkar skandal antara seorang manajer dengan mantan sekretarisnya juga dikategorikan investigasi? Apakah membongkar skandal seorang politikus dan seorang aktivis perempuan bisa dikategorikan investigasi? Berhakkah media masuk hingga ke ruang pribadi ini? Apa beda investigative reporting dan in-depth reporting

DARI MUCKRAKING HINGGA INVESTIGATIVE REPORTING 

Sebelum masuk ke perdebatan-perdebatan tersebut, ada baiknya kita melihat apa yang terjadi di negara-negara lain yang tradisi persnya, setidaknya di bidang investigasi, lebih tua dari Indonesia. 

Di Amerika Serikat istilah investigative reporting mulai populer pada 1975, ketika di Columbia didirikan Investigative Reporters and Editors Inc. Tapi ini bukan berarti sesuatu yang baru sama sekali. Sebelumnya ada istilah muckraking journalism, antara tahun 1902 hingga 1912, ketika majalah McClure's menerbitkan laporan-laporan yang membongkar politik uang elit Washington. 

Sekarang IRE menjadi salah satu organisasi terkemuka dalam masalah investigasi dengan anggaran $800,000 per tahun[2]. Setiap tahun IRE mengadakan seminar teknik-teknik baru dalam investigasi, baik dalam pengelolaan database maupun spesialisasi tertentu (lingkungan hidup misalnya), serta memberikan hadiah buat karya-karya investigasi yang bagus di seluruh daratan Amerika Serikat. Ia memperkenalkan sistem riset lewat internet maupun pemakaian penginderaan jarak jauh. 

Di Asia, saya kira Manila yang pertama kali memiliki organisasi semacam Philippines Center for Investigative Journalism ketika sekelompok wartawan muda pada tahun 1989 mendirikan lembaga itu sesaat setelah diktator Ferdinand Marcos melarikan diri dari Filipina. 

Direktur PCIJ Sheila Coronel datang ke Indonesia dan memberikan ceramah di Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan Ujungpandang pada 1-11 Oktober 1999[3]. Menurut Coronel, mereka mendirikan PCIJ karena media di mana mereka bekerja tak menyediakan suasana yang memungkinkan bagi wartawan-wartawan muda itu untuk membuat in-depth reporting maupun investigative reporting. Budaya newsroom di Filipina lebih banyak dihabiskan untuk meliput breaking news daripada analisa yang mendalam. 

Pada November 1998 di Cambridge, Boston, juga diadakan pertemuan perdana dari International Consortium of Investigative Journalists yang memberikan penghargaan buat wartawan-wartawan dari seluruh dunia yang berkarya dengan baik di bidang investigasi. 

Untuk pertama kali penghargaan ini diberikan kepada Nate Thayer dari mingguan Far Eastern Economic Review yang berpangkalan di Hongkong atas jerih-payah dan prestasi Thayer dalam mewawancarai tokoh Khmer Merah Pol Pot[4]

Di Indonesia sendiri kurang jelas mulai kapan istilah liputan investigasi mulai menjadi populer. Namun setidaknya ada beberapa majalah yang secara eksplisit pada tahun 1990-an menggunakan kata "investigasi" dalam liputan mereka. 

Dwi-mingguan Tajuk yang didirikan tahun 1996 memposisikan dirinya sebagai majalah "berita, investigasi dan entertainmen". Majalah Tempo juga menambahkan satu rubrik "Investigasi" ketika terbit kembali 6 Oktober 1998[5]

Namun apa yang dinilai sebagai “investigasi” yang mungkin paling terkenal di Indonesia adalah liputan harian Indonesia Raya atas kasus korupsi di Pertamina dan Badan Logistik antara 1969 dan 1972. Harian itu melaporkan dugaan korupsi besar-besaran di Pertamina dengan memanfaatkan sumber-sumber anonim dari dalam perusahaan negara tersebut. Pertamina maupun pemerintahan Presiden Suharto menolak adanya korupsi. 

Walaupun Indonesia Raya terkesan agak crusading dalam liputannya namun beberapa tahun kemudian terbukti bahwa Pertamina memang penuh dengan korupsi hingga hampir membangkrutkan pemerintahan Suharto. 

Dalam lima tahun terakhir ini, saya pikir liputan investigasi skala internasional yang dilakukan oleh wartawan Indonesia adalah investigasi tentang skandal emas Busang yang dibuat oleh wartawan lepas Bondan Winarno. 

Ia melanglang buana, pergi ke Calgary dan Toronto di Kanada, Manila di Filipina serta hutan rimba Busang di Kalimantan untuk menelusuri investigasinya yang dituangkan dalam bentuk sebuah buku.[6] Bondan juga menelusuri berbagai dokumen tentang pertambangan mineral dan cara-cara untuk "meracuni" mata bor dengan "emas luar" sedemikian rupa sehingga dibuat kesimpulan ada cebakan emas yang luar biasa besarnya di bawah permukaan hutan Busang. 

Bondan menganggap Michael de Guzman, geolog senior Bre-X, "meracuni" sample hasil pemboran mereka dan melakukan kejahatan canggih untuk memperkaya diri mereka. Bondan secara mengejutkan juga memperkirakan bahwa de Guzman masih hidup, tidak mati bunuh diri seperti diberitakan. 

Bondan melaporkan bahwa mayat yang ditemukan di tengah hutan Busang itu tidak memiliki gigi palsu di rahang atasnya seperti yang dimiliki de Guzman. Geolog Filipina ini juga mempunyai gaya hidup mewah, suka berfoya-foya, main perempuan, yang tidak cocok dengan tipe orang yang memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Aneh juga bahwa de Gusman tidak duduk di samping pilot helikopter namun di belakang. 

Bondan mewawancarai dua orang dokter yang melakukan autopsi terhadap jasad tersebut serta seorang dari empat isteri de Guzman. 

Dari gambaran sekilas atas pekerjaan Bondan maupun Nate Thayer sudah bisa kita ketahui bahwa investigative reporting memang lebih berat dari rata-rata pekerjaan jurnalisme sehari-hari. 

Bondan butuh waktu dua bulan penuh untuk mengerjakan investigasinya. Thayer bahkan membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menyakinkan Khmer Merah bahwa ia layak untuk mewawancarai Pol Pot.

Goenawan Mohamad dari majalah Tempo menyebut investigative reporting sebagai jurnalisme "membongkar kejahatan." Ada suatu kejahatan yang biasanya ditutup-tutupi. Wartawan yang baik akan mencoba mempelajari dokumen-dokumen bersangkutan dan membongkar keberadaan tindak kejahatan di belakangnya. 

Namun pemahaman ini perlu dibedakan antara investigasi yang dikerjakan oleh seorang wartawan atau sebuah tim wartawan dengan liputan media atas hasil investigasi pihak lain. 

Ketika mingguan Panji Masyarakat memuat rekaman pembicaraan antara Presiden B.J. Habibie and Jaksa Agung Andi M. Ghalib pada pertengahan Februari 1999, banyak dosen komunikasi yang mengatakan bahwa itulah investigative reporting

Ahli hukum media Abdul Muis dari Universitas Hasanuddin mengatakan secara etis Panji tidak bisa disalahkan karena pemuatan itu bagian dari investigative reporting.[7] Muis mengatakan bahwa Panji melakukan investigasi. 

Terlepas dari keberanian Panji dalam menurunkan pembicaraan itu dengan pertimbangan adanya public interest dalam perbincangan tersebut, Muis lupa bahwa rekaman tersebut bukan dikerjakan Panji sendiri. Yang melakukan investigasi bukan Panji karena majalah itu hanya mendapatkan kaset rekamannya saja. Bukan menyadap pembicaraan telpon itu sendiri. 

Robert Greene dari Newsday --beberapa kali disebut sebagai "Bapak Jurnalisme Investigasi Modern"-- membatasi liputan investigasi sebagai karya seorang atau beberapa wartawan atas suatu hal yang penting buat kepentingan masyarakat namun dirahasiakan oleh mereka yang terlibat. 

Liputan investigasi ini minimal memiliki tiga elemen dasar: bahwa liputan itu adalah ide orisinil dari wartawan, bukan hasil investigasi pihak lain yang ditindaklanjuti oleh media; bahwa subyek investigasi merupakan kepentingan bersama yang cukup masuk akal untuk mempengaruhi kehidupan sosial mayoritas pembaca suratkabar atau pemirsa televisi bersangkutan; bahwa ada pihak-pihak yang mencoba menyembunyikan kejahatan ini dari hadapan publik.[8] 

DUA BAGIAN DARI PROSES INVESTIGASI 

Mula-mula seorang wartawan investigator adalah wartawan yang tidak menerima mentah-mentah pernyataan sumber-sumber resmi. Seorang wartawan yang mau melakukan pekerjaan riset yang dalam, tekun merekonstruksi suatu kejahatan dan tidak kenal lelah untuk mengejar sumber-sumber yang penting, kira-kira itulah bayangan pekerjaan dalam jurnalisme investigasi. Sumber-sumbernya banyak. Dokumen-dokumennya bertumpuk. Jelas bahwa sebuah karya investigasi tidak bisa dibuat hanya dengan mengandalkan sebuah laporan pemeriksaan polisi atau keterangan pers sebuah lembaga swadaya masyarakat. 

Walaupun ukuran waktu bersifat sangat nisbi, namun sebuah laporan investigasi biasanya makan waktu cukup lama. Bisa setengah tahun namun bisa juga setahun tergantung pada ukuran dan cakupan investigasi tersebut. 

Menyelidiki perdagangan senjata antar-negara dan penggunaannya oleh para serdadu bayaran tentu lebih lama daripada investigasi penyalahgunaan dana pembangunan Pasar Pagi di kota Tegal. Perdagangan senjata biasanya melibatkan kejahatan terorganisasir di beberapa negara. Serdadu bayaran juga beroperasi lintas batas. 

Namun ukuran waktu memang nisbi. Kalau mereka yang dianggap melakukan penyalahgunaan renovasi Pasar Pagi ternyata sudah melarikan diri ke luar negeri, tentu waktu yang dibutuhkan lebih lama daripada sekedar mengejar sumber-sumber antara Tegal dan Jakarta (dalam negeri). 

Dalam skala internasional, investigasi memang kebanyakan berkaitan dengan perdagangan senjata, operasi militer rahasia, operasi kelompok-kelompok bisnis raksasa berbau korupsi-kolusi, penyelundupan obat bius maupun penyelundupan tenaga manusia secara global (baik dalam bisnis pelacuran maupun perbudakan modern). 

Bondan menyelidiki manipulasi contoh emas Busang hingga ke kantor Bre-X di Calgary maupun situs Busang di dalam hutan-hutan Kalimantan Timur. Bondan juga pergi ke Manila untuk menemui saudara perempuan Michael de Guzman untuk mencari jejak ke arah dental record geolog Bre-X tersebut. 

Thayer harus mondar-mandir antara Bangkok, Phnom Penh dan hutan-hutan perbatasan Thailand-Kamboja untuk mengejar sumber-sumbernya di kalangan Khmer Merah. 

Coronel secara singkat membagi proses investigasi ke dalam dua kali tujuh bagian. Pembagian ini untuk mempermudah seorang investigator dalam mengatur sistematika pekerjaannya. 

Bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan dasar. Sedangkan bagian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian investigasi: 

Bagian Pertama
  • Petunjuk awal (first lead)
  • Investigasi pendahuluan (initial investigation
  • Pembentukan hipotesis (forming an investigative hypothesis)
  • Pencarian dan pendalaman literatur (literature search)
  • Wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli (interviewing experts
  • Penjejakan dokumen-dokumen (finding a paper trail
  • Wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi (interviewing key informants and sources
Petunjuk awal bisa berupa apa saja. Ia bisa berupa sebuah berita pendek di suratkabar. Ia juga bisa berupa sebuah surat kaleng yang menunjuk adanya ketidakberesan dalam suatu lembaga tertentu. Ia juga bisa berupa telpon dari seseorang tak dikenal. Atau petunjuk ini juga bisa berupa suatu peristiwa besar yang sudah banyak diberitakan media namun masih menyimpan teka-teki yang kelihatannya menarik untuk dikejar. Teka-teki ini bakal menarik kalau si investigator menemukan sumber penting yang bisa membuka ke arah terbongkarnya teka-teki tersebut. 

Indonesia memiliki banyak sekali peristiwa-peristiwa menarik untuk diselidiki. Katakanlah mulai dari isu keterlibatan oknum-oknum berseragam dalam huru-hara 14-16 Mei 1998. Sebuah petunjuk bisa saja muncul dari berbagai arah yang bisa dipakai untuk menyelidiki peristiwa tragis tersebut. 

Atau pembunuhan mereka yang dituduh sebagai dukun santet di daerah Banyuwangi dan Jember. Mengapa tiba-tiba bupati yang memerintahkan pendaftaran para dukun santet diganti sebelum masa jabatannya berakhir? Huru-hara juga meledak di mana-mana. Dari Ketapang di Jakarta hingga Karawang hingga Kupang dan Ambon. Benarkah ada provokator dan kejahatan terorganisir di balik huru-hara tersebut? 

Seorang investigator seyogyanya sudah mengetahui latar belakang suatu kasus sebelum bisa mencium adanya petunjuk yang berharga. 

Investigasi pendahuluan bisa berupa penggalian data lebih jauh, wawancara maupun peninjauan lapangan. Riset dikerjakan dengan teliti sebelum hipotesis ditetapkan. Pekerjaan yang terarah dan tajam praktis baru dikerjakan setelah hipotesis terbentuk. 

Bondan Winarno menggunakan metode deduksi untuk mencari data dan membuktikan hipotesisnya. Mula-mula dengan pencarian dan pendalaman literatur. Lantas dikombinasi dengan wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli agar si investigator mendapatkan latar-belakang teknik yang memadai sebelum melangkah lebih jauh. 

Coronel menekankan pentingnya pencarian dokumen-dokumen maupun wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi. Dokumen ini penting karena di sanalah biasanya ketentuan-ketentuan yang mengikat bisa dijadikan barang bukti. Dokumen juga bisa dipakai untuk mempertentangkan pernyataan-pernyataan nara sumber yang berbohong. 

Di Indonesia banyak sekali pejabat atau pemimpin perusahaan yang setengahnya "berbohong" dengan cara menjawab pertanyaan wartawan secara diplomatis atau bahkan dengan memutar-balikkan logika. Keberadaan dokumen tertulis dengan mudah akan membantah semua kebohongan. 

Pekerjaan terakhir dalam tahap pertama ini adalah wawancara dengan orang-orang kunci. Pekerjaan ini seringkali makan waktu lama karena jarak maupun waktu. Orang-orang kunci tidak harus orang-orang dengan jabatan tinggi. 

Seorang tukang perahu dekat Samarinda bisa menjadi sumber penting dalam investigasi Bre-X untuk membuktikan bahwa "peracunan emas" tidak dilakukan di gudang Loa Duri (seperti dilaporkan Asian Wall Street Journal). Atau seorang isteri yang bisa menegaskan bahwa suaminya memiliki gigi palsu di rahang atas. Memang sumber-sumber kunci dalam Bre-X juga termasuk John Felderhof, geolog senior yang juga atasan Michael de Guzman, namun yang seringkali terjadi orang-orang macam ini keberatan untuk bicara dengan wartawan. 

Bagian Kedua 
  • Pengamatan langsung di lapangan (first hand observation
  • Pengorganisasian file (organizing files
  • Wawancara lebih lanjut (more interviews
  • Analisa dan pengorganisasian data (analyzing and organizing data
  • Penulisan (writing
  • Pengecekan fakta (fact checking
  • Pengecekan pencemaran nama baik (libel check
Pengamatan langsung di lapangan seyogyanya dilakukan dengan berbekal peta geografis dari lokasi di mana investigasi dipusatkan. Wartawan seringkali melupakan tinjauan dari aspek geografis. Padahal banyak keputusan militer maupun dagang yang dibuat berdasarkan pertimbangan geografis. Ahli penginderaan jarak jauh Christopher Simpson dari American University berpendapat bahwa 80 persen keputusan bisnis maupun dagang ditentukan oleh pertimbangan geografis[9]

Pengorganisasian file akan mempermudah investigator untuk menganalisai dan mencari benang merah atau pola dari berbagai data temuannya. Investigasi akan pembunuhan dukun santet, misalnya, akan lebih mudah bila dibuat matriks yang mencatat kecenderungan-kecenderungan korban pembunuhan. Entah lokasinya, metode pembunuhan atau pola penyebaran desas-desus. Dalam kasus korupsi yang canggih yang melibatkan banyak orang juga akan terbentuk suatu pola bisa semua data yang ada dimasukkan dalam database dengan rapi. 

Penulisan laporan merupakan teknik tersendiri yang tentu tidak meninggalkan teknik pembuatan angle, focus dan outline. Data yang sedemikian banyaknya tentu memerlukan seleksi yang ketat untuk memilih mana yang perlu dan mana yang kurang perlu. Walaupun media elektronik di Indonesia belum pernah punya reputasi harum dalam hal investigasi, namun ini lebih disebabkan masalah sejarah dan kepemilikan media elektronik. Cepat atau lambat, investigasi juga akan masuk ke media yang pengaruhnya luas sekali ini. Alat-alatnya pun menjadi lebih rumit. Entah dalam bentuk kamera tersembunyi atau alat rekam ultra sensitif. 

Pengecekan fakta (fact checking) sangat penting walau banyak diremehkan wartawan. Apalah arti kerja keras berbulan-bulan bila seorang sumber dengan enteng mengatakan, "Investigasi apa itu? Menulis ejaan nama saya saja salah!" Banyak sekali kesalahan yang kelihatannya remeh namun bisa merusak penilaian orang akan laporan tertentu. Nama orang, tanggal kejadian, hubungan darah antar satu sumber dengan yang lain, jumlah anak, nilai transaksi dan sejuta data lain, harus disisir satu demi satu agar semua data akurat. 

Wartawan Richard Lloyd Parry dari harian Independent (London) membuat laporan yang luar biasa soal terjadinya pembunuhan orang-orang Madura oleh orang Dayak di Kalimantan Barat antara Desember 1996 hingga Januari 1997. Parry menulis laporan sepanjang 40 halaman pada majalah Granta terbitan London. Data-datanya luar biasa. Peristiwa penjagalan manusia digambarkan dengan detail. Kuburan-kuburan dibongkar dan tengkorak-tengkorak dihitung. Namun pada halaman awal karangannya, Parry membuat kesalahan kecil: Partai Demokrasi Indonesia disebutnya sebagai partai dengan nomor kontestan dua sedangkan Golongan Karya nomor tiga![10] 

Pengecekan fakta ternyata tidak cukup. Dalam jaman di mana kebebasan pers makin terbuka, ancaman seringkali datang dari tuntutan dengan dasar pencemaran nama baik (libel check). Bondan mengatakan bahwa ia digugat pencemaran nama baik masing-masing Rp 1 triliun oleh mantan menteri pertambangan Ida Bagus Sudjana dan putranya Dharma Yoga Sudjana. Hingga kini kasus itu masih ada dalam proses hukum. Kedua belah pihak tidak mau mundur atau melakukan penyelesaian di luar hukum. 

Bondan harus membayar pengacara untuk membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Namun ongkos pengacara tidak murah bukan? Bahkan menurut Bondan, biaya untuk melalang buana ke Kanada dan Filipina masih lebih murah dibanding biaya yang sudah dikeluarkannya untuk membayar pengacara. Sebuah penerbitan bisa bangkrut bila tuntutan pencemaran nama baik terbukti benar. Sementara buat wartawan semacam Bondan, mundur berarti membiarkan reputasinya sebagai wartawan dipertanyakan. Jadi sama-sama sulit. Maju kena mundur kena. Kesimpulannya, tidak ada cara lain yang bisa dilakukan seorang wartawan daripada melakukan konsultasi hukum dengan ahli hukum perdata secara benar sebelum laporannya naik cetak atau disiarkan. 

Editor juga banyak berperan untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya gugatan pencemaran nama baik. Prinsip cover both sides seringkali sangat membantu untuk menghindar dari jeratan tuntutan pencemaran nama baik. 

Dalam kasus Bondan, ia memang beberapa kali mencoba mewawacarai Sudjana, namun kurang berhasil hingga naik cetak. 

HIPOTESIS DAN TEKNIK 

Salah satu hal yang banyak membedakan antara in-depth reporting dan investigative reporting adalah ada atau tidaknya hipotesis dalam penelusuran tersebut. Saya berpendapat bahwa dalam batasan tertentu investigative reporting adalah fase kelanjutan dari in-depth reporting

Majalah Panji Masyarakat jelas tidak memiliki hipotesis ketika mereka menurunkan laporan pembicaraan telpon Habibie-Ghalib. Namun keadaan ini akan berbeda bila Panji memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan itu dan melakukan investigasi sendiri. Dalam melakukan in-depth reporting seorang wartawan bisa berangkat praktis dari nol atau dari sekedar membaca kliping-kliping koran. Ketika wartawan itu sudah jauh lebih banyak mengetahui duduk persoalan sebenarnya --setelah melakukan banyak wawancara, membaca tumpukan dokumen serta mendatangi tempat-tempat yang berhubungan dengan liputannya-- saat itulah ia pada titik hendak melakukan kegiatan lanjutan atau tidak. 

Liputan lanjutan inilah yang lebih bersifat investigatif. Membongkar kejahatan. Mencari tokoh-tokoh jahat dan merekonstruksi kejahatan-kejahatan mereka. 

Hipotesis sangatlah penting untuk membantuk wartawan memfokuskan dirinya dalam suatu investigasi.

Jakob Oetama dari harian Kompas mengatakan kepada saya bahwa salah satu halangan kegiatan investigasi di harian tempatnya bekerja adalah iklim ewuh-pekewuh terhadap mereka yang dianggapnya terlibat dalam kejahatan tersebut. Keadaan ini yang membuat harian terbesar di Indonesia ini mengalami kesulitan untuk mengejar dan menyelidiki hipotesis-hipotesis yang mereka pikirkan. 

Bondan Winarno dalam investigasinya soal Busang mengajukan hipotesis bahwa kematian Michael de Guzman tidak wajar dan aneh. Ia juga curiga bahwa de Guzman adalah otak dari "peracunan" sample emas Busang sehingga harga-harga saham Bre-X naik berkali-kali lipat di mana de Guzman juga sangat diuntungkan. Bondan curiga bahwa mayat yang ditemukan di hutan Busang itu bukanlah mayat de Guzman. Bagaimana mungkin mayat orang yang jatuh dari ketinggian 800 kaki masih utuh? 

Untuk membuktikan hipotesis tersebut, Bondan mula-mula bicara dengan dokter-dokter yang memeriksa jasad tersebut. Ia menemukan bahwa para dokter Indonesia yang mengatakan bahwa mayat itu mayat de Guzman hanya mendasarkan pengamatannya dari pakaian yang dilaporkan dikenakan oleh de Guzman. 

Sementara itu dari salah seorang isteri maupun teman-temannya, Bondan menemukan bahwa de Guzman memiliki gigi palsu. Sementara mayat itu tidak ada gigi palsunya. Bondan juga terbang ke Filipina untuk mencari saudara-saudara de Guzman maupun mantan pembantu-pembantunya di Busang --Cesar M. Puspos dan Jerome Alo-- yang semuanya menolak menemui Bondan. Keluarga de Guzman bahkan menolak untuk memberikan alamat dokter gigi yang biasa merawat Michael. Sementara pembantu-pembantunya seolah-olah raib tertelan bumi. Tidakkah ini indikasi bahwa ada yang aneh dengan "kematian" Michael de Guzman? 

Bondan tentu memakai seperangkat teknik untuk membuktikan hipotesisnya. Selain wawancara panjang lebar di beberapa sudut dunia, ia juga mengadakan riset yang panjang, bahkan belajar tentang teknik pertambangan, untuk mendukung investigasinya. 

Salah satu kelebihan Bondan adalah sikapnya yang sopan. 

"Sikap santun itu penting. Ini sikap yang penting dalam investigasi," ujarnya. 

Dengan modal sopan-santun ini pula Bondan menegaskan prinsipnya bahwa ia tidak mau mencuri. Soal mencuri atau tidak memang jadi isu yang sulit sekali. Banyak wartawan yang berpendapat bahwa dalam investigasi, segala cara dibenarkan, termasuk mencuri dana, mencuri pembicaraan orang maupun mencuri informasi. 

Panda Nababan, wartawan majalah Forum Keadilan, berada pada kubu yang membenarkan pencurian data[11]. Nababan memakai teknik apa saja untuk mendapatkan data. Ia pernah "menipu" petugas bandara Jakarta dengan mengaku dirinya sebagai seorang pejabat tinggi militer dalam kasus pembajakan pesawat Garuda Woyla. Dalam kesempatan lain Nababan juga pernah mencuri dokumen di mobil seorang pejabat tinggi yang hendak menyerahkan dokumen itu kepada Presiden Suharto. 

Perdebatan antara boleh tidaknya mencuri data ini memang sangat erat terkait dengan masalah etika dan hukum. Namun secara umum ada beberapa teknik yang biasanya dipakai seorang investigator: 
  • Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis; 
  • Paper trail (pencarian jejak dokumen) yang berupa upaya pelacakan dokumen, publik maupun pribadi, untuk mencari kebenaran-kebenaran untuk mendukung hipotesis; 
  • Wawancara yang mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dengan investigasi, baik para pemain langsung maupun mereka yang bisa memberikan background terhadap topik investigasi; 
  • Pemakaian metode penyelidikan polisi dan peralatan anti-kriminalitas. Metode ini termasuk melakukan penyamaran. Sedangkan alat-alat bisa termasuk kamera tersembunyi atau alat-alat komunikasi elektronik untuk merekam pembicaraan pihak-pihak yang dianggap tahu persoalan tersebut. Ini memang mirip kerja detektif; 
  • Pembongkaran informasi yang tidak diketahui publik maupun informasi yang sengaja disembunyikan oleh pihak-pihak yang melakukan atau terlibat dalam kejahatan. 
Hipotesis biasanya disusun dengan beberapa pertanyaan dasar. 

Pertama-tama adalah pertanyaan tentang aktor pelaku kejahatan. Siapa yang bertanggungjawab atas penyalahgunaan dana masyarakat tersebut? Siapa yang memicu huru-hara? Siapa yang mula-mula menyebarkan sentimen anti-etnik atau anti-agama tertentu? Siapa yang melakukan insider trading? Siapa yang mula-mula berkepentingan agar dukun-dukun santet dibunuh? 

Dalam investigasi Bondan, ia berteori bahwa kasus Bre-X itu dilakukan oleh Michael de Guzman dan anak-anak buahnya yang dari Filipina. Bukan oleh almarhum David Walsh, orang nomor satu Bre-X, maupun John Felderhof, geolog senior Bre-X yang juga atasan de Guzman. Walaupun kedua orang itu juga diuntungkan oleh ulah de Guzman, namun mereka tidak terlibat dalam skandal ini. Felderhof boleh jadi mengetahuinya namun tidak mencegahnya. Bondan mendapatkan jawaban tertulis dari Felderhof. 

Selain hipotesis tentang aktor pelaku, juga perlu ditanyakan cara-cara suatu kejahatan dilakukan. Bagaimana penyalahgunaan itu dilakukan? Bagaimana cara sample mata bor lubang-lubang Busang dicampur dengan emas luar agar ada kesan temuannya memang besar sekali? Bagaimana cara Michael de Guzman menipu sekian banyak konsultan independen yang memperkuat hasil temuan Bre-X? Apa konsekuensi dari penyalahgunaan tersebut? Apa yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya? 

Hipotesis ini yang terus-menerus diteliti, diuji dan disimpulkan benar-tidaknya. Kalau kemudian terbukti bahwa hipotesis itu salah, seorang investigator harus dengan besar hati mengakui bahwa tidak terjadi kejahatan di sana. Kasus ditutup. 

Setiap investigasi memang mengandung kemungkinan bahwa hasilnya ternyata tidak sedramatis yang diperkirakan. Dan hasil yang negatif ini juga seringkali disertai dengan keputusan bahwa hasil investigasi tersebut tidak layak diteruskan. 

Kesannya memang sia-sia. Mungkin biaya besar dan waktu lama juga sudah dikeluarkan. Selain itu, seringkali pekerjaan investigasi ini memancing mereka yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan hukum. Alasannya pencemaran nama baik. Hipotesis Bondan, misalnya, bisa saja salah kalau suatu saat ia menemukan bukti baru bahwa mayat itu ternyata benar mayat de Guzman. Bondan tentu tidak bisa dibenarkan bila salahnya hipotesis itu tidak diungkapkan namun fakta-fakta yang menyesatkan yang justru dipakai. Padahal ia sudah bekerja keras dan mengeluarkan uang cukup banyak untuk melakukan investigasi itu. 

Ironisnya, dalam kasus buku Sebungkah Emas di Kaki Langit ini Bondan justru tidak mendapat gugatan hukum dari keluarga de Guzman. Ia justru mendapat gugatan pencemaran nama baik dari keluarga Ida Bagus Sudjana. Bondan masih beruntung! Dalam banyak kasus, taruhannya bahkan nyawa. 

PENULISAN DALAM SISTEM MEMO 

Investigasi yang baik perlu didukung oleh sistem pelaporan yang baik pula. Apalah artinya investigasi yang mahal dan makan waktu bila hasil akhirnya disajikan dengan buruk? Penulisan perlu dibuat menarik. 

Untuk itu metode penulisan dari pekerjaan besar ini harus didukung oleh sebuah sistem memo. Sistem ini pada dasarnya adalah sebuah alat bantu buat wartawan untuk mengatur pekerjaan mereka secara lebih sistematis. 

Sistem ini membantu reporter bekerja lebih mudah dan lebih cepat untuk mencari data dan menyusun arsip. Sistem memo terutama sangat berguna untuk membantu sebuah tim (bahkan seorang wartawan) untuk bekerja sama secara rapi dalam mengerjakan proyek mereka. 

Seorang koordinator tim juga bisa memetik keuntungan dari sistem ini. Ia bisa mengetahui setiap perkembangan dari proyek yang sedang dipimpinnya. Ia misalnya dengan teratur bisa membaca laporan-laporan dari anggota-anggota timnya dan dengan cepat bisa memutuskan materi apa yang harus dikembangkan. Sistem memo ini juga mempermudah penulisan draft final. Alasannya sederhana saja. Dengan secara teratur dan disiplin membuat memo, proses penulisan jadi sebuah proses yang dinamis. 

Penulisan laporan final, entah dalam bentuk buku atau artikel, menjadi sebuah proses kerja yang lebih sederhana karena semua bahan sudah tersedia dan secara teratur diperbarui terus-menerus. Pekerjaan final hanya tinggal dilakukan dengan menyusun blok demi blok sesuai dengan outline laporan yang hendak dibuat. 

Sistem memo lagi-lagi diperkenalkan oleh BOB GREENE (dob 6/5/1930) dari Newsday. Ia pada mulanya membuat sistem ini untuk keperluan investigasi di mana pengecekan data-data dibuat dengan sangat hati-hati dan menyeluruh. Sistem memo yang diperkenalkannya sekarang diadopsi oleh banyak organisasi berita di seluruh dunia termasuk International Consortium of Investigative Journalists. 

Pertama-tama, ada dua tip yang diperkenalkan oleh GREENE. Nama orang senantiasa diketik dengan huruf besar. Hal ini akan mempermudah editor, koordinator tim atau reporter dalam membaca memo-memo yang berdatangan setiap hari. Seperti tertera dalam artikel ini, penyebutan nama pertama kalinya senantiasa ditambah dengan date of birth (dob). Ini penting karena sebuah sumber boleh jadi baru berumur 68 tahun ketika diwawancarai. Namun ketika naskah diterbitkan umurnya sudah 69 tahun. 

Memo ini pada dasarnya adalah produk kerja seorang wartawan; ia merupakan kompilasi dari apa yang dilihat sang wartawan, didengarnya, dibacanya, dibauinya, dirasakannya dan dicicipinya. Seorang wartawan harian atau wire service tidak memakai memo. Laporan harian itu sendiri sudah merupakan kumpulan memo. 

Mereka yang pernah bekerja di Reuters atau Associated Press tentu mengetahui bagaimana rasanya membuat berita yang diturunkan hampir setiap hari kalau tidak setiap jam. Memo hanya dipakai untuk mereka yang bekerja dalam periode waktu yang panjang. Bisa mingguan dan yang penting yang terlibat dalam penulisan buku atau investigasi skala besar. 

Cara tradisional untuk menggunakan jolt note sebelum seorang wartawan menulis laporannya jelas tidak efisien. Ini cara yang kuno. Berapa dari kita yang masih bisa membaca tulisan tangan kita sendiri setelah seminggu? Dan berapa banyak orang yang bisa mengerti tulisan tangan kita? Apabila seorang koordinator membutuhkan jolt note anggotanya, seberapa besar kemungkian bagi si koordinator untuk memahami semua coretan tangan reporternya? Kalau anggota tim hanya dua orang, dengan mudah keduanya bisa duduk berdua dan membandingkan jolt note. Namun kalau anggota lebih dari empat dan tinggal di tempat-tempat yang berbeda? 

Sekedar contoh. Investigasi huru-hara Kebumen. Ada cukup banyak reporter yang bekerja dari Kebumen. Namun mereka merasa tidak cukup. Perlu ada pekerjaan yang dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, Semarang dan Ambarawa. Bahkan mereka membutuhkan bantuan tenaga luar untuk terjun di Kebumen. 

Berapa dana yang harus dikeluarkan bila setiap kali semua anggota tim harus rapat dan diskusi bersama? 

GREENE membagi memo dalam dua macam: "copy ready" dan "procedural." Memo copy ready meliputi semua fakta yang sudah diverifikasi dan bisa diatribusikan dengan jelas (bedakan antara 'off the record' atau 'background' dengan 'attribution' and 'not to be quoted' dan beri kotak dalam jolt note). Memo jenis ini disusun dalam blok-blok yang kelak bisa dipakai dengan mudah dalam sebuah laporan. 

Memo ini jelas bukan cerita. Ia bukan cerita jadi karena blok-blok tersebut masih harus diatur dalam komposisi yang siap untuk publikasi. Ia belum memiliki jembatan, lead atau detail lain. Namun memo juga tidak perlu mengikuti aturan 'awal, tengah dan akhir.' 

Memo ini secara sederhana hanya sekumpulan blok-blok yang dibuat berdasarkan perkembangan harian atau dua harian untuk dipakai dalam konstruksi laporan lebih lanjut. Ia juga bukan sekedar pemindahan dari jolt note ke komputer. Saya mengambil asumsi bahwa wartawan yang sudah terlibat dalam proyek-proyek skala besar tentu bukan wartawan pemula. 

Memo ini disusun tidak dengan urutan kronologi dari mulut sang sumber namun berdasarkan subyek. Memo prosedural meliputi semua fakta yang belum diverifikasi. Teori, spekulasi dan tip termasuk dalam kategori ini. 

Sebuah sumber bisa menghasilkan dua macam memo. Dalam kasus Kebumen misalnya. Seorang perwira militer mengatakan bahwa Prabowo Subianto ada di Kebumen pada saat yang hampir bersamaan dengan terjadinya huru-hara untuk menengok kuburan kakeknya. Ini fakta yang sudah diverifikasi. Namun ketika perwira ini berspekulasi bahwa Prabowo terlibat kerusuhan, kita harus memasukkannya dalam memo prosedural. Semua memo ini disentralisasikan pada suatu lokasi yang disepakati bersama. 

Karena ini sudah jaman internet, memo sebaiknya dikirimkan lewat internet kepada koordinator tim bersangkutan. Ia akan mengeditnya menjadi memo 'copy ready' yang lebih baik dan nantinya akan menyimpannya di database. Pengiriman memo harus memenuhi jadwal yang telah ditentukan bersama. Bersama dengan datangnya memo-memo ini, koordinator tim bisa melakukan diskusi dengan anggota-anggota timnya. Kalau perlu ada perbaikan atau pengejaran hal tertentu bisa segera diputuskan. 

Syukur bila database memo ini bisa diletakkan dalam web server yang dilengkapi dengan password. Server ini sebaiknya dilengkapi dengan search engine sehingga bisa diakses oleh semua anggota tim tanpa harus menerima email setiap hari. Bila semua bahan sudah lengkap dan penulisan final sudah siap dilakukan, wartawan yang bertugas menulis dengan mudah bisa memanfaatkan memo-memo tersebut. Kalau ia harus menulis laporan sepanjang 10,000 kata, katakanlah, ia harus membaca memo-memo sepanjangan 100,000 kata. 

Sistem ini juga dengan mudah bisa mengatasi proyek yang terbengkalai gara-gara reporternya mengundurkan diri. Seorang anggota tim baru atau koordinator baru akan memiliki kemudahan untuk melanjutkan proyek yang terganggu jalannya itu. 

Database ini sebaiknya disimpan. Database ini jangan dibuang setelah proyek berakhir. GREENE memiliki database sejak tahun 1972. Dan dalam banyak hal, blok-blok yang semula tidak kita pakai, lima atau sepuluh tahun lagi, ternyata menjadi sangat berguna. 

Investigasi memang akhirnya menjadi sebuah pekerjaan yang bukan saja makan waktu, sulit, penuh disiplin tapi juga berbahaya. Namun resiko besar ini yang tampaknya justru membuat investigasi makin diminati oleh wartawan yang suka tantangan, maupun masyarakat pembaca suratkabar, pendengar radio maupun pemirsa televisi. 

Kompetisi media yang makin ketat membuat kemungkinan untuk membuat investigasi makin meningkat. Namun kompetisi ini bisa jadi lunak apabila pola kepemilikan media justru didominasi kelompok-kelompok bisnis yang lebih cenderung mengejar hardnews daripada analisa dan kedalaman suatu berita. 

Apapun yang terjadi, investigative reporting adalah salah satu pengembangan jurnalisme yang paling memikat, paling menantang, paling mahal dan paling tinggi resikonya. 

Singkat kata, selamat berpetualang dan bersenang-senang dengan investigasi! 

 Serpong, 8 Februari 1999 

Makalah untuk pelatihan pengantar tentang investigative reporting yang diadakan tabloid mahasiswa Bulaksumur, Universitas Gadjah Mada, 20-24 Februari 1999. 

[2] Lihat: "Search opens for IRE executive director", IRE Journal, November-December 1996. IRE juga memiliki website http://www.ire.org/ yang memiliki link dengan situs-situs riset lewat internet buat para wartawan. 

[3] Sebagian ceramah Sheila Coronel dalam perjalanannya itu juga dipakai di sini terutama yang berkenaan dengan hipotesis dan proses investigasi. Coronel datang ke Indonesia atas undangan dari Institut Studi Arus Informasi yang bekerja sama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogya (LP3Y) serta Lembaga Pers Dr. Soetomo mengadakan program pelatihan investigative reporting selama enam bulan di Jakarta, Surabaya, Bandung, Yogyakarta dan Ujungpandang Oktober 1998 hingga April 1999. Saya juga mengadakan wawancara lewat internet dengah Coronel [22/1/1999]. Lihat juga http://www.pcij.org.ph/. Sedangkan hasil pelatihan bisa dilihat pada http://crashprogram.cjb.net/

[4] Lihat: situs http://www.icij.org/ yang juga memiliki link dengan berbagai organisasi pers di seluruh dunia termasuk mereka yang memberikan beasiswa buat wartawan. ICIJ juga memberikan bantuan riset internet buat wartawan lewat situsnya. 

[5] Tempo enjadikan laporan "investigasi" mereka atas wanita Indonesia keturunan Cina sebagai korban pemerkosaan huru-hara Mei 1998 sebagai laporan kulit depan perdana mereka. Tempo menemui mereka yang membantu korban-korban pemerkosaan. Namun Tempo lebih banyak memfokuskan dirinya pada kontroversi ada tidaknya, atau jumlah, perempuan Cina yang diperkosa, daripada mencari siapa yang melakukan pemerkosaan. Itu pun dengan hasil yang tak jelas. Lihat: TEMPO, 6-12 Oktober 1998, "Pemerkosaan: Cerita dan Fakta." 

[6] Lihat: Bondan Winarno, "Bre-X Sebungkah Emas di Kaki Langit," Penerbit Inspirasi Indonesia, Jakarta, 1997. Saya juga melakukan wawancara dengan Bondan Winarno lewat telpon Minggu, 24 Januari 1999 untuk mengetahui metode dan hipotesisnya dalam investigasi Busang ini. Ia juga memberikan ceramah mengenai bukunya di Institut Studi Arus Informasi Kamis, 7 Februari 1999. 

[7] Lihat: "Prof. Dr. Haji Andi Abdul Muis, SH", Kompas, 21 Maret 1999. 

[8] Lihat: John Ullmann, "Investigative Reporting: Advanced Methods and Techniques," St. Martin Press, Inc., New York, 1995, hal. 2. Robert Greene adalah salah satu wartawan terkemuka di Amerika Serikat. Pada tahun 1967 ia mendirikan unit investigasi Newsday yang memenangkan dua Pulitzer Prize pada tahun 1970 dan tahun 1974. Greene pula untuk memiliki ide untuk mengumpulkan puluhan wartawan Amerika Serikat untuk datang ke Arizona menyusul terjadinya pembunuhan terhadap wartawan Arizona Republic Don Bolles tahun 1976. Wartawan-wartawan itu datang untuk bekerja lebih giat membongkar apa yang diliput Bolles dan menyebabkan kematiannya. Bolles dan Greene ikut mendirikan IRE pada tahun 1975. 

[9] Christopher Simpson dalam ceramah ICIJ 7 November 1998 di Cambridge. Lihat juga "Journalists' Guide to Experts in Remote Sensing" [Spring 1997] dan "Journalists' Guide to Remote Sensing Resources on the Internet" [Spring 1997]. 

[10] Richard Llyod Parry, "When Young Men Die," Granta No. 62, London, Summer 1998. 

[11] Panda Nababan bercerita tentang caranya "mencuri" laporan Dirjen Perhubungan Laut Fanny Habibie dari mobil Habibie ketika pejabat ini hendak berangkat menemui Presiden Suharto dalam masalah tenggelamnya kapal Tampomas II. Nababan mengatakan ini semua dalam sebuah diskusi tentang investigasi di Institut Studi Arus Informasi Selasa 15 Desember 1998.

Wednesday, February 10, 1999

Independence not acceptable

Indonesian opposition leader Megawati Sukarnoputri throws a spanner in the works on East Timor independence, writes Andreas Harsono.

In a move which surprised both supporters and opponents, Indonesian opposition leader Megawati Sukarnoputri declared late last month that she could not accept a new Indonesian proposal to give independence to the internationally disputed half-island of East Timor.

Many political observers here were surprised but believed that Megawati seriously meant it. Megawati is widely known to be a consistent person. She rarely produces political statements, but her very few remarks are usually tailored to seriously reflect her political thinking as well as the strategy of her Indonesian Democratic Party (PDI).

''The East Timorese people support Megawati to become the new president of Indonesia,'' says Mario Viegas Carrascalao, a former governor of East Timor, in an interview with the Jakarta-based Merdeka daily, adding that the East Timorese delegation had clearly stated in a PDI congress in October that they would prefer to stay with Indonesia if Megawati became president.

This means that Megawati probably believes that the problem of East Timor was merely a problem of ex-strongman Suharto and if someone else becomes president the problem may be totally different.

Megawati made her statement just one day after Indonesian Foreign Minister Ali Alatas told the media that the Indonesian government would suggest to the People's Consultative Assembly, Indonesia's parliament, that it offer independence to East Timor if the East Timorese could not agree on a wide-ranging autonomous status within Indonesia.

Megawati said in a release on January 29 that President B J Habibie's administration was a ‘'transitional government'' not democratically elected by the people and was consequently not authorised to make a decision which would fundamentally affect Indonesia's unity.

''The integration of East Timor into the state and the nation of Indonesia is politically and constitutionally legal in accordance with the will of the people of East Timor. It was approved by the East Timorese House of Representatives in 1976 and the People's Supreme Assembly in 1987,'' said Megawati.

Interestingly, Abdurrahman Wahid, the chairman of the 30-million strong Nahdlatul Ulama organisation, Indonesia's largest Muslim group, who is also a close associate of Megawati, aired a similar statement, saying that Indonesia had decided to integrate East Timor and ''that decision should be respected''.

What is the impact of such a stance? How could respected figures like Megawati and Wahid, who painfully fought for democracy during former president Suharto's 32-year rule, produce such anti-democratic statements?

Various surveys organised by universities, media organisations and independent research groups show that Megawati is the most popular figure in Indonesia to win the election next June. This means she has the biggest chance of becoming the next president.

Other candidates include Amien Rais of the National Mandate Party, Habibie himself and Sultan Hamengkubuwono X, the Yogyakarta monarch.

According to political research, Megawati's PDI is also one of the best-equipped political machines, controlling branches and offices throughout most of Indonesia's thousands of villages, especially on the most populous island of Java.

What will be the future of East Timor if Megawati becomes president? Will East Timor become independent if Megawati's PDI and Wahid's Nation Awakening Party control the majority of the House as well as of the Assembly? Megawati is also closely associated to retired, but influential, army generals like Try Sutrisno and Edi Sudrajat. Both of them are former commanders of the armed forces and have recently established their own political party, the Justice and Unity Party.

Will not these three parties vote against the liberation of East Timor? The common analysis here is that both Megawati and Wahid have made this move out of short-term political necessity: they would like to win the election, and in order to do so, like it or not, they have to team up with a section of the military.

Since active generals are very unlikely to be involved in politics, Megawati has to team up with generals like Sutrisno and Sudrajat, who dislike the idea of abandoning East Timor and consider themselves the guardians of a united Indonesia.

A retired major-general also sits on the PDI national board. PDI deputy chairman Theo Syafei was, as a matter of fact, the Indonesian commander in charge of East Timor when East Timorese resistance leader Xanana Gusmao was arrested.

Gusmao, captured in 1992, was sentenced to life imprisonment for plotting against the state and illegal possession of weapons in 1993, but his sentence was later commuted to 20 years' jail. He is now involved in United Nations-sponsored negotiations to solve the question of East Timor.

Generals like Syafei also understand that many Indonesian soldiers, estimated to number around 10,000, died in East Timor between 1975 and 1998 while fighting the East Timor resistance.

@ The Nation, Nation Multi Media Group, Bangkok, 1999

Saturday, February 06, 1999

Journalist thinks de Guzman alive

ANDREAS HARSONO
The Nation

JAKARTA -- An Indonesian investigative journalist said that Filipino geologist Michael de Guzman, who was involved in one of the biggest gold scams ever, is very likely still alive and enjoying his fortune.

Freelance writer Bondan Winarno published his findings on the Busang scam in a book entitled Bre-X: Sebungkah Emas di Kaki Langit, released in Jakarta last month. The book chronicles how de Guzman and his assistants at the Canadian company Bre-X Minerals Ltd tampered with gold samples in the jungles of Kalimantan and went on to cheat many mining consultants, governments and investors on both sides of the Pacific.

Winarno theorised that de Guzman had faked his own death, saying in an interview with The Nation and in a discussion with Indonesian journalists on Thursday that he had travelled to Canada, the United States, the Philippines and Busang in eastern Kalimantan in order to unearth evidence.

"It's very likely that de Guzman is still alive, but I don't know where," said Winarno, adding that his feeling was that de Guzman was most probably living somewhere like Hawaii, where his physical appearance would blend in with that of the native population. One of de Guzman's four wives and a colleague were quoted as saying that de Guzman had false teeth in his upper jaw, of which Indonesian and Filipino doctors who performed autopsies on a corpse said to be de Guzman's found no evidence.

"His family also refused to give his dental records to the Philippine authorities," said Winarno, adding that he was also suspicious when finding that the de Guzman grave in Manila had never been visited by family members two weeks after the burial.

Wife Sugini "Genie" Karnasih, who lives in a big house in Jakarta, also said that she believed her husband was still alive. Winarno also wrote that another Indonesian wife had even received a bank transfer following de Guzman's reported death.

Diplomat Nathaniel Imperial of the Philippine embassy in Jakarta admitted on Friday that a lot of speculation had accompanied de Guzman's reported death.

Journalists who packed Winarno's press event on Thursday said that if his theory was right, police in Canada, the Philippines and Indonesia should reopen their investigations and try and locate the Filipino geologist.

Goenawan Mohamad, a respected journalist who edits Indonesia's Tempo news weekly, spoke very highly of Winarno, saying that Winarno was a "decent and correct" writer.

It was widely reported two years ago that de Guzman had jumped from a helicopter on March 19, 1997, when flying from Samarinda, a provincial city in eastern Kalimantan, to the Busang site, around 300 kilometres northwest of Samarinda, leaving behind suicide notes which basically said he was committing suicide because he was unable to live with hepatitis B.

Indonesian police said that the pilot and engineer, the only two witnesses, had seen de Guzman write the letters and put them in a bag just before they felt a strong gust of wind nearby. They looked behind, they said, to find their passenger gone having jumped from a height of 250 metres. Winarno, himself an amateur parachutist, questioned the remains of the body, saying that he had seen the corpse of a friend whose parachute had failed to open from a height of 500 metres.

"My friend's remains didn't resemble a human being. There was just a pile of flesh and bones. Certainly [250 metres] is only around half that height, but I am certain the body would have suffered far more damage than I witnessed," Winarno said on Thursday.

Copyright 1999 The Nation Publishing Group
The Nation (Thailand)