Saturday, June 29, 2013

Indonesia Neglects, Abuses Some of the World’s Neediest Children

Andreas Harsono
Huffington Post

(Jakarta)
-- In 2012, Indonesia reached a milestone. For the first time in recent history, the number of unaccompanied children seeking asylum in Indonesia topped 1,000. Yet Indonesia—a country with many of its own children abroad—doesn’t protect the vulnerable newcomers. Instead it detains, abuses, and neglects them.

Unaccompanied migrant children in Indonesia, who are traveling without parents or other adults to protect them, come from countries like Afghanistan, Burma, and Somalia. Because of conflicts in these places, the numbers of these children have been growing steadily over the last five years as they look for refuge, for an education, for a safe future. Many make the risky decision to move on to Australia in smugglers’ boats, a trip that can be fatal.

Human Rights Watch first met “Faizullah,” a 17-year-old Afghan refugee from the Hazara ethnic group, in Medan last August. Faizullah and his family were already refugees, living in Quetta, Pakistan, when harassment of Hazaras escalated there. Fearing for the boy’s future, Faizullah’s family scraped together $12,000 to pay smugglers to take him by plane, boat, and foot to Indonesia.

When Faizullah was arrested in Indonesia, he said, he told the police he was 17. Rather than finding some care for this boy, half a world away from home, the police arrested him. Faizullah spent the next seven-and-a-half months in a detention center in Pontianak—five of them entirely indoors. When he was finally allowed into the detention center’s recreation space, he said, “How can I explain what it’s like when we went out? We were like the wild, running all around. We were thinking we were alive again.”

During his time in detention, the guards confined him to an overcrowded, often-flooded cell with adults he didn’t know, he said, and hit him several times in the face. He described an atmosphere of routine violence, saying the guards “beat [detainees] with everything—glass, boxes, anything around.”

Faizullah was eventually released—but the Indonesian government never assigned him a guardian to care for him, as international law requires. Indonesia has no asylum law, so Faizullah cannot gain legal status in the country, and he faces constant threat of re-arrest and further detention.

Indonesia is increasingly taking measures to protect Indonesians working abroad, including children, and it has ratified the International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families.

In sharp contrast, Indonesia does nothing to assist unaccompanied migrant children in Indonesia. The inaction amounts to neglect. Indonesia has ratified the UN Convention on the Rights of the Child and so is obliged to provide unaccompanied children with guardians, but it hasn’t assigned that role to any government entity. Indonesia also ignores international legal standards that make detention of unaccompanied migrant children a last resort, keeping hundreds of children in detention in any given month. Like Faizullah, they are typically detained with unrelated adults, vulnerable to exploitation, and sometimes beaten by guards. People held for a long time in immigration detention often become depressed or even get post-traumatic stress disorder, particularly acute problems for children.

Outside detention, only a handful of unaccompanied children have the assistance they are entitled to by international law. There are places in privately-run shelters for perhaps 140 children at any time. Others live on the street or in crowded private accommodations with other migrants, at risk of exploitation, destitution, and re-arrest, as they don’t have papers allowing them to be in the country. Given this toxic limbo, it’s no wonder that many children make the desperate decision to get on smugglers’ boats to Australia.

Assisting unaccompanied migrant children isn’t just the law, it’s also the right thing to do. It is relatively inexpensive to assist these children—even though their numbers are growing, the total remains quite small. Indonesia should immediately stop locking up unaccompanied migrant children, and resolve which ministry will take on guardianship responsibilities—the Ministry of Social Affairs, perhaps. With guardianship in place, the government should offer children basic shelter, food, and legal assistance. These children deserve the same care Indonesians would like to see for their own children abroad.

Andreas Harsono is a Jakarta-based researcher for Human Rights Watch.

Saturday, June 22, 2013

Pelanggaran Hak Anak Pencari Suaka


Oleh Andreas Harsono
Koran Tempo, 22 Juni 2013

Anak-anak Rohingya pencari suaka bersama keluarga mereka belajar bahasa Inggris di rumah detensi imigrasi di Medan, September 2012. © 2012 Kyle Knight/Human Rights Watch

PADA tahun 2012, Indonesia mencapai satu tonggak sejarah. Untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, jumlah anak tanpa orang tua atau wali, yang mencari suaka di Indonesia, mencapai angka 1.000 orang. Namun Indonesia tak melindungi para pendatang muda yang rentan ini. Sebaliknya, pemerintah Indonesia menahan, mengabaikan bahkan melanggar hak mereka sebagai anak.

Anak migran tanpa pendamping di Indonesia,
berasal dari negara macam Afghanistan, Burma, dan Somalia. Diskriminasi, sengketa, dan perang di negara-negara asal mereka, membuat jumlah mereka terus bertambah selama lima tahun terakhir. Anak-anak ini mencari perlindungan, pendidikan, maupun masa depan yang lebih aman. Di negaranya, mereka termasuk minoritas, entah Muslim Ahmadiyah di Pakistan, Muslim Syiah di Afghanistan, Muslim Sunni di Burma, Kristen di Iran dan sebagainya. Kebanyakan anak-anak ini ambil risiko pindah ke Australia, dengan perahu penyelundup dari Indonesia, lewat perjalanan sangat membahayakan.

Sebut saja "Faizullah," seorang pengungsi asal Afghanistan umur 17 tahun dari etnik Hazara, yang ditemui Human Rights Watch di Medan pada Agustus 2012. Faizullah dan keluarganya adalah pengungsi, tinggal di Quetta, Pakistan. Mereka mengungsi ke Quetta ketika diskriminasi dan penyerangan terhadap etnik Hazara, mayoritas Muslim Syiah, meningkat di Pakistan. Khawatir dengan masa depan anak mereka, keluarga Faizullah mengumpulkan uang US$12.000 untuk membayar penyelundup, membawa Faizullah dengan pesawat terbang, kapal laut, dan jalan kaki ke Indonesia.

Ketika Faizullah ditangkap di Indonesia, dia mengatakan kepada polisi berusia 17 tahun. Ini usia anak. Bukan malah mencari perawatan untuk anak ini, di sebuah tempat, di belahan dunia yang jauh dari rumahnya, polisi menangkap Faizullah. Dia menghabiskan 7,5 bulan di rumah detensi imigrasi Pontianak –total lima migran dalam satu ruang. Ketika akhirnya diizinkan masuk ke ruang rekreasi rumah penahanan, dia berkata, "Bagaimana aku bisa menjelaskan seperti apa rasanya aku keluar dari ruang tahanan? Aku seperti liar, berlarian, rasanya aku hidup lagi.”

Ada 12 rumah tahanan imigrasi di seluruh Indonesia dimana anak-anak migran tanpa orang tua ditahan. Mereka rutin mendapat perlakuan buruk dari para petugas Indonesia. © 2013 Human Rights Watch

Selama dalam tahanan, penjaga memasukkan dia ke ruang penuh dengan orang dewasa yang tak dia kenal, ruang sering kebanjiran, dan, penjaga beberapa kali memukul wajahnya. Dia menggambarkan kekerasan sering terjadi di rumah detensi, penjaga "pukul [tahanan] dengan apa saja -kaca, kotak, apa pun yang bisa dijangkau."

Faizullah akhirnya dibebaskan namun pemerintah Indonesia tak pernah menugaskan seorang wali untuk merawatnya, sesuai ketentuan hukum internasional. Indonesia juga tak punya undang-undang permintaan suaka, hingga individu macam Faizullah tak punya status hukum di negara ini. Dia juga menghadapi ancaman penangkapan dan penahanan kembali.

Indonesia sudah mengambil langkah-langkah penting untuk melindungi warga Indonesia yang bekerja di luar negeri, termasuk teken International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families (Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya).

Namun, Indonesia tak lakukan apapun untuk membantu anak-anak migran tanpa wali di Indonesia. Kelambanan ini sebuah pengabaian. Indonesia sudah meratifikasi UN Convention on the Rights of the Child (Konvensi PBB tentang Hak Anak) hingga wajib memberikan anak-anak tanpa orang tua, dengan wali, namun tak ada satu pun organisasi negara Indonesia diberi penugasan itu. Indonesia mengabaikan hukum internasional dengan menahan anak-anak migran tanpa orang tua, setiap bulan ada ratusan anak dalam tahanan. Seperti Faizullah, mereka biasa ditahan dengan orang dewasa yang tak mereka kenal, rentan eksploitasi, dan, kadang-kadang, dipukuli petugas jaga. Penahanan imigrasi panjang berkorelasi dengan depresi dan gangguan stres pasca-trauma, masalah sangat besar bagi anak-anak.

Di luar tahanan, hanya segelintir anak tanpa wali mendapat bantuan yang jadi hak mereka, sesuai hukum internasional. Ada rumah singgah di beberapa organisasi non-pemerintah untuk sekitar 140 anak. Lainnya hidup di jalanan atau akomodasi swasta yang ramai dengan para migran lain. Ada risiko penindasan, kemiskinan, dan penangkapan kembali, karena mereka tak punya surat-surat yang memungkinkan mereka untuk berada di negara ini. Mengingat suasana yang tak nyaman, tak mengherankan banyak anak ambil keputusan dengan penuh putus asa naik kapal penyelundup ke Australia.

Membantu anak-anak migran tanpa orang tua ini bukan hanya tuntutan hukum, tapi hal yang benar yang harus dilakukan. Membantu anak-anak juga relatif murah, meskipun jumlah mereka makin bertambah tetapi masih terbilang sedikit, sekitar 1.000-an orang. Indonesia harus segera menghentikan penahanan anak-anak migran tanpa orang tua, dan menunjuk kementerian mana yang harus mengambil perwalian (misal, Kementerian Sosial). Dengan perwalian, pemerintah Indonesia harus menawarkan anak migran tempat tinggal, makanan, kesehatan dan bantuan hukum. Bayangkan saja bila anak-anak ini adalah anak Indonesia, harus jadi migran di negeri lain. Tidakkah Anda ingin anak-anak migran ini mendapat perawatan yang sama dengan apa yang Anda inginkan dengan anak-anak Indonesia di luar negeri?

Andreas Harsono peneliti untuk Human Rights Watch di New York