Sunday, November 30, 2008

Jonli Awalla's Tomb



An Indonesian policeman beat Jonli Awalla, a Miangas islander, to death in May 2005 over drinks. One year earlier, Awalla helped me reaching his island from Manado. I remember an afternoon drink that I had in his home. His death prompted the whole Miangas to fly a Filipino flag, protesting not only against the policeman but also showing their distaste toward Indonesia.

A Filipina scholar took this photo in March 2008, sending it electronically to me. I feel so sorry to Jonli Awalla. I remember our first encounter, four years ago, on a Manado-Miangas ship. He was a warm guy. He talked to me about his beloved island. He was the secretary of the island.

May Jonli rests in peace!

Related Stories
Miangas, Nationalism and Isolation
Warga Miangas Sempat Kibarkan Bendera Filipina
Blog Miangas

Saturday, November 29, 2008

Norman Played Puppets Inside Taxi

It was Sunday, May 22, 2005, when Norman and I were taking a taxi ride in Jakarta. He used his new gloves to play puppets, laughing and entertaining his old man. I recorded the scenes. It was one of our most memorable days. I love you Son.



Kebetulan mulai 28 November 2008, saya berlangganan Speedy Telkom di rumah. Model pemakaian internet pun akan berubah. Dulu senantiasa pakai sambungan telepon. Kini ada promosi Speedy. Harga relatif murah. Saya akan mulai memasang video dalam blog saya.

Anak-anak adalah objek video yang menarik. Ketika dulu masih punya kamera, saya sesekali merekam kegiatan anak saya. Norman suka menyanyi, main sandiwara, melawak. Saya merekamnya. Video Norman melawak dalam taxi ini saya rekam ketika Norman berumur delapan tahun.

Kamera saya dicuri orang dalam kereta api rute Jogjakarta-Solo. Saya akan menabung untuk bisa memiliki kamera lagi. Kelak blog ini akan berisi macam-macam video soal jurnalisme dan liputan-liputan saya.

Friday, November 28, 2008

Rumah Toko Para Kuli di Singapura


Suatu siang Oktober lalu, sesudah pertemuan dengan perusahaan buku di downtown Singapura, aku memutuskan makan siang di daerah Chinatown. Aku pernah diberitahu ada satu "ruko" dimana suasana Chinatown tempo doeloe dipajang apik. Aku ingin melihatnya.

Aku ambil taxi dan berhenti depan pagoda Hindu Tamil, Sri Mariamman Temple, yang didirikan pada 1827 oleh pengusaha Naraina Pillai. Ini salah satu kuil paling terkenal untuk pemujaan dewa Sri Mariamman. Pada 1819, Pillai tiba di Singapura bersama pendiri koloni ini, Thomas Raffles. Pillai mendirikan bisnis, menjadi kaya raya dan mendirikan kuil. Ia menjadi salah kuil paling menonjol di Singapura. Di sebelah kuil inilah terletak Pagoda Street, yang dianggap sebagai Chinatown di Singapura.

Dulunya, Pagoda Street dikenal sebagai sarang opium. Pada 1850an hingga 1880an, Pagoda Street dianggap sebagai tempat mencari kuli Cina. Setiap pagi, para kuli, lelaki maupun perempuan, duduk di Pagoda Street guna menanti para pencari kuli. Pada awal abad 20, berbagai macam rumah toko di sepanjang jalan ini, berubah jadi tempat kontrakan para kuli.

Aku sering membayangkan kontrakan pada buruh pabrik di daerah Palmerah dan Kebagusan pada 1990an ketika aku sering meliput isu perburuhan untuk The Jakarta Post. Kamar-kamarnya kecil. Satu kamar ditempati dua hingga empat orang. Bila sudah berkeluarga, ayah dan ibu campur anak-anak hidup satu kamar, lengkap dengan alat-alat masak mereka.

Agak sulit mencari musium kecil ini. Pagoda Street hari ini adalah jalan penuh dengan toko-toko penjual souvenir untuk turis. Aku harus tanya tiga kali. Keempat kalinya, malah sudah kelewatan, tanpa sadar sudah melewati musium ini dua kali. Ia terdiri dari bangunan tiga lantai. Aku membayar tiket dan menaiki lantai demi lantai Chinatown Heritage Center.

Mereka mencoba menghidupkan kembali suasana ruko dengan minta sumbangan barang-barang asli dari mereka yang pernah tinggal di Pagoda Street. Rantang, kursi, meja, dingklik, gantungan baju, kain, kompor, koper kulit asli buatan Fukian, mesin jahit Singer maupun macam-macam produk tahun 1920an hingga 1950an, diatur rapi, sedekat mungkin dengan situasi asli. Setiap kamar sempit juga diberi televisi yang menceritakan penghuni kamar tersebut pada periode tertentu. Setiap tingkat menceritakan periode berbeda dari Pagoda Street. Pelacuran, perjudian, organisasi rahasia maupun premanisme mewarnai kemiskinan di daerah ini.

Arsitektur ruko sepanjang Pagoda Street, serta berbagai daerah Chinatown sekitarnya, berasal dari Raffles Town Plan buatan 1822. Peraturan itu mensyaratkan materi yang harus dipakai membangun ruko maupun keharusan membangun trotoar dengan lebar lima kaki, sekitar 1.5 meter. Akibatnya, muncul terminologi "five-foot ways" atau jalanan-lima-kaki. Pada 1950an, Pagoda Street terkenal sebagai daerah pertokoan kain dan tukang jahit. Di musium, aku juga mengamati lantai satu yang dijadikan toko tukang jahit pada jam kerja --dan tempat tidur pada malam hari.

Senang bisa melihat musium yang secara jujur mencoba memajang sesuatu apa adanya. Konteks sejarah juga dibuat transparan. Aku rasakan hal sama dengan Penang Heritage Walk dimana turis diajak mengelilingi kota Penang serta melihat bangunan demi bangunan, lengkap dengan keterangan historis masing-masing. Aku juga pernah mengamati rumah-rumah dengan lingkaran biru di London. Artinya, lingkaran biru menerangkan siapa dan apa yang pernah terjadi pada bangunan tersebut. Aku membeli buku, beberapa souvenir dan maket Chinatown shophouse. Aku kira penting untuk Jakarta buat membuat label-label macam begini. Aku memutuskan makan siang bubur ikan asin, di kedai persis sebelah musium-cum-ruko tersebut.

Tuesday, November 25, 2008

Mendengar, Meliput dan Mencatat


Toto Santiko Budi dari Jiwa Foto Agency berbaik hati mengambil gambar saya ketika lagi meliput sidang pengadilan Jenderal Muchdi Purwopranjono di pengadilan negeri Jakarta Selatan. Saya senang melihat hasil jepretan ini.

Komentar saya, "Oh gini toh posisi aku kalo lagi ngeliput."

"Aku gendut banget. Udah pendek, gendut lagi!"

Saya agak capek berdiri. Saya duduk sambil mendengarkan keterangan saksi Suciwati, seorang aktivis hak asasi manusia, lewat pengeras suara. Banyak wartawan lain juga duduk mengelilingi pengeras suara.

Toto seorang fotografer muda yang penting untuk dicatat. Karya-karyanya pernah diterbitkan majalah Time, Stern dan DestinAsian serta harian The Australian dan Jakarta Globe serta Bloomberg News. Kini dia lagi ikut sanggar kerja Panna Institute of Photography dan World Press Photo Foundation. Ini salah satu lembaga pendidikan foto jurnalisme yang terbaik di Jakarta.

Saya sendiri sebenarnya lagi menunggu sidang pengadilan kasus pengasuhan anak saya, Norman Harsono, setiap Selasa atau Kamis, dua minggu sekali. Sidang ini sudah jalan sejak Januari dan belum selesai. Namun waktu menunggu sidang sering perlu waktu hingga empat dan lima jam. Terkadang hakim-hakimnya sibuk sidang lain atau mendadak dipanggil Mahkamah Agung. Sering kali pihak tergugat, mantan isteri saya, dan pengacaranya, yang terlambat.

