Wednesday, April 13, 2016

Kenneth Roth: Bagaimana menyelesaikan kekejaman masa lalu ini


HARI ini kita membahas apa yang harus dilakukan soal pembunuhan 1965. Mengapa ini ia masih masalah dan bagaimana seharusnya kita mengatasi? Jelas, pembunuhan setidaknya setengah juta orang, dalam beberapa bulan pada kejadian ini, adalah salah satu kejahatan paling mengerikan sepanjang hidup kita dan, tentu saja dalam sejarah Indonesia.
Ini adalah kejahatan besar yang tak bisa ditutup-tutupi. Keluarga mengingatnya, mereka yang selamat mengingatnya, keturunan mereka mengingatnya. Ia adalah luka yang mereka ingin selesaikan.
Ia relevan saat ini; ia bukan hanya masalah sejarah lama. Ini relevan karena Indonesia adalah masyarakat dan negara dengan banyak kebhinekaan; ada perbedaan agama, perbedaan etnik, perbedaan daerah. Dan sebuah pertanyaan besar untuk Indonesia saat ini adalah bagaimana menjembatani semua perbedaan ini?
1965 merupakan preseden buruk dalam menangani perbedaan tersebut. Ia menyelesaikan perbedaan lewat pembunuhan massal. Dan karena Indonesia belum benar-benar menyelesaikannya, ia tetap menjadi sebuah cara penyelesaian perbedaan. Cara untuk menyembuhkan dan menyadarkan masyarakat adalah dengan secara terbuka menyelesaikan tragedi 1965, mengungkapkan kebenaran, mengakuinya, menegakkan keadilan jika memungkinkan, dan kemudian bergerak maju. Namun berusaha melupakan masa lalu, atau menyensor masa lalu, membuat Indonesia terkutuk untuk mengulanginya. Human Rights Watch percaya sangatlah penting untuk melakukan pendekatan yang berbeda.
Meski saya bicara di sini sebagai wakil dari sebuah organisasi internasional, namun ini bukan permintaan masyarakat internasional atau organisasi asing. Ini adalah permintaan masyarakat Indonesia. Saya mendengarnya selama kunjungan saya —juga rekan saya, Andreas Harsono, dan lainnya, yang yang telah bekerja bertahun-tahun di sini—bahwa ada keinginan mendalam untuk menyelesaikan kejahatan mengerikan ini. Ia diinginkan dan didesak oleh banyak warga Indonesia.



Ini jelas tak hanya dirasakan oleh para korban dan keluarga korban, namun juga oleh banyak warga Indonesia, yang mungkin secara pribadi tidak ada hubungan dengan pembunuhan namun ingin membangun masyarakat, yang berlandaskan pengakuan jujur atas masa lalu dan tekad untuk tidak melupakan, bahwa kita akan bergerak maju dan takkan mengulangi pelanggaran hukum yang sama. Ini sungguh permintaan Indonesia, permintaan dari dalam negeri. Ini tak ada hubungannya dengan permintaan dari luar.
Minggu depan, sebagaimana Anda ketahui, pemerintah Indonesia akan mengadakan simposium soal ini. Ini langkah awal yang penting. Kami memuji langkah pemerintah, ia sebuah langkah maju dan pendekatan baru; tidak mengulang keteledoran dan melupakan masa lalu. Ini jadi usaha awal untuk menyelesaikan masalah masa lalu.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Saya mulai dengan salah satu yang mungkin tidak segera terjadi namun penting untuk diakui. Ia adalah keadilan. Ketika Anda punya kejahatan sebesar ini, pembunuhan massal yang melibatkan ratusan ribu orang, amat penting membawa arsitek pembantaian ini ke pengadilan. Bukannya tak mungkin, tapi dalam kasus yang melibatkan banyak pelaku ini, kita bisa meneliti pembunuhan tersebut satu per satu. Sayangnya itu tidak realistis.
Saya juga sadar bahwa 50 tahun berlalu, tak jelas lagi berapa orang --otak dari pembunuhan-pembunuhan tersebut-- yang masih hidup. Jadi mungkin ada keterbatasan untuk secara praktis mencari keadilan, namun tetap penting untuk mengupayakan keadilan, dan menjadikan para arsitek pembunuhan tersebut --mereka yang mengatur dan mengawasi pembunuhan massal-- sebagai target untuk diadili.
Cara kedua, adalah apa yang disebut dengan rehabilitasi. Seorang pejabat Indonesia mengatakan kepada saya kemarin bahwa keputusan Presiden Soeharto tahun 1981 soal “Bersih Lingkungan” belum pernah dicabut dan terus digunakan terhadap korban, keturunan korban 1965 serta mereka yang diduga memiliki hubungan dengan Partai Komunis Indonesia. Ini tidak adil. Ini sebuah contoh klasik dari hukuman bersama yang dilarang hukum internasional. Pejabat tadi mengatakan ada setidaknya 40 juta warga Indonesia terkena dampaknya—termasuk korban, keluarga serta keturunan korban; dia bilang ini salah satu alasan mengapa politisi Indonesia sering bicara soal hak asasi manusia saat kampanye. Mereka tahu ada jutaan pemilih yang terpengaruh.
Mereka tak pernah melakukan kesalahan apapun. Mereka hanya punya kakek atau buyut yang mungkin dekat dengan PKI. Mengakhiri black list beginian sangat penting, terus terang, lebih cepat lebih baik. Tak perlu proses panjang lebar. Keputusan tersebut bisa dibatalkan dengan keputusan Presiden Joko Widodo. Kami ingin keputusan tersebut dibuat sekarang. Panitia simposium tertarik dengan wacana membatalkan praktek bersih lingkungan. Mereka bisa bertindak cepat dengan mendorong pemerintah untuk mengeluarkan keputusan.
Isu yang lebih sulit adalah pertanyaan yang lebih luas tentang bagaimana Anda menyelesaikan kekejaman masa lalu ini. Jelas ada keinginan berbagai pejabat Indonesia yang kami temui untuk minta maaf, memberi semacam kompensasi, dan rekonsiliasi. Semuanya baik. Pertanyaannya, kapan permintaan maaf dilakukan? Apakah sebelum atau sesudah proses menceritakan kebenaran masa lalu?
Menurut kami, Anda tak dapat minta maaf dengan tabula rasa, sebuah kehampaan. Anda tak bisa rekonsiliasi berdasarkan sensor. Anda tak bisa menerima kompensasi dalam ruang tertutup. Yang diperlukan dalam mengungkapkan kebenaran adalah memberi kesempatan kepada para korban, mungkin beberapa pelaku pembunuhan, dan keturunan para korban, untuk bicara terbuka, memberikan kesaksian publik, sehingga orang Indonesia bisa mendengar sumber dari lingkaran pertama soal penderitaan mereka. Proses menceritakan kebenaran semacam ini merupakan dasar untuk, apa yang kami kira, sebuah laporan, kurang lebihnya, kebenaran yang resmi.
Ketika itu dilaksanakan, maka ada kemungkinan bagi pemerintah untuk mengakui apa yang terjadi, maka ada langkah pemerintah untuk menyatakan duka cita dan minta maaf, maka pemerintah bisa memberi kompensasi pada korban atau keturunan korban untuk apa yang mereka alami. Ia tindakan nyata berdasarkan rekaman yang faktual. Ia bukan tindakan tanpa makna yang didasarkan pada suasana ketertutupan.
Jadi dalam menilai hasil simposium, kita seharusnya melihat, apakah ada upaya memulai proses pengungkapan kebenaran yang bermakna. Ia adalah elemen mendasar dalam proses akuntabilitas yang efektif. Ada puluhan negara di seluruh dunia sudah memiliki komisi kebenaran untuk menjelaskan kekejaman masa lalu, masalah yang selalu sulit untuk ditangani. Mengapa Indonesia tidak?
Hal terakhir saya sampaikan adalah peran Amerika Serikat. Masih ada berbagai dokumen pemerintah Amerika Serikat tentang apa yang terjadi pada 1965 yang belum dikeluarkan. Kami ingin mempelajari lebih banyak tentang kerjasama, sehari-hari, antara pemerintah Amerika dengan para pembunuh 1965. Siapa yang tahu apa? Apa saluran komunikasinya? Benarkah ada nama-nama yang disampaikan pemerintah Amerika ke pihak Indonesia, dan lantas apa yang terjadi dengan orang-orang ini? Ini semacam detail operasi, termasuk peranan CIA, yang akan sangat berguna untuk diketahui, sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk menceritakan kisah 1965. Ini bukan pengganti untuk proses yang ada di Indonesia; ini hanya salah satu bagian dari upaya pengungkapan yang lebih besar. Namun kami berpikir bahwa Amerika Serikat bisa berkontribusi lebih besar dengan menerbitkan semua dokumen yang relevan tersebut kepada publik.
Ini sudah dilakukan Amerika Serikat untuk kasus-kasus lain, kebetulan sejauh ini hanya di Amerika Latin. Di bawah pemerintahan Presiden Obama, pemerintah membuka arsip Amerika Serikat dari apa yang disebut “perang kotor” di Brazil dan Argentina; presiden sebelumnya membuka arsip yang relevan dengan Chili, El Savador dan Guatemala. Ia ikut menyumbang proses pengungkapan kebenaran di negara-negara tersebut.
Praktisnya, mengingat resistensi dalam birokrasi Amerika Serikat, khususnya dalam CIA, Amerika membukanya ketika negara yang bersangkutan minta secara resmi berbagai dokumen tersebut ketika sedang dalam proses mencari kebenaran yang berarti. Dalam kasus Indonesia, Komnas HAM telah membuat permintaan resmi pada pemerintahan Obama untuk membuka dokumen. Itu langkah yang sangat penting. Dalam pertemuan kami dengan pejabat Indonesia, kami mendesak pemerintah Indonesia sendiri meminta Amerika Serikat membuka dokumen tersebut. Kami berharap simposium ini membuahkan sebuah proses, yang memungkinkan pemerintah Amerika melihat bahwa proses pengungkapan kebenaran tengah berlangsung di Indonesia, dan dikeluarkannya arsip Amerika akan sangat membantu proses tersebut.
Jika itu terjadi, jika ada permintaan jelas dari pemerintah Indonesia kepada Amerika Serikat untuk sepenuhnya membuka dokumen tersebut dan permintaan ini akan jadi kelanjutan proses pengungkapan kebenaran di Indonesia, kami yakin Presiden Barack Obama akan melakukan hal yang benar dan membuka dokumen tersebut, seperti yang dia lakukan pada kasus lain. Kami sadar ada resistensi dari Tentara Nasional Indonesia, organisasi Islam macam Nahdlatul Ulama, dan lain-lain.
Ada beberapa pihak yang tak ingin proses pengungkapan kebenaran ini bergerak maju. Di sinilah peran masyarakat sipil. Semakin pers berteriak menuntut untuk mengungkapkan yang sebenarnya, semakin banyak masyarakat sipil terlibat, semakin banyak dukungan politik bagi Presiden Jokowi untuk mengatasi resistensi ini dan bergerak maju, baik dalam pengungkapan kebenaran di Indonesia maupun dalam meminta bantuan Amerika Serikat dan pemerintah lainnya, membuka arsip mereka dan menyumbang penulisan sejarah.
Jadi kita melihat simposium minggu depan sebagai awal dari apa yang kita harapkan sebagai perubahan yang bersejarah; awal dari upaya pemerintah untuk benar-benar menyelesaikan masa lalu yang gelap, dan bergerak maju, tidak melupakan masa lalu namun mengungkapkan semaksimal mungkin apa yang terjadi, mengakuinya, dan meletakkan dasar untuk mengatasi perpecahan dalam masyarakat sesuai dengan hukum. Ini adalah cara terbaik untuk memastikan bahwa Indonesia tak akan mengulangi masa yang mengerikan itu.

Terima kasih.