Thursday, December 23, 2021

Perjalanan Ubud, Kuta dan Sanur

Kami sekeluarga pergi ke Bali dari Jember, sesudah menengok keluarga saya di Jember, mengunjungi Ubud, Kuta dan Sanur di Pulau Bali. Saya mencoba program work from Bali

Norman, anak saya, yang wartawan The Jakarta Post, kerja dari Canggu, dekat Denpasar. Dia langsung pergi ke Ubud dari Canggu. Saya manfaatkan kesempatan ini, menemui Norman, sekaligus bertemu dengan beberapa cendekiawan publik di Bali. 

Perjalanan dari Jawa ke Bali termasuk naik ferri Ketapang-Gilimanuk. Ia hanya 35 menit. Sopir Ahmad Nuroni Irwansyah, orang Madura dari Jember, punya pengalaman dan kenalan sepanjang Jember-Ketapang. Dia membuat pembelian tiket ferri maupun tes rapid antigen di Rogojampi, dekat pelabuhan Ketapang, berjalan cepat. Ini masa pandemi. Setiap orang harus jalani tes buat buktikan dia tak membawa virus ketika melintasi perbatasan. 

Di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, kami tak perlu antri, langsung masuk ke ferri. Di pelabuhan Gilimanuk, dia juga ngemel agar langsung keluar pelabuhan. Namun saya tak sangka bahwa route Gilimanuk-Negara-Tabanan-Mengwi-Ubud sangat lambat. Jarak 120 kilometer ditempuh empat jam. Rata-rata hanya 30 kilometer per jam padahal lalu lintas tak seramai biasa, kata Nuroni.

Namun saya pikir ada baiknya juga tidak ada jalan tol dalam route Gilimanuk-Denpasar. Saya tak bisa bayangkan kerusakan lingkungan, termasuk polusi udara dan suara, bila ada jalan tol di pulau sekecil dan sepadat Bali. Kemacetan akan makin parah. 

Di Ubud, kami menginap di Hotel Gana, persis depan Museum Arma di Jalan Pengosekan. Sapariah, isteri saya, memilih hotel ini. Ia hotel baru, buka Mei 2021, ketika masa pandemi. Ia hanya ada 15 kamar, milik orang Bali, disain khas tradisional Bali. Dalam hotel bahkan ada sawah dengan tanaman padi. Malam hari terdengar suara-suara serangga. Adem rasanya. Malam pertama, hanya ada empat kamar disewa termasuk dua kamar kami. 

Ubud adalah ibukota intelektual dan kesenian Bali. Ia bukan saja tempat dimana maestro I Gusti Nyoman Lempad bertemu seniman Walter Spies dari Jerman pada 1930an --era yang sering dielu-elukan soal Bali-- namun juga kerja sama yang berkembang menjadi magnet buat kegiatan seni dan intelektual di Pulau Bali. Spies dan Lempad termasuk pendiri Pita Maha, perkumpulan pelukis yang dibuat pada 1938 di Ubud. Pengaruh Pita Maha menyebar ke seluruh Bali dan memicu gerakan pembaruan kesenian Bali. 

Diana Darling, seorang penulis dan penterjemah Amerika, yang tiba di Bali sejak 1980 dan tinggal di Ubud, mengajak saya kongkow di Monsieur Spoon --cafe Perancis dengan croissant yang harum. Almarhum suaminya, John Darling, membuat film Lempad of Bali (1980). John juga salah satu penulis dari buku Lempad of Bali terbitan Museum Puri Lukisan (2015). Diana sendiri menulis novel The Painted Alphabet

Rio Helmi, fotografer kelahiran Jakarta, namun sudah bekerja di Bali sejak 1978, mengajak makan malam di Table Talk Ubud, sebuah restoran milik orang Bali. Saya mencicipi pork ribs yang lezat --sambil kepikiran berat badan. Rio memperkenalkan saya dengan berbagai foto yang diambilnya di Bali termasuk soal trance

Kami juga cerita soal almarhum Aristides Katoppo, redaktur Rio ketika kerja di mingguan Mutiara, yang meninggal September 2019. Katoppo saya kenal baik karena kami sama ikut mendirikan Institut Studi Arus Informasi di Jakarta pada 1995. 

Kadek Purnami, mantan manajer Ubud Writers' and Readers' Festival, cerita berbagai pengalaman, manis maupun pahit, selama 16 tahun ikut membangun festival. Lonely Planet, sebuah buku soal perjalanan global, rekomendasi orang untuk datang ke festival ini bila mau ke Indonesia. Ia diadakan setiap bulan Oktober. 

Janet de Neefe, ketika lihat Instagram saya duduk dengan Kadek, juga kirim pesan dan mengajak ketemuan. Maka saya pun jalan kaki ke Casa Luna, restoran dekat Puri Ubud, yang didirikan Janet dan suaminya Ketut Suardana. Mereka adalah penggagas Ubud Writers' and Readers' Festival. Senang bisa mengobrol dengan Janet. Dia banyak kenal orang. Dia juga pendengar yang sabar. 

Kami juga bertukar cerita soal keluarga kami. Janet baru pulang dari Melbourne, kota kelahirannya di Australia, dimana dia mengurus rumah orang tua. Mereka sudah meninggal, kini rumah disewakan. 

Setiap kali ke Ubud, saya juga selalu mengunjungi berbagai museum. Kali ini beruntung bisa bertemu Agung Rai, pemilik museum Arma, seluas tujuh hektar. Harian The Jakarta Post menjulukinya sebagai "guardian" (penjaga) kesenian Bali. Museum tentu sedang sepi karena pandemi. 

Bali sangat terpukul dengan pandemi karena pembatasan perjalanan global. Ketika saya berada di Bali, berbagai media mengutip dinas pariwisata Bali yang mengatakan Bali hanya kedatangan 45 turis internasional pada 2021. Bandingkan dengan kedatangan hampir 6.3 juta turis internasional pada 2019. 

Agung Rai cerita pengalaman dia, mulai dari penjual souvenir serta lukisan tradisional Bali, lantas jadi kolektor, serta membangun museum yang juga dilengkapi dengan kebun, sanggar lukis, hotel, galeri serta beberapa toko. Dia bangga bisa membeli dan memperbaiki sebuah lukisan Raden Saleh Bustaman asal Semarang (1811-1880) yang karirnya banyak dilakukan di Eropa abad 19. 

Uniknya, Agung Rai, dengan kain batik dan udeng, sering mengantar pengunjung museum, menerangkan lukisan satu demi satu. Dia bangga cerita bahwa dia masih tinggal di rumah warisan leluhurnya berdekatan dengan tetangga-tetangga yang juga beberapa generasi tinggal di sana. 

Saya punya kesan, Agung Rai ingin mengatakan bahwa dia hidup sederhana, tak memiliki keperlucan pribadi berlebihan, tenang dengan gaya hidupnya sendiri. Dia minum kopi bubuk biasa, walau dia tentu punya dompet tebal. Hitung saja harga ribuan lukisan di museum ini. Lebih mahal kopi saya daripada kopi yang diseduhnya sendiri. Ini agak bikin malu diri saya.

Suatu pagi saya juga jalan kaki ke sanggar musik Cudamani, salah satu kelompok musik yang berhasil membawa musik tradisional Bali ke pentas dunia. Saya suka dengan album "Bamboo to Bronze" mereka. Kini Cudamani dipimpin I Dewa Putu Berata. Cudamani artinya fokus. Ia juga berarti nama mata ketiga Dewa Syiwa.

Sanggar ini mengingatkan saya pada Colin McPhee (1900-1964), seorang komposer kelahiran Montreal, Kanada, yang lama tinggal di Bali dan belajar gamelan dari para seniman Bali. Dia bikin komposisi "Tabuh Tabuhan." McPhee datang ke Bali pada 1931. Kehadirannya menambah deretan seniman-seniman global yang mendapatkan inspirasi dari Bali. Coba dengarkan McPhee di Spotify. Saya suka putar komposisinya ketika sedang setir mobil sendirian. 

Bagus Ari Saputra, pemilik Gayatri Ubud, hotel boutique dekat Puri Ubud, mengundang makan malam dan diskusi. Ibunya orang Finlandia, ayahnya orang Bali. Saya dikenalkan oleh Sebastian Partogi, seorang penerjemah dan mantan wartawan The Jakarta Post. Tamunya, beberapa produser film, seniman dan aktivis. Diskusinya soal buku saya, Race, Islam and Power. Saputra sudah membaca buku tersebut. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menarik. Tak terasa hampir empat jam di Gayatri.

Norman terkejut melihat Ubud, sesudah dia sering tinggal di Canggu, "Ubud is empty. The only lively place is Pengosekan."

Sapariah jatuh cinta dengan kedai kopi Seniman di Jalan Sri Wedari. Kedai ini terkenal karena membuat lingkaran "Roda Rasa Kopi Indonesia." Flavor wheel ini diciptakan lewat konsultasi ribuan barista dan laboratorium kopi di Indonesia serta dilengkapi 36 acuan aroma serta 82 deskripsi sensoris. Mereka juga pakai botol bekas sebagai gelas yang dipotong agar ukuran cocok buat berbagai taningan kopi. Sapariah bisa ngopi dua kali dalam seminggu di Ubud. Kedai Seniman kelihatannya ramai sekali, tak terpengaruh pandemi. 

Dari Ubud kami pindah ke Kuta dan sempat mencicipi wine di Sababay Winery di Gianyar. Ayu Wulandari, pemandu Sababay, seorang perempuan Bali, menerangkan entah berapa abad, anggur buat sakramen Gereja Katolik di seluruh Indonesia didatangkan dari luar negeri. Padahal setiap bikin misa harus ada anggur. 

Kenapa? 

Perusahaan anggur sedikit sekali. Negeri tropis macam Indonesia sulit buat fermentasi buah anggur dengan suhu 5-10 Celcius. Tak berarti Indonesia tak punya gunung dan suhu dingin tapi tak ada sistem transportasi serta pekerja trampil dekat gunung bukan? 

Sababay mengubah keadaan. Mereka dapat sertifikat Konferensi Waligereja Indonesia pada 2018 buat produksi sacramental wine. Ia tak dijual kepada umum. Mereka pakai tangki stainless steel dgn mesin pendingin. Senang juga lihat teknologi baru buat bikin wine. Saya beberapa kali mencicipi wine di Eropa dan Amerika Serikat. Senang kini ada tujuan wisata wine tasting di Indonesia. 

Nama perusahaan diambil dari Teluk Saba (Saba Bay) yang terletak dekat winery ini. Sababay juga produksi wine jenis lain. Paling populer adalah Moscato, menurut Wulandari. Anggur mereka kebanyakan datang dari para petani Singaraja. 

Sababay juga menang beberapa penghargaan internasional dari produk mereka termasuk Moscato. Pembuat wine mereka adalah Nicolas Martin asal Perancis. Ini transfer teknologi yang penting. Saya senang Sababay bisa lakukan kerja di Bali.

Di Kuta, kami menginap di Risata Resort, yang pintu belakangnya  terletak sebelah Lippo Mall. Hotel luas dengan kebun hijau menggiurkan. Kamarnya ada lebih dari 140 namun hanya belasan yang terisi. Mereka terpukul dengan pandemi sehingga restoran harus tutup. Makan pagi diantar ke kamar. Sebagian karyawan dirumahkan. Malam hari, saya diberitahu hanya lima karyawan bertugas. Kasihan. 

Kami melihat bagaimana banjir melanda Kuta ketika hujan deras. Tampaknya pemerintah kabupaten Badung, yang mengatur Kuta, perlu bekerja lebih keras buat memperbaiki manajemen lingkungan hidup di Kuta. Trotoar tampaknya perlu diperlebar agar orang dimudahkan buat berjalan kaki. Bukan melulu motorisasi. Pemerintah Badung juga setidaknya perlu menertibkan pengendara sepeda motor dan mobil yang parkir di atas trotoar. Mereka merampas hak pejalan kaki dan bikin rumit usaha melindungi alam. 

Tidakkah motorisasi juga dilakukan di Pulau Jawa? Tentu saja. 

Pejalan kaki dan alat transportasi non-motor --sepeda, dokar, pedati, perahu, rakit dan lainnya-- maupun kereta api, yang punya kemampuan transit jauh lebih besar dari jalan tol dan motorisasi, tidak diperhatikan di Pulau Jawa. Ia menular ke seluruh Indonesia sejak 1970an. 

Saya sampai capek menulis soal bahaya motorisasi sejak 1990an. Motorisasi bikin kemacetan, polusi udara, polusi suara, serta tak menjawab keperluan transit masyarakat. Tapi Jawa kan Jawa. Ia tak diharapkan secantik dan secerdas Bali. Mungkin beban orang Bali untuk bisa sedikit membuat baik naluri buruk yang sering muncul dari pikiran-pikiran orang di Pulau Jawa, terutama Jakarta. Saya kecewa bila Bali tak mau mengatasi bahaya motorisasi.

Di Sanur, kami menginap di Sri Phala Resort, yang terletak dekat museum Le Mayeur di pinggir pantai. Museum yang cantik ini didirikan dengan rumah yang dibeli pelukis Adrien-Jean Le Mayeur (1880-1958) asal Belgia. 

Dia mulanya berpikir hanya tinggal delapan bulan di Sanur namun jatuh cinta pada Bali dan memutuskan tinggal di Bali seumur hidup. Pada 1935, Le Mayeur menikah dengan Ni Nyoman Polok, seorang penari legong cantik, yang juga sering jadi modelnya. Pameran-pameran lukisan Le Mayeur sukses di Singapura. Mereka membangun rumah dengan ukiran tradisional Bali. Ni Polok mengabadikan warisan suaminya dengan museum ini. 

Sayang, ada belasan lukisan sudah rusak termasuk karya yang dibuat dengan kain bagor dari zaman Jepang. Kayu-kayu juga ada yang keropos. Sapariah berpendapat, "Museum tepi pantai dan bersuhu panas mempercepat kerusakan lukisan. Ruang tempat lukisan panas, tak ada pendingin ruangan." 

Dinas kebudayaan Bali perlu segera memasang mesin pendingin serta memperbaiki kayu-kayu yang keropos di museum ini. Kami menghabiskan waktu hampir tiga jam berkeliling di rumah yang indah ini. Presiden Soekarno dan Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru pernah mendatangi rumah merangkap studio Le Mayeur. Saya bayangkan hari ini seandainya Presiden Joko Widodo atau Raja Filip Leopold Lodewijk Maria dari Belgia datang ke museum ini. Sayang, bila generasi yang akan datang tak bisa menikmati keindahan ini. 

Saat hari libur, saya juga menemani keluarga berenang dan bermain di Pantai Semawang. Diana, anak saya, bisa bermain di pantai sampai empat jam. Kulitnya terbakar tentu.

Ketika sedang ngopi di Infinity Coffee, Sanur, saya ditelepon Anton Muhajir dari media Bale Bengong. Dia sedang jogging di pinggir pantai Sanur. Maka jadilah kami mengobrol pinggir pantai. Anton wartawan lepas, blogger serta aktivis kritis dari Denpasar. Bale Bengong blog yang menarik sekali, sudah lebih satu dekade mencatat berbagai perubahan sosial di Bali. 

Saya tanya bila bekerja dari Bali, sebaiknya tinggal dimana. "Di rumah warga," jawabnya. Ini akan membuat pendatang lebih tahu Bali dari pikiran dan pandangan orang Bali. Jangan tinggal di villa atau hotel, katanya. Ia etalase pariwisata Bali. Saya kira nasehat yang baik. Ini mengingatkan saya pada seniman 1930an. Semuanya tinggal bersama masyarakat. Memang pariwisata belum sebesar sekarang.

Saya juga bertemu Rudolf Dethu, putra Bali yang mengelola Rumah Sanur Creative Hub, dengan kedai, panggung seni serta kantor dan penginapan kecil. Rudolf seorang penulis musik, aktivis pluralisme, pustakawan, disc jockey, dan event organizer, dan pernah mengatur manajemen dua band punk rock Bali, Superman Is Dead dan Navicula. 

Kami bicara soal meningkatnya intoleransi Indonesia, bukan saja di Jawa dan Sumatra, tapi juga Bali. Dethu kritis terhadap politisasi Hindu Dharma. Dia juga prihatin dengan ratusan aturan yang diskriminatif di Indonesia, atas nama syariah Islam, terhadap minoritas agama, gender dan seksualitas. 

Saya cerita laporan Human Rights Watch soal setidaknya 64 aturan wajib jilbab dari tingkat nasional sampai daerah di Indonesia. Aturan-aturan tersebut mengandung sanksi. Murid bisa dikurangi nilai atau di keluarkan dari sekolah negeri. Pegawai negeri, termasuk guru dan dosen, bisa dikeluarkan dari pekerjaan. Mereka menciptakan pelataran buat merundung anak dan perempuan Muslim buat berjilbab tanpa punya ruang dan waktu buat memilih dengan bebas. Di Indonesia, juga makin marak peraturan diskriminatif terhadap minoritas seksual, termasuk gay, lesbian, transgender dan seterusnya.

Dethu mencoba mendidik masyarakat dengan bikin toilet di Rumah Sanur lengkap logo seksualitas dan gender non-biner. Bukan hanya lelaki dan perempuan. Anda perhatikan logo dengan gambar tiga manusia tersebut. Juga logo disabilitas. Ini pertama kali buat saya menemukan toilet non-biner di Indonesia. 🌈

Saya senang bisa berkenalan dengan Dethu. Banyak cerita datang dari Dethu termasuk kriminalisasi terhadap musikus Jerinx dari Superman Is Dead. Saya akan sering mengajak kawan-kawan saya buat makan malam di Rumah Sanur. 

Kai Mata, penyanyi muda kelahiran Jakarta, juga menemui saya di kedai Over the Moon. Saya kagum dengan bakat musik, sikap kritis dan keberanian Kai. Dia dulu belajar di Jakarta International School, salah satu dari setidaknya 10 sekolah terbaik di Jakarta, lantas lulus dan kuliah di University of California, Davis, cuma 10 minggu. Cita-citanya jadi musikus.

Dia memutuskan keluar dari bangku kuliah, pergi ke Mesir, selama enam bulan, lantas enam bulan di India, berkat tabungan yang dikumpulkan di Jakarta serta hidup hemat.

Kai Mata memutuskan tinggal di Bali. Dia adalah seorang lesbian yang terbuka. Dia sering membawakan lagu dengan tema LGBTIQ. Lagunya yang paling terkenal, "Where Love Goes," baru saja tembus 2 juta pendengar di Spotify. Ini prestasi buat penyanyi umur 24 tahun. Diana, anak saya, bangga sekali bertemu Kai. Diana minta selfie. 

Di Sanur rugi bila tak makan sup kepala ikan dan ikan goreng di Mak Beng. Sapariah mengajak saya dua kali makan di Mak Beng. Rumah makan ini berdiri pada 1941 ketika zaman pendudukan Jepang. Sambalnya alamak! Sup diberi potongan mentimun. Segar sekali. Senang lihat bisnis keluarga ini sudah lewat tiga generasi. 

Bali selalu menawarkan kesegaran setiap kali saya datang berkunjung. Saya bukannya tak tahu dengan berbagai tantangan terhadap toleransi dan demokrasi di Bali --dari pembantaian 1965 sampai pelarangan organisasi Hare Krishna (legalnya bernama International Society for Krishna Consciousness). Namun saya kagum dengan perjuangan, dengan segala kesulitan serta tekanan, yang dihadapi orang-orang Bali --termasuk para pendatang macam generasi 1930an sampai Rio Helmi, Diana Darling, Anton Muhajir dan Kai Mata-- untuk berpikir dan bertindak buat kemanusiaan dan lingkungan hidup. 

Sebagai seseorang yang banyak meneliti dan menulis soal intoleransi dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia, saya kira kunjungan ke Bali tersebut --tidak sekedar sebagai turis-- menyegarkan saya, serta memberi tambahan energi buat tetap bekerja dan berjuang soal hak asasi manusia, termasuk perlindungan minoritas, serta lingkungan hidup di tahun yang akan datang. 

***












No comments: