Monday, December 02, 1991

Catatan Perjalanan dari Jerman: Pemuda Botak Mencari Mangsa

Andreas Harsono
Bernas, 2 Desember 1991


Pengantar: Beberapa waktu yang lalu Andreas Harsono, diundang oleh South East Asia Information Center dengan sponsor Bread for The World, mengunjungi negeri Jerman. Selama satu bulan lebih, pemuda Salatiga itu “jalan-jalan” ke seluruh Jerman. Berikut sebagian dari catatan perjalanannya yang dikirimkan kepada Bernas.


BERLIN kota yang sangat mengesankan. Ketika kereta api yang saya naiki dari Amsterdam berhenti di stasiun Berlin Zoologischen Garten, dalam pikiran saya terbersit ketakutan akan kriminalitas yang dilakukan oleh kaum Neo Nazi. Maklum saja karena hari-hari sebelumnya Jerman diguncang dengan aksi kekerasan kelompok “pemuda botak” semacam Skin Head atau Red Skin.

Sewaktu berada di Hamburg, saya mendengar ada seorang Afrika yang didorong dari pinggiran gedung tingkat empat. Jatuh dan luka cukup parah. Juga ada rumah orang Polandia yang dirampok dan dibakar. Pada kesempatan lain ada dua anak keturunan Turki dibakar pemuda-pemuda Jerman yang anti Ausländer (orang asing). Berlin adalah salah satu kota dimana kekerasan orang kulit berwarna paling sering terjadi. Waktu saya tiba di Berlin, sudah ada tiga mahasiswa Indonesia korban pemukulan.

Suasana yang saya bayangkan tidak tampak di stasiun Berlin. Biarpun kedatangan saya menjelang tengah malam, saat mana banyak orang asing dipukul, tapi stasiun itu tetap ramai. Banyak juga orang Turki, yang datang untuk menjemput saudaranya. Suasananya hangat. 

Seorang pemuda Jerman, yang bahasa Inggrisnya morat-marit, dengan ramah membantu dan mempersilahkan saya memakai telepon umum. Ini mengingatkan saya kepada pembicaraan dengan Hiltrud Cordes dari South East Asia Information Center, yang mengatakan bahwa orang Jerman yang anti-orang asing presentasi kecil sekali.

Tetapi mereka sangat mobile melakukan kriminalitas dan diberitakan berbagai media massa --termasuk laporan utama majalah Der Spiegel-- sehingga kesannya banyak. Ini tak berarti laporan media keliru namun kesannya sering tak proporsional, tentu berlebihan.


Di Berlin, kota yang akan menjadi ibukota Jerman beberapa tahun mendatang ini, saya terpesona oleh Strasse des 17 Juni. Inilah jalan terpanjang yang lewat di tengah Berlin, yang membuat Berlin dijuluki sebagai kota terpanjang di seluruh Eropa. Saya bayangkan bagaimana rezim Adolf Hitler ditaklukkan oleh Uni Soviet ketika tank-tank Soviet masuk ke Berlin pada Maret 1945, babak terakhir dari Perang Dunia II di daratan Eropa. 

Di kanan kirinya bertebaran gedung-gedung tua, yang cantik dan terpelihara rapi. Interior di dalam biasanya mewah. Jalan ini juga terdapat taman-taman penuh pepohonan tertata indah. Di jalan ini pulalah terdapat Gerbang Brandenburg antara Berlin Barat dan Berlin Timur. 

Gerbang ini menjadi salah satu saksi sejarah ledakan pertama keinginan kedua rakyat Jerman, sebelum reunifikasi 1989, untuk bergabung jadi satu negara.

 Pada 9-10 November 1989, di Salatiga, saya melihat di layar televisi bagaimana gerbang ini penuh dengan manusia yang ramai-ramai menghancurkan Tembok Berlin. Gerbang ini panjang sekali. Saya terpesona dengan patung seorang ksatria sedang mengendarai chariot yang terletak diatas gerbang Brandenburg. Dengan warna kehijauan, kesan yang tampak adalah kuat. Dengan angkuhnya ksatria itu memandang jauh ke depan. 

Sekarang di sekitar Brandenburg sudah tak ada tembok Berlin maupun para demonstran. Yang sekarang banyak berkeliaran di Brandenburg adalah turis dan pedagang kaki lima, kebanyakan orang Turki dan orang dari Eropa Timur, menjual pecahan-pecahan Tembok Berlin. Secuil tembok legendaris ini dijual DM 25 (sekitar Rp 27500).

Saya tertarik untuk membeli satu atau dua biji pecahan tembok sebagai “oleh-oleh” buat ayah saya. Saya curiga pecahan -pecahan itu bukan pecahan asli. Lelehan catnya juga sampai ke sisi samping dari pecahan. Ia kelihatannya tembok biasa yang dicat sana-sini lantas di hancurkan. Karena cat masih basah ada yang meleleh ke sisi samping. Kalau itu asli tembok, tentunya tidak ada cat yang meleleh kesamping. Singkat kata, banyak souvenir palsu.

Sewaktu berada di Kaiserslautern, beberapa hari lalu, seorang dosen Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, yang melanjutkan studi di bidang matematika, menasehati saya untuk mencuil tembok yang penuh coret-coret tersebut di Berlin. 

“Jangan beli di kaki lima,” ujarnya.

Bagaimana mungkin? Sekarang Tembok Berlin sudah habis. Memang ada yang dibiarkan berdiri tegak tetapi itu dijadikan monumen sejarah bahwa kota Berlin pernah dipisah barat dan timur. Para turis tentu tidak bisa seenaknya merusak monumen itu.

Bayangkan kalau ada turis yang akan mencuil-cuil Candi Borobudur dengan pahat? 

Saya menikmati saja keindahan dan sejarah Brandenburg tanpa membawa secuil tembok.


Di Berlin saya sempat melewati taman dengan patung Karl Max dan Frederick Engels. Taman ini terletak di Berlin bagian timur. Taman besar di pusat kota. Yang menarik, tampaknya ada tangan-tangan jahil, sengaja mencoret-coret patung kedua tokoh penandatangan Manifesto Komunisme tersebut. Ini agak luar biasa dalam masyarakat yang menghargai public property.

Dalam seluruh perjalanan saya ke beberapa kota Jerman, selama dua bulan, belum pernah saya melihat ada monumen yang bercoret-coret. 

Di mulut patu Karl Max diberi lelehan cat berwarna merah, yang mengesankan Marx baru saja “minum darah segar.” Di baju Engels juga ada lelehan cat merah. Di dahi Engels ditempelkan selembar kertas putih. Apakah ini lambang Engels yang sedang “sakit” atau “gila”?

Memang semenjak reunifikasi banyak monumen yang dibangun oleh Eric Honecker, mantan pemimpin Socialist Unity Party dari Jerman Timur, hendak dirobohkan ataupun dilecehkan. Gedung-gedung besar yang dibangun Honecker untuk markas besar partai atau gedung pemerintah, dengan alasan bahan-bahannya banyak mengadung abses, bahaya buat kesehatan manusia, hendak dirobohkan. 

Ada juga patung Vladimir Lenin dari Uni Soviet hendak dirobohkan. Ini semua memancing pertikaian antara pro dan kontra. Yang pro biasanya memakai alasan-alasan teknis. Misalnya banyak mengandung asbes, yang dilarang pemakaiannya di Jerman Barat, atau dengan beralasan sudah tidak relevan lagi mempertahankan monumen tokoh komunis macam Lenin.

Sedangkan yang kontra bisa bermacam-macam pula alasannya. Saya menangkap, ada semacam kekecewaan pada orang-orang Jerman Timur kepada pemerintahan yang baru. Mereka merasa dilecehkan. Posisi-posisi penting pada pemerintahan hasil reunifikasi diduduki orang Jerman Barat. Salah satu nama yang sempat disebut mereka adalah Hans Modrow. Tokoh ini adalah pemimpin di kawasan eks Jerman Timur yang berperan penting dalam proses reunifikasi.

Sekarang Modrow duduk pada kursi legislatif tetapi tak berada pada kursi yang vital. Ini mengecewakan orang-orang yang bersimpati kepadanya. 

Peristiwa pencoretan patung Karl Max dan Frederick Engels merupakan contoh yang tepat untuk menggambarkan pro dan kontra di Laender-Laender baru. Negara Jerman sekarang terbagi dalam 16 Laender dan lima diantaranya merupakan bekas wilayah pemerintahan Honecker di Jerman Timur.

Orang-orang yang pro meluapkan kesalahannya terhadap sistem pemerintahan ini dengan merusak apa saja yang ada hubungannya dengan sosialisme. Tetapi ada juga orang-orang eks Jerman Timur yang bersikap kritis dengan melihat kelemahan-kelemahan sistem pemerintahan Jerman Barat lewat argumentasi yang kritis. 

Kelompok kedua inilah, yang dulunya berdiri di depan Erick Honecker, sekarang ramai-ramai memimpin aksi-aksi anti pengrusakan. 

Waktu di Berlin saya melihat ada suatu demonstrasi anti penggusuran patung Lenin. Di bawah patung Karl Max dan Frederick Engels, ada nada sedih, ternyata ada orang yang dengan menulis, “Wir sind schuldig." Artinya, "Kami memang bersalah." 

Namun ada orang menambahkan dua karakter depan kata "schuldig" menjadi, "Wir sind unschuldig." 

"Kami tak bersalah." 

Makna dari aksi coret-coret, yang saling bersahutan ini, adalah cermin dari debat yang menyalahkan Karl Max atas kegagalan sistem ekonomi negara-negara sosialis, tapi di sisi lain ada pula yang membela sosialisme dengan berpendapat, “Kami tak bersalah.” 

Lantas siapa yang salah?

Beberapa cendekiawan mengemukakan bahwa embargo ekonomi secara sistematis dan terus-menerus dari blok Barat --Amerika Serikat maupun sekutu-sekutu mereka di Eropa-- harus dipandang sebagai faktor yang menyebabkan keruntuhan negara-negara sosialis di Eropa Timur maupun Uni Soviet. Amerika Serikat adalah negara yang kuat, paling kuat di seluruh dunia, dengan kekuatan ekonomi dan militer tak tertandingi. Boikot ekonomi dari Amerika bikin tekanan hebat pada negara-negara ini termasuk Jerman Timur. 

Memang tak bisa dipungkiri bahwa negara-negara Tirai Besi punya pemerintahan yang represif dan banyak korupsi. Persoalan tidak sesederhana boikot. Pemerintahan yang represif, cepat atau lambat, bikin rakyat tak senang. Siapa yang salah dan bagaimana memerlukan debat beberapa dekade untuk mencari tahu duduk perkara dengan terang. 


Terlepas dari persoalan ideologi, sekarang kegembiraan reunifikasi antara Jerman Barat dan Jerman Timur sudah hilang. Pada awal reunifikasi mereka memang gembira karena bisa bebas bepergian dan mengunjungi saudara-saudaranya. Beberapa bulan kemudian suasana pesta harus segera berakhir. Dan yang tersisa adalah pekerjaan untuk menyepadankan (to match) kedua sistem ekonomi-sosial dari dua negara, yang berbeda selama 40 tahun.

Orang-orang Berlin Barat mulai jengkel dengan mobil Trabi di jalan-jalannya. Mobil kecil buatan eks Jerman Timur ini badannya terbuat dari karton dan plastik. Di satu sisi sangat hemat energi (1 liter bensin bisa untuk belasan kilometer) tetapi di sisi lain polusinya berat. Orang-orang Berlin Barat juga kesal dengan meningkatnya pencurian mobil dan rumah. 

Sedangkan di wilayah eks Jerman Timur, penduduknya terkejut dengan meningkatnya jumlah pengangguran. Dulu pemerintah selalu mencarikan pekerjaan buat semua warga. Sekarang tidak lagi. Ongkos hidup meningkat cepat. Harga barang-barang naik tetapi gaji tidak naik. Di eks Jerman Barat, biaya hidup memang lebih tinggi dari pada di Jerman Timur. Dulu pada zaman komunisme tak ada iklan komersial. Sekarang iklan bertebaran seluruh Jerman. 

Seorang mahasiswa Berlin mengatakan, “Dulu di pintu masuk perbatasan dapat dilihat panser dari Uni Soviet siap siaga. Tetapi sekarang sudah berganti dengan iklan rokok West dan Marlboro. Bahkan dapat dikatakan sekarang di eks Berlin Timur, lebih banyak dibandingkan dengan Barat." 

Persoalan-persoalan sosial seperti inilah yang kemudian mendorong suburnya semangat anti-orang asing. Pemuda-pemuda Neo Nazi banyak bermunculan dari eks Jerman Timur. Mereka mencari kelompok yang lemah seagai kambing hitam. Dan orang asing yang bekerja di Jerman adalah sasaran yang paling empuk.

Mereka menuduh orang asing merebut pekerjaan-pekerjaan mereka, makanan, pakaian dan lain-lain. Ketertutupan selama 40 tahun, dimana orang-orang Jerman Timur, tidak mendapat banyak kesempatan untuk bergaul dengan orang-orang di luar, membuat mereka sering salah mengerti dengan kebudayaan dan pemikiran yang berbeda.

Maka teriakan-teriakan, "Ausländer raus!" (Orang asing keluar) selalu tercetus dalam setiap demonstrasi-demonstrasi mereka di Dresden, Halle, Leipzig dan sebagainya. 

Semangat untuk menunjukkan nasionalisme sendiri, yang sempit yang anti pada yang liyan, perlahan juga muncul dengan melecehkan bangsa lain, termasuk orang Turki, yang kebanyakan Muslim, maupun Polandia dan Rusia, yang Kristen namun beda dengan Protestanisme di Jerman.

Ini mendapatkan reaksi yang tidak kalah besarnya dari orang-orang Jerman lain. Demonstrasi-demonstrasi anti rasialisme dan anti kekerasan muncul dimana-mana. Di Bochum, tempat di mana saya kebanyakan tinggal, saya pernah ikut berdemonstrasi anti rasialisme.

Dalam demonstrasi tersebut teriakan-teriakan “Internationale solidarity” menggema dimana-mana. Pernah saya ikut demonstrasi yang diikuti sekitar 5.000 orang. Saya diminta untuk ikut memegang suatu spanduk tentang perlunya menghargai orang lain. Penduduk Bochum sekitar 200.000. Ada yang karton dengan tulisan, "Foreigners, don’t leave me alone" maupun, "Everybody is a foreigner." Memang di dunia ini semua orang adalah pendatang. 

Persoalan penyelesaian kedua Jerman seharusnya tidak perlu terjadi dengan mencari kambing hitam untuk disalahkan, diburu dan dipukuli. Dan mengetahui ini semua, diam-diam saya menjadi sedikit mengerti dengan perjuangan dan keindahan Berlin, menyimpan segala dendam dan amarah. 


Catatan Perjalanan dari Jerman

Suara Merdeka, 22 November 1991

Suara Merdeka, 22 November 1991

Bernas, 1 Desember 1991

Bernas, 2 Desember 1991

No comments: