Friday, November 24, 2017

Rebeka Harsono dengan Disabilitas Sosial dan Psikologi


Rebeka Harsono (baju hijau) dan Susanna Harsono (baju corak bunga) bersama mamanya, Metri W. Harsono, ketika hendak membawa Rebeka berlibur ke Jember pada Juli 2017. Ini dilakukan sesudah pemeriksaan psikiater di rumah sakit jiwa Grogol, Jakarta. 

Rebeka Harsono, adik saya, kini menjalani pengobatan gangguan jiwa. Selama bertahun-tahun dia menolak usul keluarga agar memeriksakan kesehatan jiwa. Dia bersedia pergi ke psikiater tahun ini. Diagnosa seorang psikiater mengatakan Rebeka memiliki schizophrenia paranoid. Dua psikiater lain setuju dengan paranoid namun belum pasti soal schizophrenia. Seorang dari mereka mengatakan bipolar.

Saudara kembarnya, Susanna Harsono, menjalani pengobatan schizophrenia paranoid sejak 1991 sesudah tak selesai kuliah di tiga perguruan tinggi di Malang, Manila dan Solo.

Rebeka sendiri lulusan sarjana ilmu politik dari Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) pada 1993 dan master Monash University (Melbourne) pada 2000. Dia sempat bekerja dengan sebuah lembaga swadaya masyarakat, membantu komunitas Cina Benteng di Tangerang.

Pada 2007, saya perhatikan wicaranya cepat sekali, sering tanpa titik, isinya sering tidak fokus, bisa bicara sendiri tanpa mendengarkan lawan bicara, mudah marah tanpa alasan, temperamental, campur aduk antara fiksi dan fakta. Dia mengaku kesulitan menulis buku soal diskriminasi terhadap perempuan Tionghoa. Dia punya data banyak namun sulit merangkai. Dia minta dibantu agar buku tersebut bisa selesai.

Saya perkenalkan Rebeka dengan kenalan saya, Basilius Triharyanto dari Yayasan Pantau, guna menyelesaikan buku Jalan Berliku Menjadi Orang Indonesia: Kisah Tujuh Perempuan Tionghoa Korban Diskriminasi. Basilius bersedia bantu Rebeka. Dia bekerja dengan kesabaran. Buku tersebut terbit pada 2008. Ia menolong Rebeka namun tak membuatnya stabil.

Pada 4 Juni 2011, Rebeka mendadak menyebarkan undangan pernikahan dengan seseorang yang disebutnya "Mark Housego" dari London. Dia belum pernah bertemu dengan orang tersebut. Hanya kenalan lewat internet.

Saya curiga penipuan. Rebeka menuduh saya menghalangi dia menikah.

Seseorang yang klaim sebagai pengacara Housego memakai alamat 221B Baker Street, London. Cukup lewat Google bisa diketahui ia adalah alamat dari Museum Sherlock Holmes --detektif dalam serial karya Arthur Conan Doyle.

Menjelang hari pernikahan, "Mark Housego" kirim email ke Rebeka dan minta dikirimi US$3,000 karena dompetnya dicopet di Beijing dalam perjalanan ke Jakarta. Saya menolak meminjamkan uang kepada Rebeka.

Rebeka lantas batalkan "pernikahan" dengan alasan "... pihak keluargaku tetap tdk setuju menikah terburu2 -begitu pengantin cowoknya datang."

Makin tahun makin banyak kelakuan error Rebeka. Saya menerima keluhan orang yang dibuat jengkel Rebeka. Mulai dari temannya sampai tetangga, mulai dari orang tua yang anak-anaknya dimaki sampai saleswoman yang dibuatnya jengkel.

Belasan karyawan di lingkungan saya tinggal dan bekerja juga mengeluh soal Rebeka. Entah mereka diomeli atau dibentak. Dia sering menuduh orang tak menghormatinya. Dia berpendapat dia layak "memberi nasehat" dan dihormati sebagai "orang tua." 

Ketika menginap di rumah kami, pernah dia mengusir seorang anak muda, tamu isteri saya, dari Ternate. Rebeka berpendapat anak muda ini "terlalu malam" bertamu ke rumah.

Rebeka juga delusional soal dapat pendanaan buat organisasinya. Selalu berkhayal akan ada dana. Dia suka mengirim macam-macam pesan lewat Whatsapp maupun Facebook soal lembaga swadaya masyarakat. Pekerjaannya morat-marit. Sejak 2013, dia sering minta uang kepada keluarga dengan janji akan dibayar "sesudah donor masuk."

Pada Juni 2014, isteri saya, Sapariah Saturi, dan saya mulai minta Rebeka berobat. Rebeka menolak buat pengobatan. Dia marah karena dituduh "gila." Pada 2015, dia dapat warisan dari orang tua kami (Papa meninggal dua tahun sebelumnya pada Juli 2013).

Rebeka Harsono sesudah rumahnya 
selesai renovasi di Cisauk, Tangerang.
Uang warisan sebagian "dipinjam" kawan dekatnya tanpa kepastian akan dikembalikan. Dia juga beli sedan Toyota, kredit dari bank, tapi dia tak bisa setir ... lalu di-Uber-kan. Sopirnya lari, menjual mobil. Kini jadi urusan polisi. Mobil tampaknya takkan kembali. Tanpa pekerjaan, kehilangan uang warisan, Rebeka makin hari makin kewalahan membayar kredit rumahnya di Cisauk. Kami juga mengetahui bahwa atap rumah bocor dan saluran air buntu.

Juni 2017, Mama kami, Metri Harsono, dan Susanna Harsono, datang dari Jember guna membujuk Rebeka memeriksakan kesehatan jiwanya. Singkatnya, Rebeka menerima tawaran dan bersedia menemui dokter di rumah sakit jiwa Grogol.

Ruth Ogetay, seorang ahli kesehatan masyarakat dan teman keluarga kami, mengantar Rebeka ke rumah sakit. Namun Rebeka tak cukup dengar opini seorang psikiater saja. Dia menemui dua psikiater lagi. Hasilnya sama: schizoprenia paranoid. Rebeka kadang menerima, kadang membantah. Dia kadang minum obat, kadang tak minum obat.

Kami sekeluarga menganggap ini cobaan buat kami. Kami berunding apa yang bisa dilakukan buat mengurangi kerusakan yang muncul. Mama berpendapat minimal rumahnya diperbaiki dulu.

Pada September 2017, sesudah Rebeka kembali dari Jember, Mama minta sebuah team tukang buat renovasi rumahnya. Saya kebetulan kenal dengan beberapa tukang. Mereka bersedia membantu renovasi dan menghadapi tingkah-laku Rebeka. Mama lakukan supervisi terhadap renovasi rumah. Kami harap renovasi rumah hingga rapi dan pengobatan bisa mengurangi khayalan maupun kengawuran isi pembicaraannya.

Dokter usul Rebeka diberi caregiver. 
Namun dokter mengusulkan agar Rebeka tak tinggal sendirian. Dia diminta ditemani caregiver --seseorang yang membantu dia minum obat maupun mengingatkan dia bila kumat. Ini cukup pelik karena kami sekeluarga tak ada yang bisa memberikan tumpangan. Rumah saya kecil hanya dua kamar. Adik-adik lain juga berhalangan. Tak ada satu pun dari kami yang bisa tinggal di rumahnya di Cisauk. Rebeka juga tak mau diminta kembali ke kota kelahirannya Jember.

Menariknya, Susanna yang sudah berobat sejak 1991, kini menjadi stabil, jarang mengamuk serta bisa bekerja merajut berbagai tas dan baju. Susanna banyak membantu mama kami bila sakit atau bepergian.

Saya tak bisa membayangkan tekanan dan kesulitan yang dihadapi Mama. Dia sering bilang dalam bahasa Jawa, "Sing waras ngalah." Kesulitan dengan dua anak kembarnya ini membuat saya menaruh perhatian besar pada persoalan kesehatan jiwa di Indonesia. Saya ikut membuat video, "Menangani Kesehatan Jiwa dengan Cara Dipasung."

Kasus ekstrim adalah orang dengan gangguan jiwa dipasung. Keluarga mereka capek dengan anggota keluarga yang punya gangguan jiwa. Kini ada lebih dari 57,000 orang dipasung di Indonesia karena ketiadaan pengobatan dan perawatan. Kami tentu menentang praktek tersebut.


Saya harap bila Anda dengar Rebeka bicara ngawur mohon tidak diladeni. Dia sering pelintiran sana dan sini, kadang dicampur dengan masalah agama dan ras, sulit mengukur derajat kepercayaan terhadap omongannya. Dia sering menyebut nama-nama, dari pejabat sampai aktivis, dari dosen sampai anggota keluarga, serta memakai nama-nama tersebut buat keperluannya. 

Mudah-mudahan pengobatan ini membantu kesehatan jiwanya. Mudah-mudahan dia mau tertib minum obat. Kami juga mendorong Rebeka buat pergi rawat inap di rumah sakit jiwa agar bisa mendapat pemantauan 24 jam. Bila pengobatan akurat dan tertib, dia bisa kembali "stabil" --walau tetap minum obat seumur hidup-- dan memanfaatkan pendidikan dan pengalamannya buat bekerja teratur.

Tuesday, November 07, 2017

Menjaga Kerukunan Agama, Menjaga Keutuhan Bangsa

Kesaksian di Mahkamah Konstitusi soal Ahmadiyah dan penodaan agama

Oleh Dr. Ahmad Najib Burhani


Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Yang Mulia Anggota Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Sidang Mahkamah Konstitusi yang berbahagia

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Pendahuluan

Dr. Ahmad Najib Burhani di
Mahkamah Konstitusi
Saya ingin menegaskan terlebih dahulu bahwa kekehadiran saya dalam sidang ini bukanlah untuk melakukan pembelaan terhadap Ahmadiyah. Saya bersedia hadir menjadi saksi ahli karena menginginkan pasal-pasal dalam UU No. 1/PNPS/1965 itu tidak disalahartikan dan disalahgunakan.

Kalaulah ada bagian yang menyangkut Ahmadiyah, yang saya lakukan bukan sebuah pembelaan, tapi menyampaikan apa yang saya tahu tentang komunitas keagamaan ini. Ada tiga hal utama yang ingin saya sampaikan di sini: 1) Beberapa kesalahpahaman kita tentang Ahmadiyah, 2) Pendefinisian penodaan agama dan ancaman diskriminasi terhadap berbagai kelompok agama, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, jika tidak ada penafsiran bersyarat beberapa pada dalam undang-undang aquo, dan 3) Memahami posisi minoritas agama.

Kesalah-pahaman dan Stereotype tentang Ahmadiyah

Majelis hakim yang mulia!

Saya sudah mengkaji dan meneliti tentang Ahmadiyah ini bukan hanya dalam hitungan hari atau minggu atau bulan, tapi sudah beberapa tahun. Paling tidak, sudah tujuh tahun secara serius saya mengkaji gerakan ini. Saya tidak hanya mendatangi satu lokasi tempat komunitas ini berada, tapi saya hadir di beberapa tempat: ke pusat Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Parung; desa Manis Lor, Kuningan, yang lebih dari separuh penduduknya adalah Ahmadi; Transito di Mataram, Nusa Tenggara Barat, tempat warga Ahmadiyah menjadi pengungsi selama lebih dari 10 tahun sejak rumah-rumah mereka dihancurkan; ke Pandeglang dan Cikeusik, tempat tiga anggota Ahmadiyah dibunuh; ke Bandung, Surabaya, Medan, Praya, Cirebon, dan beberapa tempat lain dimana Ahmadiyah menghadapi kesulitan menjalankan keyakinannya. Saya juga hadir pada jalsa salana (pertemuan tahunan) yang diadakan oleh Ahmadiyah Jakarta, Yogyakarta, dan Tangerang.

Di luar Indonesia, saya juga datang ke komunitas Ahmadiyah di Texas, Amerika Serikat; Manchester, Inggris; Jepang, dan Singapura. Terakhir, dan ini menjadi pengalaman yang sangat penting, saya ikut jalsa salana di Qadian, India, tempat kelahiran Ahmadiyah, dimana saya tinggal atau menginap di Dar al-Masih atau rumah Mirza Ghulam Ahmad selama 10 hari. Berdasarkan pengalaman itu, saya ingin menunjukkan beberapa hal yang kurang pas dalam pandangan kita selama ini terhadap Ahmadiyah, kesalahpahaman saya terutama, sebagai bagian dari umat Islam non-Ahmadiyah. Kesalahpahaman yang sering melahirkan prejudice dan tuduhan terhadap komunitas ini.

Pertama, tentang tuduhan ibadah haji Ahmadiyah.

Memang ada tempat-tempat tertentu di Qadian yang mendapat perlakuan khusus, atau katakanlan sebagai tempat suci (sacred space), seperti Minaratul Masih, Masjidil Aqsa, Masjid Mubarak, Bahishti Maqbarah, dan Darul Masih. Namun ketika membahas tentang tempat suci, orang sering menyalahartikan antara tempat suci dan tempat ibadah haji. Atau lebih jelasnya, terdapat sikap yang mendua dari sebagian kita umat Islam berkaitan dengan ibadah haji orang Ahmadiyah. Pada satu sisi, mereka sering dituduh memiliki tempat ibadah haji sendiri yang berbeda dari umat Islam lain, yaitu di Qadian, India. Namun pada sisi lain, ketika orang Ahmadiyah hendak melaksanakan rukun Islam kelima, berhaji ke Baitullah di Makkah, beberapa orang menghambat pendaftaran mereka.

Saya sudah hadir di tempat-tempat itu dan menyaksikan bahwa yang mereka lakukan bukanlah seperti bayangan orang bahwa mereka melakukan haji. Tidak ada ketentuan waktu untuk berkunjung, tidak ada ketentuan urutan beribadah, dan tidak ada ritual yang baku. Itu lebih mirip ziarah ke tempat suci, seperti ziarah ke makam Wali Songo dalam tradisi kita. Qadian memang menjadi salah satu tempat istimewa atau tempat yang perlu dikunjungi oleh jemaah Ahmadiyah. Sama halnya dengan pengikut Syiah melihat Qum dan Karbala sebagai tempat untuk melakukan ziarah spiritual. Qadian adalah tempat kelahiran Ahmadiyah, tempat terjadinya berbagai peristiwa penting dalam komunitas ini. Namun demikian, Qadian bukanlah tempat berhaji dan berkunjung ke tempat ini tidak dianggap sebagai ibadah pengganti haji.

Kedua, tentang kitab suci Ahmadiyah.

Ada beberapa buku yang beredar di sekitar kita yang menyebutkan bahwa kitab suci orang Ahmadiyah adalah Tazkirah, bukan Al-Qur’an. Saya sudah membaca buku-buku Ahmadiyah, tidak ada yang menyebutkan kitab sucinya adalah Tazkirah. Saya datang ke rumah-rumah dan masjid-masjid Ahmadiyah, yang saya temukan adalah Al-Qur’an, bukan Tazkirah. Saya datang ke perpustakaannya di Qadian yang ketika itu sedang ada penulisan mushhaf Al-Qur’an. Sekali lagi Al-Qur’an, bukan Tazkirah. Tentu saja ada beberapa individu yang memiliki Tazkirah dan beberapa kantor Ahmadiyah juga memiliki itu. Tapi itu bukan kitab suci. Sama seperti pembedaan antara tempat suci dan tempat ibadah haji di atas, perlu pula dibedakan makna “suci” dalam Tazkirah dan kitab suci Al-Qur’an. Itu tidak memiliki makna sama dan tidak berada pada level yang sama.

Ketiga, tentang keyakinan Ahmadiyah mengenai Mirza Ghulam Ahmad. Ini yang paling kontroversial.

Ketika saya di Qadian, kamar yang saya tempati berada di atas kamar yang dulu ditempati oleh Mirza Ghulam Ahmad. Bukan persis di atasnya, mungkin 10 meter sebelah utara dari kamar tempat lahir Ghulam Ahmad. Saya datang ke kamar tempat Ghulam Ahmad dilahirkan, kamar tempat ia sering berdoa, kamar tempatnya sering menghabiskan waktu untuk menulis. Saya ikut sholat di Masjid Mubarak dan Masjid al-Aqsa yang cukup keramat dan bersejarah bagi warga Ahmadiyah. Saya mengamati, apakah orang Ahmadiyah telah menempatkan Ghulam Ahmad lebih tinggi dari Nabi Muhammad? Apakah Ghulam Ahmad disanjung lebih tinggi dari Nabi Muhammad? Setahu saya, itu tidak terjadi. Sanjungan dan pujian yang dilakukan di tempat-tempat itu adalah kepada Nabi Muhammad.

