Monday, June 05, 2017

Persatuan Sais Dokar di Salatiga

Selama hampir seminggu saya berada di Salatiga, bertemu kawan lama serta berkunjung ke terminal dokar Salatiga, mengobrol dengan rekan-rekan dari Persatuan Sais Dokar. 

Pada 1989 sampai 1993, saya pernah bekerja bersama para sais dokar, termasuk ikut bantu mendirikan Persatuan Sais Dokar bersama kusir-kusir dokar termasuk Achmadi, Sukardi, Pitoyo, Suwarno, Djuman dan sebagainya. 

Ia bermula dari rencana Dinas Perhubungan Salatiga ingin hapus becak dan dokar dari kota Salatiga. Alasannya, dokar bikin kotor dengan tahi kuda sedang becak "tidak manusiawi." Ia hendak diganti dengan mobil-mobil kecil, biasanya merk Daihatsu, biasa disebut angkota (angkutan kota) di Salatiga. 

Kami tak setuju dengan cara pandang orang-orang Dinas Perhubungan. Intinya, kami melihat cara pandang mereka menekankan pada motorisasi sebagai jawaban terhadap keperluan transit di kota Salatiga. 

Cara pandangnya adalah membangun jalan aspal, menganjurkan angkota dengan pelayanan yang tak nyaman (mobil kecil, berdesakan, tanpa jadwal, ngetem dimana-mana, bikin kemacetan di tempat banyak penumpang, belum lagi perokok dalam angkota). Saya pribadi memilih naik sepeda pancal di Salatiga. 

Jarak tempuh kebanyakan orang setiap hari hanya 5 KM. Saya banyak membaca argumentasi dari Michael Replogle, seorang ahli pembangunan dan transportasi dari New York, yang mendirikan Institute for Transportation and Development Policy. Becak bisa dinaikkan tarifnya bila para tukang becak bisa bikin serikat. Kusir dokar tinggal pasang bagor buat menampung tahi kuda. Kusir tanpa bagor bisa didenda. 

Kebijakan motorisasi ini bukan monopoli Salatiga. Ia praktis terjadi dari Jakarta ke seluruh Indonesia. Dampaknya, ia mendorong orang untuk membeli kendaraan pribadi, baik motor maupun mobil. Ia mendorong sistem transportasi antar-moda jadi berkurang a.l. kereta api, trotoar, jalur sepeda, becak, dokar dan sebagainya. 

Pekerjaan ini praktis berbuah dengan manis. Rencana Dinas Perhubungan dihentikan. Walikota Salatiga bahkan menyediakan lahan depan rumah sakit buat terminal dokar. 

Universitas Kristen Satya Wacana menciptakan tradisi wisuda mahasiswa dengan naik dokar, keliling kota. Ia lantas diikuti sekolah-sekolah lain, dari taman kanak-kanak sampai entah apa lagi. 

Saya sempat bikin kursus bahasa Inggris di terminal dokar. Para murid dijemput dan diantar pulang dengan dokar. Mereka masih sekolah dasar. Tampaknya kursus tersebut cukup populer. Beberapa mahasiswi jurusan bahasa Inggris ikut mengajar. 

Saya sempat kaget ketika minggu ini datang ke terminal ini ada seorang perempuan muda memanggil, "Mas Andreas. Mas Andreas!" 

Ternyata dia salah satu murid saya dulu ketika mengajar bahasa Inggris. Dulu saya biasa tidur siang di kantor Persatuan Sais Dokar. Mandi di terminal. Pakai air hangat. Kantor bersih. Tidur di atas bangku panjang. 

Ada warung Bu Endang yang menyediakan nasi soto dan teh panas. Ada Pak Achmadi yang bijaksana. Ada Mas Sukardi yang sregep.  Ada Mas Warno yang periang, suka bergurau. 

Namun saya sedih lihat Jalan Sudirman, jalan utama di Salatiga, kini dibuat satu arah dan penuh dengan sepeda motor. Ini bukan gejala baik. Ini gejala kerusakan lingkungan. Polusi udara, suara dan entah apa lagi. 

Kadang saya merenung bila Replogle, yang lantas menjadi pejabat kebijakan transportasi di kota New York, bisa datang ke Indonesia dan memberikan nasehat kepada Kementerian Perhubungan. Replogle menjadi penasehat berbagai pemerintah di berbagai negara, termasuk Tiongkok khusus soal "urban public transport, walking, cycling, and planning world-wide." Dia berperan penting dalam mendorong Tiongkok mengembangkan kereta api dan sistem transportasi inter-moda. 

Saya sendiri pindah dari Salatiga pada 1993 untuk ke Jakarta, bekerja sebagai wartawan The Jakarta Post. Dunia saya perlahan bergeser dari transportasi ke jurnalisme. Namun saya selalu kritis terhadap motorisasi.