Tuesday, June 22, 2004

Hanitzsch soal Pendidikan Jurnalisme

Handono yang baik,

Terima kasih untuk emailnya. Saya tembuskan jawaban saya ini ke mailing list Pantau dengan harapan ada rekan wartawan atau dosen yang bersedia ikut diskusi kita tentang pendidikan jurnalisme di Indonesia.

Isu yang Anda angkat adalah mutu pendidikan jurnalisme di Indonesia. Anda bertanya, "Bagaimana standar kurikulum yang seharusnya diterapkan di lembaga pendidikan junalisme? Apakah sekolah-sekolah jurnalisme di Indonesia sekarang ini sudah sesuai dengan kebutuhan media kita? Kalau sesuai, kenapa sepertinya banyak media massa sepertinya menomorduakan lulusan-lulusan program studi jurnalisme?"

Saya harus membongkar perpustakaan saya untuk mencari hasil studi Thomas Hanitzsch, seorang kandidat PhD dari Universitas Ilmenau, Jerman, yang pernah kuliah Bahasa Indonesia di Universitas Gadjah Mada, serta meneliti pendidikan jurnalisme Indonesia. Saya baca riset awalnya, "Rethinking Journalism Education in Indonesia: Nine Theses," yang diterbitkan jurnal Mediator terbitan Universitas Islam Bandung (vol. 2 no. 1 thn. 2001).

Hanitzsch menulis bahwa mendefinisikan mutu dalam jurnalisme, dengan mengutip ilmuwan Jerman, Stefan Russ-Mohl, "Ibaratnya memaku puding ke tembok." Ia sesuatu yang sia-sia. Pada akhir abad XIX dan awal abad XX, dari Joseph Pulitzer (Amerika Serikat) hingga Max Weber dan Richard Wrede (Jerman), sudah memperdebatkan apa ukuran jurnalisme bermutu, namun diskusinya sulit sekali, kalau tak bisa dibilang sia-sia.

Ada kubu yang berpendapat wartawan perlu sekolah jurnalisme, antara lain Pulitzer yang memberikan uang untuk mendirikan Columbia Graduate School of Journalism pada 1902, ada pula kubu yang berpendapat wartawan tak perlu belajar sekolah secara khusus namun belajar dari berbagai disiplin ilmu, antara lain orang-orang Universitas Harvard, yang mendirikan Nieman Foundation on Journalism pada 1939.

Di Amerika ada puluhan program serupa Nieman Fellowship dimana wartawan diberi kesempatan mencicipi berbagai ilmu namun mereka tak menerima gelar. Namun di Amerika juga banyak sekolah wartawan bermutu dimana wartawan diajari berbagai macam ketrampilan dalam jurnalisme sekaligus belajar ilmu sosial atau ilmu lain yang menarik minat mereka.

Ilmuwan Jerman, Siegfried Weishenberg, pada 1990, mencoba maju lebih kongkrit dengan memperkenalkan empat macam kompetensi yang diperlukan seorang wartawan agar bisa melakukan pekerjaannya dengan baik:

(1) Kompetensi profesional, misalnya, melakukan editing, seleksi informasi, memahami komunikasi dasar dan sebagainya;
(2) Kompetensi transfer, misalnya, penguasaan bahasa, presentasi informasi, berbagai genre dalam jurnalisme dan sebagainya;
(3) Kompetensi teknis, misalnya, komputer, internet, disain grafis dan sebagainya;
(4) Kompetensi tingkat lanjut, misalnya, pengetahuan terhadap isu liputan tertentu, ilmu-ilmu sosial, bahasa asing dan sebagainya.

Dalam makalah itu, Hanitzsch menjelaskan keempat kompetensi itu dalam sebuah tabel, dan berdasarkan tabel itu ia membandingkannya dengan kurikulum, kualifikasi tenaga pengajar, nisbah mahasiswa dan dosen, serta faktor-faktor lain, yang ada pada lima sekolah jurnalisme atau sekolah jurnalisme dalam program komunikasi: (1) Universitas Gadjah Mada; (2) Lembaga Pers Dokter Soetomo; (3) Institut Ilmu Sosial dan Politik; (4) Multi Media Training Center (MMTC); (5) Universitas Indonesia.

Ada beberapa kesimpulan yang didapat Hanitzsch. Pertama, pendidikan jurnalisme kita masih dihambat oleh apa yang disebut sebagai "kurikulum nasional." Kedua, tak ada interaksi antara pendidikan jurnalisme dan industri media. Sekolah jurnalisme punya dunianya sendiri, sedangkan industri media berada pada dunia yang lain. LPDS dan LP3Y punya pendekatan yang berbeda namun juga tak memadai karena mereka tak dilengkapi dengan sekolah di bidang penyiaran --sesuatu yang berkembang pesat di Indonesia.