Dampaknya, saya kenal banyak orang di pengadilan ini, dari hakim hingga panitera, dari tukang parkir hingga tukang jaga sepatu di musholla. Saya juga sering memakai waktu menunggu untuk meliput sidang-sidang yang menarik perhatian saya. Pendek kata, notes wartawan selalu tersedia di ransel, siap mencatat apapun yang menarik perhatian.

Sidang terhadap Jenderal Muchdi, tentu saja, menarik perhatian saya. Dia dituduh membunuh aktivis hak asasi manusia Munir dalam penerbangan Garuda Jakarta-Amsterdam. Sidang-sidangnya rame. Saya suka mencatat kaos-kaos yang dipakai para pendukung Muchdi maupun pendukung Munir. Suciwati ikut bersaksi untuk almarhum suaminya. Setiap kali ada keramean, saya duduk, mencatat, mendengar dan meliput. Toto tampaknya tertarik dan mengambil gambar ini.

Sunday, November 23, 2008

Kesibukan Baru, Riset Baru


Sejak Agustus lalu saya mundur dari manajemen Yayasan Pantau serta mendapatkan sebuah kontrak setahun untuk menasehati sebuah yayasan Jakarta. Tugasnya, membantu yayasan tersebut membuat sebuah program pendidikan jurnalisme. Saya melakukan riset, interview serta menulis sebuah proposal. I enjoy this work.

Tampaknya saya kembali ke habitat lama: riset, liputan dan penulisan. Bekerja dari rumah. Memandang jendela dari apartemen dan meluangkan waktu untuk antar-jemput Norman setiap hari. Saya menikmati bekerja dari rumah. Saya menikmati bekerja sendirian tanpa pusing dengan urusan manajemen.

Saya juga makin sibuk November ini ketika mendapat kontrak riset dan menulis dari sebuah organisasi di New York. Pekerjaannya sangat menantang. Anda tunggu deh tanggal mainnya. Saya lagi bikin liputan yang dahsyat. Mudah-mudahan awal tahun depan sudah terbit.

Pekerjaan jadi penasehat juga membuat saya harus merancang sebuah perpustakaan media, memikirkan macam-macam kuliah untuk wartawan serta mendisain struktur sebuah portal. Semuanya terkait jurnalisme dan wartawan. Kini diskusi dan rapat-rapat masih berjalan. Saya minta masukan dari banyak kenalan wartawan, dari Bill Kovach (Washington DC) hingga Goenawan Mohamad, dari Sheila Coronel (New York) hingga Endy Bayuni. Saya minta masukan lebih dari 20 wartawan. Mungkin sudah takdir untuk senantiasa mengurus wartawan.

Juga ada undangan seminar sana dan sini. Penang. Istambul. Semarang. Batam. Jakarta. Davao City. Pontianak. Sejauh permintaan tersebut tak tabrakan dengan jadwal kerja, saya usahakan untuk memenuhinya. Saya sulit untuk menghindar dari memenuhi permintaan mahasiswa atau wartawan. Ini semacam balas budi kepada guru-guru saya, yang selama ini sudah baik hati memberikan waktu dan ilmu mereka kepada saya.

Saya bekerja untuk Pantau selama delapan tahun sejak pulang dari Nieman Fellowship di Universitas Harvard. Kini saya punya waktu untuk mengerjakan isu-isu yang tak terkait langsung dengan jurnalisme. Kebebasan sipil. Hak asasi manusia. Saya juga bisa menemani orang-orang yang jadi korban kekuasaan negara. Saya juga lebih leluasa mengajar orang belajar menulis.

Secara finansial juga lebih nyaman. Ketika Barack Obama memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat, Sapariah dan saya meneken kredit kepemilikan apartemen dengan Bank Central Asia. Kami mulai menempati rumah baru kami pada 8 November 2008. Masih berantakan semua. Tiada gorden. Tiada meja tamu. Tiada kitchen set. Tiada sofa dan sebagainya. Namun hati rasanya tenang. Norman mendapatkan kamar yang lebih besar dari tempat kontrakan kami. Memandang dari jendela apartemen setiap pagi. Jakarta terpampang luas.

Monday, November 17, 2008

Pelatihan Narasi Pontianak


Pelatihan usai, kami pergi naik sampan di Sungai Kapuas, menyeberang dari pelabuhan Senghi ke daerah Beting guna melihat Masjid Jami' dan keraton Kadriah.
-- Foto-foto oleh Jessica Wuysang

Selama seminggu aku pergi melatih sebuah kelas penulisan narasi di Pontianak. Tribune Institute, sebuah NGO Pontianak, mengorganisasikan acara ini di Hotel Peony, Jalan Gajah Mada. Ada tiga orang dari Bonn, Jerman, juga ikutan. Jadinya, isi kelas beragam. Ada Melayu, Dayak, Tionghoa, Jerman maupun Flores.

Kelas ini diadakan dari 10 November hingga 14 November. Aku mengajar tunggal guna menghemat ongkos. Setiap sore, sesudah mengajar, rasanya badan remuk semua. Aku biasanya mencoba istirahat sebentar, mungkin satu jam. Lalu petang hari, aku gunakan untuk bertemu kenalan lama atau keluarga. Isteriku, Sapariah, orang Madura asli kelahiran Pontianak. Mertua dan ipar aku maupun keluarga besarnya tinggal di Pontianak. Jadi, cukup banyak yang harus ditemui.

Mereka mengadakan pelatihan ini sesudah membaca liputan aku Panasnya Pontianak, Panasnya Politik. Naskah itu tampaknya sempat dibicarakan banyak orang di Pontianak. Secara pribadi, aku merasa perang antar etnik di Kalimantan adalah bahan liputan penting. Sejak 1967, ketika ribuan orang Tionghoa dibantai oleh kekuatan Dayak dengan provokasi tentara Indonesia, kekerasan sudah menjadi bahasa sehari-hari di Kalimantan Barat. Pada 1997 dan 2000, puak Dayak dan Melayu masing-masing melakukan pemberishan orang Madura di daerah Sanggau Ledo dan Sambas.

Kamis, 14 November, guna menutup pelatihan ini, kami menuju Pelabuhan Senghi dan mejeng bareng. Kalau Anda perhatikan, di seberang Sungai Kapuas, terlihat keraton Kadriah. Ini keraton dari kesultanan Pontianak. Setiap kali berkunjung ke Pontianak, aku selalu menyempatkan diri melihat-lihat keraton ini. Kesultanan Pontianak didirikan penjelajah keturunan Hadramaut, Syarif Abdurrahman Alkadrie. Dia membangun keraton Kadriah pada tahun 1771.

Aku senang melihat antusiasme di kalangan wartawan Pontianak. Nur Iskandar dari Borneo Tribune menulis pelatihan ini di suratkabarnya. Nur Iskandar, Alexander Mering serta beberapa wartawan lain pernah mengikuti kursus ini di Jakarta. Mereka juga ramai-ramai bikin blog. Aku kira multiplier effect dari kursus ini cukup besar di Pontianak. Mungkin perlu dipikirkan membuat acara serupa di Singkawang, Ketapang dan Kapuas Hulu.


Related Links
Laptop in Memoriam oleh Alexander A. Mering
Jurnalisme Sastrawi oleh Budi Miank
Catatan Harian Pelatihan Narative Reporting oleh Johan Wahyudi
Narative Reporting untuk Pontianak oleh Nur Iskandar
"Sripta Manen Verba Volent" oleh Nur Iskandar
Narative Reporting untuk Pontianak (2) oleh Nur Iskandar
"Hati-hati Ini Daerah Perang" oleh Yusriadi

Saturday, November 01, 2008

Mereka Beri Label Apa Soal Aku?


Dalam perjalanan Jakarta-Penang kemarin, aku membaca buku Reporting Indonesia: The Jakarta Post Story 1983-2008 karya Bill Tarrant. Aku beli buku ini di toko buku Periplus di airport Cengkareng. Ternyata ada beberapa halaman dipakai untuk menerangkan dihentikannya aku dari harian The Jakarta Post pada November 1994.

Aku tak sangka masalah ini diangkat dalam buku pertama soal The Jakarta Post. Ceritanya tak banyak yang baru. Aku sudah menulisnya beberapa kali, termasuk di blog ini. Singkatnya, kontrak kerja aku tak diperpanjang pada akhir Oktober 1994 dengan tuduhan aku "wartawan partisan." Namun banyak orang percaya, termasuk Tarrant, pemberhentian itu terkait dengan kegiatan aku ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen. Organisasi ini didirikan karena banyak wartawan muda tak suka dengan pembredelan mingguan Detik, Editor dan Tempo empat bulan sebelumnya. Persatuan Wartawan Indonesia, organisasi yang dikuasai negara Indonesia, membela pembredelan dan mengeluarkan pernyataan "memahami" tindakan Presiden Soeharto dan Menteri Penerangan Harmoko. Wartawan-wartawan muda melawan. Banyak yang mengalami represi. Aku kehilangan pekerjaan. Bill Tarrant sendiri pernah bekerja sebagai editor The Jakarta Post. Kini dia bekerja di Reuters biro Singapura.

Menariknya, Tarrant menerangkan bahwa sesudah pemecatan, aku mengembangkan karir internasional serta menyebut aku sebagai "advocacy journalist." Debra Yatim, seorang alumnus The Jakarta Post lainnya, juga disebutnya sebagai "advocacy journalist."

Ada-ada saja. Inilah label terbaru yang aku terima. Dulu aku sudah diberi label "wartawan-cum-aktivis." Janet E. Steele pernah menulis kegiatan aku, membantu Goenawan Mohamad mengurus Institut Studi Arus Informasi, dalam buku Wars Within: The Story of Tempo an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia. Buntutnya, ada beberapa orang menganggap aku die hard activist yang "sok jadi wartawan."

Djunaini KS, pemimpin umum harian Equator di Pontianak, mengejekku sebagai "lebih Amerika dari orang Amerika." Label ini cukup sering muncul. Aku duga ia disebabkan, antara lain, upaya aku mempromosikan buku The Elements of Journalism karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Buku ini buku bermutu. Kovach juga mentor aku. Tapi begitulah. Muncul label "lebih Amerika dari orang Amerika."

Label yang mungkin lebih singkat adalah "author" atau "writer" atau "academic." Ada juga sebutan "bekas wartawan." Ada juga "investigative journalist." Beberapa kali aku meralat surat undangan atau panggilan dalam seminar sebagai "Dr. Andreas Harsono." Aku meralatnya dengan "Mr. Andreas Harsono" karena aku memang tak sekolah doktoral. Aku lulusan S-1 universitas kota kecil di bidang rekayasa elektronik.

Namun ada juga yang menggelikan. Orang-orang menyebut aku sebagai "pakar jurnalisme" atau "pengamat media." Aku geli dengan dua label ini karena aku belum pernah menulis buku serius soal media. Sudah beberapa kali aku mengirim email ke mailing list terbuka milik Yayasan Pantau soal kekeliruan ini. Tapi pengulangan tetap saja terjadi. Setiap kali keliru, setiap kali pula aku meralat. Lama-lama, aku capek dan memutuskan stop buat ralat.

Aku kira kita tampaknya tak bisa memilih label apa yang akan diberikan orang kepada kita.

Bill Tarrant menambah satu label baru.

Advocacy journalist, anyone?