Friday, March 08, 2024

"Andreas Harsono is not well known to the public but he is very well known among a small network of human rights activists, dissident scholars, Indonesian journalists, and foreign correspondents. He is often the fixer behind their stories – unacknowledged, unassuming, unselfish. Now he has shown just what a superb chronicler he is in his own right."

Clinton Fernandes of University of New South Wales University
on Andreas Harsono's book Race, Islam and Power


Andreas Harsono meliput dampak dari tsunami 2014 di Aceh. Ombak raksasa tersebut membunuh lebih 100,000 orang dan mengakhiri perang selama tiga dekade antara Gerakan Acheh Merdeka dan Indonesia lewat perjanjian damai Helsinki pada Agustus 2015. ©Hotli Simanjuntak

Media dan Jurnalisme

Majalah Pantau
Saya bekerja sebagai wartawan The Jakarta Post, The Nation (Bangkok) dan The Star (Kuala Lumpur) serta majalah Pantau (Jakarta) soal media dan jurnalisme.

Sejak umur 20 tahun, saya suka menulis soal jurnalisme, mulai dari sejarah sebuah majalah mahasiswa di Salatiga sampai kebebasan pers di Asia Tenggara. Bill Kovach, guru jurnalisme, mendidik saya buat menjadi wartawan yang lebih baik ketika belajar di Universitas Harvard. Ini membuat saya suka buat berbagi pengalaman dan ilmu, dari etika sampai liputan.

Buku dan Laporan

Monash University Publishing 2019
Saya menerbitkan dua antologi –Jurnalisme Sastrawi (2005) bersama Budi Setiyono dan “Agama” Saya Adalah Jurnalisme (2011)—serta beberapa laporan termasuk Prosecuting Political Aspiration: Indonesia’s Political Prisoners (2010), In Religion’s Name: Abuses Against Religious Minorities in Indonesia (2013) serta "I Wanted to Run Away": Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia (2021). Pada 2019, buku Race, Islam and Power terbit.
 

Hak Asasi Manusia

Filep Karma
Sejak 2008, saya bekerja sebagai peneliti buat Human Rights Watch. Ia membuat saya banyak menulis soal diskriminasi terhadap minoritas agama di Indonesia: minoritas dalam Islam termasuk Ahmadiyah dan Syiah; minoritas non-Islam termasuk Protestan, Katholik, Buddha, Hindu dan Khong Hu Chu; minoritas agama kecil maupun agama baru macam Millah Abraham. Minoritas gender --termasuk perempuan serta LGBTIQ (lesbian, gay, bisexual, transgender, intersex, queer)-- juga sering saya bahas. Secara geografis saya juga banyak menulis minoritas etnik macam Aceh, Kalimantan, Jawa, Maluku, Timor serta Papua.

Perjalanan

Chiang Mai 2018
Saya pernah jalan dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote, lebih dari 80 lokasi, selama tiga tahun. Saya menulis tempat menarik. Saya juga sering menulis perjalanan di negeri jauh, dari Eropa sampai Amerika, praktis berbagai kota besar di Asia Tenggara. 

Cerita

Glodok, Jakarta 2019
Ini soal pengalaman hidup, dari kegembiraan sampai kesedihan, dari kawan sampai adik. Saya selalu tinggal di Pulau Jawa --Jember, Lawang, Malang, Salatiga, dan Jakarta-- namun pernah bermukim di Phnom Penh dan Cambridge. Kedua anak saya lahir di Jakarta. Isteri saya, Sapariah Saturi, kelahiran Pontianak, pindah ke Jakarta kerja. Saya sering mengunjungi New York. Mungkin kawan saya di luar Indonesia, paling banyak di New York. 

Wednesday, March 06, 2024

Indonesia Resmi Pakai Istilah Indonesia untuk ‘Yesus Kristus’

Perubahan Seyogyanya Jadi Batu Loncatan bagi Reformasi Kebebasan Beragama

Jemaat Huria Kristen Batak Protestan, yang berusaha mendapatkan izin mendirikan bangunan sejak tahun 2018, mengadakan kebaktian di gereja sementara mereka di Cilebut Barat, Bogor. Gereja tersebut menggunakan istilah “Yesus Kristus” seperti kebanyakan umat Kristen di Indonesia. © 2022 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Andreas Harsono
Indonesia Researcher

Tahun ini, untuk pertama kalinya sejak tahun 1953, umat Kristen di Indonesia dapat secara resmi menggunakan terminologi bahasa Indonesia untuk Yesus Kristus, saat mereka merayakan hari raya kekristenan: Jumat Agung, Minggu Paskah, dan Natal. Ini sebuah kemenangan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, dengan pemerintah tidak lagi memaksakan penggunaan istilah Arab, Isa al Masih, untuk Yesus Kristus pada perayaan hari raya, yang telah dijalankan selama tujuh dasawarsa.

Perubahan ini terjadi pada bulan Januari, ketika sebuah surat keputusan bersama ditandatangani tiga menteri: Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas, dan Menteri Agama Yaqut Cholil Quomas. Presiden Joko Widodo memperkuat perubahan ini ketika dia mengeluarkan keputusan presiden soal hari libur nasional tahun ini, dengan menggunakan Yesus Kristus dalam pengumumannya, bukan Isa al Masih.

Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki mengatakan umat Kristen di Indonesia telah meminta perubahan nomenklatur: “Ini usulan dari umat Kristen dan Katolik agar nama nomenklatur itu justru diubah.”

Masih belum terjawab mengapa berbagai pemerintahan di Indonesia memerlukan waktu sangat lama untuk menghapuskan persyaratan yang tidak perlu dan menindas mengenai terminologi umat Kristen di Indonesia. Dalam praktik sehari-hari, termasuk dalam ibadah hari Minggu, kebanyakan warga gereja di Indonesia jarang menggunakan nama Arab tersebut, dan memilih versi bahasa Indonesia.

Indonesia mempunyai dua penerbit Alkitab: Lembaga Alkitab Indonesia, yang dimiliki bersama oleh berbagai denominasi Protestan, dan Lembaga Biblika Indonesia, yang dikendalikan oleh gereja Katolik Roma. Selain bahasa Indonesia, mereka juga menerjemahkan Alkitab ke dalam ratusan bahasa suku di Indonesia. Kedua penerbit tersebut menggunakan istilah Yesus Kristus, meskipun pemerintah tak secara resmi mengakuinya.

Gomar Gultom, ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, berterima kasih kepada pemerintah karena akhirnya mengakhiri kebingungan soal dua nama berbeda untuk “oknum yang sama.” Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia dapat menunjukkan pengakuan yang lebih besar terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebuah langkah kecil namun penting, yang dapat menjadi awal bagi reformasi yang lebih luas dalam melindungi hak beragama bagi semua orang.

Tuesday, March 05, 2024

Indonesia Officially Adopts Indonesian Term for ‘Jesus Christ’

Change Should be a Springboard for Wider Religious-Freedom Reforms

A Christian congregation, which has been trying to secure a building permit since 2018, holds a service in their temporary building in Bogor, near Jakarta. The church uses the term “Yesus Kristus” like most Christian denominations. © 2022 Andreas Harsono/Human Rights Watch

Andreas Harsono
Indonesia Researcher

This year, for the first time since 1953, Christians in Indonesia will finally be able to officially use Indonesian terminology for Jesus Christ, Yesus Kristus, when they celebrate the major Christian holidays of Good Friday, Easter Sunday, and Christmas. In a victory for freedom of religion and belief, the government is no longer insisting on the use of the Arabic term Isa al Masih for Jesus Christ during major Christian holidays, which the Indonesian state had imposed for the past seven decades.

The recognition came in January, when a joint decree on the change was signed by three government ministers: Minister of Manpower Ida Fauziyah, Minister of State Apparatus Empowerment and Bureaucratic Reform Abdullah Azwar Anas, and Minister of Religious Affairs Yaqut Cholil Quomas.  President Joko Widodo signaled his support for the change when he announced this year’s annual holidays, using Yesus Kristus in his announcement rather than Isa al Masih.

Deputy Minister of Religious Affairs Saiful Rahmat Dasuki said that Indonesian Christians had requested the change in nomenclature: “They want a change, using 'Yesus Kristus' in the commemoration of his birth, death, and ascension.”

Left unanswered is why successive Indonesian governments took so long to lift this unnecessary and oppressive requirement on Indonesian Christians’ terminology. In daily practice, including in Sunday services, Indonesian Christians rarely used the Arabic term, choosing the Indonesian version instead, highlighting the unreasonableness of the government’s insistence on the use of the Arabic term during festivities.

Indonesia has two major Bible publishing houses: the Indonesia Bible Society (Lembaga Alkitab Indonesia), which is jointly owned by various Protestant denominations, and the Indonesian Biblical Institute (Lembaga Biblika Indonesia), controlled by the Roman Catholic church. Alongside the Indonesian language, they also translate the Christian Bible into hundreds of Indonesia’s ethnic languages. Both publishers have traditionally used the term Yesus Kristus, despite the government not officially recognizing it.

Gomar Gultom, the chairman of the Communion of Churches in Indonesia, thanked the government for finally “ending the confusion” around the two different names for Jesus Christ. By this step, the Indonesian government could be indicating greater recognition of the rights to freedom of religion and belief, and this small but important step might serve as a precursor for more far-reaching reforms that can protect religious rights for everybody.