Di pagi dan sore hari, saya sering duduk tak jauh dari makam Mirza Ghulam Ahmad. Selama berjam-jam dalam beberapa hari secara berturut-turut. Saya memperhatikan dan mengamati pengikut Ahmadiyah dari berbagai negara yang berkunjung ke tempat itu. Apakah ada yang aneh dari mereka? Apakah ada yang menyembah atau memuja berlebihan terhadap Mirza Ghulam Ahmad? Tidak ada yang mulia. Tidak ada pemujaan berlebihan. Tidak ada yang menangis keras-keras. Tidak ada yang mengambil tanah untuk jimat. Tidak ada yang menaruh bunga. Tidak ada yang melempar koin. Tidak seperti bayangan kita bahwa mereka memuja berlebihan terhadap Mirza Ghulam Ahmad. Bisa jadi, sikap orang Ahmadiyah ketika berkunjung ke makam Ghulam Ahmad tak ada apa-apanya dibanding dengan sikap orang NU ketika berkunjung ke makam Gus Dur di Jombang.

Majelis hakim yang mulia!

Saya menyaksikan sendiri bagaimana orang Ahmadiyah beribadah; dalam berpuasa dan menjalankan sholat. Sebagai orang yang separuh pendidikannya ditempuh di pesantren dan separuhnya dalam pendidikan Barat, saya merasa seperti orang sekuler di hadapan orang-orang Ahmadiyah. Saya tidak bisa menonjol-nonjolkan, melebih-lebihkan atau mengurangi tentang Ahmadiyah. Sebagai peneliti, saya memiliki kode etik untuk tidak berbohong dalam melakukan penelitian dan menyampaikan hasilnya. Saya bisa saja salah, namun saya tak boleh berbohong.
Pendefinisian Penodaan Agama dan Diskriminasi

Majelis hakim yang mulia!

Saya belajar tentang berbagai Undang-Undang terkait HAM (Hak Asasi Manusia), Deklarasi Universal HAM, Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, tentang kebebasan beragama, dan sebagainya. Sudah 13 tahun saya menjadi pelajar dan peneliti di beberapa negara; di Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Jepang, dan sekarang di Singapura. Saya sudah menulis sejumlah makalah tentang Ahmadiyah yang terbit di berbagai jurnal internasional ternama, termasuk yang terkait teologi atau akidah Ahmadiyah yang sering diperdebatkan dan juga terkait berbagai fatwa tentang Ahmadiyah. Tapi untuk kali ini, saya tinggalkan itu semua. Saya berharap kita berbicara dengan hati, bukan mencoba untuk saling mengalahkan. Saya sudah agak lelah dengan perdebatan teologis itu. Saya ingin mengetuk hati saya sendiri sebagai bagian dari mayoritas umat Islam Indonesia.

Saya juga sudah menulis makalah tentang ketertiban umum dan penodaan agama dengan logika dan argumen-argumen akademis yang cukup detail. Sekali lagi, kali ini ini saya ingin meninggalkan itu semua. Jika bapak-ibu tertarik membacanya, silahkan meminta ke pengacara. Saya sudah menyerahkan kepadanya. Untuk sementara saya hanya ingin mengetuk hati saya sendiri dan mengajak kita semua kembali ke hati, sebagai manusia, sebagai umat yang bersaudara, dan kemudian merenungkan apa dan siapa yang benar-benar menghina agama.

Ada beberapa hal yang sering disebut sebagai penodaan atau penistaan agama. Ketika sebuah koran di Denmark, Jyllands-Posten, memuat kartun-kartun tentang Nabi Muhammad pada 30 September 2005, orang menyebutkan itu sebagai pelecehan agama. Demikian juga dengan koran Perancis Charlie Hebdo yang sering memuat poster dan kartun anti-agama. Geert Wilders dari Belanda dengan film Fitna-nya juga memberikan eksplorasi dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang berbeda dari penafsiran umumnya. Di Indonesia, kelahiran undang-undang ini juga terkait dengan kegiatan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang anti- agama dan merongrong kepercayaan kita kepada Tuhan.

Apakah kita hendak menyamakan apa yang dilakukan oleh Ahmadiyah dengan itu semua? Saya tidak tega jika kita hendak melakukan itu.

Perbedaan penafsiran tidak bisa dimaknai sebagai penodaan. Jika tidak diberi penafsiran bersyarat, maka pasal ini bukan hanya mengenai Ahmadiyah, tapi juga kelompok agama lain. Bulan lalu (Oktober 2017), terdapat pelarangan pendirian masjid dan bahkan pembakaran tiang Masjid At-Taqwa Samalanga, Bireun, Aceh. Ini bukan Masjid Ahmadiyah, tapi Muhammadiyah.

Mengapa? Karena Muhammadiyah di sana dianggap memiliki pandangan keagamaan yang berbeda dari masyarakat. Muhammadiyah dianggap bukan Ahlussunnah Waljamaah. Itu yang tertulis resmi dari pihak-pihak berwenang di Aceh. Muhammadiyah dituduh Wahabi yang menyimpang dari keyakinan pada umumnya.

Mari kita bayangkan, jika ada kelompok yang tidak toleran terhadap slametan dan tradisi keagamaan yang selama ini dipraktekkan oleh kelompok NU, lantas tiba-tiba kelompok ini berkuasa di negeri ini, maka NU akan dianggap sesat, melakukan penafsiran agama yang menyimpang dari Islam. Kelompok seperti ini benar-benar ada, bukan hanya dalam imajinasi kita, tapi berada di tengah-tengah masyarakat kita. Keberadaan mereka bukan khayalan semata. Mereka ini aktif berteriak-teriak. Maka bangunan keagamaan kita bisa runtuh dengan sikap mereka, dengan bersenjatakan pasal-pasal ini. Ada kelompok agama di Jawa Tengah yang sangat benci terhadap NU dan bahkan berkali-kali menuduhnya sesat. Bukan di abad lampau, tapi saat ini. Jika kelompok ini atau yang seperti ini menjadi bagian dari penguasa, maka dengan menggunakan pasal-pasal dari undang-undang ini mereka bisa menuduh NU telah melakukan penodaan agama.

Dua orang saksi fakta dari Ahmadiyah, Dedi (Cianjur) dan Fati (Kendal), duduk di samping Dr. Ahmad Najib Burhani, hari bersamaan di Mahkamah Konstitusi. 

Penutup

Majelis hakim yang mulia!

Saya bagian dari bapak dan ibu semua. Saya lahir dan besar dalam lingkungan NU, dari orang tua yang merupakan kiai kampung, yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk mengajar Islam di kampung. Saya mengikuti pendidikan agama di madrasah dan pesantren sejak TK hingga Madrasah Aliyah atau SMA. Ketika kuliah S1 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya mulai menjadi aktivis Muhammadiyah dan sekarang merupakan wakil ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah. Model keberagamaan saya adalah bagian dari yang bapak dan ibu ikuti. Saya adalah bagian dari kelompok mainstream di Indonesia. Tapi mari kita, sebentar saja, merasakan menjadi Ahmadi, yang ingin diperbolehkan beribadah dan menundukkan diri kepada Allah.

Dalam pengadilan-pengadilan, kita sering disuguhi dengan berbagai argumen yang pelik dan brilian, namun ada sesuatu yang kadang terlewatkan, yaitu hati kita. Dalam salah satu sabdanya, Nabi Muhammad menganjurkan pengikutnya untuk meminta fatwa atau keputusan kepada hati, istafti qalbak. Tidak banyak yang dituntut oleh Ahmadiyah, mereka hanya minta untuk diperbolehkan beribadah sesuai dengan keyakinannya. Mereka ingin menyembah dan memuja Allah di rumah mereka. Apakah kita tega melarang itu? Terus-terang, jika ternyata Ahmadiyah itu sesat, maka tidak usah dilarangpun mereka akan hancur sendiri. Tanpa SKB atau regulasi lain, Ahmadiyah pasti ditinggalkan orang, jika ternyata kelompok ini memang
sesat. Ahmadiyah hanya menuntut bisa berdoa di tempat ibadahnya. Karena itu yang mulia, mohon berikan tafsir konstitusional bersyarat terhadap pasal 1, 2, dan 3 dalam UU No. 1/PNPS/1965. Mohon berikan penafsiran konstitusional bersyarat seperti yang diminta oleh para pemohon.

Jakarta, 6 November 2017