Ketiga, semua sekolah ini tak dilengkapi dengan teknologi yang memadai. Banyak yang tak punya fasilitas internet maupun disain grafis. Kebanyakan dosen mengajarkan pengetahuan komunikasi plus matakuliah macam Pancasila, Pendidikan Moral Pancasila, dan sebagainya.Keempat, di Indonesia, ada 69 sekolah jurnalisme (dari D-1 hingga S-3) tapi 80 persen ada di Pulau Jawa dan Medan. Daerah timur, dari Makassar hingga Jayapura, dari Maluku hingga Kupang, adalah daerah-daerah yang tak punya sekolah jurnalisme. Ia melihat ada ketimpangan besar antara jurnalisme di Jawa dan Medan serta di kota-kota timur.

Ia memberikan data lengkap pada kelima sekolah itu. Sekolah wartawan pertama di Jakarta adalah "Akademi Wartawan" yang didirikan pada 1950 dan jadi cikal bakal IISIP. UGM mendirikan jurusan "publicitit" pada 1953. Universitas Indonesia mendirikannya pada 1959.

Namun semua sekolah yang diteliti Hanitzsch punya kelemahan di bidang tenaga pengajar. UGM misalnya, dari 16 dosen tetap, semuanya punya gelar di bidang komunikasi, namun hanya tiga orang yang punya pengalaman di bidang jurnalisme. IISIP punya 10 dosen tetap, tanpa jurusan penyiaran, dan hanya enam dosen yang pernah punya pengalaman di bidang jurnalisme. MMTC didirikan oleh Departemen Penerangan pada 1985 untuk mendidik karyawan TVRI dan RRI. Namun sejak jatuhnya Presiden Soeharto, ia kesulitan dana dan kini masih belum punya kejelasan akan masa depannya.

Kebanyakan sekolah ini menekankan kurikulum mereka pada pengetahuan tentang komunikasi namun kemampuan praktis di bidang jurnalisme, misalnya menulis, sedikit diajarkan. Bahkan di UGM, teknik investigasi dan format berita dijadikan satu matakuliah, diajarkan satu semester saja. Semua sekolah ini juga tak memberikan kesempatan mahasiswa untuk merasakan ruang redaksi --sesuatu yang normal dilakukan sekolah macam Columbia Graduate School of Journalism.

Saya tidak kaget membaca penemuan Thomas Hanitzsch. Saya kira isu ini juga sering dibicarakan di kalangan wartawan kita. Selama lebih dari 15 tahun jadi wartawan, saya sering mendengar keluhan para redaktur yang kesulitan mencari tenaga wartawan. Minggu lalu saja, saya menerima keluhan dari Wina Armada dari harian Merdeka serta Iwan Qodar Himawan dari majalah Gatra.

Keduanya merasa sulit mencari orang yang bisa dididik jadi wartawan. Padahal sekolah jurnalisme banyak sekali. Hanisztch menulis 69 sekolah itu punya 19 ribu mahasiswa. Ia seharusnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan media Indonesia.

Menurut Atmakusumah Astraatmadja dari LPDS, dalam sebuah email dalam suatu mailing list pada awal 2000, jumlah wartawan di Indonesia pada masa Presiden Soeharto hanya sekira 7.000. Mereka mengasuh hampir 300 media cetak. Ada hampir 700 stasiun radio (walaupun sangat sedikit yang memiliki kegiatan jurnalistik) dan enam stasiun televisi.

Sekarang, ketika media cetak jadi sekira 600-700, stasiun radio lebih dari 1.000, dan televisi menjadi lebih dari sepuluh di Jakarta (total 31 di seluruh Indonesia), paling-paling wartawan bertambah 8.000-10.000. Padahal kebutuhannya banyak sekali. Kita bakal melihat ledakan stasiun-stasiun televisi di luar Jakarta --mungkin di lebih dari 10 kota besar Indonesia. Siapa yang bakal mengisi kekurangan tenaga-tenaga disana?

Saya tak tahu jawabannya. Tapi saat ini, setidaknya saya ingin sekali bisa membaca disertasi Hanitzsch bila sudah selesai. Saya kira sudah saatnya kita membicarakan pendidikan jurnalisme Indonesia secara serius. Tanpa upaya perbaikan sekolah jurnalisme, saya kuatir, masa depan media kita juga suram, dan ini juga akan mempengaruhi mutu demokrasi Indonesia. Terima kasih

No comments: