Friday, July 29, 2011

Blok M


Buku hadiah ulang tahun Goenawan Mohamad ke-70

Oleh Andreas Harsono

PERTENGAHAN Juni 1996, saya menemani Goenawan Mohamad pergi ke Mahkamah Agung. Kami hendak dengar keputusan Mahkamah Agung terhadap gugatan “Pak Goen” --selaku pemimpin redaksi mingguan Tempo-- terhadap pembredelan Tempo oleh Menteri Penerangan Harmoko dua tahun sebelumnya.

Pak Goen pakai baju putih dan kopiah hitam. Dia ingin tahu namun tak berharap. Bagaimana tidak? Mahkamah Agung punya citra tidak independen. Namun tanpa diduga, gugatan Pak Goen menang di pengadilan tata negara tingkat kota Jakarta. Harmoko banding ke pengadilan tinggi. Harmoko masih kalah. Maka Harmoko banding ke Mahkamah Agung.

Pagi itu, di Mahkamah Agung, majelis hakim dipimpin Soerjono, ketua Mahkamah Agung, dengan dua anggota: Th Ketut Suraputra dan Sarwata. Mereka perlu waktu satu jam untuk membaca keputusan mereka. Hasilnya, mereka mengalahkan Pak Goen. Mereka berpendapat “pembatalan” surat izin terbit Tempo tak sama dengan pembredelan. Logika jungkir balik. Banyak pengunjung kecewa. Juga marah. Saya hanya geli. Ketika keluar dari Mahkamah Agung, Goenawan dikerubungi wartawan, minta komentar.

Dia bilang, "Bagi saya, perjuangan kebebasan pers menurut hukum sudah selesai. Selanjutnya adalah perjuangan lain." Dia mengulang-ulang istilah “jalan lain” maupun “cara lain.”

Ia salah satu momen menarik dalam kewartawan Goenawan Mohamad. “Jalan lain” adalah gerakan media bawah tanah. Ia tindakan melawan hukum Indonesia dimana semua penerbitan harus punya izin negara. “Jalan lain” adalah dukungan kepada sekelompok wartawan muda melawan rezim Soeharto.

Awalnya, Agustus 1994, sebulan sesudah pembredelan Detik, Editor dan Tempo, sekitar 100 wartawan asal Bandung, Jakarta, Jogjakarta dan Surabaya, mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di dusun Sirnagalih, kawasan Puncak. Salah satu tujuan AJI adalah memperjuangkan kebebasan pers. Tujuan itu, walau sederhana, sebenarnya bertentangan dengan hukum Indonesia yang mengawasi “pers Pancasila” –lengkap dengan berbagai surat izin dan kooptasi Persatuan Wartawan Indonesia serta Serikat Penerbit Suratkabar. AJI menerbitkan majalah dengan nama Independen. Dampaknya segera muncul. Tiga wartawan dipenjara: Ahmad Taufik, Danang K. Wardoyo serta Eko Maryadi. Ini disusul penangkapan-penangkapan lain.

Penangkapan membuat AJI bergerak bawah tanah. Dari sebuah flat di Tanah Abang ia pindah ke sebuah rumah kecil di Palmerah. Muncullah nama-nama samaran: Ghufron, Tosca, Yuyun dsb. Ghufron adalah Goenawan.

Dari Utan Kayu, markas Institut Studi Arus Informasi, dirumuskan satu gerakan lain. AJI perlu dukungan. Gerakan ini tak pernah diberi nama. Secara umum, ia disebut “Blok M” –mengacu pusat perbelanjaan di selatan Jakarta. Janet Steele dalam buku Wars Within: The Story of Tempo an Independent Magazine in Soeharto’s Indonesia menulis bahwa Blok M melawan sensor lewat internet. Ia menjalin kerja sama dengan aktivis-aktivis hak asasi manusia dari berbagai penjuru dunia maupun aktivis Timor Timur –secara lebih terbatas juga dengan Aceh dan Papua Barat.

Waktu itu internet masih baru. Jakarta belum akrab dengan World Wide Web atau Google. Sambungan masih pakai telepon dial-in. Belum ada Facebook, apalagi Twitter dan You Tube. Blok M bekerja sama dengan Nusanet, sebuah sistem internet dari kalangan NGO, serta Apakabar, mailing list di Maryland dengan moderator John MacDougall. Naskah dikirim kepada MacDougall. Dia lantas sebarkan naskah itu lewat apakabar@clark.net.

Kerjanya mirip kerja ruang redaksi biasa. Kami menyewa sebuah kantor. Kami mempekerjakan wartawan, editor, teknisi, kontributor dan lain-lain. Ada bagian keuangan. Ada bagian personalia. Ada penggalangan dana. Ada manajemen dan secara bergurau, Pak Goen menyebutnya, “politbiro” –rapat redaksi setiap Rabu.

Pak Goen minta ruang kerja diberi sistem pengamanan elektronik. Ruang redaksi Blok M disewakan rumah yang Pak Goen sendiri tak tahu dimana. Bekerja dengan sistem sel. Pengiriman email dengan encryption. Ada juga percetakan dibeli dan diletakkan di daerah Kalibata, dekat markas Badan Intelijen Negara.

Juni 1996, ketika Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan itu, infrastruktur Blok M mulai dibangun. “Jalan lain” makin dipercepat sesudah Juli 1996, ketika begundal-begundal suruhan Soeharto menyerbu markas Partai Demokrasi Indonesia di Jakarta. Megawati Soekarnoputri disingkirkan. Partai Rakyat Demokratik diuber-uber macam pesakitan. Majalah Gatra, yang sebagian redaksi berasal dari Tempo, mengeluarkan kampanye hitam terhadap PRD. Mereka dituduh komunis. Mereka dituduh macam-macam. Sasaran tembak Gatra adalah Budiman Sudjatmiko dan Dita Indah Sari. Ia mirip kampanye terhadap Partai Komunis Indonesia pada 1965.

Juli 1996, Blok M dijalankan. Agar ada promosi terhadap Blok M, kami mengumpulkan ratusan nomor fax, terutama kantor-kantor, dan setiap malam mengirim Blok M lewat mesin fax otomatis. Ini berjalan berminggu-minggu. Goenawan sering geli bila ada orang mengirim balik atau fotokopi fax itu untuk dia. Pengalaman ini membuat kami sadar bahwa kuantitas bukan masalah utama dalam penerbitan alternatif. Ia selalu punya multiplier effect. Secara alamiah orang mencari kebebasan. Secara alamiah orang akan mencari informasi alternatif bila sensor berjalan. Mereka juga menyebarkan sendiri.

Dalam rapat redaksi, kami sering bicara soal produk berita Blok M. Dia kurang happy bila ada berita yang terlalu emosional. Dia ingin berita dikerjakan profesional. Esensi jurnalisme adalah verifikasi. Pak Goen sering bikin analisis dan menyerahkan pada redaksi. Pak Goen mungkin tak tahu persis berapa orang terlibat dalam pekerjaan. Sebagai asisten dia, saya ingat suatu malam mengerjakan laporan tahunan. Kami membayar gaji maupun honor untuk sekitar 120 orang.

Pada pertengahan 1997 tanpa terduga terjadi penurunan nilai tukar Baht terhadap Dollar. Gejala ini merembet ke Indonesia. Nilai rupiah terpukul. Harga barang melonjak. Terjadi kekacauan. International Monetary Funds turun tangan. Ekonomi ala Soeharto kacau balau. Soeharto diduga memerintahkan Kopassus menculik para aktivis dan mahasiswa. Suasana mencekam. Sentimen anti-asing ditiupkan media Soeharto. Pak Goen terpaksa berbekal sikat gigi dan handuk. Ada kemungkinan dia ditangkap.

Dia bilang, “Kita boleh takut tapi jangan takluk.”

Kerusuhan pecah dimana-mana. Pada Mei 1998, Soeharto terpaksa mengundurkan diri. Antara 1997 hingga 2005, Indonesia memasuki periode berdarah –tak termasuk Papua Barat yang masih berkepanjangan hingga sekarang. Ikatan negara pasca-kolonialisme Hindia Belanda menunjukkan ikatan yang alamiah lemah. Mendekati 100 ribu orang mati, dari Aceh hingga Timor Leste, dari Kalimantan hingga Ternate dan Ambon.

Tempo terbit kembali. Detik berubah jadi Detik.com. Ledakan media muncul. Dari 200an suratkabar, dalam waktu 10 tahun, ada lebih dari 1.000. Televisi juga muncul dari 11 stasiun menjadi lebih dari 100. Keperluan akan sumber daya wartawan membuat sebagian personil Blok M ditarik media mainstream. Berjalan empat tahun, Blok M ditutup.

“Jalan lain” mengingatkan saya pada biografi Albert Camus: A Life karya Olivier Todd. Camus seorang wartawan dan sastrawan Perancis kelahiran 1913 di Mondovi, Aljazair. Ketika Jerman menduduki Prancis pada Perang Dunia II, Camus bergabung dengan gerakan perlawanan bernama Combat. Mereka menerbitkan majalah, juga dengan nama Combat. Nom de guere Camus adalah Beauchard. Risiko ketahuan Jerman adalah hukuman mati. Pada 1943, Camus menjadi editor Combat. Dia menyaksikan Sekutu masuk ke Paris pada 1945 dan ikut mengubah Combat jadi media resmi.

Bukan pilihan mudah karena Camus seorang penulis terkemuka.

Pilihan Goenawan juga bukan mudah mengingat dia pemilik saham salah satu konglomerat media di Indonesia. Dari Tempo dan Jawa Pos, dia memiliki saham, langsung maupun tak langsung, lebih dari 100 perusahaan. Goenawan bisa memilih kompromi kepada rezim Soeharto –sesuatu yang dia harus lakukan sebagai editor Tempo pada 1971-1994—namun dia memilih “jalan lain.”

Pada 1947, Camus pensiun dari politik dan jurnalisme. Dia menulis esai serta kerja teater. Goenawan juga enggan kembali jadi editor Tempo pada 1999. Dia memilih sastra dan teater. Goenawan mendirikan Teater Salihara. Namun agak beda dengan Camus, yang meninggal dalam usia muda pada 1953, Goenawan berumur panjang. Dia ikut mendirikan Partai Amanat Nasional. Pada pemilihan presiden 2009, dia ikut mendukung Boediono sebagai calon wakil presiden, berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan pilihan ideal namun Pak Goen menilai mereka lebih aman daripada pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto. Pak Goen tak percaya pada Prabowo, jenderal yang bertanggungjawab terhadap penculikan aktivis 1997-1998.

John MacDougall menulis bahwa antara 1990 dan 2002, ada 175 ribu posting apakabar@clark.net. MacDougall mengatakan mayoritas posting dalam mailing list itu berasal dari Blok M. Komentar MacDougall membesarkan hati.

Bukankah C.P. Scott mengatakan, “Comment is free, but facts are sacred”?

Blok M menyediakan informasi. Bukan komentar. Zaman internet adalah zaman tsunami informasi. Banyak komentar murahan muncul di internet. Jalan lain dari Goenawan Mohamad, terlepas dari kekeliruan sekali atau dua, tetap bersandar pada wacana bahwa jurnalisme adalah kepercayaan, bahwa masyarakat memerlukan informasi bermutu. Ketika sensor berkuasa, ketika kekuasaan menindas akal sehat, maka jurnalisme harus melawan.


Esai ini dimuat dalam antologi Goenawan Mohamad: Enak Dibaca dan Perlu diluncurkan pada 25 Juli 2011 guna menyambut ulang tahun ke-70 Goenawan pada 29 Juli 2011.

Pastor Katholik Gaptek?


SAYA menemukan kartun Romo Koko ini di sebuah biara Katholik di Bandung. Kebetulan saya diminta bicara soal penulisan dengan sekelompok frater, termasuk macam-macam isu kontemporer, oleh Ordo Sanctae Crucis atau Ordo Salib Suci.

Saya melatih mereka memahami jurnalisme. Mulai dari esensi jurnalisme (verifikasi) hingga independensi dari sumber. Kami diskusi beda jurnalisme dan propaganda. Saya melatih menulis feature serta opini. Pesertanya macam-macam. Dari Pulau Nias hingga Pulau Kei.

Salah satu isu yang kami bicarakan adalah penguasaan teknologi internet. Mulai dari sambungan wifi sampai program baru macam Hostip, TOR, Memolane. Lucunya, seorang frater, orang Tionghoa asal Serpong, mengingatkan saya bahwa mereka dilarang memegang telepon dalam biara. Tujuannya, tentu saja, agar para frater bisa belajar dengan fokus tanpa banyak komunikasi dengan dunia luar biara. Mereka boleh pakai komputer biara. Ada juga sambungan Telkom Speedy walau pelan sekali. Ini dianggap tidak memadai.

Saya sadar informasi bisa berdampak baik, bisa berdampak buruk. Mungkin Ordo Salib Suci menilai para calon pastor belajar harus tanpa terpengaruh informasi yang tak perlu termasuk pornografi. Salah satu tantangan seorang pastor adalah janji hidup selibat. Saya pribadi tak setuju pastor tidak menikah. Saya tahu banyak pastor melanggar aturan tersebut. Namun suka atau tak suka, aturan selibat tersebut masih berlaku dari Vatikan. Sedang para frater ini berumur 20an tahun. Hormon seks mereka juga sedang ramai. Maka akses internet pun dibatasi.

Persoalannya, semua orang kini hidup dalam abad informasi. Ada tsunami informasi dengan kedatangan internet. Apakah realistis mengurung para frater dari informasi? Dalam diskusi mereka tidak tahu persoalan sosial dalam masyarakat termasuk debat tentang kebebasan beragama di Indonesia.

Saya ikut menginap dalam biara Ordo Salib Suci di daerah Dago. Ini biara tua dan gelap. Seram juga malam hari sendirian. Dalam kamar banyak patung dan lukisan. Di ruang baca saya menemukan majalah Hidup dengan kartun Romo Koko. Ia menggambarkan seorang frater bertanya kepada rektornya, "Kapan kami para frater boleh pakai HP, laptop, I-Pad? Nanti kalau jadi imam supaya tidak gaptek."

Saya kira soal ini memang serius. Tanpa punya akses kepada teknologi komunikasi, calon pastor ini akan ketinggalan jauh dari umat mereka. Jangan bicara soal TOR atau Hostip. Sebagian dari mereka bahkan belum kenal Wordpress atau Blogspot. Saya kira perlu dipertimbangkan ulang larangan terhadap biara-biara Katholik tak boleh ada alat-alat komunikasi baru.

Sunday, July 10, 2011

Joo Chiat Seminggu


Joo Chiat adalah sebuah jalan di sebelah timur Singapore. Ia juga kawasan cagar budaya dimana rumah-toko dilindungi, tak boleh dibongkar, serta dikenal juga sebagai "Little Vietnam" karena banyak rumah makan Vietnam. Ia juga kawasan turis karena ada belasan hotel, bar, pub, karaoke serta bangunan tua.

Selama seminggu ini saya tinggal di sebuah hotel Joo Chiat. Setiap pagi bangun pagi, menikmati suasana sepi Joo Chiat, berjalan-jalan sekitar perumahan, lalu sarapan mie serta minum kopi. Menariknya, saya sering memperhatikan burung-burung cari makan pagi: merpati, jalak, gagak. Saya biasa jalan sekitar satu jam di daerah Langsat Road, Ceylon Lane, Tembeling Road, Onan Road dan sekitarnya.

Siang hari melakukan beberapa urusan di Singapore. Saya banyak jalan ke dua kampus: National University of Singapore (daerah Kent Ridge Crescent) serta Nanyang Technology University (daerah Jurong West). Malam hari kembali ke hotel, makan nasi ayam atau bubur ayam. Lama-lama jadi menikmati suasana Joo Chiat.

Joo Chiat diberi nama untuk Chew Joo Chiat (kelahiran Fujian 1857, meninggal 1926 di Singapore), seorang tuan tanah, pemilik perkebunan di daerah ini pada awal abad XX. Sebelum 1917, jalan ini disebut Confederate Estate Road, jalan kebun, tanpa aspal, milik pribadi. Chew Joo Chiat membeli tanah-tanah dari dua keluarga serta meneruskan usaha perkebunan. Jalanan masih hanya bisa dipakai untuk gerobak sapi.

Awalnya, pemerintahan Inggris ingin membangun jalan Confederate Estate Road hingga mencapai pantai selatan Singapore. Mereka hendak membeli tanah untuk jalan tersebut. Joo Chiat melihat peluang daerah berkembang bila jalan dibangun. Dia menyumbangkan tanah kepada pemerintah. Ramalan dia benar. Jalanan ramai. Orang berdatangan. Dia menjadi tuan tanah dan developer rumah. Banyak rumah-toko didirikan di sepanjang jalan. Guna mengingat jasa Chew memberikan tanah untuk jalan, pemerintah Inggris lantas memberi nama jalan aspal tersebut "Joo Chiat Road." Chew membeli tanah di beberapa daerah lain, termasuk Eunos. Dia juga mendirikan Pacific Bank serta Batu Pahat Bank.

Joo Chiat berkembang dengan ditambahkan Changi Market di ujung jalan pada zaman pendudukan Jepang, terletak antara perempatan Joo Chiat Road dan Changi Road. Kini ia diberi nama Joo Chiat Complex. Pedagang di pasar ini kebanyakan pedagang Muslim dari Jawa, Arab dan Sumatra. Setiap sore, bila ada keperluan kecil, saya biasa belanja di supermarket Fair Price di Joo Chiat Complex.

Pada 1999, Joo Chiat dinyatakan sebagai daerah konservasi "heritage town." Bangunan-bangunan rumah-toko tak bisa dirobohkan. Pemerintah juga memberi subsidi agar bangunan-bangunan ini tetap bisa bertahan. Joo Chiat adalah "heritage town" pertama di Singapore. Cicit Chew Joo Chiat, Philip Chew, menulis blog soal daerah ini dalam My Chew Joo Chiat. Saya ingin suatu saat interview Philip Chew.


Kini di Joo Chiat ada lebih dari selusin hotel: Fragrance Hotel, Hotel 81 (tiga buah), Joo Chiat Hotel dan sebagainya. Saya suka dengan arsitektur Hotel 81. Mereka memakai rumah-rumah tua. Harga penginapan juga murah. Hanya sekitar $80 semalam. Di daerah sini juga ada internet cafe. Sewanya, $2 untuk satu jam. Pilihan makanan juga berlimpah. Ada juga drug store macam Seven Eleven buka 24 jam. Ia juga dilewati bus nomor 33. Bila mau jalan ke stasiun, ia dekat dengan stasiun MRT Eunos. Buat perhitungan mudah, saya pakai exchange rate Rp 7,000 per satu dollar Singapore.

Salah satu fenomena Joo Chiat adalah daerah hiburan malam. Setiap sore, mulai pukul 20:00, daerah ini ramai dengan karaoke, bar dan pub, tentu saja, juga dengan pekerja seks. Mayoritas pekerja seks datang dari Vietnam. Suatu pagi saya diberitahu seorang penjaga Seven Eleven bahwa tadi malam ada razia dan beberapa perempuan ditangkap polisi. Saya tak tahu persis bagaimana policy soal pelacuran di Singapore. Saya duga ia masih belum dilegalisasi.

Saya kuatir ada human trafficking di Joo Chiat. Saya tak sempat bicara dengan pekerja seks di Joo Chiat. Sebenarnya, sebagai wartawan selama 20 tahun, saya juga belum pernah menulis soal human trafficking. Hanya baca-baca saja. Saya kira pelacuran sebaiknya dilindungi negara, agar tak terjadi human trafficking.

Anyway, saya suka dengan daerah ini, termasuk Onan Road, Ceylon Lane dan Tembeling Road, karena ia relatif sepi dari lalu lintas pada pagi dan siang hari. Ada beberapa sekolah, termasuk sekolah Gujarati. Ini salah satu daerah enak di Singapore.


Bicara soal enak tak lengkap bila tak disertai satu rekomendasi tempat makan enak. Singapore Food Guide & Restaurant Directory ada satu seksi khusus daerah Joo Chiat dan Katong. Saya coba makan di Heng Hwa Restaurant di Joo Chiat Road. Ada makanan dengan basis tahu enak sekali. Ada kedekatan emosional karena keluarga saya dari pihak papa adalah etnik Heng Hwa. Saya tentu ingin mencicipi makanan Heng Hwa. Harga agak mahal. Dua orang sekitar $20. Namun ia lebih murah daripada makan di daerah Orchard Road --apalagi di berbagai cafe museum di Singapore dimana saya pernah bayar $50 untuk makan siang sederhana berdua di National Museum of Singapore.

Joo Chiat punya sejumlah toko etnik Heng Hwa. Ini bisa dilihat dari keberadaan toko sepeda di beberapa lokasi di Joo Chiat Road. Orang Heng Hwa di seluruh Asia Tenggara --mulai dari Penang hingga Surabaya, dari Kuching hingga Singapore-- terkenal karena punya jaringan toko sepeda serta becak. Engkong saya juga dulu membuka bengkel sepeda dan becak di Djember pada 1920an. Kini bisnis Heng Hwa juga berkembang ke sepeda motor dan mobil.

Namun di Joo Chiat dan Katong masih banyak makanan etnik lain yang tak bisa saya coba satu demi satu selama seminggu. Ada warung kecil jual snack India orang antri setiap siang. Ada nasi lemak. Pendek kata, Joo Chiat juga tempat makan. Saya merasa kerasan di Joo Chiat. Saya akan menginap lagi di Joo Chiat Road bila datang ke Singapore.

Saturday, July 09, 2011

Lukisan Karya George Samuel Windsor Earl


George Samuel Windsor Earl dikenal karena menulis buku The Eastern Seas or Voyages and adventures in the Indian Archipelago, in 1832-33-34, comprising a tour of the island of Java -- visits to Borneo, the Malay Peninsula, Siam terbitan London pada 1837. Earl memakai terminologi "Indian Archipelago" atau "Kepulauan India" guna menerangkan kawasan yang dia pelajari. Ini sebuah buku klasik. Earl mencatat berbagai pengalaman dia selama tiga tahun berjalan di Jawa, Borneo, Semenanjung Malaya serta Siam.

Istilah "Kepulauan India" bila diterjemahkan ke bahasa Yunani adalah "Indonesos" atau "Indonesia." Kira-kira begitulah khayalan soal "Indonesos" dalam benak Earl. Saya pernah menulis soal kontribusi George Earl dalam penciptaan nama Indonesia lewat esai Sebuah Kuburan Sebuah Nama. Saya juga sempat melihat makam Earl di Penang.

Earl memakai kata "Indonesia" pertama kali pada 1850 atau 13 tahun sesudah buku Eastern Seas. Dia menulisnya dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Earl sedang mencari-cari terminologi etnografis untuk menerangkan "... that branch of the Polynesian race inhabiting the Indian Archipelago" atau "the brown races of the Indian Archipelago." Namun Earl sendiri menolak kata tersebut. Dia memilih kata "Malayunesia" atau "Kepulauan Melayu." Dia menilai kata "Indunesia" terlalu umum. "Malayunesia" lebih tepat.

James Richardson Logan, redaktur Journal serta murid Earl, menanggapi usul George Earl. Logan berpendapat "Indonesian" merupakan kata yang lebih menjelaskan dan lebih tepat daripada kata "Malayunesians," terutama untuk pemahaman geografi, daripada secara etnografi.

"I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian islands or the Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders."

Sejarah membuktikan argumentasi Logan lebih populer daripada Earl.

Hari ini saya jalan ke National Museum of Singapore. Ternyata George Earl juga seorang ilustrator. Museum ini membuat facsimile dari beberapa ilustrasi buku Earl. Diterangkan bahwa ilustrasi Earl membentuk khayalan orang di Eropa terhadap Asia Tenggara.

Karena ia museum Singapore, tentu saja, gambar-gambar yang dipaparkan terkait dengan Singapore. Saya hendak mencari buku Eastern Seas agar bisa dapat ilustrasi dari Jawa dan Borneo.

Arak-arakan pengantin Melayu. ©Andreas Harsono

Lelaki India penjinak harimau di Singapore. ©Andreas Harsono

Perempuan Melayu depan rumah sedang merenung suatu sore. ©Andreas Harsono

Perkebunan kelapa di Singapore. ©Andreas Harsono

Kuli-kuli Cina di Singapore khas dengan kuncir mereka. ©Andreas Harsono