Monday, October 20, 2008

Kuliah Bermutu dari Sekolah Baik


“Dan apa jang menangkap kepada djiwa saja ialah salah satu utjapan daripada Dr. Sun Jat Sen di dalam pidato-pidatonja jang dikumpulkan mendjadi San Min Tjui. Sun Jat Sen berkata sebagai berikut: 'Bitjara gampang, berbuat lebih sulit, mengerti adalah paling sulit.'

Kepada para wartawan, sekarang saja ulangi utjapan Sun Jat Sen ini dengan sedikit modifikasi. 'Menulis adalah gampang, berbuat adalah sulit, mengerti adalah paling sulit.' Dan tentang ini, Saudara-saudara, disitulah Saudara-saudara para wartawan masih perlu di-upgrade. Oleh karena itu saja mengkomandokan upgrading para wartawan!”

--Presiden Soekarno bitjara kepada wartawan-wartawan dari
Persatuan Wartawan Indonesia di Istana Bogor, 12 Februari 1966


Saya minta masukan Anda untuk memetakan apa matakuliah unggulan, serta siapa dosennya, dari 10 sekolah tinggi yang sedang saya simak. Rencananya, ada sebuah program, yang ingin bisa mengirim wartawan untuk ikutan kuliah di 10 sekolah ini.

Ini masih terkait dengan kerja saya merancang sebuah fellowship untuk para wartawan. Para fellow ini --wartawan dengan reputasi baik, sudah bekerja minimal lima tahun, cakap dalam bahasa Inggris-- diperkirakan akan diuntungkan bila mereka tahu dan bisa ikutan mendengar kuliah-kuliah bermutu.

Jumlahnya, sekitar 12 orang dimana mereka dipilih dan diberi kesempatan untuk studi atau riset sesuai minat mereka masing-masing. Setiap tahun mereka akan dipilih dari berbagai kota besar dari Kutaraja Aceh (Banda Aceh) hingga Kutaraja Papua (Jayapura). Lama programnya, empat bulan di Jakarta, lantas empat bulan liputan di lapangan dan sebulan lagi di Jakarta.

Repotnya, minat wartawan biasanya beragam. Saya perkirakan setiap tahun pasti ada yang suka filsafat tapi pilihan di bidang ekonomi, hukum, manajemen, disain, seni rupa, hak asasi manusia dan sebagainya juga akan muncul. Belum lagi studi kawasan. Misalnya, kuliah soal Acheh, Papua, Borneo, Jawa dan sebagainya. Saya ingin tahu mana kuliah-kuliah yang menonjol dari berbagai sekolah ini? Kuliah-kuliah ini nantinya akan saya dekati agar bisa diikuti para fellow.

Ada 10 sekolah tinggi yang disodorkan kepada saya:

Universitas Islam Negeri Jakarta
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Universitas Indonesia
Universitas Paramadina
Universitas Katolik Atma Jaya
Universitas Trisakti
Institut Kesenian Jakarta
Universitas Negeri Jakarta
Sekolah Tinggi Theologia Jakarta
Universitas Bina Nusantara

Beberapa orang mengatakan Universitas Bina Nusantara kuat pada manajemen information technology. Driyarkara jelas unggul di filsafat. Institut Kesenian Jakarta adalah tempat belajar seni dan film. Paramadina menawarkan filsafat agama serta media studies.

Universitas Indonesia punya banyak pilihan. Universitas Negeri Jakarta untuk belajar ilmu pendidikan. Trisakti satu-satunya perguruan yang mengembangkan studi soal corporate social responsibility. Ada juga yang usul bikin riset dan memakai perpustakaan Center for Strategic and International Studies.

Saya perlu masukan Anda. Apa matakuliah yang unggul di sekolah-sekolah ini? Siapa dosen-dosen yang baik dari segi penguasaan ilmu maupun rajin dalam mendidik murid-muridnya untuk "mengerti"? Mungkin saya juga lupa memperhitungkan kampus-kampus lain?

Saya percaya krisis keuangan global sekarang ini makin memerlukan jurnalisme bermutu. Kita tak tahu apa yang akan terjadi dari pusaran besar ekonomi global. Program ini akan membantu meningkatkan mutu jurnalisme kita. Saya perlu kerja cepat. Saya takkan bisa mencari matakuliah-matakuliah unggulan ini sendirian. Kalau Anda pernah kuliah di kampus-kampus ini dan kebetulan tahu matakuliah yang bermutu, saya dengan senang hati akan mempelajari dosen dan matakuliah tersebut guna dimasukkan dalam rencana ini. Terima kasih.


Berita Terkait
Kuliah untuk Wartawan 13 Oktober 2008
Dana untuk Jurnalisme 19 Juni 2008

Tuesday, October 07, 2008

Pakar, Pengamat dan Pemerhati?

MAJALAH Trust memberi gelar “pengamat media” kepada saya. Dan saya sangat keberatan. Dasarnya, ada ketidakjelasan, yang sangat mengganggu, dalam praktek jurnalisme di Indonesia ketika media memakai kata "pakar" atau "pengamat" atau "pemerhati." 

Apa syarat seseorang sehingga disebut, atau menyebut dirinya sendiri, "pengamat sosial politik"? 

Apa kriteria seorang "pemerhati budaya"? 

Bagaimana prosedur kerja seorang pengamat? 

Bayangkan, seorang yang bergelar “pemerhati masalah internasional” artinya dia bekerja setiap hari, setiap jam, setiap menit, dengan memperhatikan masalah-masalah dunia! Saya kadang nakal berpikir. Apa beda pekerjaan seorang pengamat dengan Tuhan Yang Maha Mengamati? 

Alifian Mallarangeng (sering disebut dengan gelar bangsawan Bugis "Andi Mallarangeng") digelari "pakar ilmu politik." Media menyebutnya “pakar” setiap kali mereka minta komentar Mallarangeng. Mengapa tak menyebut Mallarangeng seorang politikus walau dia ikut partai, bahkan gonta-ganti, dan belakangan jadi juru bicara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Juru bicara ini jabatan politik juga. 

Lebih relevan kalau disebutkan Mallarangeng dapat Ph.D dari Northeastern Illinois University di Amerika Serikat dengan thesis tertentu. Ketika kembali di Jakarta, dia jadi dosen di sebuah kampus Jakarta sambil memimpin Partnership for Governance Reform in Indonesia --sebuah lembaga dana yang disponsori negara-negara Eropa. 

Mallarangeng tak pernah melakukan riset apapun sejak mendapatkan doktornya. Ini tabiat kebanyakan doktor kita. Mereka tak bikin penelitian hingga ilmunya kurang berkembang. 

Lucunya, ketika Mallarangeng lagi laris dimintai komentar sebagai "pengamat politik," Mallarangeng juga jadi juri sebuah lomba kecantikan. Pesertanya cantik-cantik dan molek-molek. Saya sempat nonton di televisi dan bertanya-tanya, “Apa relevansi Mallarangeng untuk dinilai layak jadi juri kecantikan?”

Kalau logika media Indopahit diterapkan di sini, artinya Mallarangeng bisa juga disebut sebagai "pakar kecantikan" atau "pengamat perempuan"? Tapi khan lucu! Atau disebut label "pakar wanita." Nah lho! 

Apa Vitria Cahyaningsih, isterinya Mallarangeng, tak geli suaminya yang ganteng dan berkumis tebal itu disebut “pakar wanita”? 

Contoh lain. Suatu saat sebuah majalah berita mewawancarai seorang doktor sebagai "pengamat LSM." Dia dimintai soal penyaluran dana-dana organisasi internasional ke berbagai organisasi nirlaba Indonesia. 

Si doktor ini pernah memimpin sebuah organisasi Amerika Serikat di Jakarta. Susahnya, majalah itu tak tahu bahwa doktor ini sebenarnya masuk daftar hitam beberapa lembaga donor karena kurang becus mengelola organisasi tersebut. 

Masih banyak contoh lain. Tapi inilah yang membuat saya sangat keberatan ketika majalah Trust memberi label "pengamat media” kepada saya. 

Expert dan Observer 

Pemakaian keterangan “pengamat” atau “pakar” meniru dari istilah "observer" atau "expert" pada sebagian media berbahasa Inggris. Label-label ini dipakai sebagian media Barat pada zaman Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Komunis. Saat itu kebanyakan wartawan Barat sulit menembus negara-negara sosialis, termasuk Uni Soviet dan Tiongkok. 

Sebagai ganti, mereka mewawancarai orang-orang yang tinggal di perbatasan, yang kerjanya mencatat siaran radio negara sasaran, lantas bikin newsletter. Mereka lantas disebut “pengamat.” 

Seorang di antaranya adalah seorang pastor Serikat Jesuit bernama Lazlo Ladany. Dia kelahiran Hungaria tahun 1914. Pada usia 22 tahun Ladany menjadi calon imam Katholik di Budapest. Pada 1939, Serikat Jesuit mengirim Ladany ke Beijing dan belakangan dipindah ke Shanghai. Pada 1949, ketika Mao Zhedong dari Partai Komunis Tiongkok menguasai Tiongkok, Mao mengusir semua misionaris Barat. 

Ladany dipindahkan ke Hong Kong, sebuah koloni Inggris. Dia diberi kantor di sebuah kampus. Selain mengurus mahasiswa, kerja utama Ladany adalah mendengarkan siaran radio Beijing, dan belakangan menonton televisi, dalam bahasa Mandarin, dari Beijing. 

Pastor Ladany menerbitkan mingguan China News Analysis pada 1953. Tujuannya, membantu jaringan misionaris Katholik di seluruh dunia mengikuti perkembangan dalam negeri Tiongkok. Menulis dan menyunting China News Analysis menjadi pekerjaan Ladany selama 30 tahun. 

China News Analysis jadi bacaan wajib banyak kantor kedutaan, kantor pemerintah dan beredar di 48 negara plus Tiongkok sendiri. 

Wartawan-wartawan Barat, yang dilarang masuk Tiongkok, banyak yang menjadikan Hong Kong basis mereka. Mereka mengandalkan Ladany untuk jadi sumber liputan. 

Pada 1966, Robert Shaplen dari majalah The New Yorker menyebut Ladany sebagai “China watcher” atau “pemerhati China.” Ladany sering muncul dalam berbagai pemberitaan media Barat. Ladany menulis beberapa buku, termasuk Law and Legality in China: The Testament of a China-Watcher

Ketika meninggal dunia pada 1990, Associated Press menyebut Pastor Ladany sebagai orang yang berjasa “membuka” Tiongkok kepada media Barat. Ladany digunakan sebagai nara sumber karena wartawan-wartawan Barat tak bisa masuk ke Tiongkok. Prinsip urutan sumber jadi penting sekali disini. Bila wartawan-wartawan itu bisa langsung tembus ke sumber-sumber utama, Ladany tentu tak relevan. 

Salah satu esensi dari verifikasi adalah tekad wartawan mencari sumber-sumber primer. Ketika Uni Soviet runtuh dan Tiongkok merangkul kapitalisme, wartawan-wartawan Barat dengan mudah membuka kantor biro di Moscow maupun Beijing. Mereka bisa langsung wawancara sumber-sumber pertama. 

Peranan orang-orang macam Ladany menyurut. 

Label "pengamat" atau "pakar" tak diperlukan kalau si wartawan bisa menembus sumber-sumber berita atau lingkaran-lingkaran sumber hingga lingkaran paling dalam. 

Acheh, Papua, Maluku dan Timor Leste praktis daerah-daerah yang cukup terbuka di Indonesia buat wartawan dan warga Indonesia. Banyak orang di sana merasa bukan bagian dari bangsa Indonesia. Mereka ingin merdeka dari "penjajahan Indonesia."

Pada zaman Soekarno, Soeharto maupun pasca-Soeharto, daerah-daaerah panas itu terkadang masih ditutup untuk wartawan. 

Namun saya tak pernah mendengar istilah “pengamat Papua” atau “pemerhati Maluku Selatan.” Siapakah “pakar Acheh” di Jakarta? Rasanya tidak ada pula bukan? 

Jadi buat apa mewawancarai pengamat-pengamatan itu? 

Pada awal 2002, majalah Tempo menurunkan laporan “Theys Dibunuh: Dua Jenderal Terlibat” dan “Mengapa Kopassus Tersesat”. Tempo menurunkan dugaan ada dua orang jenderal mendalangi pembunuhan pemimpin rakyat Papua Theys Eluai. 

Tempo tak menyebut siapa nama dua orang tersebut. Persoalannya, tuduhan itu hanya berasal dari seorang “pengamat militer” bernama Kusnanto Anggoro dari Center for Strategic and International Studies di Jakarta. 

Febry Arifmawan, seorang wartawan mahasiswa Universitas Islam Indonesia, menulis, “Kalau boleh saya nilai, Kusnanto disini posisinya adalah sebagai pengamat (nara sumber ketiga), namun dijadikan titik pijak Tempo dalam membuat fokus laporan.” 

Arifmawan menganggap pilihan itu punya resiko. Memang ada surat pembaca yang mengecam Tempo karena tuduhan itu. Saya juga tahu laporan-laporan itu menciptakan debat internal dalam Tempo. Saya setuju dengan Arifmawan bahwa laporan itu tak memenuhi standar dasar jurnalisme. 

Sumber-sumbernya anonim dan tuduhan terbuka hanya dari Kusnanto Anggoro, seseorang yang tak mengalami dan tak melihat sendiri peristiwa itu. Bagaimana cara memberi keterangan pada komentator? 

Saya pernah menulis untuk Courier, sebuah majalah multibahasa dari Paris, yang diedit dengan rapi sekali. Mereka punya saran yang bagus. Kalau saya minta seorang akademikus atau seorang politikus memberi komentar atas suatu isu, pertama, mereka minta saya memperhatikan apakah pekerjaan dan penelitian si sumber relevan dan berbobot untuk komentar itu. Bobotnya bisa dilihat dari karya akademik mereka. Atau kalau seorang politikus, dilihat dari reputasi dan integritasnya. 

Kedua, tanpa memberi gelar pemerhati atau apapun, cantumkan saja karya orang itu dalam laporan Anda, atau setidaknya, cantumkan afiliasinya. Jadi tak ada istilah "pakar politik" atau "pemerhati hukum kriminal." 

Tetapi Courier membuat standar. Misalnya, Benny Giay disebut dosen Sekolah Tinggi Teologi Walter Post di Jayapura. Atau Benny Giay dari STT Walter Post, yang pernah menulis buku Pembunuhan Theys: Kematian HAM di Tanah Papua. Bisa juga disebut Giay mendapatkan Ph.D dari Vrije Universiteir, Amsterdam, dengan thesis soal ini dan itu. 

Kalau definisinya gamblang, pembaca akan bisa menilai sendiri, seberapa besar bobot si sumber dan seberapa relevan disiplin si sumber dalam mengkaji apa yang dianggap sebagai keahliannya. Unsur transparansi sangat penting sehingga kalau ada conflict of interest antara pribadi si sumber dengan isu yang dibicarakannya, pembaca, pendengar atau pemirsa, juga bisa menilai sendiri. 

RRI pernah mewawancarai Budi Harsono, dengan sebutan "seorang pengamat militer" tentang bantuan Amerika US$51 juta kepada polisi dan tentara Indonesia. RRI menyebut bahwa Harsono juga mantan ketua fraksi militer di parlemen --artinya dia juga seorang jenderal. RRI juga menyebut Harsono sekretaris jenderal Partai Golongan Karya. RRI cukup gamblang sehingga pendengar tahu siapa Harsono itu. 

Namun RRI keliru menyebutnya dengan "pengamat." Harsono adalah pemain dalam lapangan ini. Budi Harsono seorang tentara-cum-politikus. Budi Harsono bukan seorang Lazlo Ladany di Hong Kong, yang tak pernah menjabat apapun dalam struktur negara Republik Rakyat Tiongkok. 

Benedict Anderson dari Universitas Cornell misalnya. Terkadang Anderson disebut sebagai "pakar nasionalisme " karena menulis buku Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. Buku ini termasuk karya klasik bagi orang yang belajar nasionalisme. Saya berani bertaruh Anda hanya akan jadi tertawaan orang bila bicara soal kebangsaan namun tak pernah membaca Imagined Communities

Anderson tak pernah ikut partai apapun. Anderson tak pernah jadi juru bicara presiden. Pekerjaannya hanya sebagai ilmuwan. Cocok kalau Anderson disebut "pakar" namun ia masih harus ditambah judul bukunya.  

Salah satu elemen dasar jurnalisme adalah transparansi. Memberikan keterangan sejelas-jelasnya pada seorang kolumnis atau seorang sumber akan membantu pembaca, pendengar atau pemirsa untuk menilai kredibilitas si kolumnis atau si sumber. 

Rekan saya dari majalah Pantau, Agus Sopian, yang dulu sering membanggakan pacar-pacarnya yang cantik, suatu hari menulis, “Dulu saat menulis kolom seks dan orgasme, saya mencantumkan label ‘Playboy’ ehhh malah diganti jadi 'Playgroup.' Asem!”

 
Jakarta, 2008

Wednesday, October 01, 2008

Global Integrity Report 2008

Andreas Harsono

When his boss took a new job, Mamat didn’t expect a drastic change. He was a chauffeur. His job was mainly to drive his boss from home to the office and from the office back home. 

“It was steady work, morning to evening, sometimes driving him to dinner receptions,” Mamat said.

Mamat’s boss, Erry Riyana Hardjapamungkas, was a mining executive and the former head of a state-owned tin company. In December 2004, Hardjapamungkas took a job as commissioner at Indonesia’s Corruption Eradication Commission (KPK — Komisi Pemberantasan Korupsi).

Hardjapamungkas brought along his chauffeur, Mamat, to the newly established office. It turned out to be a tough job. Hardjapamungkas had to start his work without an office. He and four other commissioners met in restaurants and brought their own computers.

Lighting a Candle in Darkness

It took them almost a year to set up an operation, establish an office and start investigating possible corrupt activities.

Their first catch was Abdullah Puteh, then-governor of Indonesia’s rebellious province of Aceh. Puteh allegedly marked up the purchase of an MI-2 helicopter, which cost the state 4 billion rupiah (US$424,384) in losses. The Corruption Court later sentenced Puteh to 10 years in prison and a 500 million rupiah (US$52,891) fine. It was the first time that a governor was arrested since Gen. Suharto took power in 1965.

In Menyalakan Lilin di Tengah Kegelapan, or “Lighting a Candle in the Darkness,” a book published by the KPK, Hardjapamungkas’ colleague, Taufiequrachman Ruki, recalled the difficulties in setting up their operation.

“I hired and paid my two assistants myself. I told my secretary, ‘Buy a computer and sit down here,'” Ruki said, referring to his temporary, crowded office. “We have to pay our staff above the average.”

The Puteh case was followed by the arrest of Mulyana W. Kusumah, an election commissioner who tried to bribe a state auditor in a hotel room. Later KPK also arrested Irawady Joenoes, a member of the Judiciary Commission, whose job was to help select and train Supreme Court judges.

History of corruption

No one knows exactly when corruption began to breed in this archipelago. When the Dutch began to colonize Java in the early 17th century, stories were already emerging about corrupt colonial administrations. A Dutch writer, Eduard Douwes Dekker, wrote about corruption in Banten, western Java, in his classic book Max Havelaar, published in 1859 under the pseudonym Multatuli (Latin for
“I have suffered greatly”). 

It chronicled a young Dutch civil servant in a corrupt colonial administration. But Indonesian history began before the Dutch colony and outlasted it. 

Indonesia became a sovereign state in December 1949. Corruption grew much faster after the Indonesian army, led by Suharto, took power from President Soekarno late in 1965. Suharto centralized power much more than Soekarno by consolidating the civil service, the military, political parties, businesses and many other organizations under his rule. He ruled with an iron fist, befriended Western governments and enriched his family and cronies.

When Suharto resigned in May 1998, he had allegedly pocketed as much as US$15 to US$35 billion during his years in office, according to Transparency International —earning him the title of the biggest kleptocrat in the modern world.

Many political organizations and individuals asked successive post-Suharto administrations to prosecute Suharto. But he remained a free man until he died and was buried like a Javanese sultan in January 2008. His legacy, including a corrupt Indonesia, however, lives on.

Stephen Sherlock, an Australian scholar, wrote in a 2002 research paper about the state of Indonesian government operations after Suharto, “The current civil service is process based, not results based, and performance is measured by obedience to one’s superiors.” 

Sherlock continues: “Interactions with the public are regarded not as occasions to deliver public services but as opportunities to levy informal taxes.”

Corruption is like a cancer. In Indonesia it spreads to many, if not all, government institutions: police, civil servants, military, prosecutors, judges, the Supreme Court, the media, the House of Representatives, state-owned companies, ministers, the Merdeka Palace, among others.

Growth of anti-corruption agency

In December 2003, the House of Representatives passed an anti-corruption law. It stipulates that the government should establish KPK as “a state agency that will perform its duties and authority independently, free from any and all influences.” The media closely covered the selection
process.

President Megawati Soekarnoputri inducted the first KPK commissioners in December 2003, including Hardjapamungkas and Ruki. Hardjapamungkas and his colleagues learned from Hong Kong’s Independent Commission against Corruption and Singapore’s Corrupt Practice Investigation Bureau. 

They built small and separated interrogation rooms, as their Hong Kong peers had, to prevent outsiders from listening to the interrogations. Video cameras were installed in KPK’s interrogation rooms to discourage detainees from changing their stories in written testimonies.

Initially, banks refused to turn over information to KPK about accounts held by those under investigation. But, Indonesia’s Supreme Court issued a go-ahead verdict that forced banks to cooperate with KPK. 

Ruki, himself a retired policeman, asked his former colleagues to send their best detectives to join KPK. KPK also purchased modern telephone tapping equipment. Sometimes KPK also brought along television crews when raiding a suspect.

Since December 2004, KPK has arrested and sent to prisons dozens of powerful politicians. Mamat saw how the KPK operations netted government ministers, a national police chief, a Central Bank governor, the Judicial Commission member, governors, government prosecutors, and regents.

Their work attracted international donations. The governments of Australia, Canada, Denmark, Germany, Japan, Sweden, the United States and others have supported KPK. Its international aid increased from 28.5 billion rupiah (US$3 million) in 2005 to 97.1 billion rupiah (US$10.3 million) in 2007. Its staff increased from 188 in 2004 to 451 in 2007.

A citizen contributes

Four years on, Ruki and his colleagues ended their terms. Hardjapamungkas, Mamat’s boss, also decided not to remain a commissioner. But, Mamat fell in love with his boss’ work. 

“I told my boss I decided to stay on at KPK,” he said.

He became a KPK driver. Now his job is to drive an iron-barred minivan, picking up detainees every morning, taking them from police prisons to KPK office, for questioning, or to the Corruption Court, for their trial sessions. In the afternoon, Mamat delivers the detainees’ lunch boxes and drives them back to the prisons in the evening.

“My passengers are special. They are people with power, really big power,” he smiled.

Mamat is one of three KPK’s “operation drivers.” Indriana, Mamat’s supervisor, told me he supervises 25 drivers but only three are entrusted to drive the detainees. Sometimes “operation drivers” have to be involved in “secret operations” — raiding a suspect, usually, at night.

Some are critical of KPK’s selection process for investigations. KPK rarely investigates politicians close to President Susilo Bambang Yudhoyono and Vice President Jusuf Kalla. KPK only arrested those related to Yudhoyono’s predecessor, Megawati Soekarnoputri. Kalla himself is a businessman embroiled in some controversies. 

Adnan Husodo, of Indonesian Corruption Watch, pointed out that KPK declines to question Aulia Pohan, a Central Bank director allegedly involved in corruption. Yudhoyono’s son is married to Pohan’s
daughter.

When talking to me in the KPK parking lot, Mamat spoke in a better-late-than-never fashion, “It is true that the suspects are mostly, but not all, not related to the president. We can’t fight them all. At least, KPK is trying to have a breakthrough.”