Wednesday, April 25, 2007

Nasionalisme dan Jurnalisme



Dear Zen dan Firman,

Saya kira argumentasi saya hanya satu. Intinya, jurnalisme itu tak elok bila diupayakan kawin dengan nasionalisme. Tujuan jurnalisme adalah mencari kebenaran. Sedang tujuan nasionalisme adalah menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat. Hubungan antar masyarakat dunia hari ini resminya diatur berdasarkan prinsip nation-state.

Tujuan jurnalisme karenanya sering bertabrakan dengan kepentingan nasionalisme. Ia tak harus selalu bertabrakan tapi sering ia harus memberikan informasi yang mungkin tak menyenangkan buat masyarakatnya. Semboyan yang terkenal dari nasionalisme, "Right of wrong is my country" sering ditabrakkan dengan semboyan jurnalisme, "Right is right, wrong is wrong."

Saya menanggapi Zen karena isu nasionalisme dan jurnalisme ini lagi marak di Indonesia. Zen berupaya mengawinkan "jurnalisme" dan "nasionalisme" itu lewat penciptaan apa yang disebutnya "bapak wartawan indonesia." Tarman Azzam, ketua Persatuan Wartawan Indonesia, kini lagi sibuk minta "wartawan Indonesia harus membela NKRI." Tarman Azzam sebagai ketua PWI Jakarta termasuk pihak yang dulu ikut menyetujui pembredelan mingguan Tempo, Detik dan Editor. Tarman ikut menekan redaktur Jakarta agar tak mempekerjakan wartawan-wartawan Aliansi Jurnalis Independen.

Ini bukan isu baru. Wartawan kita sejak dulu sering diminta melayani kepentingan apa yang disebut "bangsa Indonesia." Saya anggap permintaaan Tarman dan kreatifitas Zen akan melemahkan semangat meningkatkan mutu jurnalisme di Indonesia, yang sudah tersandung-sandung selama beberapa dekade.

"Wartawan" adalah kata benda untuk orang yang menjalankan jurnalisme. Artinya, dia teoritis mau mencari kebenaran. "Indonesia" adalah nama sebuah proyek nasionalisme. Proyek ini belum final walau banyak orang, termasuk Tarman dan Zen, sama-sama menganggapnya final. Masih banyak orang di Republik Indonesia ini yang tidak atau kurang setuju dengan proyek ini. Dan "bapak" adalah title untuk seseorang yang melahirkan anak-anaknya.

Saya berpendapat campuran tiga kata ini dibuat, dengan segala hormat saya pada energi anak muda macam Zen, tanpa pemahaman yang kuat terhadap definisi jurnalisme dan nasionalisme. Zen lagi bermain-main menjadi seorang Muhammad Yamin (Sukarno's principal myth maker) yang mensubordinasikan sejarah untuk nasionalisme.

Coba deh browing internet dan carilah kalau ada gelar "father of american journalists" atau "le pere france reporters." Kalau ada, saya kira, ia juga merupakan hiburan saja. Ini sekedar perbandingan bahwa upaya mengawinkan jurnalisme dan nasionalisme akan bermasalah.

Ini akan memancing debat kusir atau upaya lain yang sama tak eloknya. Entah itu muncul dari sudut Acheh, Minahasa, Papua, Jawa, Tionghoa, Belanda atau lainnya. Setara dengan upaya ini adalah mengawinkan jurnalisme dengan agama lewat "jurnalisme Islami" atau agama apapun.

Saya sering geli melihat fenomena ini. Sayangnya, kegelian ini sering harus dibayar mahal lewat meningkatnya pertikaian antar kelompok masyarakat di negeri ini, yang sering berakhir dengan represi terhadap yang lebih lemah. Sayang bukan bila anak muda macam Zen ada di kubu pemikiran Tarman Azzam?

No comments: