Thursday, August 03, 2023

Perundungan, Intimidasi, dan Kekerasan Wajib Jilbab

Sebuah sekolah negeri di Cibinong, dekat Jakarta, dengan aturan wajib jilbab. Ia salah satu sekolah yang muncul dalam laporan Human Rights Watch dengan beberapa kasus pemaksaan jilbab. 

PADA November 2010, Human Rights Watch menerbitkan laporan setebal 89 halaman, berjudul, Policing Morality: Abuses in the Application of Sharia in Aceh, Indonesia. Ia berisi persoalan yang ditimbulkan dua aturan daerah soal busana perempuan serta lelaki serta perempuan yang berduaan. 

Pada Maret 2021, Human Rights Watch menerbitkan laporan 98 halaman dengan judul “I Wanted to Run Away": Abusive Dress Codes for Women and Girls in Indonesia. Ia mencakup wilayah yang lebih luas di Indonesia. 

Ia mendokumentasikan bagaimana puluhan aturan wajib jilbab di Indonesia, muncul sejak tahun 2001 di Sumatera Barat, memicu berbagai pemaksaan jilbab, intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap anak sekolah maupun perempuan dewasa. Ia menyebar ke seluruh Indonesia, pada 2002 Aceh sampai 2022 di Sulawesi Selatan. 

Pelanggaran terjadi pada empat sektor: sekolah negeri; pegawai negeri; para pengunjung perempuan di berbagai kantor pemerintahan; dalam daerah yang lebih terbatas juga terjadi di tempat publik misalnya Aceh dimana semua perempuan harus berjilbab di luar rumah mereka. 

Pelanggaran terjadi terhadap kebebasan beragama dan berekspresi, best interest of the child (hak anak), hak akan pekerjaan buat orang dewasa, perlindungan minoritas dari diskriminasi --perempuan non-Muslim juga dipaksa berjilbab-- serta hak akan privacy dan personal autonomy

Saya menaruh berbagai laporan dan video soal masalah jilbab dalam halaman ini agar ia mudah dipakai siapa pun yang tertarik mempelajari berbagai pelanggaran ini. Ia termasuk video yang direkam Elianu Hia, seorang ayah di Padang, Sumatera Barat, ketika mendatangi sekolah putrinya, bertanya soal mengapa putrinya, seorang Kristen, dipaksa berjilbab. 


Human Rights Watch dukung Surat Keputusan Bersama 3 Menteri yang memerdekakan anak dan guru perempuan memilih busana mereka sendiri.

Tujuh perempuan Indonesia tampil mendukung SKB 3 Menteri soal kedaulatan siswi dan guru perempuan memilih busana mereka. 

Siaran pers Human Rights Watch saat peluncuran laporan Maret 2021. Ia diterjemahkan ke 11 bahasa termasuk Indonesia. Semua karya ditulis aslinya dalam bahasa Inggris. 

Human Rights Watch mengumpulkan setidaknya 64 aturan wajib jilbab, dari tingkat daerah sampai nasional di seluruh Indonesia. Komnas Perempuan menyimpan hardcopy semua aturan ini.

Julia Suryakusuma menulis kolom The Jakarta Post soal dampak jilbabisasi dengan contoh Nadya Karima Melati, dulu siswi sebuah SMAN2 Cibinong, yang cemas karena perundungan terus-menerus. 

Widiya Hastuti menulis bahwa aturan wajib jilbab di Aceh memicu tekanan sosial, perundungan, dan intimidasi terhadap perempuan. Ia melanggar melanggar konstitusi dan perjanjian Helsinki.

Puisi karya Ifa Hanifah Misbach, seorang psikolog Bandung, yang sering bantu pasien perempuan yang cemas karena perundungan dan intimidasi jilbab. 


Mahkamah Agung membatalkan SKB 3 Menteri yang memperbolehkan jutaan anak dan guru perempuan buat mendapatkan hak dasar mereka: memilih busana.

Lebih dari 800 tokoh masyarakat di Indonesia protes terhadap keputusan tiga hakim Mahkamah Agung yang batalkan SKB 3 Menteri. 

Para pelajar sekolah negeri dan pegawai negeri perempuan berikan kesaksian berbagai sanksi dan penderitaan mereka akibat peraturan wajib jilbab.

Ni Putu Eka Budi, seorang Hindu Bali dan lahir di Padang, menulis bagaimana dia ditekan buat berjilbab, mengucapkan syahadat di Padang. 

Seorang siswi SMAN1 Banguntapan lari ke toilet sesudah dipaksa "hijab tutorial" oleh tiga guru. Siswi menangis, menolak kembali ke sekolah tsb. 

Sebuah keluarga Kristen, protes aturan wajib jilbab di SMKN2 Padang. Dampaknya, boikot sosial, bisnis keluarga bangkrut, terancam rumah disita.

Komnas Perempuan gelar rapat dengar pendapat, pertama di Indonesia, masalah peraturan wajib jilbab.

Chairunnisa Aminuddin seorang pengelola pesantren di Pandeglang, Banten, yang didirikan ayahnya Aminuddin. Dia menulis buku, Puber Beragama di Negeriku dan memimpin "Serumpun Bakung" komunitas  yang bantu perempuan korban perundungan dan intimidasi atas nama "wajib jilbab." Dia sering menulis lewat Facebook. 

No comments: