Friday, August 22, 2008

Andreas: Aku Paparkan Fakta, Selanjutnya Terserah Anda...

Di Balik Kasus Pembunuhan di Mile 63


SEJAK 18 Agustus lalu, masyarakat dibikin heboh dengan sebuah laporan karya oleh S. Eben Kirksey, seorang antropolog dari Universitas California, dan jurnalis serta penulis Jakarta, Andreas Harsono.

Sebenarnya, laporan ini bukan isu terhangat di Indonesia. Namun hasil laporan yang disusun selama dua setengah tahun, dengan cara mengolah data, riset dan wawancara tersebut, berdampak pada statmen yang pernah diungkapkan Condoleezza Rice, menteri luar negeri Amerika Serikat.

Laporan tersebut bertajuk, 'Criminal Collaborations? Antonius Wamang and the Indonesian Military in Timika'. Ia menggali info dari hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) tujuh warga Papua Barat yang jadi tersangka kasus pembunuhan dua guru warga negara Amerika dan seorang warga negara Indonesia, serta melukai sebelas orang lainnya.

Tujuh warga Papua tersebut dihukum antara lima tahun hingga seumur hidup. Laporan tersebut menjadi menarik, lantaran menyebut sejumlah nama anggota TNI. Mereka dilaporkan berada di tempat kejadian perkara pada waktu yang sama dengan kelompok Antonius Wamang, dan sama-sama melakukan penyerangan. Mereka masih aktif serta tidak semua diperiksa.

Laporan juga memakai radiogram Kedutaan Besar Amerika di Jakarta kepada Kementrian Luar Negeri di Washington. Mereka juga menulis sejumlah cerita mengenai perdagangan senjata secara ilegal di Jakarta ketika Wamang membeli. Joyo Indonesia News di New York dan Yayasan Pantau di Jakarta mendukung penyusunan laporan ini. Kirksey dan Andreas mendedikasikan laporan untuk almarhum Gordon Bishop, pendiri Joyo Indonesia News di New York. Berikut ini wawancara dengan Andreas Harsono, Jumat siang, di kediamannya.

Oleh Aseanty Pahlevi
Jawa Pos News Network

Ternyata laporan akademik ini cukup bikin heboh?
Saya sebenarnya capek dengan kehebohan ini. Banyak pejabat yang memberi tanggapan tanpa membaca makalah aku. Repotnya wartawan yang bertanya juga tidak membaca. Sehingga menjadi rancu. Laporan ini terbit di jurnal South East Asia Research di London. Ini jurnal akademik, harus langganan, dan memang hanya dibaca oleh pelanggannya saja. Seharusnya awal Agustus, namun telat sehingga terbit 18 Agustus.

- Andreas memperlihatkan laporan akademik sebanyak 33 halaman, dengan catatan kaki sebanyak 147 buah. Laporan ditulis dalam bahasa Inggris. Dia juga memperlihatkan kumpulan berita yang terkait dengan laporan, yang dituliskan di media massa. Kata dia, berita-berita tersebut cenderung menyimpulkan, istilahnya “jumping into conclusion”.

Kesan saya, secara umum kasus ini secara tergesa-gesa ditutup. Baik oleh pemerintah Indonesia dan Amerika. Eben dan aku memperkirakan, kedua pemerintah ingin bisa segera bekerjasama di bidang militer. Sejak referendum Timtim 1999, Amerika menghentikan hubungan militer dengan Indonesia. Namun peristiwa 11 September 2001 dan apa yang disebut Presiden Bush sebagai “perang terhadapi terorisme” plus bom Bali, membuat kedua pemerintah merasa sangat perlu bekerjasama di bidang militer.

Dalam laporan ini diungkapkan, misalnya, kedua pemerintah ingin International Military Education and Training (IMET), Counter Terorrism Fellowship Program (CTFP), dan Foreign Military Finance (FMF) segera dibuka lagi. Kerjasama-kerjasama ini melibatkan jumlah dollar yang cukup besar. Bahkan Indonesia adalah penerima bantuan program anti terorisme terbesar di dunia, lebih tinggi dari Yordania, dan Pakistan. Data Pentagon menyebutkan Indonesia menerima dana sebesar US$6,2 juta, sejak 2002 hingga 2005. Yang terbaru di tahun 2007, Amerika memberikan bantuan US$18,4 juta. Selang beberapa jam setelah Wamang diputus hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pentagon menyebutkan “era baru” kerja militer kedua negara dimulai.

Kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia oleh militer Indonesia harus segera diselesaikan, sebab Kongres Amerika tidak bersedia mencairkan bantuan jika masalah-masalah ini tidak dibereskan. Pemerintah Indonesia berupaya keras untuk menyelesaikan, walaupun dengan mutu asal-asalan. Misalnya, di kasus Timtim, tidak ada satupun perwira TNI yang dihukum. Sama dengan di Timika.

- Dengan laporan ini, seorang senator, Joseph Biden mempertanyakan statmen Rice mengenai penyelesaian kasus Timika. Pasalnya, Rice menyatakan, “although the investigation is not complete, the FBI has uncovered no evidence indicating TNI involvement in the Timika murders.” -

Bisa Anda jelaskan, bagaimana metodologi penulisan laporan?
Kami memakai tiga kategori sumber. Pertama, dokumen-dokumen dari Indonesia. Terutama BAP, hasil pemeriksaan Pusat Laboratorium Forensik Mabes Polri, peliputan langsung selama jalannya persidangan tujuh tersangka. Kedua, ada juga dokumen dari Amerika, berupa radiogram maupun dokumen-dokumen Pentagon. Ketiga, kami interview lebih dari 50 sumber di Timika, Jayapura, Jakarta, Washington dan lainnya.

Jadi laporan ini disusun dengan cara menganalisa dokumen-dokumen yang ada?
Benar. Tapi tidak semudah itu prosesnya. Satu BAP meliputi pemeriksaan enam tersangka tebalnya saja sekitar 2.500 halaman, ini ada dua buku. Belum lagi dokumen-dokumen dari Amerika. Kami melakukan verifikasi karena banyak informasi simpang siur.

- Andreas memperlihatkan sejumlah dokumen, bersampul kuning bertuliskan Berkas Perkara, dari Bareskrim Direktorat Keamanan dan Transnasional.Beberapa dokumen lainnya berbentuk fotokopi, sebuah buku pedoman kunjungan milik Freeport. Andreas menjelaskan dokumen-dokumen tersebut -terutama dari Amerika- diperoleh berkat bantuan National Security Archive, lembaga swadaya masyarakat di Washington, yang mengumpulkan dokumen-dokumen publik dari pemerintah Amerika dengan memanfaatkan Freedom of Information Act. Sedangkan BAP para tersangka diperoleh dari kuasa hukum mereka Ecoline Situmorang.

Lalu, bagaimana cara menganalisis data yang telah didapat?

Memperoleh data tidak terlalu sulit. Hanya perlu sabar. Lebih sulit pada tahapan menganalisa data. Pertama-tama yang dilakukan membuat kronologi, lalu pemetaan. Banyak keterangan yang berbeda. Yang utama, aku tidak mempercayai semua keterangan saksi begitu saja. Verifikasi satu per satu. Dalam laporan, tidak ada satu pun sumber yang tak disebut namanya. Aku tidak mau menggunakan sumber tanpa nama, karena sumber bisa lempar batu sembunyi tangan. Bisa jadi bumerang buat kami nanti. Beberapa yang minta anonim adalah orang-orang Freeport karena karyawan Freeport tidak boleh memberikan keterangan tanpa izin perusahaan.Tapi aku bisa menerangkan cara kerja dan mereka percaya.

Ada kesulitan dalam menyusun laporan ini?
Aku tidak mengenal Eben sebelumnya. Namun Gordon Bishop mengatakan laporan ini harus dibuat oleh dua orang. Satu dari Amerika dan satu lagi dari Indonesia. Laporan ini harus dikerjakan dari dua sisi. Kami harus menguasai bagaimana mencari dan menggali dokumen di masing-masing daerah. Komunikasi juga hambatan karena jauh. Semua dokumen harus diperiksa oleh aku maupun Eben. Dia di California dan aku di Jakarta. Tempat kejadian jauh di Papua. Kami baru belakangan ketemu. Ini kerja sama yang menyenangkan. Kami menghormati keahlian masing-masing. Eben seorang anthopolog yang menulis thesis bagus soal Papua.

Lalu sejauh mana keterlibatan TNI dalam laporan Anda?
Dalam laporan, yang kami ungkap adalah nama-nama tentara dalam kejadian tersebut dari kesaksian tersangka, saksi dan korban. Misalnya, dari keterangan Wamang; kami menulis soal Sersan Puji, Kapten Hardi Heidi, serta seorang perwira Kopasuss, Sugiono, yang disebut-sebut membantu mencarikan senjata untuk Wamang di Jakarta.

Kapten Hardi membawa senjata dari Jakarta ke Surabaya, kemudian dikirim ke Timika via pelabuhan Tanjung Perak. Namun apesnya, Wamang ditipu. Senjata-senjata yang dibeli tersebut tidak pernah dikirimkan ke Timika. Uang setengah miliar milik Wamang pun lenyap.Dia hanya membawa peluru dari Sersan Puji.

Lalu, dari informasi Decky Murib, seorang informan militer di Timika, kami menyebut nama Kapten Margus Arifin, Lettu Wawan Suwandi, Sertu I Wayan Suradnya, dan Pratu Jufri Uswanas. Mereka bersama tiga tentara lainnya mengajak Murib menuju mile 63. Decky Murib dan empat tentara lainnya menunggu di mile 62.

Sebagian dari mereka adalah anggota Yonif 515 Kostrad dari Tanggul, Jember, yang saat itu ditugaskan di Timika. Sedangkan Margus adalah anggota Kopassus. Dalam kesaksiannya, Murib mengatakan; “Seharusnya Kapten Margus ada di Bandung.”

Lalu, dengan nama-nama tersebut, dapat dipastikan TNI terlibat?
Kami tidak menyebut lembaga TNI terlibat. Pertanyaannya, mengapa orang-orang ini tidak pernah dihadirkan dalam pengadilan? Padahal hasil penyidikan Polda Papua dan Puslabfor Bareskrim Polri, mengarah kepada senjata dan anggota TNI. Kapolda Papua (saat itu) I Gede Mangku Pastika (sekarang Gubernur Bali) pernah mengatakan kepada Brigjen M Yasin (saat itu Deputi Menkopolkam), “Mas, negara ini kan punya kita semua. Kalau demi bangsa dan negara, ya kasih tahu dulu, supaya kita tidak repot semua.”

Pembicaraan ini terjadi di Polres Timika saat mereka bertemu pasca penembakan. Saul Tahapary, seorang purnawirawan polisi dan konsultan Freeport, mendengarkan percakapan dan memberitahu aku. Maknanya, Polda Papua kuatir pembunuhan itu memang melibatkan banyak tentara.

Fakta lainnya?
Ditemukan pecahan dan selongsong peluru, sebanyak 208 butir. Dari Puslabfor Bareskrim Polri, diketahui selongsong tersebut berasal dari 13 pucuk senapan jenis M16, SS1 dan Mauser. Mungkin bahkan lebih dari 13 senjata mengingat lokasi kejadian berupa jalan pinggir jurang. Padahal Wamang hanya punya tiga senapan.

Fakta lainnya, adalah orang yang dikatakan ditembak oleh anggota Kostrad Yonif 515, Koptu Wayan Ardana, yang sebelumnya dikenal dengan sebutan Mr X. Ternyata dia bukan salah satu anak buah Wamang. Identitas Mr X disebutkan adalah Elias Kwalik. Belakangan mayat tersebut dikenal oleh penduduk kampung sebagai Deminus Waker. Hasil visum rumah sakit Tembagapura, waktu kematian Mr X, lebih awal dari tanggal kejadian penembakan. Sekitar 24 hingga 36 jam.

Dari print out radiogram Kedubes Amerika di Jakarta kepada Kementerian Luar Negeri Amerika, menyebutkan Menkopolkam (saat itu) Susilo Bambang Yudhoyono, menghadiri beberapa pertemuan soal Timika dengan Dutabesar Amerika Ralph Boyce. SBY melakukan “koordinasi” antara TNI dan Polda Papua, agar temuan polisi tidak kontroversial. Buntutnya, independensi polisi Papua dan sebenarnya, juga FBI, dikompromikan. Pihak Indonesia oleh SBY. Pihak FBI oleh Jaksa Agung John Ashcroft dan Direktur FBI Robert Mueller. Mereka seharusnya mendorong kedua polisi bekerja maksimal. Bukan cepat-cepat ditutup agar kerja sama militer bisa segera dibuka.

Tujuan dari pelaporan Anda sendiri apa?
Aku cuma wartawan. Tugasku melaporkan kebenaran sebisaku, sedekat mungkin. Bisa baik, bisa buruk. Kadang menyenangkan orang, kadang bikin sakit hati. Biar warga yang memutuskan sendiri. Tugas wartawan memang hanya jadi pembawa pesan. Terserah pembaca untuk mengambil sikap. (*)

3 comments:

Insaf Albert Tarigan said...

Mas, apa memang TNI tak rela jika duit dari Freeport hanya dimakan polisi sehingga mereka menciptakan suasana seolah2 ada ancaman dari gerakan separatis sehingga TNI lah yang diperlukan berperan di situ?? Seingat saya wacana untuk menyerahkan pengamanan ke polisi itu sempat mencuat.
Dan,mengapa ya susah sekali menghukum para anggota TNI, seperti yang terlibat di Tim-tim juga bebas semua. Apa benar pemeriksaan internal itu memunculkan semangat melindungi korps? tapi anehnya institusi sipil non-profesi belakangan juga menerapkan hal yang sama. Misalnya, Badan Kehormatan di DPR.

Oh ya, soal komentar para petinggi TNI, termasuk Sagom memang membuat kesal, dia belum membaca laporan itu tapi langsung mengaitkan laporan itu dengan surat anggota kongres AS kepada SBY.

Erix Hutasoit said...

Dear Mas Andreas,

Juni kemarin, saya mengikuti konferensi internasional di Jerman. Pada waktu itu, issue pelanggaran HAM dan diskriminasi terhadap orang Papua mencuat. Orang-orang dari Papua merasa “jengah” karena orang-orang Indonesia tak kunjung memahami masalah Papua.

Ada dua hal yang saya perhatikan menjadi kelemahan orang-orang dari Indonesia. Pertama, orang-orang Indonesia ”buta” tentang Papua. Informasi yang detail tentang peristiwa yang terjadi di Papua tidak sampai kepada mereka.

Kedua, orang-orang lemah di analisis. Sebenarnya sudah banyak hasil penelitian dan dokumen tentang Papua yang sudah dipublikasikan. Tapi orang-orang Indonesia terlalu malas untuk mencari. Kalaupun sudah ketemu, dokumen itu tidak dibaca dengan sungguh-sungguh sampai paham. Pada hal, dengan membaca saja belum tentu mengerti apa yang terjadi.

Ironisnya, saya harus berdebat dengan orang-orang seperti itu. Dan kejadian seperti itu bukan hanya sekali. Tapi berulang-ulang..

Saya pribadi sangat mendukung Mas Andreas untuk tetap ”speak out” tentang fakta-fakta yang Mas temukan di Papua.

Mungkin hari ini fakta-fakta itu dianggap tidak berguna. Tapi satu hari nanti, saya yakin fakta-fakta itu akan mendapatkan pembenaran. Gerak sejarah tidak bisa diubah, dia (sejarah) itu paling hanya bisa diperlamban.

You are not alone brother..

Jabat Erat,

Erix

Luna Vidia said...

Mas Andreas,
boleh dapet copy laporan itu.. he he he.

makasih, untuk kesediaan menghadirkan kebenaran..
(notes saya setelah kelas berakir terus bertambah...)