Wednesday, October 07, 2009

Kapolda Fasilitasi Dialog Seruan Pontianak

Ditulis oleh Tantra/Hairul
Borneo Tribune


Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat, pukul 11.00 WIB pagi ini, Rabu (7/10) menggelar dialog menindaklanjuti ‘Seruan Pontianak’ (SP). 150 tokoh masyarakat, termasuk 77 statemenship SP diundang. Selain mereka yang termasuk penyeru perdamaian sejumlah tokoh dan pengurus organisasi masyarakat, etnis, agama, Kerabat Kesultanan Kadriah, para pemimpin redaksi maupun wartawan-wartawati juga diundang. Pertemuan ini sendiri untuk menindaklanjuti dan mencari solusi tentang SP agar tidak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat.

“Rabu (7/10) ini, kita mengundang seluruh tokoh Kalbar mulai dari Dewan Adat Dayak Kalbar, Dewan Adat Dayak Nasional, Majelis Adat Budaya Melayu, Forum Komunikasi Pemuda Melayu sampai Kerabat Kesultanan Kadriah Pontianak,” ungkap Kabid Humas Polda Kalbar, Suhadi SW, Selasa (6/10).

Suhadi menjelaskan pertemuan ini digelar untuk menuntaskan persoalan terbitnya SP yang selama ini menjadi polemik. “Pertemuan sekaligus makan siang yang digelar di Graha Khatulistiwa Kalbar ini bertujuan menindaklanjuti dan mencari solusi tentang Seruan Pontianak agar tidak menimbulkan persepsi negatif di masyarakat,” ujarnya.

Sebelumnya SP terbit di tiga media cetak Kalbar, Senin (28/9) di Pontianak Post, Tribun Pontianak dan Borneo Tribune. Ada 9 alinea di dalamnya yang berisi seruan damai, mempelajari sejarah konflik komunal dan tindakan preventif agar tidak jatuh korban lebih besar.

Penampilan iklan 1 halaman dengan disain kartunis mendapat reaksi pro dan kontra sehingga Kapolda didatangi sejumlah tokoh masyarakat. Kapolda kemudian mengundang sejumlah orang yang dinilai sebagai penggagas, Senin (5/10) dan hadirlah belasan orang antara lain Asriyadi Alexander Mering, Agustinus, Abdullah HS, Siddiq, Subro, Syamsuddin, Kristianus Atok, W Suwito, Nur Iskandar, Dwi Syafriyanti, Andreas Harsono. Usai memenuhi undangan yang dilengkapi dengan penelusuran maksud, tujuan dsb, penyeru perdamaian menggelar konferensi pers.

Suhadi menjelaskan dalam pertemuan yang difasilitasi Kapolda diagendakan para penggagas SP memaparkan kembali latar belakang, maksud dan tujuan sampai pada pendanaan terbitnya SP di tiga media lokal Kalbar. Setelah itu, diadakan dialog bersama untuk mencari solusi dari timbulnya pro dan kontra akibat terbitnya SP.

Suhadi berharap, pertemuan ini dapat membawa titik temu penyelesaian masalah terbitnya SP sehingga persoalan ini tidak berlarut-larut.

Sementara itu, salah seorang penggagas SP, Nur Iskandar menegaskan, ia bersama para penggagas SP lainnya siap menjelaskan sedetil-detilnya maksud dan tujuan terbitnya SP. “Kami akan sampaikan selengkap-lengkapnya mulai dari latar belakang, tujuan dan pendanaan hingga terbitnya SP. Kami juga siap menerima kritik, saran dan masukan dari semua pihak untuk bersama-sama mencari solusi terbaik menindaklanjuti SP,” tegasnya.

Nur Iskandar juga mengungkapkan para penggagas SP akan hadir dalam dialog tersebut. Selain menjelaskan seluruh hal mengenai terbitnya SP, para penggagas SP juga akan mengajak peserta yang hadir dalam pertemuan tersebut untuk berdialog menindaklanjuti langkah selanjutnya membangun perdamaian di Kalbar yang abadi.

SP Hal Biasa

Sementara itu, mantan anggota DPRD Kalbar, Zainuddin Isman, menegaskan sebenarnya dari segi subtansi yang disampaikan, SP merupakan hal biasa dan sudah lama serta sering diungkap di pertemuan ilmiah dan akademis.

Menurut Zis--sapaan akrab Zainuddin Isman, pada seminar terakhir yang diikutinya di LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) serta seminar yang digelar oleh Perancis membahas konflik di Indonesia termasuk Ambon, Kalbar dan Kalteng, data dan fakta juga dibahas dan diungkap melebihi isi SP. “Seminar ini dihadiri banyak peneliti. Nah, mengenai data di SP bukan hal yang baru dan SP itu hal yang biasa. Mungkin kondisi masyarakat secara sosiologis saja yang belum pas,“ nilainya.

Zis mengakui, dirinya saat ini sedang mengerjakan penelitian dengan 500 responden namun belum selesai. “Sangat mengejutkan bahwa 52% dari 300 kuisioner yang telah masuk, mereka menyatakan tidak tahu mengenai Seruan Pontianak. Artinya dari penelitian ilmiah ini, masyarakat tidak terlalu ribut, elit dan aktor sosial yang belum siap. Tidak ada persoalan,“ urai Zis.

Dari SP ini, nilai Zis, ada makna lain yang bisa diambil bahwa perjuangan untuk memahami keberagaman dan multikultur ini masih perlu waktu mengingat elit dan aktor sosial belum siap. “Seruan itu tidak bisa dipidana, tidak ada kata yang mengajak untuk berbuat tidak baik dan hemat saya,ini ajakan untuk kebaikan,“ pungkasnya.

Di tempat terpisah mantan anggota DPRD Kalbar, Syarif Abdullah Alkadrie, menegaskan apa yang disampaikan Seruan Pontianak merupakan apa yang pernah terjadi di Kalbar. “Ini fakta dan secara ilmiah maupun akademis sering dibahas. Kerusuhan ini sejak tahun 1967 dan berulangkali terjadi. Jangan dilihat membuka luka lama tetapi mari memandang ke depan untuk Kalbar yang satu dan utuh. Apa yang disampaikan di SP, sepengetahuan dan tafsir saya maknanya seperti itu,“ ucap Abdullah.

Abdullah mengajak untuk memaknai seruan ini bagaimana membangun Kalbar ke depan dalam bingkai satu dan utuh. “Kita yang hidup di Kalbar ini ke depan harus lebih aman dan damai tanpa pertikaian, memahami keberagaman dan pluralisme. Ke depan tidak ada lagi kasus-kasus kriminal perseorangan diseret-seret dan dipanas-panasi maupun dikait-kaitkan dengan etnis. Kriminal murni tetap kriminal, kita serahkan ke polisi menangani. Pihak keamanan pun harus tegas sehingga tidak merembet ke mana-mana,“ saran Abdullah.

Abdullah menyatakan juga tidak sepaham atas keinginan sejumlah orang yang mendesak untuk mencari aktor atau penggagas SP ini. “Kemarin para penggagasnya sudah memberikan penjelasan ke Polda dan niat mereka baik, mungkin ada redaksional di SP yang kurang tepat. Dan dalam hal ini mereka juga sudah menyatakan permohonan maaf. Tinggal ke depan bagaimana kita semua bisa bersama hidup lebih rukun membangun Kalbar satu dan utuh,“ imbau Abdullah.

No comments: