Thursday, December 01, 2022

Meninggalnya Seorang Pahlawan Hak Asasi Manusia Papua

Filep Karma Menyerukan Papua Merdeka dari Indonesia; Dihukum 11 Tahun Penjara

Andreas Harsono

Filep Karma, seorang aktivis sekaligus mantan tahanan politik terkemuka asal Papua, ditemukan tewas Senin lalu di Pantai Base-G, Jayapura, Papua. Ia sebelumnya berenang bersama adik ipar dan keponakannya, lantas pergi menembak ikan sendirian setelah dua kerabatnya itu pulang. Karma, seorang penyelam dengan pengalaman tiga dekade, ditemukan mengenakan pakaian selam miliknya.

Putrinya Andrefina Karma mengatakan bapanya karena “kecelakaan dan tenggelam.”

Larz Barnabas Waromi selfie bersama bapanya George dan bapa besarnya Filep Karma
pada Minggu, 30 Oktober, di pantai Base G, Jayapura. Ini foto terakhir Filep Karma.
George suami Margaret Karma, adiknnya Filep
.


Saya bertemu Filep Karma pada akhir 2008 ketika mengunjungi penjara Jayapura untuk mewawancarai tahanan politik. Di sana saya dengan jelas melihat Karma merupakan pemimpin yang dilihat sesama penghuni penjara sebagai model. Ia menjelaskan prinsip-prinsipnya dengan jernih soal hak asasi manusia dan penentuan nasib sendiri rakyat Papua. 

Saya rutin mengunjungi berbagai penjara di Papua, termasuk Jayapura, dan kami menjadi teman, berdiskusi dan berdebat, tentang situasi hak asasi manusia di Papua. 

Karma dilahirkan tahun 1959 di Jayapura, ibu kota Provinsi Papua. Dia beberapa kali cerita bahwa bapanya, Andreas Karma, mendidiknya tentang perlakuan buruk terhadap orang asli Papua di bawah pemerintahan Indonesia.

Pada 1998, Karma mengorganisir sebuah aksi protes di Pulau Biak, menyerukan kemerdekaan Papua sambil mengibarkan bendera Bintang Kejora, simbol kemerdekaan yang dilarang oleh pemerintah Indonesia. Militer Indonesia membubarkan aksi protes itu dengan keras. Ratusan orang meninggal. Karma dipenjara, dan pada 1999. Pada 2004, ia kembali mengorganisir protes Bintang Kejora menyusul pembunuhan terhadap Theys Eluai, pemimpin pro-kemerdekaan lainnya. Polisi, jaksa dan hakim-hakim Indonesia mendakwa, mengadili dan menjatuhkan hukuman 15 tahun penjara bagi Filep dengan pasal “makar.”

Pada 2010, Human Rights Watch menerbitkan sebuah laporan tentang tahanan politik di Papua dan Kepulauan Maluku, serta bantu meluncurkan kampanye global untuk membebaskan para tahanan. Pada 2011, mamanya Karma, yakni Eklefina Noriwari, mengajukan petisi kepada United Nations Working Group on Arbitrary Detention di New York agar anaknya dibebaskan. Kelompok kerja tersebut memutuskan bahwa penahanan Filep Karma melanggar hukum internasional, dan menyerukan agar pemerintah Indonesia membebaskannya tanpa syarat dan segera. Pemerintah Indonesia baru melepaskan Filep Karma pada 2015.

Jefry Wandikbo, Filep Karma dan saya mengobrol dekat gerbang penjara Abepura di Jayapura.
Ini empat hari sesudah Presiden Joko Widodo membebaskan empat narapidana Papua Barat
pada 11 Mei 2015. Mereka menolak ajukan grasi.








Setelah dibebaskan, Karma merangkul agenda aktivisme politik yang lebih luas. Ia bicara tentang hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan. Ia kampanye untuk hak-hak minoritas di Indonesia. Ia juga upayakan bantuan untuk keluarga tahanan politik.

Humor, integritas, dan keberanian moral pada diri Filep Karma menjadi inspirasi bagi banyak orang. Kematiannya merupakan kehilangan besar, tidak hanya bagi orang Papua, tapi juga bagi banyak orang di seluruh Indonesia yang telah kehilangan pahlawan hak asasi manusia.

Kehilangan seorang sahabat

HARI ini
persis satu bulan sesudah Filep Karma, aktivis Papua, pensiunan pegawai negeri serta mantan tahanan politik, ditemukan meninggal tenggelam di Pantai Base G, Jayapura. 

Hari ini, 1 Desember 2022, juga persis 18 tahun sesudah dia ditangkap karena pidato menuntut hak menentukan nasib diri sendiri buat warga Papua pada 1 Desember 2004 di Abepura. Istilahnya, dia menuntut "Papua merdeka." 

Hidupnya 11 tahun berada dalam tahanan. Dia membuat penjara sebagai sekolah baginya maupun sesama tahanan. Mereka berkebun, kuliah jarak jauh, membaca buku, menulis, melukis, bikin klub tinju dan seterusnya. Namun dia terus-menerus banding, sampai tingkat Mahkamah Agung di Jakarta, bahkan mahkamah Perserikatan Bangsa-bangsa di New York. 

Mahkamah internasional menyatakan pengadilan-pengadilan Indonesia "tidak fair" terhadap Karma dan menafsirkan pasal makar dari kitab hukum pidana dengan "tidak proporsional." Dia tak pernah menganjurkan kekerasan bahkan selalu bicara agar tak ada kekerasan. Dia dibebaskan dari penjara pada November 2015. Penjara tak menggerogoti idealisme maupun keramahannya. 

Saya jadi mengenalnya lebih dekat sesudah bebas dari penjara. Dia sering datang ke rumah saya, minum wedang jahe dan makan ubi. 

Minggu lalu, putrinya, Audryn Karma, mengirim foto, barang-barang yang dipakai bapanya ketika pergi menyelam. Ia termasuk sebuah kaos Human Rights Watch. 

"Baju HRW ini sy temukan dlm jok motor bapa dan kemungkinan baju ini hendak bapa pakai sbgi baju ganti jika dia sudah selesai diving. Pasti ini baju dari om ya?" tulisnya. 

"Sy sedang membereskan barang2 bapa dirumah termasuk baju2 kotornya ingin sy cuci dan melihat baju2 terakhir yg dia gunakan jd bikin sy menangis kembali."

Saya ikut sedih lagi. Sudah sebulan saya kehilangan seorang sahabat.

Thursday, November 10, 2022

Naimullah: Pembalakan Liar yang Mematikan

Oleh Dian Lestari

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (2017-2020) di Pontianak. Naskah ini dimuat dalam buku Mati Karena Berita: Kisah Tewasnya Sembilan Jurnalis Indonesia terbitan Aliansi Jurnalis Independen (Oktober 2022). 



Sabtu, 26 Juli 1997. Suara dering telepon memecah kesunyian di kediaman Mhia, istri Naimullah di Pontianak, Kalimantan Barat. Saat itu jam dinding menunjukkan pukul 01.00 WIB. Mhia, yang tak bisa nyenyak tidur hari itu, terbangun dan mengangkat telepon.

“Halo, benar ini rumah Bapak Naimullah?” “Iya benar. Saya istrinya.”

“Saya anggota Polres Mempawah.” “Ada apa ya, Pak?”

“Apa ibu tahu nomor pelat  mobil suami ibu? Pak Naimullah pakai baju warna apa?”

“Saya mau memastikan saja, apa benar ini nomor telepon keluarga Pak Naimullah.”

“Tolong bapak katakan apa adanya!”

Hati Mhia gusar. Naimullah, yang bekerja sebagai wartawan Harian Sinar Pagi, sedari siang memang tak kunjung pulang. Sebelumnya sang suami memang mengatakan bahwa ia sedang menulis berita soal pembalakan liar. Ia berencana pergi ke suatu perusahaan untuk mengkonfirmasi beritanya usai salat Jumat di Masjid Raya Mujahidin.

Polisi di seberang telepon tetap tak memberi ketegasan apa yang terjadi terhadap suaminya. Polisi itu malah bertanya adakah nomor telepon kerabat yang bisa dihubungi. Mhia lantas memberikan nomor telepon paman Naimullah, seorang pensiunan tentara. Dari paman Naimullah itulah akhirnya Mhia mendapat kabar soal nasib suaminya.

Polisi itu mengabari bahwa Naimullah meninggal. Mayatnya ditemukan oleh warga di Pantai Penibungan, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, Jumat, 25 Juli 1997 malam. Dalam kondisi syok dan kebingungan, Mhia berupaya menguatkan diri. Ia bersama paman Naimullah dan adik iparnya menyewa mobil untuk ke Mempawah.
***

Mayat Naimullah, 42 tahun, ditemukan oleh warga di Pantai Penibungan. Pada era 90-an, kawasan pantai Penibungan didatangi pelancong yang ingin bersantai di pesisir. Ada pula yang datang ke sana untuk memancing. Saat mendatangi Pantai Penibungan pada Senin, 11 April 2022, awalnya agak membingungkan menemukan lokasinya. Tak seperti informasi beberapa warga, yang mengatakan bahwa jalan masuk ke pantai gampang terlihat, karena berada persis di tepi jalan raya Mempawah.

Tak ada papan petunjuk lokasi wisata tersebut. Setelah beberapa kali bertanya ke warga sekitar, barulah ditemukan lokasi persisnya. Rupanya pagar seng berwarna biru menutupi area tersebut. Setelah seorang warga membuka pintu pagar seng, barulah tampak Pantai Penibungan. Terlihat jalan beton yang lebarnya muat untuk dilalui satu mobil. Jalan itu lurus mengarah ke ujung pantai.

Naimullah ditemukan sekira 150 meter dari pintu masuk menuju jalan tersebut. "Di jalan sini mayatnya. Dalam mobil. Dekat pokok (pohon) ini," kata Mulyadi, 35 tahun, warga Penibung dengan logat Bahasa Melayu. Kini Mulyadi dan keluarganya mendiami satu rumah di dekat pintu masuk Pantai Penibungan. Pemilik tanah menugaskan dia menjaga kawasan tersebut.

Mulyadi menceritakan, ada dua orang yang pertama kali meliat mayatnya, lalu mengabari warga lain dan lapor polisi. Dia menyebut Akong, yang sekarang bermukim di Jakarta, dan Suhaini, 42 tahun, warga Desa Penibung. Suhaini masih di daerah itu dan butuh waktu 30 menit berkendara mobil dari Pantai Penibungan ke rumahnya. Jaraknya tak jauh, tapi kondisi jalan yang rusak memaksa mobil berjalan pelan.

Suhaini mengisahkan, dulu dia tinggal di rumah orangtuanya, persis di seberang jalan raya dekat Pantai Penibungan. Saat malam penemuan mayat, dia sedang sedang bersantai duduk-duduk bangku depan rumah. Mendadak Akong memanggilnya. Ia mengajak Suhaini melihat dari dekat mobil yang katanya masuk ke area itu sejak sore. Di bangku belakang mobil mereka melihat orang yang posisinya berbaring ke arah kanan. Merasa khawatir terjadi sesuatu dengan orang tersebut, keduanya melaporkan kepada Agus Pandi, polisi yang biasa berpatroli di sana.

Saat ditemui pada 11 April 2022, Agus Pandi masih menjadi anggota aktif di Polres Mempawah. "Saya masih jadi Bhabinkamtibmas waktu itu," katanya. Walau sudah berlalu hampir 25 tahun, dia menyatakan masih mengingat jelas momen-momen penemuan mayat Naimullah. Kala itu Agus Pandi didatangi beberapa warga sekira pukul 19.00 WIB.

Info awal yang dia dapatkan adalah ada mobil parkir sejak sore, lalu sampai malam tak ke luar dari pantai. Warga curiga telah terjadi sesuatu dengan lelaki di dalam mobil. Agus Pandi bergegas mendatangi lokasi. "Saya tak berani buka mobilnya. Dari luar mobil saya senter wajahnya. Saya bilang, 'Pak, bangun Pak',".

Setelah berulangkali memanggil tapi tak direspon, Agus Pandi memutuskan melapor kepada petugas di Polres Mempawah. "Mobil dibongkar. Petugas dari Polres yang periksa. Saya lihat ada darah di kepalanya," kata dia. Agus Pandi mengingat pada masa itu ramai warga mendatangi tempat kejadian perkara (TKP). Polisi memasang police line. Selama dua hari polisi menyelidiki TKP. "Kasus ini heboh. Sampai Kapolda juga turun meninjau lokasi," tuturnya.

Setelah penemuan mayat Naimullah itu, Agus Pandi tak mengikuti perjalanan penanganan kasusnya. Sebab, itu bukan wewenangnya. Dia mengaku prihatin karena hingga kini belum terungkap siapa pembunuhnya.
***

Naimullah, yang akrab disapa Naim, dikenal sebagai wartawan Harian Sinar Pagi. “Naimullah itu teman akrab. Dulu sering tiap pagi ngopi di (Pasar) Flamboyan. Orangnya kecil-kecil, tinggi, kurus, kurang lebih badan saya. Ganteng dia orangnya. Putih,” kata Andi Tenri Sangka, 64 tahun, salah satu temannya, saat ditemui pada 2 Juni 2022 di Pontianak, Kalimantan Barat.

Andi Tenri Sangka dulunya pernah menjadi jurnalis di surat kabar Kemudi. Ia sudah lebih dahulu menjadi jurnalis. Kata dia, Naimullah menjadi jurnalis sekitar empat tahun sebelum kematiannya. Ia mengenang Naimullah sebagai jurnalis yang kerap membuat berita-berita tajam. “Dia suka mengungkapkan oknum-oknum yang terlibat pembabatan kayu. Dia memang seorang wartawan pemberani,” ujarnya. Namun Naimullah tak banyak bercerita soal liputannya.

Zainul Irwansyah, 57 tahun, kawannya yang lain, punya kesan sama. Pria yang biasa disapa Buyung tersebut adalah jurnalis dan teman ngopi Naimullah. “Biasanya dia single fighter. Sendiri dia kalau jalan (liputan),” tuturnya pada 20 Juni 2022 di Pontianak, Kalimantan Barat.Naimullah pernah mengajaknya meliput pembalakan liar di Rasau Jaya, Kabupaten Kubu Raya. Itu sekira satu jam perjalanan darat dari Pontianak. Buyung menolak karena khawatir menjadi korban pemukulan atau pembunuhan.

Menurut Zainul Irwansyah, dia memperkirakan bakal mudah „dihabisi‟ jika hanya sendiri atau berdua dengan Naimullah ke sana. Buyung merasa lebih aman jika liputan setidaknya bersama lima rekan jurnalis lainnya. Jika terjadi tindak kekerasan, mereka berlima bisa berpencar melarikan diri dan melapor kepada polisi.

Selain biasa liputan sendiri, kata Andi Tenri Sangka, Naimullah juga kerap mendatangi narasumber untuk mengkonfirmasi temuannya secara langsung. “Lantaran pengusaha kayu sangat susah diwawancara, biasanya Naimullah mengirim pertanyaan tertulis melalui Humas perusahaan kayu,” ujarnya.

Menurut Buyung, Naimullah tak gentar menghadapi teror, lantaran memberitakan pembalakan liar. “Dia pernah cerita sama saya. Kadang- kadang ancamannya dikirim lewat surat. Isi tulisannya, “Jangan ganggu”. Istrinya yang terima (surat itu). Kadang-kadang kaca rumahnya dilempar batu. Tapi katanya dia berani menghadapinya,” kata dia.

Menurut Buyung, siapapun pelaku pembunuhan itu, dia tahu bahwa teror melalui surat tak membuat Naimullah takut. Agar Naimullah benar-benar berhenti mencari tahu, maka pelaku merencanakan pembunuhan. Soal kira- kira siapa pembunuhnya, kata dia, “Ada „orang besar‟ lah di belakangnya. Mungkin dia ketakutan beritanya dimuat. Makanya Naimullah dihabisi dulu. Takut terbongkar, karena saat itu dia sedang investigasi kasus kayu (illegal logging). Dia konfirmasi ke mana-mana.”

Buyung tak membeberkan siapa “orang besar‟ yang dimaksud. Apakah hanya satu “orang besar‟ atau beberapa „orang besar‟? “Saya ndak tahu. Yang pasti     ada “orang kuat‟ lah pokoknya, sampai orang ini berani bunuh dia,” papar Buyung. Andi Tenri Sangka mengakui bahwa isu yang berkembang saat itu sangat liar. “Isu menyebar ke mana-mana. Gara-gara kayu lah. Ada yang bilang gara-gara tanah lah. Ada bilang gara-gara pemerasanlah,” kata dia.

Andi Tenri Sangka mengatakan, memang ada juga yang menduga bahwa Naimullah ini tewas dirampok. Kabar yang beredar mengatakan, Naimullah saat itu membawa banyak uang tunai hasil penjualan tanah. Ada pula dugaan bahwa Naimullah dibunuh lantaran memeras perusahaan kayu. Sangka berpendapat bahwa berbagai dugaan itu hanya sebatas isu dan belum ada bukti pendukungnya.
***

Kepingan puzzle cerita tentang pembunuhan Naimullah banyak terdapat dalam pemberitaan Harian Akcaya, koran lokal Pontianak yang kini sudah berganti nama menjadi Pontianak Post. Berita soal ini sebagian besar ditulis oleh mendiang Tarsisius Uryang, sejak 27 Juli hingga 27 Agustus 1997.

Dugaan terkuat sebagai motif pembunuhan Naimullah ini adalah soal liputan tentang pembalakan liar. Dalam pemberitaan Harian Akcaya pada tahun 1997, memang cukup banyak berita soal ini. Gusti Yusri, Ketua PWI Kalbar, mengatakan, waktu itu jurnalis berupaya mengungkap pelaku dan jaringan kejahatan ini. “Illegal logging itu di depan mata. Rasanya tidak ada kegiatan ilegal, apalagi logging, yang di belakangnya tidak ada backing. Kita gencar memberitakan, mereka ndak gubris. Apalagi waktu itu medianya tidak terlalu banyak,” tuturnya.

Cerita tentang maraknya pembalakan liar juga disampaikan Andi Tenri Sangka. Menurut dia, tindakan tegas terhadap pembalakan liar baru dirasakan pada masa Polda Kalbar dipimpin Nanan Soekarna. “Yang sebelum- sebelumnya sudahlah. Susah ngomong lah kita di Kalbar ini. Ada oknum- oknum pejabat ini banyak pemain kayu. Banyak bermain di belakang layar,” ujarnya. Menurut dia ada pejabat pada masa itu yang diadili karena terlibat pembalakan liar.

Di tengah perbincangan soal pembunuhan Naimullah, ada juga pertanyaan soal status Naimullah sebagai jurnalis. Dalam berita Harian Akcaya edisi 29 Juli 1997, Pelaksana Harian Sinar Pagi, Atal Depari, menyatakan tidak pernah menunjuk koresponden di Pontianak. Ia juga membantah berita di koran-koran ibukota yang menyebutkan Naimullah adalah korespondennya.

Keluarga meyakini bahwa Naimullah bekerja untuk Sinar Pagi. Paman Naimullah, Daeng Jali, mengatakan keponakannya memiliki SK dari Wakil Pimpinan Umum Harian Sinar Pagi. "Ini ada fotokopi surat penugasannya yang saya peroleh dari istri almarhum," katanya, seperti dikutip Harian Akcaya pada masa itu. Jali mengatakan, sewaktu Naim masih hidup, ia pernah bercerita soal perombakan manajemen di kantornya.

Mhia mengatakan, suaminya sering menceritakan tentang maraknya kasus pembalakan liar. Demi „mengamankan‟ dari pemberitaan, pengelola perusahaan berusaha memberi suap kepada Naimullah. Pernah suaminya mengatakan bahwa nanti ada orang dari perusahaan datang mau kasih uang. Ia berpesan jangan diambil. Uang itu ditinggal oleh orang perusahaan. Naimullah memfoto uang itu dan mengembalikannya.

Kondisi maraknya pembalakan liar pada tahun 1997 diceritakan oleh Gusti Yusri, Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kalimantan Barat. “Waktu itu gencar pemberitaan illegal logging. Sangat banyak kasusnya,” katanya saat ditemui di Pontianak, Senin, 21 Maret 2022. Menurut dia, semasa tahun 90-an, ada kasus-kasus pembalakan liar yang diselidiki polisi. TNI juga memiliki wewenang untuk menangkap pelakunya. “Tapi jarang (kasusnya) yang sampai persidangan,” tambahnya.
***

Dugaan tentang keberangkatan Naimullah ke luar kota lantaran janji bertemu dengan orang perusahaan kayu, disampaikan oleh Mhia, seperti dikutip Harian Akcaya edisi 6 Agustus 1997. Mhia mengungkapkan, sebelum ditemukan tewas terbunuh, pagi hari sekitar pukul 09.00 Naimullah menerima telepon dari seseorang. "Isi pembicaraannya, suami saya disuruh pergi ke PT itu. Yang bicara itu orang penting di PT tersebut," ujarnya.

Usai menerima telepon, kata Mhia, Naimullah mengatakan akan pergi ke PT tersebut, tapi selesai Salat Jumat. Anak Naimullah mengemukakan, ayahnya mendapat telepon dari seseorang yang mengaku bernama Amin. Namun apa yang diperbincangkan keduanya, sang anak tidak mengetahuinya.

Dalam berita Harian Akcaya edisi 28 Juli 1997, ada informasi yang mengatakan bahwa sebelum ditemukan tewas, Naimullah minum di kopi di Simpang Tiga Pasar Flamboyan. Seorang sumber mengatakan bahwa di warung itu Naimullah terlihat sedang berbincang dengan empat orang pria. Sepertinya yang dibicarakan sesuatu yang amat penting.

Sumber ini melihat seorang pria yang pergi dan pamitan terhadap keempat orang tersebut. Setelah seorang dari mereka pergi, Naimullah terlihat berjalan menuju sebuah mobil diikuti rekan-rekannya di warung kopi itu. Saksi tak tahu apakah mereka bersama-sama dalam satu mobil, atau memakai kendaraan masing-masing.

Dari sumber lain disebutkan bahwa sebelum ditemukan tewas, Naimullah bersama beberapa rekannya melakukan investigasi mengenai kasus tebangan liar, termasuk berusaha mencari cukong yang menjadi penadahnya. Hasil investigasinya soal pembalakan liar ini sering dibincangkan di warung kopi bersama rekannya.


Lokasi ditemukannya Naimullah di Pantai Penibungan, Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat. Foto: Dian Lestari

Sebelum Salat Jumat itu Naimullah dikabarkan hendak pergi sendirian menuju ke kawasan Wajok, untuk mengkoordinasikan temuannya dengan satu perusahaan yang dicurigainya sebagai penadah tebangan liar. Setelah memperoleh masukan dari rekan-rekannya di warung kopi Simpang Tiga, akhirnya ia berangkat sesudah Salat Jumat.

Di Wajok ada yang melihat mobil Naimullah berhenti di suatu perusahaan. Menjelang sore mobil yang ditumpangi itu terlihat berangkat menuju ke arah Mempawah. Selanjutnya mobil itu terlihat berbelok ke jalan menuju Pantai Penibungan. Setelah itu nasib Naimullah tidak diketahui lagi sampai akhirnya ditemukan tak bernyawa.
***

Polisi menyelidiki kasus pembunuhan Naimullah ini. Berdasarkan penjelasan polisi, seperti dimuat Harian Akcaya edisi 27 Juli 1997, Naimullah ditemukan tewas dalam mobilnya, Isuzu Panther Challenger dengan plat mobil KB 89 ER. Di belakang kepalanya terdapat bekas pukulan. Dari bekas luka di belakang kepala Naimullah, ada kecurigaan korban dipukul dari arah belakang dengan alat pembuka ban mobil. Dada kanan, pelipis lebam biru dan kedua kepalan tangan juga biru-biru.

Petugas piket kepolisian Mempawah mengatakan, mereka membuka kendaraan yang terkunci tersebut dengan kawat dan peralatan lain. Setelah berhasil dibuka baru ketahuan Naimullah sudah tak bernyawa. "Waktu kita periksa kondisinya sudah tak bernyawa. Banyak darah. Hanya saya tidak mengecek luka-lukanya di mana saja," ungkap seorang anggota piket kepolisian.

Jasad Naimullah langsung dibawa ke RS Dr. Rudini Mempawah untuk divisum. Sedangkan kendaraan KB 89 ER dibawa ke Mapolres Pontianak di Mempawah untuk dijadikan barang bukti. Beberapa petugas terkejut ketika mengenali wajah korban, Naimullah, yang sering datang ke Polres Mempawah untuk mencari berita. "Dari situ, kita lalu berpikir. Mungkin saja ada kaitan dengan penyelidikan atau pemberitaannya," kata seorang polisi.


Seorang mahasiswa sedang berada di makam Naimullah di Pontianak, Kalimantan Barat. Foto: Dian Lestari

Pada pemberitaan di Harian Akcaya edisi 29 Juli 1997, polisi menduga pembunuhan Naimullah itu sudah direncanakan sebelumnya. "Diperkirakan korban dibunuh di tempat lain, baru dibawa ke lokasi Pulau Penibung," ungkap Kapolres Pontianak, Letkol Pol Drs Ayoeb Soetrisno.

Kapolres mengatakan memang ada beberapa saksi mata yang melihat mobil Isuzu itu masuk pantai Penibung, Jumat sore sekitar pukul 18.45 WIB. Tak lama kemudian keluar empat orang berjalan kaki dari arah pantai ke jalan raya. Keempatnya sempat menunggu sebelum akhirnya datang mobil angkutan umum yang kemudian membawanya ke arah Taman Makam Pahlawan Putra Bangsa. Setelah itu mereka menghilang dari pandangan.

Tidak diketahui apakah di kawasan itu Naimullah dibunuh, ataukah kawasan tersebut hanya sebagai tempat pembuangan jasadnya. "Masalah itulah yang masih dalam penyelidikan kita. Sementara ini petunjuk lain belum ada," kata Kapolresta Pontianak Letkol Pol Ayub Sutrisno melalui Kasi Penum Polda Kalbar Kapten Pol. Drs. Suhadi SW.

"Kemungkinannya mereka sama-sama satu mobil ke Penibungan, dan empat orang tersebut pulang dengan angkutan umum," ungkap Kapolresta Pontianak. Dia menyebutkan bahwa di sekitar lokasi ditemukannya mayat Naimullah ada sejumlah barang bukti berupa minuman kaleng, termasuk bir kaleng, sebungkus sabun deterjen, dan kain lap.

Adalah Suhaini, saksi yang menemukan mayat Naimullah. Ditemui pada 11 April 2022 lalu, Ia menyatakan, selain bir juga ditemukan asbak di tempat kejadian perkara. Dia menduga polisi telah melakukan upaya pencocokan sidik jari yang ditemukan pada barang bukti. “Waktu pemanggilan kedua, polisi ambil sidik jari saye (saya). Abis itu tak ade lagi pemanggilan (Setelah itu tak dimintai lagi keterangan),” katanya.

Pada berita Harian Akcaya 2 Agustus 1997 ditulis bahwa seorang polisi menyatakan bahwa sejumlah saksi sudah diambil sidik jarinya. Namun belum ada sidik jari yang cocok dengan sidik jari yang ada di mobil Naimullah. Dua saksi mata warga Mempawah, Suhaini dan Buyung, yang mengaku sempat berpapasan dengan empat lelaki yang turun dari mobil Naimullah, juga diperiksa ulang dan diminta untuk mengingat kembali ciri-cirinya.

Ternyata ketika diminta untuk melihat wajah dan postur tubuh beberapa orang rekan Naimullah, kedua saksi mata mata tersebut tidak menemukan ciri yang sama dengan keempat pria yang diduga keluar dari Pantai Penibungan. “Kalau yang kami jumpai berpostur besar tinggi dan kekar. Kalau yang ada di sini rata-rata pendek dan kebanyakan kurus-kurus,” kata keduanya dengan logat Melayu yang kental.

Kedua saksi yang minta tidak disebutkan itu menuturkan, pada saat mereka berpapasan dengan keempat pria tersebut cuaca agak gelap. Sehingga agak sulit mengingat wajah orang-orang itu satu per satu. “Tapi kalau berjumpa, kami pasti masih ingat,” ujarnya. Dikatakan, saat berjumpa, keempat pria tersebut memperlihatkan sikap yang tidak terlalu tergesa-gesa.
***

Kasus pembunuhan Naimullah menyita perhatian publik. Gencarnya pemberitaan media menjadikan desakan tersendiri bagi Kapolda untuk segera mengungkap pelaku. Pada berita Harian Akcaya tanggal 29 Juli 1997, Kapolda Kalbar Kolonel Pol. H. Erwin Achmad menginstruksikan kepada seluruh jajarannya untuk saling back-up guna mengusut kasus pembunuhan Naimullah. "Kita tidak melihat apa latar belakang status dan profesi korban apakah wartawan atau siapa pun. Peristiwa pembunuhan itu termasuk masalah meresahkan masyarakat, maka saya minta diselesaikan secepatnya," kata dia.

Untuk mengungkapkan kasus pembunuhan Naimullah, Polda Kalbar melakukan gelar atau paparan hasil penyelidikan sementara. Kapolres Pontianak, Letkol Pol Ayub Sutrisno tiba di Pontianak untuk memberikan penjelasan tentang kerja anggotanya di Mempawah. Menyinggung dugaan kematian Naimullah ada kaitannya dengan kasus penebangan liar, dia mengatakan petunjuk tersebut akan ditampung dan dijadikan bahan penyelidikan. Begitu juga dengan petunjuk-petunjuk lain.

Pernyataan tentang keseriusan Kepolisian mengungkap kasus Naimullah terus bergulir pada pemberitaan Harian Akcaya tanggal 1 Agustus 1997. “Ini kasus yang serius. Karena itu secara serius pula," ujar Kapolda, Kolonel Pol.Drs. Erwin Achmad. Sekali lagi Kapolda menegaskan ucapannya. "Ini kasus serius. Pembunuhan banyak faktor penyebab pembantaian Naimullah”.

Saat ditanya soal motif pembunuhan, Kapolda belum bisa memastikannya. “Banyak sekali kemungkinannya. Ada orang yang sakit hati, benci atau menghendaki barang dia," katanya. Ditanya kemungkinan ada suatu perusahaan terlibat dalam kasus ini, Erwin Achmad mengatakan, "Mungkin, mungkin terjadi."

Tak lama kemudian terjadi pergantian Kapolda. Erwin Achmad digantikan oleh Kolonel Pol Drs Djuari Sis Ardianto. Dalam berita Harrian Akcaya tanggal 4 Agustus 1997, Gubernur Kalbar, H Aspar Aswin, menegaskan bahwa kasus pembunuhan Naimullah merupakan pekerjaan rumah bagi Kapolda baru. “Ini memang PR masa Kapolda lama yang belum sempat diselesaikan. Dan tentunya menjadi tanggung jawab Kapolda yang baru untuk mengungkapnya secara tuntas. Artinya, bagaimana pelaku pembunuhan ini dapat ditangkap,” kata Aswin, usai acara pisah sambut Kapolda Kalbar.

Kendati begitu Aswin menilai kasus ini bukanlah kasus yang mudah diungkapkan oleh jajaran Polda Kalbar. "Karena data-data ataupun indikasi- indikasi yang perlu diungkap itu agak sulit, kesaksian yang diberikan saksi belum banyak membantu untuk pengungkapan lebih lanjut," ujarnya. Untuk itu Aswin mengharapkan semua pihak terutama masyarakat luas dapat membantu mempercepat pengungkapan kasus ini. “Agar tidak menjadi preseden buruk di kemudian hari.”

Danrem 121 ABW Kolonel Inf. Erwin Sujono yang didampingi Dan Den POM ABRI Letkol Inf Davis kepada para wartawan menegaskan, belum ada indikasi keterlibatan oknum ABRI. “Bila ada oknum ABRI terlibat, ya ditindak sesuai hukum,” ujarnya. tegas Danrem seusai upacara serah terima Kapolda Kalbar. Ketika ditanya kemungkinan campur tangannya Korem mengenai kasus pembunuhan tersebut, ia mengatakan, “Itu tugas polisi, bukan wewenang kami.”

Proses hukum atas kasus pembunuhan Naimullah ini tidak jelas hingga kini. Pada 4 April 2022, AJI mengirimkan surat permintaan informasi soal kasus itu ke Polda Kalimantan Barat. Surat tersebut dibalas 6 April 2022, yang berisi keterangan bahwa Kadiv Humas Polda Kalbar masih melakukan koordinasi dengan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Kalbar terkait kasus pembunuhan Naimullah.

Kabid Humas Polda Kalimantan Barat, Kombes Raden Petit Wijaya, berjanji akan terus berupaya mencari berkas-berkas data tersebut. “Kita sudah mencari, tapi berkasnya belum ditemukan. Karena ini kasus lama, kemungkinan besar sulit untuk menemukan berkasnya. Diperkirakan berkas- berkasnya masih diketik secara manual. Jadi sulit untuk menemukannya karena tidak didokumentasikan secara digital,” katanya saat ditemui pada 1 Agustus 2022.

Raden menyatakan perlu waktu untuk mempelajari kasus ini lebih lanjut. Dia berdalih baru bertugas sekira tiga pekan sebagai Kabid Humas. Raden akan berkoordinasi dengan Polres Mempawah, dan mencari informasi kepada purnawirawan yang dulunya mengetahui kasus Naimullah. Ia berjanji akan memberi pernyataan resmi setelah mempelajari kasus. Namun ketika   dihubungi kembali pada 11 Agustus 2022 lalu, tak ada jawaban dari pihak Kepolisian.

Buyung menyayangkan polisi yang tak bisa mengungkap kasus ini. Dia mengingatkan bahwa keluarga Naimullah wajib mendapatkan keadilan. Di tengah trauma anak dan istri Naimullah, para pembunuhnya mungkin menjalani hidup dengan nyaman. Selain itu, pengungkapan kasus Naimullah sangat penting dalam menjamin keamanan jurnalis. “Kalau pembunuhan terhadap wartawan ini dibiarkan, kan nanti jadi preseden buruk,” ujarnya.

Ketua PWI Kalbar, Gusti Yusri, merupakan satu di antara beberapa jurnalis yang meliput kasus pembunuhan Naimullah. “Waktu itu saya redaktur di Harian Akcaya. Sewaktu hari ke-3 setelah ramai pemberitaan tentang penemuan mayat Naimullah, saya berinisiatif ke TKP. Saya kepingin tahu, makanya turun meliput ke lapangan,” ujarnya ketika ditemui pada 21 Maret 2022.

Kasus kematian Naimullah dimuat di Harian Akcaya. Foto: Dian Lestari

Yusri sangat prihatin dengan peristiwa yang menimpa Naimullah. Bersama teman-teman sejawatnya di PWI mereka menggelar doa bersama setelah beberapa hari kejadian. Dia mengakui terbersit kekhawatirannya bakal bernasib serupa dengan Naimullah. “Jurnalis lainnya juga bisa dibunuh jika mengungkap illegal logging. Waktu itu gencar pemberitaan illegal logging. Hampir tiap hari ada beritanya,” kata Yusri.

Tidak terungkapnya pembunuh Naimullah, menunjukkan kerentanan keselamatan jurnalis dalam menjalankan tugasnya sesuai Undang-undang Kebebasan Pers nomor 40 tahun 1999. Menurut Yusri mandegnya penyidikan pembunuhan Naimullah, menjadi catatan buruk bagi Kepolisian. “Kelihatan polisi kurang serius ungkap kasus,” tambahnya.
***

Meninggalnya Naimullah menjadi musibah beruntun yang harus dijalani Mhia. Hari kematian Naimullah tepat pada hari ke-42 meninggalnya ibu Mhia, Hajjah Maimunnah. Dia betul-betul kehilangan segalanya. Sepeninggal Naimullah, Mhia sekeluarga sering sakit-sakitan. Seperti anak keduanya, sakit panas. Sejak peristiwa kelam itu, Mhia dan anak-anaknya ketakutan ketika mendengar dering telepon. “Setelah kejadian, banyak yang meneror melalui telepon. Jadi saya putus telepon,” tutur Mhia saat ditemui pada 4 April 2022.

Setelah Naimullah dibunuh, kata Mhia, rumahnya dulu sering didatangi orang tak dikenal. Dia sengaja tak membukakan pintu. Kesedihan dan kepedihan akibat meninggalnya Naimullah, masih dirasakan Mhia dan anak- anaknya hingga kini. Mereka lebih memilih tak ingin lagi mengingat tragedi pembunuhan tersebut. “Tahun 2021, saya bakar kliping berita dan dokumen- dokumen tentang bapak. Untuk mengurangi sedih dan ingatan kasus dulu,” ujarnya,

Setiap momen yang mengingatkan tentang Naimullah, mendadak menghadirkan kesedihan di hati Mhia dan anak-anaknya. “Anak bungsu, yang keempat, pernah daftar tes polisi. Dia bilang kalau jadi polisi mau mengusut pelaku pembunuhan ayahnya,” katanya sembari meneteskan airmata. Ia lega karena anaknya tak lolos tes itu. Anak ketiganya pernah ingin ikut pelatihan jurnalistik. Mhia melarangnya dan mengatakan, “Cukup saya yang dihadapkan satu mayat.”

Kesedihan atas kehilangan suaminya belum sepenuhnya pergi. Usai menyeka air matanya Mhia menuturkan, sejak awal ia tak yakin polisi akan mengungkap kasus pembunuhan itu. “Saya bilang ke polisi, pasti kasus ini di-peti es-kan karena banyak yang terkait. Benar-benar di-peti-es-kan. Akhirnya hilang sendiri,” tuturnya. Kini Mhia dan anak-anaknya tak berani berharap kasus yang merenggut nyawa Naimullah bisa diungkap.
***


Wednesday, November 09, 2022

Rumah masa kecil Aristides Katoppo di Tomohon

Saya berkunjung ke rumah masa kecil wartawan Aristides Katoppo (1938-2019) di Tomohon siang ini. Aristides pindah ke Jakarta, sesudah lulus sekolah menengah, buat kuliah jurnalisme di Universitas Indonesia. 

Lulus jadi wartawan, sempat bekerja buat The New York Times pada era 1965, lantas ikut harian sore Sinar Harapan dan tabloid Mutiara, yang bagus sekali, dan ikut memimpin harian tersebut ketika dibredel rezim Soeharto pada 1986. 

Aristides lantas bergerak dalam penerbitan buku serta memimpin percetakan PT Sinar Kasih. Dia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen pada 1994 di Puncak, dekat Jakarta. Pada 1995, dia juga ikut bikin Institut Studi Arus Informasi. di Utan Kayu, Jakarta. 

Saya sering bertemu Aristides sejak 1988, ketika magang di PT Sinar Kasih bagian cetak, lantas kami duduk dalam beberapa organisasi bersamanya. 

Salah seorang kawan bersama kami adalah Goenawan Mohamad, editor majalah mingguan Tempo, yang mengajaknya ikut mendirikan Institut Arus Informasi. Goenawan juga mengajak saya bikin organisasi tersebut. Mereka kawan sebaya, berkenalan sejak 1968 ketika dapat undangan dari pemerintah Amerika Serikat datang ke Chicago guna meliput konvensi Partai Demokrat

Aristides memiliki sembilan saudara termasuk theolog-cum-feminis Marianne Katoppo dan Pericles Katoppo dari Lembaga Alkitab Indonesia di Jakarta. 

Ayah mereka Elvianus Katoppo, yang menempati rumah dinas milik Gereja Masehi Injili di Minahasa ini, adalah ahli bahasa Melayu, serta ikut menterjemahkan Bible ke bahasa Melayu. 

Kini rumah ini jadi kantor Bible Translation Center GMIM ke berbagai bahasa Minahasa. Rumah ini terbuat dari kayu, indah sekali, bisa lihat pegunungan sekitar Minahasa. Saya tak heran bahwa Aristides jadi pecinta #hiking ketika tinggal di Jakarta. 

Salah satu sahabatnya adalah Soe Hok Gie (1942-1969), yang ikut mendirikan Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala UI), dan meninggal di Gunung Semeru dalam usia 27 tahun. 

Goenawan menulis, Aristides dan Hok Gie punya watak yang mirip, sama-sama suka naik gunung, "Beda Tides dengan Hok-gie: ia bukan seorang puritan dalam kesenangan hidup. 'Hok-gie tak akan beristirahat untuk makan dan minum sebelum sampai puncak, saya akan lebih suka duduk berteduh dan menikmati bekal.'"

Mudah-mudahan rumah kayu dua tingkat ini tetap terpelihara, maupun ratusan rumah kayu lain di Tomohon. Rumah keluarga Katoppo ini bisa jadi awal gerakan buat memelihara ratusan rumah kayu di Minahasa, dan tentu saja, potensial jadi daya tarik pariwisata. 

Tuesday, November 01, 2022

A Papuan Human Rights Hero Has Died


Filep Karma Called for Papua Independence from Indonesia; Spent 11 Years in Prison

Andreas Harsono
Indonesia Researcher

Filep Karma, a prominent Papuan activist and former political prisoner, was found dead Monday on a beach in the Papuan city of Jayapura. He had been on a diving trip with his brother-in-law and nephew, and apparently went diving alone after his relatives left the trip early. Karma, a master diver with three decades’ experience, was found wearing his scuba diving suit.

His daughter Andrefina said he had died because of an “accident and drowning.”

I had met Karma in 2008 when I visited a Jayapura prison to interview political inmates. Karma was clearly the leader the other prisoners looked to for inspiration. He articulated his principles for the human rights and self-determination of the Papuan people. We quickly became friends, discussing and debating the human rights situation in Papua.

Filep Karma was born in 1959 in Jayapura, the capital of Indonesia’s Papua province. Karma told me his father educated him about the mistreatment of Indigenous Papuans under Indonesian rule.

In 1998, Karma organized a protest on Biak Island, calling for independence for Papua while raising the Morning Star flag, a symbol of independence banned by Indonesia’s government. Indonesia military forces violently broke up the protest. Karma was imprisoned, then released in 1999. In 2004, he organized another Morning Star protest following the killing of Theys Eluai, another pro-independence leader. The authorities tried and sentenced Karma to 15 years in prison for “treason.”

In 2010, Human Rights Watch published a report on political prisoners in Papua and the Moluccas Islands, launching a global campaign to release the prisoners. In 2011, Karma’s mother, Eklefina Noriwari, petitioned the United Nations Working Group on Arbitrary Detention for Karma’s release. The working group determined Karma’s detention had violated international law, and called on the Indonesian government release him. The authorities only released Karma in 2015.

After his release, Karma embraced a wider agenda of political activism. He spoke about human rights and environmental protection. He campaigned for the rights of minorities. He organized help for political prisoners’ families.

Karma’s humor, integrity, and moral courage was an inspiration to many people. His death is a huge loss, not only for Papuans, but for many people across Indonesia who have lost a human rights hero.

Tuesday, October 25, 2022

Mari Ulurkan Tangan buat LBH Jakarta

Pada Juni 2014
, saya diundang ke Amsterdam buat ikut acara Human Rights Watch soal penggalangan dana untuk kegiatan hak asasi manusia. Ini pertama kali saya diperkenalkan dengan World Giving Index. 

Charities Aid Foundation, sebuah organisasi London, membuat riset tahunan soal angka-angka amal tersebut. Saya dijelaskan berbagai indikator dan metodologi mereka. Intinya, mereka menghitung berapa banyak hibah yang diberikan berbagai organisasi maupun individu buat kegiatan amal. Sudah lebih dari satu dekade mereka bikin temuan tahunan.

Di Amsterdam, saya tak kaget ketika mengetahui Amerika Serikat adalah negara-bangsa yang paling banyak sumbangkan uang dan kerja buat amal, dari soal kelaparan sampai banjir, dari pendidikan sampai krisis iklim. Negara-negara Eropa –kecuali Inggris, Irlandia dan Belanda-- jauh di bawah Amerika. Namun saya diingatkan bahwa ada satu bangsa, yang angka-angkanya naik, dan akan cepat menyalip Amerika Serikat. 

Namanya Indonesia! 

Tak lama kemudian, Indonesia terbukti mendahului Amerika Serikat. Pada 2020, index Indonesia berada pada 69%, praktis sama dengan 68% pada 2021. Di seluruh dunia, Indonesia memiliki tingkat tertinggi soal sumbangan uang (84%) dan kerja (63%) pada 2021. Saya bangga sekali dengan kemurahan hati bangsa Indonesia. 

Persoalannya, penyebaran sumbangan ini kurang merata, terutama pada sektor hak asasi manusia. Ia lebih banyak pada sektor keagamaan serta bencana alam. 

Saya ingin sumbangan juga diarahkan buat para pekerja hak asasi manusia, dari bantuan hukum sampai lingkungan hidup. 

Salah satunya adalah Lembaga Bantuan Hukum Jakarta. Ini salah satu organisasi hak asasi manusia tertua di Indonesia. Ia didirikan pada 1971 oleh Adnan Buyung Nasution dan kawan-kawan. Gubernur Jakarta Ali Sadikit bukan saja mengesahkan tapi juga secara rutin beri bantuan keuangan dari anggaran pemerintah. 

Sejak 1970an, LBH Jakarta membela orang yang hak dirampas, terutama dari kalangan kurang mampu, termasuk menggugat Gubernur Sadikin karena perampasan lahan. Bang Ali ngomel tapi tetap dukung. Sebagai wartawan muda, saya sering meliput Bang Ali, kadang geli juga, lihat Bang Ali mengomel tapi uang tetap mengalir. Saya salut dengan Bang Ali. 


Kini sudah lima dekade LBH Jakarta berjalan, kerja mereka luar biasa, dari gugat privatisasi air bersih sampai perampasan lahan. LBH Jakarta juga gigih memperjuangkan kebebasan beragama dan kepercayaan. Dari diskriminasi terhadap minoritas Ahmadiyah sampai kesulitan gereja Kristen dapat izin. LBH Jakarta juga tak pandang bulu dalam bela warga, terlepas dari agama atau kepercayaan, orientasi seksual, gender, umur, suku dan sebagainya. 

Namun keuangan masih pas-pasan. Saya sering kepikiran kalau ingat gaji yang diterima para pengacara mereka. Mungkin sedikit tertolong karena mereka masih muda, tanggungan belum sebesar mereka yang sudah berkeluarga, yang lebih berumur. 

LBH Jakarta juga lebih banyak dapat bantuan dari organisasi donor, terutama luar Indonesia. Ini cukup memalukan bukan? Dimana kedermawanan warga Jakarta soal hak asasi manusia? 

Saya pribadi sumbang rutin, dengan memotong kartu kredit. Tak banyak jumlahnya, hanya Rp 500 ribu tiap bulan. Tapi alangkah baiknya bila ada setidaknya 1,000 orang yang mau sumbang Rp 500 ribu sebulan. Ia berarti dapat Rp 500 juta setiap bulan –cukup buat bayar ongkos dasar di LBH Jakarta: gaji, listrik, air serta transit. Lebih baik lagi bila ada 2,000 orang, 5,000 dan seterusnya. Lebih baik juga bila angkanya lebih dari Rp 500 ribu bukan?

Mari bersama ulurkan tangan buat LBH Jakarta. Mari arahkan kedermawanan bangsa Indonesia ke sektor hak asasi manusia juga. 

Andreas Harsono


Keterangan dari LBH Jakarta

Sumbangan rutin bisa email simpul@bantuanhukum.or.id, telepon 021-3145518, selular 0878-87217774. Bisa juga dikirim ke rekening LBH Jakarta: 
  • Bank BCA 3053005167
  • Bank BNI 0010740908
  • Bank BRI 033501001770306
  • Bank Mandiri 1230003006741

Wednesday, October 19, 2022

Wartawan Ronald P. Siahaan di Depok dan M. Husnie di Jakarta

JAKARTA (11 Oktober 2022) -- Guru SMAN2 Depok Mayesti Sitorus bersama Ronald P. Siahaan, wartawan LiraNews dan VanusNews.com, yang juga alumnus sekolah tersebut, bertemu di Depok hari Senin. Saya ikutan, makan siang bersama, serta merekam. 

Keduanya saling kenal sejak 2020. Mereka sama orang Batak, sama Kristen, sama tinggal di Depok. Sitorus sering curhat dan mengirim empat buah foto pada Siahaan pada 30 September soal keadaan yang kurang mengenakkan buat Sitorus di sekolah SMAN2 Depok.

Siahaan mantan wartawan Jurnal Nasional di Jakarta, biasa liputan hukum dan politik. Dia juga pernah kerja politik, ikutan kampanye pemenangan pemilihan umum buat pasangan SBY-JK pada 2004 serta SBY-Boediono pada 2009. Jurnal Nasional memang punya kedekatan dengan Susilo Bambang Yudhoyono. 

Pada 2009-2014, ketika Presiden Yudhoyono menjalani masa jabatan kedua, Siahaan bekerja buat legislator Ramadhan Pohan dari Partai Demokrat di Dewan Perwakilan Rakyat. Pohan, juga orang Batak, sebelumnya pemimpin redaksi Jurnal Nasional

Dia ikut mendirikan Lumbung Informasi Rakyat, perubahan dari Blora Center, organisasi yang dulu mendukung Yudhoyono. Lira lantas mendirikan LiraNews. 

Di Depok, sesudah curhat dari guru Sitorus, Ronald Siahaan lakukan liputan, cover both sides. Dia minta keterangan dari kepala sekolah Wawan Ridwan. Namun tak dijawab walau mereka sering komunikasi. Beritanya straight news muncul di kedua media online tersebut pada 5 Oktober serta jadi viral.

Varus News muncul duluan, judulnya, "Miris, Rohkris SMAN 2 Depok Alami Diskriminasi." Beberapa menit kemudian, Lira News, muncul, "Alami Diskriminasi, Siswa Rohkris SMAN 2 Depok Tak Boleh Pakai Ruang Kelas."

Berikutnya sangat rumit. Guru Sitorus membuat surat pernyataan bahwa semua pemberitaan media, tidak benar. Berita Lira News dan Varus News dibilang "hoax." 

Saya yang ikut tweet juga dibanjiri tuduhan sebarkan "hoax." Siahaan dan Sitorus cerita apa saja yang terjadi sehingga Sitorus berbalik. Siahaan membagikan semua WhatsApp, yang terkait berita tersebut, yang ada dalam telepon dia ke saya. 

Berita tersebut tentu saja bukan hoax. Ia dilakukan dengan liputan jurnalistik baku. Saya tanya pada Sitorus mengapa dia berubah posisi. Sitorus beberapa kali menyebut kata "main cantik." Ada kata Sitorus "dipindahkan" dari SMAN2 Depok. Rumit sekali. Dia ceritakan dengan panjang. 

Saya juga bertemu M. Husnie, wakil pemimpin redaksi LiraNews, yang menyunting berita dari Siahaan, serta memuatnya di LiraNews. Husnie adalah kawan lama Ronald P. Siahaan. Kami bertemu sambil makan siang di daerah Senayan, hari Selasa.

Husnie juga wartawan veteran. Karirnya dimulai dari Indonesian Press Photo Service (IPPOS) sebagai karyawan kamar gelap sejak 1987. Dia memang suka memotret. Dia lantas bekerja di harian Angkatan Bersenjata dan Berita Kota

Husnie cerita soal salah satu pengalaman paling menarik dalam karirnya: wawancara Hasan di Tiro dari Acheh/Sumatra National Liberation Front di Banda Aceh pada Oktober 2009, lima tahun sesudah perjanjian Helsinki. Dia diundang datang ke Banda Aceh, "buat makan dengan Wali Nanggroe Aceh." Dia berikan foto dia bersama Hasan di Tiro. 

Husnie punya pengalaman panjang soal tidak menghapus berita dari website. Dia terbiasa menerima tekanan. Dia berpendapat selama sebuah pemberitaan sudah dilakukan dengan prosedur benar, termasuk klarifikasi, sesudah terbit, dia takkan mau take down. Husnie berpendapat berita soal SMAN2 Depok sudah dilakukan dengan prosedur baku. 

LiraNews pernah diblokir oleh Kementerian Informasi dan Komunikasi karena sebuah pemberitaan tentang kepala polisi Jakarta. 

Senang bisa berjumpa dengan Ronald Siahaan dan M. Husnie. Kami punya banyak kenalan bersama. Saya juga jadi lebih mengerti berbagai tantangan dan kesulitan wartawan yang bekerja setiap hari, hampir tanpa henti, straight news. Husnie sembari ngobrol selalu memeriksa telepon, kadang lakukan editing

"Kami ini tidak bisa dibeli Bang!" kata Siahaan. 

"Tapi hidup wartawan kan selalu miskin. Sudah jadi idealisme wartawan."

Saya rasa keadaan Mayesti Sitorus sangat sulit, ibarat buah simalakama, imbasnya pada Siahaan, yang punya niat bantu menyalurkan curhat Sitorus. Saya belum sanggup menuliskannya. Ia memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang banyak. 

Saya hanya berharap keadaan membaik di SMAN2 Depok. #complicated


UPDATE

Pada 12 Oktober 2022, sehari sesudah pertemuan ini, Mayesti Sitorus bertemu dengan para pejabat Kementerian Pendidikan. Mereka bikin sebuah surat hasil pertemuan dimana pihak sekolah sepakat menyediakan ruang buat ibadah Kristen. Namun pertemuan tersebut juga, sekali lagi, menyebutkan tidak ada diskriminasi di SMAN2 Depok. Ada tandatangan Sitorus dalam surat tersebut. 

Friday, August 12, 2022

Yet Another Victim of Indonesia’s Blasphemy Law

Former Government Minister Faces Prison for Allegedly Insulting Buddhism

Entrance to the Borobudur Buddhist temple, built in the 9th century on Java Island, Indonesia. ©2022 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Andreas Harsono
Indonesia Researcher

Indonesia’s toxic blasphemy law has claimed another victim, this time a former government minister over a social media post deemed insulting to Buddhists.

The latest case started in June after the Indonesian government announced it would steeply increase the entry fee for the Borobudur temple in central Java. The Buddhist structure is one of Indonesia’s major tourist attractions, drawing more than four million visitors in 2019. Conservationists and government officials are increasingly worried about the number of visitors and see raising the entry fee as a way to limit the total.

On June 10, Roy Suryo, a former minister of youth and sports affairs, tweeted the picture of a Borobudur stupa whose image had been photoshopped to resemble President Joko Widodo. He received protests, including from Buddhist organizations, and soon deleted the tweet, apologizing and saying that he did not create the altered picture.

Kevin Wu, a leader of Dharmapala Nusantara, a Buddhist group in Jakarta, reported Suryo to the police for committing blasphemy against Buddhism. Jakarta police questioned Suryo three times and then charged him with violating the blasphemy law and the internet law. Police arrested him on August 5. If convicted, Suryo faces punishment of up to 11 years in prison.

The blasphemy law punishes deviations from the central tenets of Indonesia’s six officially recognized religions – Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism, Buddhism, and Confucianism – with up to five years in prison. It was only used in eight cases in its first four decades after President Soekarno signed it in 1965 but convictions spiked during the decade when President Susilo Bambang Yudhoyono, Roy Suryo’s boss, was in power from 2004 to 2014. President Widodo’s administration is drafting a new criminal code with a plan to keep the blasphemy law, albeit with the disturbing proviso of expanding the law to cover beliefs as well as religions.

Ironically, Roy Suryo has also used the blasphemy law against his political opponents. In February 2022, he filed a police report against Religious Affairs Minister Yaqut Cholil Qoumas for blasphemy, claiming Yaqut’s comparison of noisy mosques to barking dogs was an insult to Islam.

Roy Suryo’s arrest shows again that the blasphemy law is destructive and prone to misuse because it enables the “protection” of religion to be weaponized as a political tool. The Widodo administration should learn from these ugly cases and revoke the blasphemy law provisions.

Wednesday, July 20, 2022

Gado-gado dengan Margaret Scott


Makan gado-gado bersama Margaret Scott, seorang ahli Indonesia dari New York University, juga wartawan bulanan The New York Review of Books. Kami kenal pada 1997 ketika saya berkunjung ke New York. Sudah lebih dua dekade kami berteman. 

Bila berkunjung ke Jakarta, Margaret selalu mampir ke tempat saya, juga sebaliknya, bila saya ke New York, selalu diajaknya ngobrol di tempat yang unik. Kami juga kenal dengan keluarga masing-masing. Berjumpa dengan sahabat tentu membawa kebahagiaan.

Saturday, July 16, 2022

Seminggu di Kathmandu

Sebuah stupa Buddha di Gangala Marg, Kathmandu. Ia terletak dalam sebuah halaman dengan belasan rumah susun, arsitektur tradisional Newar. Penghuninya mungkin satu marga (clan). Perempuan ini memakai sari yang indah sekali. 

Saya berada di Kathmandu, Nepal, minggu ini, ikut pertemuan Human Rights Watch, sekaligus belajar sedikit soal negara kecil, yang diapit dua raksasa: Tiongkok (perbatasan dengan Tibet yang dicaplok Tiongkok pada 1949) dan India. 

Nepal dulunya kerajaan Hindu, berdiri 1768, namun dibongkar pada 2008, menjadi republik. Ia membuat Nepal kerajaan Hindu terakhir di dunia sebelum bubar. Rasanya perlu belajar dari Nepal, bagaimana sebuah negara agama dibubarkan jadi republik yang sekuler. Entah berapa kuat sekulerisme ini bisa bertahan?

Saya berjalan lihat kuil Hindu dan stupa Buddha. Buddha adalah minoritas terbesar di Nepal --etnik Sherpa dan Tibet-- namun saya lihat ada sinkretisme yang tak saling klaim. Kawin mawin dengan alamiah. 

Ia tentu terbantu dengan fakta bahwa Siddharta Gautama, pendiri Buddhisme, kelahiran Lumbini, sebuah kerajaan yang kini berada dalam negara Nepal, sekitar 500 tahun sebelum Masehi. Menarik sekali lihat perkembangan dua agama ini di Nepal.

Wednesday, July 13, 2022

Indonesian Islamic College Bans Magazine Reporting Sexual Abuse

Religious Affairs Minister Should Revoke Ban, Investigate Allegations

By Andreas Harsono

Students protest outside the Ambon administrative court on July 7, 2022, in support of Lintas magazine, which the State Islamic Institute in Ambon ordered closed in March. © 2022 Yolanda Agne


One would hope that an educational institution that learned of sexual assaults on campus would focus on holding perpetrators accountable and preventing further incidents rather than targeting the messenger. Not so the State Islamic Institute in Ambon (Institut Agama Islam Negeri Ambon, IAIN Ambon) in Indonesia’s Maluku province, which instead of recognizing and valuing a student magazine’s groundbreaking and thorough investigation, ordered its shutdown.

On March 14, when Lintas magazine reported on dozens of incidents of sexual violence on campus taking place between 2015 and 2021, the story unsurprisingly created an uproar. Lintas had spent 5 years investigating the story, interviewing 32 sexual violence survivors (27 female and 5 male students) as well as campus officials, including Zainal Abidin Rahawarin, the IAIN Ambon rector. The magazine identified 14 alleged perpetrators. Some of the victims, who were not named, detailed sexual assaults that took place during field research trips, on campus, or in lecturers’ offices and houses.

Five men who said they were relatives of one of the lecturers, whom Lintas alleged had asked a survivor to delete sexting messages, went to Lintas’ newsroom and assaulted two staff members, reporter M. Nurdin Kaisupy and designer Muh. Pebrianto.

Three days later, Rahawarin closed the student magazine, ordering campus security to seal the newsroom and seize all equipment, accusing its reporters and editors of “defaming IAIN Ambon.” He reported nine journalists to the police.

Asked to reveal the names of the victims and the alleged perpetrators, Yolanda Agne, Lintas’ chief editor, instead suggested that the campus set up a task force on sexual violence similar to what the Ministry of Religious Affairs, which is in charge of all Islamic schools and universities, had mandated by regulation in 2019. IAIN Ambon has so far not done so.

The magazine’s shutdown prompted more than two dozen journalists’ groups and student media outlets to protest, including Indonesia’s Alliance of Independent Journalists as well as local groups in Ambon.

The government’s religious affairs minister, Yaqut Cholil Qoumas, should take a hands-on approach to untangle this standoff. He should order the reopening of the Lintas newsroom and work with other state agencies to ensure an impartial and comprehensive investigation of the alleged sexual assaults.

Wednesday, May 25, 2022

Yayasan Ate Keleng belajar menulis

Saya
bersama Yayasan Ate Keleng selama empat hari di Sibolangit, sekitar dua jam dari Medan, mengajar kelas menulis, juga diskusi macam-macam, dari etnik Batak Karo sampai hak asasi manusia. 

Yusuf Tarigan, direktur eksekutif Yayasan Ate Keleng, berharap kelas ini bisa mendorong peserta buat "suka membaca dan menulis." Ada belasan peserta ikutan. 

Pengalaman tiga hari ini menyenangkan namun juga menyadarkan bahwa tantangannya besar sekali. Ia beda dengan kelas dengan pers mahasiswa, yang tentu sudah punya banyak anggota dengan pengalaman menulis jurnalistik. Ini juga beda dengan pengalaman saya mengajar di Pulau Jawa atau Pulau Sulawesi. Menariknya, makin hari makin banyak yang ikut di Sibolangit. 

Yayasan Ate Keleng --dalam bahasa Karo artinya "kasih sayang"-- terletak dalam area "Taman Jubileum 100 Tahun Gereja Batak Karo Protestan." Ini gereja suku, yang menganggap dirinya dimulai pada 1890, di Tanah Karo. 

Luas Taman Jubileum sekitar 50 hektar. Ada banyak penginapan buat retreat, panti sosial, rumah buat warga senior, bengkel perkayuan, tapi juga musium serta pepohonan yang tinggi. Suasana adem. Enak buat olahraga. 

Yayasan Ate Keleng milik Gereja Batak Karo Prostestan. Ia bergerak di bidang credit union dengan anggota sekitar 50,000 orang, namun soal advokasi di bidang sosial dan politik, terutama di Sumatra Utara. Orang bisa jadi anggota credit union, dari macam-macam latar belakang, tak harus anggota gereja. Kinerja di bidang perekonomian akar rumput sudah terbukti kuat buat organisasi ini. 

Gereja juga memiliki Bank Perkreditan Rakyat. Namanya, PT BPR Pijer Podi Kekelengen

Saya perhatikan mereka suka pakai bahasa Karo. Keputusan yang baik tentu walau bahasa Karo penuturnya sedikit. Bahasa Karo juga punya aksara Karo. Ia memiliki kesamaan dengan aksara Sumatra lain termasuk Pakpak, Simalungun, Mandailing, Batak Toba, Kerinci dan Lampung. 

Tulisan Karo terdiri dari 21 huruf. Namun beberapa orang bilang makin sedikit orang Karo yang bisa membaca, apalagi menulis, dalam aksara Karo. 

Di Jakarta, kata Karo yang saya kenal adalah istilah BPK. 

Babi Panggang Karo. 

Papan nama BPK bersebaran dari Sibolangit sampai Medan. Orang Karo sering bergurau bahwa banyak juga penjual Babi Panggang Karo dari Batak Toba. 

Saya diberitahu bahwa makanan khas Batak Toba adalah saksang. Ia masakan rebusan, yang gurih dan pedas, terbuat dari daging cincang babi atau anjing. Babi disingkat B2 (kata "babi" dengan dua huruf b) maka saksang, dalam bahasa Toba, disingkat B1 (kata anjing adalah biang, satu huruf b). 

"Di Karo kita sebut lomok-lomok," kata Yuni Sartika Ginting dari Yayasan Ate Keleng. 

Yusuf Tarigan mengatakan mereka hendak masuk ke era digital dengan website, media sosial dst. Ini memerlukan ketrampilan menulis thus juga bikin video dan audio.

Ini juga kesempatan saya baca buku, lihat kain tenun, pisau serta pedang, rumah adat serta lesung buat menumbuk biji-bijian. Ada musium Batak Karo dalam areal ini. 

Di Sibolangit, saya berkali-kali diberitahu bahwa suku Karo punya lima marga utama, disebut Merga Silima: Karo-karo, Ginting, Sembiring, Tarigan, Perangin-angin. Mereka masing-masing terdapat sub-sub merga. Dari kurator musium sampai sopir, dari penjual kopi sampai petani. Semuanya bisa cerita soal Merga Silima

Rosfinelly Tarigan dari musium juga mengajak saya lihat rumah adat. Cantik sekali. Kini saya jadi mengerti bukan saja kelima marga utama tapi turunan dari masing-masing marga serta fungsi dari disain rumah adat. 

Saya merasa berbesar hati melihat begitu banyak perempuan ikutan acara ini termasuk Ruth Sembiring Pandia, pendeta Batak Karo, yang dicalonkan menggantikan Tarigan pada 2024. Yuni Sartika Ginting setia dari awal sampai akhir, ibu seorang anak, bekerja keras buat Yayasan Ati Keleng.

Diskusinya, tentu saja, banyak soal hak perempuan, dari pendidikan buat anak dan perempuan, sampai kekerasan seksual terhadap perempuan. Saya menekankan kelas ini pada dua struktur penulisan; piramida terbalik dan feature. 

Namun saya juga dengar cerita-cerita soal begu --"hantu" dalam bahasa Karo. Dari cerita Tarigan yang mendoakan exorcism orang agar dikeluarkan dari "roh jahat" sampai Priska Tarigan yang cerita kakeknya, seorang pejuang 1945, "bisa menghilang" dan dia sendiri bisa lihat "bayangan hitam." 

Tiga malam saya tinggal disini, pagi jalan kaki, lantas ngopi dan diskusi. Selalu menekankan bahwa esensi jurnalisme adalah verifikasi. Sangat berkesan. 

Monday, May 23, 2022

Pelatihan Menulis di Sibolangit

Kursus tiga hari ini dirancang buat karyawan Yayasan Ate Keleng, Sibolangit, yang ingin belajar jurnalisme –lakukan wawancara, riset dan verifikasi—agar bisa menulis berita, feature, maupun mengisi buat website dan media sosial. 

Ia diharapkan membuat peserta sadar akan berbagai tantangan hukum menulis dengan etis, seyogyanya, juga tak berujung dengan persoalan hukum, termasuk dalam memakai WhatsApp, Twitter, Facebook, Instagram dan lainnya. 

Isinya enam sesi, dari pukul 9 sampai 14, serta satu sesi tanya jawab hari Rabu. Peserta diharapkan punya waktu buat mengendapkan materi belajar, dan mengerjakan pekerjaan rumah. Kursus ditekankan pada diskusi dalam kelas dan latihan.

INSTRUKTUR

Andreas Harsono, bekerja buat Human Rights Watch, ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen, Institut Studi Arus Informasi, serta Yayasan Pantau di Jakarta, anggota International Consortium of Investigative Journalists, ikut Nieman Fellowship di Universitas Harvard, ikut menyunting Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat serta menulis buku "Agama" Saya Adalah Jurnalisme serta Race, Islam and Power: Ethnic and Religious Violence in Post-Soeharto Indonesia.

SESI PERTAMA - Sepuluh Elemen Jurnalisme

Perkenalan, pembicaraan silabus dan membahas “Sepuluh Elemen Jurnalisme” dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel serta membandingkannya dengan praktik jurnalisme di Indonesia.


SESI KEDUA - Teknik Wawancara

Melihat teknik-teknik yang dikembangkan oleh International Center for Journalists. Peserta melakukan praktik wawancara di depan kelas. 

Bacaan: ”Ten Tips For Better Interview” dan “Bagaimana wawancara dengan pikiran terbuka?” Bila tertarik tahu lebih banyak soal teknik wawancara, bisa baca Manual dari Human Rights Watch soal liputan trauma.

Pekerjaan Rumah: Pulanglah ke rumah dan mewawancarai orang tua Anda. Rekamlah wawancara dgn telepon (video atau audio). Bagaimana proses kelahiran Anda serta tumbuh besar? Tanyakan apa suka dan duka dalam kehidupannya? Rekaman ini akan kita dengar sama-sama di kelas keesokan hari. Setiap peserta perlu fokus pada 5 menit rekaman saja. 

SESI KETIGA - Struktur Piramida Terbalik dan Feature

Bacaan: “Feature: Ibarat Menggoreng Telur Mata Sapi” dan “Menulis Siaran Pers dengan Piramida Terbalik.” Goenawan Mohamad dari majalah Tempo menulis opini yang sering dikutip orang pada 1986 berjudul, "The Death of Sukardal."

Pekerjaan Rumah: Buatlah sebuah siaran pers soal kegiatan Yayasan Ate Keleng dengan format piramida terbalik. Bila Anda mau, juga bisa bikin sebuah opini dengan format feature. Tema opini bebas tapi harus disandarkan pada wawancara dan riset. Pekerjaan rumah ini akan didiskusikan bersama besok. Maksimal 600 kata buat siaran pers, 800 kata buat feature. Bayangkan bahwa naskah ini akan dimuat di website Yayasan Ate Keleng atau Facebook pribadi masing-masing. 

SESI KEEMPAT - Pekerjaan Rumah 

Kita akan diskusi soal pekerjaan rumah tentang wawancara. Bila ada video, mohon siapkan slide projector.

SESI KELIMA - Perkakas Menulis

Tak ada hukum dalam menulis. Namun menulis punya perkakas, tepatnya 50 buah, terbagi dalam empat bagian besar.

Bacaan: Baca nasehat menulis dari Roy Peter Clark. Bila Anda biasa, atau sedang belajar menulis dalam bahasa Inggris, tidak rugi untuk membeli buku Writing Tools karya Clark. Alfian Hamzah dari majalah Pantau banyak memakai perkakas denga baik dalam laporan 2003 dari Aceh Barat, "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan."

SESI KEENAM - Pekerjaan Rumah

Kita akan diskusi soal pekerjaan rumah tentang siaran pers dan feature. 

SESI KETUJUH - Tanya Jawab

Silahkan membaca blog Andreas Harsono untuk tahu berbagai persoalan hak asasi manusia di Indonesia, termasuk kebebasan pers. Blog ini punya banyak informasi soal berbagai persoalan hukum soal pencemaran nama

Tuesday, April 19, 2022

Indonesia Military Finally Ends Abusive ‘Virginity Test’

Authorities Should Investigate Decades of Trauma Caused by Practice 

Andreas Harsono
Human Rights Watch
Indonesia Researcher 

Demonstrators protesting so-called “virginity tests” and sexual violence in Indonesian schools and universities during the Women's March rally in Jakarta, Indonesia, March 2020. © 2020 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Indonesia’s armed forces have finally ended all so-called “virginity tests” as part of the recruitment process for women. 

Last week, Indonesian armed forces spokesman Maj. Gen. Budiman announced that all three branches of the military – the Army, the Navy, and the Air Force – had “effectively ended virginity tests” for recruitment. 

The military’s first actions against this abusive practice began in June 2021 when then-Army Chief General Andika Perkasa issued an order to army commanders that female recruits should only be assessed on their ability to take part in physical training. 

He also ordered that the fiancées of male officers who applied for permission to get married no longer needed to get a medical check, including a “virginity test.” But despite the Army’s order, the military said in August 2021 that “virginity tests” were still the rule, implying that the Navy and possibly the Air Force were unwilling to follow the Army’s ban. 

This only changed after President Joko Widodo promoted Perkasa to commander overseeing all three forces in November. So-called “virginity testing” is a form of gender-based violence. It includes the invasive practice of an official inserting two fingers into the vagina to supposedly assess whether the woman has previously had sex. 

In November 2014, the World Health Organization issued guidelines that “there is no place for virginity (or ‘two-finger’) testing; it has no scientific validity.” 

Human Rights Watch in 2014 first exposed the use of “virginity tests” by Indonesian security forces, and while the Ministry of Home Affairs and the National Police ceased examinations, the government failed to effectively stop the practice by the military. 

The Indonesian government should investigate the decades of trauma this policy has wrought on women and provide support for those affected. This is important both for the military and the nation at large to understand the harm caused and prevent similar mistreatment in the future. Women seeking to join the country’s armed forces should not have to overcome discrimination and abuse to do so.