Sunday, August 26, 2007

Norman Bertemu Komisi Perlindungan Anak


Hari Sabtu ini, bersama isteri dan anak, saya pergi ke kantor Komisi Perlindungan Anak Indonesia di Jl. Teuku Umar 10, untuk bertemu dengan Susilahati, ketua Kelompok Kerja Pengaduan, guna membicarakan rencana ibunya Norman, Retno Wardani, memindahkan Norman dari Pondok Indah ke Bintaro.

Kami diterima di ruang kerja Susilahati. Dia ditemani dua staf KPAI: Maya Nur Elisa, lulusan magister hukum pidana dari Universitas Trisakti, serta Hendra Kusumah Jaya, seorang lawyer lulusan Fakultas Hukum Universitas Pancasila. "Ibu Susi" sendiri berasal dari organisasi perempuan Aisyiyah. Dia pernah jadi salah seorang ketua Aisyiyah.

Saya tahu "Ibu Susi" menangani mediasi ini sejak Rabu, ketika ketua KPAI Giwo Rubianto Wiyogo mengirim SMS, "Saya sdh baca surat pengaduan KPAI dan Pokja Pengaduan n Fasilitas segera menindaklanjuti, dan pak Harsono dpt koord dng ka pengaduan Ibu Susi. Tk. Smg ada solusi yg tbaik bg Norman."

Mereka minta saya menjelaskan mengapa saya mengadukan ibunya Norman, atau mantan isteri saya. Saya bilang ada dua prinsip yang saya pakai dalam melihat pengasuhan Norman. Pertama, semua keputusan soal pengasuhan Norman harus memperhatikan kepentingan Norman. Kepentingan Retno, kepentingan saya atau Sapariah, seharusnya tak melangkahi kepentingan Norman.

Kedua, Norman harus dilibatkan dalam mengambil keputusan. Dia memang baru 10 tahun. Dia belum bisa diminta bertanggungjawab. Namun banyak soal dimana ide-ide seorang anak justru sangat masuk akal. Mereka mengenal lingkungan mereka lebih baik dari kita. Norman juga terbiasa berpikir kritis dan bikin analisis sendiri. Dia memulai sekolahnya di sebuah tempat penitipan anak yang dikelola Universitas Harvard di Cambridge. Dia lalu ikut taman kanak-kanak di Montessori Kemang. Kini sekolah di Gandhi Memorial International School di Kemayoran. Sekolah-sekolah ini melatihnya berpikir terbuka. Norman bisa memberi masukan yang baik.

Pada 2004, saya bersedia menuruti kehendak Retno dengan melepaskan hak gono-gini kepemilikan rumah Pondok Indah. Pertimbangannya, Norman memerlukan rumah. It was the best interest of Norman. Ketika Norman ingin tak datang ke Senayan --"I want to play with my (visting) cousins," katanya-- saya dengan senang hati menerima argumentasi itu. Sebaliknya, Retno justru sering minta Norman menuruti kehendak Retno. Sering kehendak itu dipaksakan.

Belakangan saya kuatir dengan cara Retno mengasuh Norman. Retno menolak merawat asma Norman sesuai nasehat klinik asma Indrajana. Retno menolak memasang terpal untuk alas tidur Norman. Terpal ini gunanya melindungi saluran pernafasan Norman dari tungau debu. Retno juga memutuskan pindah ke rumah ibunya, M.Th. Koesmiharti, di Bintaro. Rumah Pondok Indah, dengan alasan kesulitan keuangan, hendak dikontrakkan. Jarak Bintaro-Kemayoran sangat jauh. Norman akan kekurangan waktu istirahat dan belajar (bangun pagi sekali dan pulang sore).

Maya Nur Elisa mengatakan dia sudah bicara via telepon dengan Retno. Ini komunikasi awal antara KPAI dan Retno. Maya menyampaikan pada Retno bahwa aku menghubungi KPAI soal urusan asma Norman. Mereka bicara selama hampir satu jam. Maya tak menyinggung soal kepindahan ke Bintaro. Retno bilang terpal bikin tempat tidur jadi panas dan Norman berkeringat. Retno bersedia diperiksa silang dengan dokternya sendiri.

Dalam bahasa Inggris, Norman menjawab pertanyaan Maya. Norman bilang hampir setiap malam ibunya melarang dia pakai terpal. Norman juga keberatan dengan rencana pindah ke Bintaro. Jarak ke sekolah Kemayoran lebih jauh dan lalu lintas macet. Dia bilang ingin tinggal di Senayan, setiap minggu, dari Selasa hingga Sabtu. Dia ingin bersama Retno Minggu dan Senin. Ini proposal Norman.

Pertemuan berjalan baik. Mula-mula Norman gelisah. Dia terlihat emosional ketika ditanya Maya apa opini terhadap ibunya sendiri. "Closed minded," jawab Norman. Kalau punya kemauan, ibunya takkan mau mendengar alasan lain.

Susilahati mengusulkan ditunjuk satu lembaga psikologi guna memberikan penilaian terhadap masalah Norman. Mereka juga akan menghubungi Retno. Sapariah menilai Norman anak yang kritis. Norman dididik secara demokratis dan terbuka. Susilawati bilang ada beda budaya antara papa dan mamanya Norman. Papanya mendidik Norman dengan demokratis sedang mamanya "timur." Susilahati bilang anaknya sendiri juga penderita asma. Mereka juga memakai klinik Indrajana.

Ketika keluar dari kantor KPAI, Norman dan Sapariah sempat mengagumi sejenis tawon cukup besar di halaman depan KPAI. Gedung ini sebenarnya lagi mengalami renovasi sehingga banyak debu. Namun daerah Menteng, salah satu daerah elite Jakarta, memiliki banyak pohon. Tawon tersebut mendengung-dengung. Norman dan Sapariah juga beli es krim Campina, yang kebetulan lewat depan KPAI. Dari sana, karena sudah siang, kami memutuskan makan Soto Madura, depan Bina Graha. Ini tempat langganan kami.

Belakangan Norman bilang dia merasa lega bisa bicara dengan orang-orang KPAI. Saya rasa ini memang melegakan Norman. Dia setidaknya merasa ada yang mau mendengarkannya. Sudah cukup lama Norman merasa tertekan. Mudah-mudahan kami bisa menemukan jalan untuk memakai proposal Norman.

Norman Menjelang Perceraian
Retno dan Asma
Asthma Cases on the Rise Among Children
"Jangan Seenak Jidatmu Sendiri!"

Norman Dipindah ke Bintaro
Surat untuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia
Kronologi Hak Pengasuhan Norman Harsono

Dokter Andreas Liando di Siloam Gleneagles
20 Menit Senayan-Kemayoran
Norman Bertemu Komisi Perlindungan Anak

1 comment:

Rusman Manyu said...

Mas Andreas. sumpah! aku merinding bacanya. Aku cuma inget aja waktu mas andreas bilang dulu, "nggak pusing dengan gono-gini. Yang penting norman menjadi lebih baik dan norman bisa banyak belajar dari kejadian itu,". Semoga bisa cepat diselesaikan.
Anak adalah harta tak ternilai dari semua harga di dunia ini.