Thursday, August 02, 2007

Nurmahmudi Membakar Buku, Hugo Chavez Membagi Sejuta Buku!

LAWAN PEMBAKARAN BUKU!
LAWAN FASISME!
TEGAKKAN DEMOKRASI!

Nurani Soyomukti
Penulis Buku Revolusi Bolivarian: Hugo Chavez dan Politik Radikal berkhidmat di Jaringan Kebudayaan Rakyat; pendiri Yayasan Komunitas Teman Katakata (Koteka) Jakarta



Sungguh menyedihkan membaca berita tentang seorang Walikota, pimpinan masyarakat perkotaan, berada di depan mempelopori penghancuran terhadap peradaban buku. Adalah Nurmahmudi Ismail, walikota depok, berada di paling depan aksi pembakaran buku-buku sejarah. Secara simbolis pemusnahan buku dengan cara dibakar tersebut dilakukan Nuramahmudi bersama Kepala Kejaksaan Negeri Depok Bambang Bachtiar dan Kepala Dinas Pendidikan Depok Asep Roswanda (Koran Tempo, 21/7.2007).

Yang ada dalam pikiran saya saat baca berita itu: Oh, kenapa masih ada saja pemimpin rakyat yang memundurkan kebudayaan dan peradaban bangsa, berada di depan untuk menghambat dan menghancurkan budaya ilmiah dan kebebasan berimajinasi dan berekspresi rakyatnya. Saya bertanya, adakah pemimpin-pemimpin di negeri terdahulu juga melakukan hal yang sama? Presiden-presiden Indonesia saja banyak yang menghargai buku, karya ilmiah, dan karya kesusatraan—kecuali Soeharto!

Karena saya telah melakukan penelitian tentang pribadi pemimpin besar bernama Hugo Chavez, presiden Venezuela, yang juga saya publikasikan dalam buku saya Revolusi Bolivarian: Hugao Chavez dan Politik Radikal, maka saya mulai tertarik menyelidiki hubungan Chavez dengan Buku.

Ternyata personality politic Chavez sungguh luar biasa, ia adalah pengagum buku. Saya bayangkan, Nurmahmudi Ismail, yang walikota saja, secara jahat memusuhi kebebasan buku-buku mewarnai peradaban Indonesia, bagaimana kalau saja ia menjadi Presiden seperti Chavez, Gus Dur, Soekarno, Megawati, atau lain-lainnya?

Karena kecintaan akan sastra itu, Chavez memperbanyak dicetaknya karya-karya sastrawan Amerika Latin, ia membagi-bagikan secara gratis satu juta naskah buku sastra (novel) Don Quixote, yang dirayakan ulang tahunnya yang ke-400 di seluruh dunia pada tahun 2005. Don Quixote de la Mancha (bahasa Sepanyol: Don Quijote) adalah sebuah novel karya Miguel de Cervantes Saavedra, yang dianggap secara meluas sebagai karya bahasa Spanyol yang terbaik di dunia dan kini merupakan lambang karya kesusasteraan Spanyol. Diterbitkan pada tahun 1605, ia adalah salah satu novel paling awal dalam bahasa Eropa modern. Chavez membagikan sejuta naskah karya sastra tersebut dalam rangka merayakan kemenangan program melek huruf yang keberhasilannya dipuji oleh UNICEF.

Buku dan Manusia Besar
Adakah keterkaitan antara membaca sastra dengan karakter kepemimpinan seorang presiden? Mungkin pertanyaan ini tidak begitu penting karena hendak mengkhususkan pertanyaan tentang apa pengaruh sastra bagi manusia? Dan jawaban atas pertanyaan tersebut sebenarnya telah banyak dijawab oleh berbagai macam pengamat.

Pertanyaan tersebut, bagi saya, cukup masih relevan bagi kita, terutama pada saat kehidupan kesusastraan dan peradaban literer di negeri ini mundur. Saya membayangkan bahwa kemunduran kebudayaan literer inilah yang menjadi salah satu penyebab kemunduran bangsa ini. Budaya membaca dan menulis di negeri ini masih minimal. Kebebasan membaca dan menulis juga terpasung. Membaca dianggap sebagai tindakan yang asosial, pekerjaan pemalas, dan tiada guna. Hal ini berbeda dengan di negara-negara maju, seperti Eropa dan Jepang, di mana orang terbiasa melakukannya (membaca) di ruang tunggu, di dalam kereta api bawah tanah, yang penumpangnya tidak bertegur sapa karena membaca, tidak saling tersenyum. Bukan berarti mereka terasing atau individualis, tetapi tulisan memang menyerbu masuk dan menghantam lingkaran hubungan langsung satu-satu secara familiar, ramah, hangat, dan membahagiakan.

Menulis juga belum menemukan ruang kebebasannya. Tidak ada orang yang bebas menuliskan apa yang dianggapnya sebagai ungkapan, harus berhadapan dengan pembakaran buku, sweeping, juga pelarangan dari negara dan sebagian kelompok sektarian yang memaksakan "kebenaran tunggal" atas nama pertahanan dan keamanan, moral, dan agama. Tidak ada wacana yang bebas berkontestasi diiringi dengan infantilitas pemaknaan budaya. Lontaran wacana dilawan dengan pedang dan aksi massa, dan itulah yang membuat kebebasan mendekam dalam ruang kepengecutan, ketakutan, dan sempitnya imajinasi masyarakat.

Negeri ini juga tidak lagi beruntung karena pemimpin (presidennya) kurang menghargai imajinasi dan ekspresi literer rakyatnya. Bahkan kita juga miskin pemimpin yang menyukai karya sastra, peradaban buku, habitus baca-tulis, dan pembudayaan bangsa melalui budaya membaca dan menulis. Saya tidak tahu bagaimana pengaruh sastra terhadap presiden Susilo Bambang Yudoyono dan atau wakilnya Jusuf Kalla.

Tetapi mungkin kita masih (pernah) punya Gus Dur, seorang yang, menurut saya, sangat menyokong imajinasi manusia-manusia Indonesia dengan menghargai kebebasan berpikir, mendukung budaya baca-tulis. Bahkan dalam hal ini pribadi Gus Dur sangat menarik (unik) karena ia sendiri juga penikmat dan penulis sastra, pengarang buku, dan juga pandai mengulas karya sastra dan karya intelektual. Tak heran jika hal itu juga berpengaruh pada wataknya yang pluralis, mencintai kedaulatan bangsa, progresif, dan tidak hitam-putih dalam melihat persoalan.

Kita, selain Gus Dur, juga pernah mempunyai Soekarno, presiden pertama Republik yang banyak membaca karya-karya pemikir dan sastrawan besar. Soekarno juga seorang perenung, pengarang dan pencipta, menulis dan melukis. Tak heran jika kemudian ia menjadi tokoh besar yang dikenang oleh rakyat dan masyarakat dunia. Jatuhnya beliau juga sekaligus menandai matinya peradaban literer bangsa ini karena pemberangusan terhadap karya secara intensif dikonsolidasikan melalui gerakan militeristik, yang memperalat negara di era Orde Baru.

Hugo Chavez, Buku, dan Sastra
Untungnya di luar negeri kita, hari-hari belakangan kita masih bisa menjumpai pemimpin yang kharisma dan terobosannya mirip Bung Karno di tahun 1960-an, seorang presiden yang membangun bangsanya dengan prinsip kedaulatan, dengan suara yang sama nyaringnya dengan presiden pertama Indnesia dalam hal anti penjajahan global, anti-imperialisme. Terpilih dua kali (pemilu 1998 dan 2006) dengan suara yang meningkat dan dukungan semakin kuat dari rakyatnya, Hugo Chavez presiden Venezuela memberikan demokrasi dan kesejahteraan berbasiskan pada demokrasi partisipatoris: bukan demokrasi komunis-diktator yang memasung kebebasan berekspresi, juga bukan demkrasi liberal-borjuis yang mengagung-agungkan kebebasan tetapi hanya kosong dengan formalitas dan proseduralitas demokrasi pemilu lima tahun sekali.

Demokrasi partisipatoris (participatory democracy) telah membuat rakyat berpartisipasi aktif terlibat dalam pengambilan kebijakan, mengontrol dan bahkan mengeksekusi sendiri program-program kerakyatan. Chavez dan rakyatnya mengakses kesehatan dan pendiikan gratis. Chavez berhasil membebaskan Venezuela dari buta huruf di tahun 2005 lalu (data UNICEF) dan meluluskan 900.000 orang yang drop out sekolah dasar di tahun 2004. Mission Ribas menyekolahkan orang-orang yang drop out SLTA, dan Mission Sucre memberi beasiswa untuk orang miskin masuk ke Perguruan Tinggi. Secara simultan juga membangun 200 Universitas Simon Bolivar di kota-kota. Selama 102 tahun rakyat tak pernah membayangkan program-program sosial ini dapat dinikmati dengan gratis (Soyomukti, 2007: 134).

Komunitas-komunitas baca-tulis dijumpai di berbagai tempat, karya Gabrielle Garcia Marquez, Pablo Neruda, Giconda Belli, Marti, dan para sastrawan Amerika Latin dapat diakses oleh rakyat. Untuk melawan media-media kaum oposisi (borjuis) yang menguasai 90% media, pendukung Chavez membangun dan memperluas media komunitas sehingga peradaban baca-tulis dan kesusatraan dapat meluas ke masyarakat banyak. Banyak yang keheranan, ketika semua media (TV, radio, surat kabar) terus saja menyerang Chavez, tokoh ini bukannya kekurangan legitimasi tetapi malah semakin didukung rakyat.

Meskipun berlatarbelakang seorang tentara, humanisme dan jiwa kerakyatan Chavez bertolak belakang dengan para pemimpin lain yang berlatar belakang tentara (semacam Soeharto atau Susilo di Indonesia). Sejarah telah membentuk Chavez, sang Hugo (Manusia Besar), menjadi manusia yang cerdas, berkarakter kerakyatan, dan memiliki sensitivitas tinggi. Salah satu yang menonjol adalah karena Chavez membaca, menyukai buku-buku, dan keranjingan sastra.

Ketika menerima pendidikan militer ia tak hanya membaca literatur Clausewitz, Bolivar, Paez, Napoleon, dan Anibal. Dia juga mengunyah karya Mao dan darinya ia mengobsesikan sebuah peran kerakyaan. Ucapan Mao yang sering ia kutip adalah: "Rakyat bagi tentara adalah ibarat air bagi ikan".

Dari situ, sesungguhnya Chavez sejak awal telah berkenalan dengan bacaan-bacaan yang kemudian hari menentukan pandangannya sebagai seorang tentara. Visi militer-sipil yang ada padanya akan mengarahkan dia untuk membangun hubungan kuat antara militer dengan rakyat miskin. Ada buku lainnya yang juga berpengaruh dalam hal itu. Di antaranya adalah buku yang ditulis oleh Claus Heller, berjudul, "Tentara Sebagai Agen Perubahan Sosial" atau, El ejercito como agente de cambio social. Tentu saja buku-buku lainnya.

Selain buku-buku kemiliteran dan strategi-perang, ia juga membaca banyak hal dan Chavez adalah orang yang suka membaca—sebagaimana para pemimpin-pemimpin besar lainnya yang muncul di jagat ini. Buku "Venezuela: Sebuah Demokrasi yang Sakit," atau Venezuela: Una democracia enferma, yang ditulis oleh seorang anggota Partai Aksi Demokratik, juga mempengaruhi cara berpikirnya. Buku itu mendefinisikan demokrasi dengan baik, sebagai sebuah sistem pemerintahan rakyat; siapakah rakyat, hak asasi, dan hak-hak rakyat.

Kecintaan Chavez pada buku dan minatnya untuk mendidik rakyatnya dengan buku-buku dan karya sastra tidak berhenti hingga ia menjadi orang nomer satu di negeri yang kaya minyak itu. Setiap kali ia mengutip puisi-puisi Pablo Neruda (penyair asal Chili) dan dia tetap keranjingan dengan kata-kata indah. Dalam setiap pidato dan tulisannya kata-kata pilihan selalu dikutipnya. Tak mengherankan, karena obsesinya pada kebudayaan literer ini, ia menutup ijin sebuah stasiun TV swasta (RCTV). TV itu hanya menjadi alat propaganda menyerang dirinya dan terlibat dalam kudeta April 2002 untuk menggagalkan program-program kerakyatan, tapi juga TV yang dikenal paling banyak menayangkan telenovela (opera sabun) dan dekadensi gaya hidup borjuis yang tidak mendidik rakyat, yang membuat rakyat hanya terilusi dengan gaya hidup yang tak bisa diraihnya, iming-iming konglomerat negeri itu, segelintir orang yang pernah (dan masih akan) memusuhi dirinya.***

2 comments:

Anonymous said...

Sori - Ini Chavez yang sama yang niat ubah konstitusi supaya bisa terpilih lagi. Yang tak mau turun tampuk tahta? Kalau memang benar ya bagus lah. Saya agak khawatir, karena Chavez anti Amerika, kapitalisme dst kita jadi membenarkan semua tindakannya dan anggap dia pahlaman. Tindakan Nurmahmudi tak bisa dibenarkan. Tapi tak perlu terjebak memitoskan seseorang yang tak layak.

Socrates Rudy Sirait, PhD said...

Teringat tindakan yang sama pernah dilakukan oleh Pol Pot di Kamboja. Killing out all intellectuals and knowledge resources.

Mudah2an Nurmahmudi cepat sadar... :)