Saturday, August 18, 2007

Arya Gunawan soal Bukti Lekra Bakar Buku


Depok, 17 Agustus 2007

Saya menuliskan surat ini sebagai jawaban lebih rinci atas sejumlah komentar yang bermunculan terhadap kritik yang pertama kali saya lontarkan menanggapi naskah pernyataan kelompok anti-bakar buku yang disampaikan secara terbuka ke publik, Selasa 7 Agustus lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Perdebatan ini ternyata mendapatkan sambutan lumayan hangat. Tanggapan yang saya terima pun tidak hanya lewat milis, melainkan juga lewat email langsung ke alamat pribadi saya, lewat SMS, atau langsung menghubungi lewat telepon.

Terus terang, sebetulnya semula saya sudah tak terlampau berminat lagi untuk memberikan tanggapan, karena saya merasa poin penting yang saya miliki sudah terutarakan dengan baik, kendati telah ditanggapi tidak tepat oleh beberapa penanggap. Itu pula yang membuat perdebatan ini sudah mulai bergeser dari titik-pusat yang semestinya, bahkan berpotensi untuk bergerak tanpa juntrungan. Bahasa yang dipakai pun mulai menimbulkan rasa tak nyaman pula, termasuk misalnya penggunaan kata “tantangan terbuka” yang ditulis oleh Zen (yang lalu mendapatkan tanggapan keras pula dari Linda, lalu dikontratanggapi lagi oleh Zen dengan nada yang sama kerasnya). Saya sebetulnya sudah merasa “tak enak hati” karena menciptakan situasi yang lumayan absurd. Saya mengkritik, Linda menanggapi, lalu Zen menanggapi dengan tantangan terbukanya. Lalu tiba-tiba muncul tanggapan Linda yang keras terhadap Zen, dan disambut kembali dengan keras oleh Zen. Bukankah ini lumayan absurd? Saya mohon maaf apabila saya secara langsung atau tak langsung telah memicu hadirnya situasi yang kisruh dan kelihatan tak puguh seperti ini.

Lalu Mas Tossi juga menanggapi tanggapan saya atas tanggapan Linda atas kritik saya (wah, kusut ya, namun memang demikianlah kebenarannya), saya balas menanggapi Mas Tossi, termasuk membantahnya karena telah menilai saya ahistoris, padahal tampak jelas bahwa komentarnya itulah yang ahistoris untuk dua hal: pertama, tak menyadari bahwa telah terjadi omission of facts in the first place pada surat pernyataan dari kelompok anti-bakar buku itu, dan kedua karena telah keliru mengenai fakta (sesuatu yang mestinya tak perlu terjadi pada diri wartawan senior sekaliber Mas Tossi), yakni saat dia menyebut bahwa kelompok Manikebu bisa menjawab ketika tengah “berseteru” dengan PKI, Lekra. Ini sudah saya bantah dalam tanggapan saya terhadap Mas Tossi, dan kemudian dipertegas pula oleh Mas GM selaku orang yang mengalami langsung “penindasan intelektual” yang dilakukan PKI, Lekra, Pram, pada masa 1964-1965 itu.

Selain karena alasan pergeseran substansi seperti yang saya sebutkan barusan, yang juga membuat saya mula-mula tak terlalu bulat hati untuk menuliskan tanggapan ini adalah karena waktu yang saya miliki serba tak memadai, karena tengah diburu tenggat untuk beberapa tugas. Namun setelah saya timbang-timbang lagi lebih jauh, saya akhirnya membulatkan hati untuk menyiapkan komentar ini. Ada sejumlah alasan di balik keputusan saya ini, namun yang pasti bukan lantaran saya ingin menyambut “tantangan terbuka” dari Zen. Saya tak begitu suka menggunakan istilah-istilah yang bernuansa agitprov seperti itu (ini tentu saja istilah PKI, “agitasi” dan “provokasi”). Saya membayangkan, jika saya menerima “tantangan terbuka” itu seakan-akan saya tengah bersiap memasang baju-tempur, sebagaimana Maximus (Russel Crowe) mengenakannya di film “Gladiator”, dengan latar belakang reruntuhan Coliseum itu. Atau seperti Muhammad Ali di tengah ring sedang menggosok-gosok sarung tinju yang menutupi kepalan tangannya, bersiap menghadapi lawan-lawannya dari Joe Frazier, George Foreman, hingga Leon Spinks. Padahal yang saya harapkan adalah perdebatan yang benar-benar mengedepankan nuansa intelektual, kendati tengah terjadi perbenturan keras pandangan dan pemikiran.

Alasan saya menuliskan surat ini adalah seperti berikut ini. Pertama, karena saya merasa bahwa saya tengah menegakkan kebenaran. Tentu istilah ini terdengar muluk dan ambisius, dan pasti akan dicerca oleh kelompok yang tak sependirian dengan saya. Mereka pasti akan segera bertanya: “Kebenaran yang mana? Kebenaran versi siapa?” Pertanyaan begini akan mengarah ke debat kusir yang tak berujung, karena masing-masing akan keluar dengan kebenaran versi mereka masing-masing. Saya paham, tak mudah membuat orang berubah pikiran, apalagi jika para penganut pikiran tersebut menggunakan pendekatan taqlid buta alias kacamata kuda sehingga tak membiarkan pikiran lain masuk untuk bersinggungan dengan pikiran-pikiran awal yang menjadi anutan mereka. Tentulah tak mudah membujuk mereka yang berseberangan dengan saya untuk mempertimbangkan kembali posisi mereka yang selama ini tampak begitu bernafsu untuk membela dan mempertahankan hal-hal yang berhubungan dengan PKI, Lekra, Pramoedya Ananta Toer (seterusnya akan saya singkat dengan PAT, kecuali untuk kutipan langsung dari sumber tertulis). Selama ini, kesan yang muncul pada saya adalah bahwa pembelaan tersebut merupakan sebuah harga mati yang tak akan pernah mereka kompromikan lagi. Dengan kata lain, ada apriori di situ, meskipun bisa dikemas dengan berbagai dalih. Satu komentar (dari Coen Pontoh), misalnya, meminta saya agar kritis. Tanpa diminta Coen, saya tentu saja berupaya sekuat tenaga untuk selalu kritis dalam mencerna informasi, data, opini. Dan kritik saya itu dari awal mulanya sudah berpatokan pada sikap kritis itu, berdasarkan rentang pengalaman, informasi, bacaan, pemahaman, yang saya miliki. Permintaan yang sama ingin saya ajukan pula kepada Coen dan siapapun yang mengambil posisi berseberangan dengan saya dalam perdebatan ini, silakan bersikap kritis juga, bukalah pikiran Anda terhadap argumen dan bukti yang akan saya paparkan di bagian akhir surat saya ini, yang sebagian memang merujuk pada buku “Prahara Budaya”. Saya tidak pernah menganggap buku “Prahara Budaya” sebagai kitab suci, karena saya tahu persis bahwa penulisnya adalah orang berseberangan dengan PKI, Lekra, PAT. Karena itu saya melakukan telaah silang dengan beberapa sumber lain, bukan hanya dari buku itu semata. Dalam data yang akan saya sodorkan nanti, ada pernyataan dari berbagai pihak lainnya pula, mulai dari Rendra, Asrul Sani, hingga Ajip Rosidi, yang “celakanya” memiliki suara yang mirip dengan apa yang disuguhkan oleh buku “Prahara Budaya”: yaitu bahwa pernah terjadi kekerasan dan penindasan intelektual yang mereka kaitkan dengan PKI, Lekra, PAT. Termasuk di dalamnya adalah aksi pembakaran buku. Kalau Anda tak puas juga dengan data dan informasi yang akan saya sajikan di surat ini, silakanlah lakukan studi sendiri dan sebarluaskanlah hasilnya.

Karena tahu betapa beratnya – bahkan hampir mustahil – untuk mencapai tujuan muluk sebagaimana yang saya sebutkan di alasan pertama saya di atas tadi, saya menurunkan sedikit “call” saya, dan “call” yang lebih rendah itulah yang merupakan alasan kedua yang mendorong saya menyiapkan tulisan ini, yakni: setidaknya tulisan saya ini akan tercatat, untuk mengingatkan orang bahwa ada versi fakta lain selain apa yang diyakini oleh mereka yang tak sepakat dengan saya tadi. Ini juga bisa saya jadikan alasan yang agak melankolis dan personal, yakni agar anak-anak saya sekarang, dan keturunan mereka kelak, masih bisa merujuk kembali ke surat saya ini untuk memperkaya khasanah pemahaman mereka terhadap penggalan sejarah negeri dan bangsa mereka.

Masih ada alasan berikutnya, yang lebih sederhana: untuk menambah isi blog saya (aryagunawan.wordpress.com), yang dibuatkan oleh keponakan saya, dan belum sempat juga sepenuhnya saya rapikan dan isi dengan rutin (bahkan tulisan-tulisan lama saya pun belum sempat semuanya saya taruh di sana). Alasan yang lebih sederhana lagi adalah: jika semua alasan yang sudah saya sebut di atas tidak tercapai jua, maka saya anggap saja proses penulisan surat ini sebagai sarana melakukan rekreasi dan menyegarkan pikiran. Belakangan saya memang terlalu dilibas oleh pekerjaan sehari-hari yang lebih banyak melibatkan penyusunan laporan yang “kering” sebagai pekerja di sebuah lembaga di bawah keluarga besar Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menulis fiksi saja sudah lama sekali tak terkerjakan, bahkan menulis puisi pun sering macet. Mungkin pula karena otak yang mulai tersentuh tangan-tangan osteoporosis alias pengapuran. Mampet. Maka yang paling ringan kelihatannya adalah menulis surat seperti yang saya kerjakan ini.

Semua hal di atas itulah yang akhirnya menggerakkan tangan saya menulis surat ini, di saat saya bisa sedikit bernapas terlepas dari belitan tugas-tugas kantor, di hari libur perayaan ulang tahun kemerdekaan kita. Sejumlah kawan memang sudah menelepon saya sejak beberapa hari lalu, menanyakan mengapa tiada jawaban lanjutan dari saya. Saya hanya bilang bahwa saya tengah mempertimbangkan untuk menyiapkan sebuah surat yang lumayan rinci. Begitu ada waktu lowong, saya akan tuliskan. Dan surat ini adalah hasilnya. Dalam menuliskan surat ini, saya tak akan mampu menghindar dari kemungkinan untuk memaparkan hal-hal yang berbau pribadi, karena saya ingin mengeluarkan semua apa yang terpikir dalam benak saya. Mudah-mudahan masuknya hal-hal yang bernada pribadi ini masih dapat diterima, karena toh tulisan ini saya niatkan sebagai surat, bukan sebuah kertas-kerja ilmiah. Di samping itu, saya merasa perlu menyerempet-nyerempet wilayah pribadi, karena ada pula kiriman email yang isinya bertanya mengenai siapa diri saya. Karena ada beberapa hal yang agak bernuansa pribadi itu pula, saya hendak mengingatkan, bagi mereka yang merasa tak sabar membaca “mukadimah” ini, silakan saja langsung meloncat ke bagian yang agak belakang dari surat ini, karena di sanalah saya akan lebih banyak memaparkan data dan alasan saya untuk menopang pendirian dan posisi saya dalam perdebatan ini.
***


Sebetulnya, dari awal sekali saya sebetulnya sempat merasa agak sungkan untuk melontarkan kritik saya, karena sebagian nama yang ikut menandatangani adalah nama-nama yang saya kenal secara pribadi, sebagian bahkan sangat saya hormati. Mas Goenawan Mohamad, umpamanya, adalah salah seorang yang saya anggap sebagai guru saya dalam hal membaca dan menulis, dan tentu saja dalam hal puisi. Dalam hal membaca, kadang-kadang saya mencoba mendapatkan buku-buku yang dia jadikan rujukan dalam menulis kolom “Catatan Pinggir”-nya. Dalam menulis, kadang-kadang saya mencermati teknik yang dia gunakan saat mengesktraksi sebuah peristiwa atau sebuah pandangan; saya juga mencermati kegemarannya menghidupkan kata-kata Indonesia yang telah lama tak terpakai, padahal kata tersebut begitu indah. Lalu dalam hal puisi. Saya tak tahu persis, apakah sekarang masih ada orang yang hobi menghafalkan sajak para penyair di luar kepala. Saya termasuk dalam kelompok ini. Sejak SD saya sudah membaca sajak-sajak Mas GM, sebagian saya hafal luar kepala (selain sajak-sajak Chairil Anwar, Mas Sapardi Djoko Damono yang juga saya kenal secara pribadi dan saya jadikan guru, dan Pak Taufiq Ismail, terutama sajaknya “Tiga Gadis Kecil” yang dimuat di majalah Horison edisi perdana). Sampai saat ini, di tengah-tengah sentuhan awal tangan-tangan “osteoporosis otak” yang mulai menghampiri saya itu, saya masih hafal dengan utuh beberapa sajak Mas GM, mulai dari “Kuatrin Musim Gugur”, hingga “Di Kota Ini, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam”. Tahun 1985, saya menjadi juara pertama lomba baca puisi mahasiswa se-Indonesia, membawakan karya Mas GM, “Dingin Tak Tercatat” sebagai sajak wajibnya (sampai sekarang pun saya masih hafal luar kepala), dengan sajak pilihan “Kucing” karya Bang Tardji Calzoum Bachri. Saya pernah mewawancarai Mas GM di ruang kerjanya di kantor majalah Tempo di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, saat ia tengah gundah begitu keluar pengumuman bahwa majalah Tempo, yang telah dilahirkan dan diasuhnya 23 tahun lebih tiga bulan itu, dibreidel oleh rezim telengas Soeharto, 21 Juni 1994. Saat itu saya masih bekerja sebagai wartawan Kompas. Saya pernah juga diminta Mas GM mengantarkannya dengan membonceng sepeda motor Honda GL saya, saat bubaran acara pembukaan pameran foto-foto majalah Tempo di TIM, menjelang akhir 1994. Dia minta diantarkan ke sebuah rumah di kawasan Menteng, dan lebih merasa nyaman dengan membonceng sepeda motor karena tentu akan sedikit lebih sulit untuk diinteli oleh para intel Soeharto.

Fadjroel Rachman adalah kawan sebangku saya – kami satu jurusan, satu angkatan – di ITB, dan sejak tahun pertama kami masuk ITB (1982) kami sudah terlibat dalam diskusi hangat mengenai sastra, mulai dari Kahlil Gibran hingga sajak-sajak kami sendiri. Juga diskusi mengenai Soeharto dan rezimnya yang sama-sama kami musuhi.

Nirwan Dewanto adalah senior saya di ITB (dua angkatan di atas saya), tempat saya belajar banyak mengenai teori-teori seni yang menjadi salah satu bahan lahapannya, kendati studi resminya adalah bidang Geologi. Saya, Fadjroel, Nirwan (ditambah Kurnia Effendi, Acep Zamzam Noor dan sejumlah nama lainnya seperti Soni Farid Maulana, Moh. Ridlo Eisy) bergiat di Grup Apresiasi Sastra (GAS) ITB, dan sering menghabiskan malam-malam berembun kota Bandung yang ketika itu masih sangat asri (dan tentu saja sangat dingin, tak seperti sekarang yang sangat panas dan pengap), seraya memperbincangkan kesenian yang menjadi kecintaan kami, dihiasi uap dari gelas bandrek dan bajigur yang hangat dan menghangatkan.

Marco Kusumawidjaya saya kenal dari tulisan-tulisannya mengenai perkembangan dan pengembangan kota/arsitektur, lalu juga sempat berkenalan secara langsung saat dia baru dilantik sebagai anggota/ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) periode 2006-2009, periode persis setelah saya ikut menjadi anggota DKJ (2003-2006).

Mas Ariel Heryanto, sudah sempat saya kenal sekilas sejak dia menjadi saksi ahli dalam persidangan mahasiswa ITB yang dituduh terlibat dalam penentangan terhadap rezim Soeharto (dikenal dengan “Peristiwa 5 Agustus”, yaitu aksi demo mahasiswa menentang kehadiran Mendagri Rudini ke kampus ITB pada tanggal tersebut, di tahun 1989). Salah satu terdakwanya adalah Fadjroel Rachman yang kemudian divonis bersalah oleh pengadilan kotor rezim Soeharto, hingga kemudian dibuang ke Nusakambangan. Sebagai koresponden Kompas di Bandung, saya meliput jalannya pengadilan. Mas Ariel waktu itu susah-susah datang dari Universitas Satya Wacana, Salatiga, kampus tempatnya mengajar. Saya juga sempat mengunjungi Mas Ariel saat dia mengajar di National University of Singapore, di tahun 1999. Ketika itu saya bertugas sebagai salah seorang juri di Festival Film Singapura. Juga saat dia sudah pindah mengajar ke Melbourne University, di tahun 2001. Saat kunjungan ke Melbourne itu, saya dibawa tur keliling universitas tersebut, untuk sekaligus menapaktilasi kampus dimana almarhum ayah saya juga pernah menuntut ilmu dari tahun 1954 hingga 1958. Saya senang sekali saat dipotret oleh Mas Ariel di depan jurusan Mechanical Engineering, jurusan tempat ayah saya belajar lebih dari setengah abad silam itu.

Linda Christanty lebih dahulu saya kenal karyanya, dari tulisan/laporannya di majalah Pantau maupun lewat karya fiksinya. Baru pada tahun 2005 saya berkenalan langsung dengannya, dikenalkan oleh Andreas Harsono, dalam sebuah acara pertemuan makan malam menjelang pelaksanaan kegiatan bersama antara kantor tempat saya bekerja dan Yayasan Pantau yang dipimpin Andreas, di bidang pelatihan jurnalisme investigatif.

Andreas Harsono, juga kawan lama yang saya kenal saat sama-sama menunaikan tugas jurnalistik di lapangan. Saya menghargai semangatnya menulis, juga dalam membimbing para calon wartawan dan wartawan muda dengan membagi ilmu dan pengalamannya. Saya juga menghargainya dalam hal cara dia membesarkan anaknya, Norman.

Romo Magnis Suseno sudah saya kenal sejak saat masih menjadi wartawan Kompas dahulu, namun tak sempat saya kenal dekat secara pribadi. Saya menghormatinya untuk pemikiran-pemikirannya tentang Indonesia, juga menghormati karya-karya tulisnya. Hari-hari ini saya juga kagum atas sikapnya yang tegas dan berani terbuka menolak menerima penghargaan Bakrie 2007. Alasannya jelas: kelompok usaha Bakrie yang berada di balik kegiatan penghargaan tersebut juga berada di balik kasus lumpur Lapindo yang sudah menyengsarakan begitu banyak jiwa di Porong, Sidoardjo, dan seperti tak punya hati bulat dan tulus untuk mengatasi penderitaan mereka itu. Bagi saya, sikap tegas Romo Magnis menolak penghargaan tersebut merupakan tamparan telak yang sebetulnya luar biasa menyakitkan bagi pihak penyelenggara. Saya percaya pada makna falsafah ini: lebih baik meminta namun ditolak, ketimbang memberi namun tak diterima oleh pihak yang hendak diberi. Jadi, jika ada orang yang hendak diberi namun orang yang hendak diberi menolak pemberian itu, maka itu menandakan hadirnya kondisi yang amat-sangat luar biasa, kondisi yang sudah benar-benar tak bisa ditoleransi lagi. Dalam hal ini, kondisi yang agaknya tak bisa ditoleransi oleh Romo Magnis itu adalah sikap kelompok Bakrie dalam menangani bencana lumpur Lapindo.

Dengan latar belakang seperti ini, sebetulnya agak sulit juga bagi saya saat pertama kali melontarkan kritik saya terhadap naskah pernyataan yang ditandatangani oleh mereka-mereka yang sebagian saya kenal secara langsung itu. Namun saya merasa bahwa memang saya harus menyampaikan kritik itu. Semata-mata dengan niat tunggal: untuk mengingatkan bahwa ada fakta yang semestinya juga dicantumkan oleh para penyusun naskah tersebut, namun tak dilakukan, dengan alasan yang bisa mengundang berbagai dugaan, seperti yang saya kemukakan di beberapa surat saya terdahulu. Dengan kata lain, kritik saya tersebut awalnya hanya sekadar bertanya, hanya ingin mengingatkan. Tentu saja saya tak punya kemampuan mengendalikan kemana kritik itu akan bergerak sesudah saya lontarkan, termasuk pergerakannya hingga memicu perdebatan seperti sekarang ini.
***


Sebelum saya melanjutkan surat ini lebih jauh, saya hendak menegaskan sekali lagi di sini bahwa landasan kritik saya tersebut sama sekali bukan karena dua hal: a) ingin membela Nurmahmudi Ismail; atawa b) ingin menyudutkan PKI, Lekra, PAT. Di dalam naskah pernyataan kelompok anti-bakar buku itu, nama Nurmahmudi memang ditempatkan dalam posisi seakan-akan menjadi “dedengkot” atawa “pemimpin gerombolan” dari aksi bakar buku sejarah yang kemudian ditentang oleh kelompok anti-bakar buku. Posisi Nurmahmudi yang lumayan ditonjolkan seperti itu dapat menimbulkan bias juga bahwa surat pernyataan tersebut sekaligus ingin menyenggol PKS sebagai partai yang telah berhasil memenangkan Nurmahmudi untuk menduduki jabatan walikota Depok. Sekali lagi, saya mengkritik bukan untuk membela Nurmahmudi. Di blognya, Andreas Harsono memuat kritik saya itu, seraya mencatumkan pula atribusi mengenai siapa diri saya (dirangkum sendiri oleh Andreas berdasarkan data yang dia punya, termasuk juga pengenalannya atas diri saya). Namur atribusi yang dibuat Andreas itu bisa disalahpahami, seolah-olah saya pendukung fanatik Nurmahmudi, sehingga orang bisa salah mengaitkan bahwa kritik saya di awal sekali itu lahir atas dasar niat membela Nurmahmudi.

Bunyi atribusi yang disusun Andreas itu begini: Arya Gunawan seorang warga Depok, dimana buku-buku pelajaran sejarah dibakar, bekerja sebagai staf UNESCO sektor komunikasi dan informasi, pernah bekerja sebagai wartawan Kompas dan BBC London. Arya mengatakan dia simpatisan Partai Keadilan Sejahtera serta memilih Nurmahmudi Ismail dari PKS sebagai walikota Depok. Nurmahmudi ikut membakar buku-buku pelajaran sejarah.

Karena itu, saya telah meminta Andreas mengubah atribusi tentang diri saya itu , sesuai dengan teks yang saya siapkan sendiri, sehingga menjadi sbb: Arya pernah menyatakan dia simpatisan PKS serta memilih Nurmahmudi Ismail dari PKS sebagai walikota Depok. Namun sekitar setahun sejak Nurhmahmudi resmi menjabat di bulan Januari 2006 setelah melewati kisruh di pengadilan karena ditentang oleh kubu lawannya dalam pemilihan walikota, Arya menyatakan telah menarik dukungannya karena menganggap Nurmahmudi tidak mampu mewujudkan janji-janjinya untuk memajukan Depok dan warganya; bahkan tampak tak mampu untuk mengubah predikat Depok sebagai salah satu kota terkotor di Indonesia. Arya saat ini tengah menyiapkan tulisan berisi kritiknya terhadap kinerja memble Nurmahmudi. Betul bahwa Nurmahmudi menghadapi ganjalan keras dari pihak DPRD Depok yang dikuasai oleh kubu bekas lawannya dalam pemilihan walikota. Namun itu tak dapat dipakai sebagai alasan untuk tidak berbuat nyata bagi kesejahteraan Depok. Dalam konteks ini, tampak bahwa Nurmahmudi setidak-tidaknya merupakan pemimpin yang tak memiliki keberanian cukup untuk menghadapi lawan-lawannya di DPRD.

Dengan atribusi yang baru ini, saya ingin menegaskan bahwa kritik saya terhadap naskah pernyataan anti-bakar buku itu tidak dilandasi oleh keberpihakan pada Nurmahmudi. Saya memang memilih dia sebagai walikota Depok, dan membelanya lewat tulisan panjang saat dia dijegal oleh lawan-lawannya yang menolak mengakui kekalahan dalam pemilihan walikota (saya sendiri belum sempat menaruh tulisan ini ke dalam blok saya, namun bagi yang berminat, tulisan tentang Nurmahmudi tersebut bisa diakses di beberapa situs yang memuatnya: http://keadilan-jepang.org/arsip.php?page=berita&id=250&PHPSESSID=c3ef7ac118b39a5c190ec1c065edc4f2 atau di http://ayahtitarasya.multiply.com/journal/item/14/Kemelut_Pilkada_Depok. Kini saya bukan lagi pendukungnya, justru saya telah masuk dalam barisan warga Depok eks pemilih Nurmahmudi, yang kini kecewa akibat kian kacaunya proses pembangunan (fisik maupun non-fisik) di Depok. Penarikan dukungan saya untuk Nurmahmudi ini juga saya maksudkan untuk memberitahu kepada semua bahwa memberikan "dukungan buta" itu tidaklah elok. Kalau memang yang didukung sudah tak layak untuk didukung, ya cabut saja dukungan itu, tentu dengan argumentasi yang jelas. Begitu pula posisi saya terhadap PAT. Untuk karya-karyanya, saya tak bisa berkomentar lain selain berdecak kagum melihat temanya yang penuh keberpihakan terhadap rakyat kecil, juga melihat cara dia menjinakkan bahasa, menyusun struktur cerita. Jika saya punya suara, saya pasti akan memperjuangkannya mendapatkan Nobel Sastra (sayang dia telah wafat). Namun untuk kelakuannya terhadap lawan-lawan ideologisnya saat PKI berkuasa di tahun 1960-an itu -- termasuk aksi pembakaran buku yang saya lontarkan di kritik awal saya itu, dan di surat ini akan saya sampaikan lebih rinci informasinya -- saya tak akan pernah melupakannya sehingga setiap ada kesempatan yang tepat untuk mengungkapkan itu, akan saya gunakan, bukan atas dasar kebencian melainkan atas dasar "perjuangan ingatan melawan alpa dan lupa" (menyitir Milan Kundera dalam bukunya The Book of Laughter and Forgetting). Naskah pernyataan anti-bakar buku itu adalah salah satu kesempatan yang tepat untuk mengungkapkan lagi fakta sejarah tentang Pram tersebut. Namun tim penyusun naskah tersebut alpa. Itulah yang ingin saya ingatkan: mari kita lawan sang alpa. Sebetulnya hanya itulah yang mendasari saya menulis kritik singkat saya di awal sekali itu.

Saya juga bukan anggota PKS, melainkan sekadar simpatisan karena partai tersebut kelihatan menjanjikan, terutama dengan slogannya “Bersih dan Peduli”, juga karena banyak contoh baik yang ditunjukkan oleh mantan Presidennya, Hidayat Nur Wahid yang kini Ketua MPR. Karena itu, pada pemilu legislatif saya mencoblos PKS. Namun belakangan, simpati saya pun mulai tergerus karena ada beberapa kebijakan dan sikap politik PKS yang kelihatan tak begitu berpihak pada rakyat (atau setidaknya memperlihatkan ketidakberaniannya bersuara lantang membela kepentingan rakyat), misalnya saja dalam kasus kenaikan harga BBM. Bukan mustahil saya akan meninjau ulang posisi saya dalam pemilu 2009, entah mengalihkan suara saya kepada partai lain, atau membiarkan diri saya menjadi golput (ini situasi yang sekuat mungkin akan saya hindarkan). Kecuali jika dalam dua tahun ke depan ini PKS berhasil memperkuat kembali citra dirinya seperti saat sebelum ia menjadi silau, atau setidaknya gamang, dengan “kekuasaan”.

Kritik saya itu pun tak dilandasi niat untuk memojokkan PKI, Lekra, PAT. Sekali lagi, tujuan utama saya hanya ingin mengingatkan orang banyak mengenai adanya fakta sejarah yang belakangan kelihatan mulai dilupakan dan tak dipercaya orang. Tentang PAT sendiri, pertama-tama saya perlu menyebutkan bahwa saya adalah seorang pengagumnya (dalam posisinya sebagai sastrawan, juga dalam hal semangat hidup dan ketekunannya berkarya, namun tidak dalam hal pandangan politik dan cara-cara dia menerapkan atau mewujudkan pandangan politiknya tersebut yang nyaris praktis menghalalkan segala cara, seperti yang akan terlihat di bagian belakang dari surat saya ini). PAT sudah saya kenal sejak SMP. Guru bahasa Indonesia saya (namanya Pak Tugiman) di SMP Xaverius Jambi itu memberikan pelajaran dengan cukup menarik, termasuk dalam memberikan contoh-contoh karya sastra. (saya bersekolah dari SD hingga SMA di sekolah dengan tradisi Katolik yang cukup ketat, sedangkan saya berasal dari Ayah yang Muhammadiyah dan ibu yang Bapaknya adalah Ketua NU Jambi, yang juga salah seorang pendiri Provinsi Jambi. Kakek saya dari pihak Ibu ini sempat memimpin kaum gerilyawan dalam Revolusi Fisik II tahun 1949, rumahnya hancur karena dibom pesawat Belanda, yang juga mengakibatkan seorang anak gadisnya tewas). Saya sudah membaca (beberapa versi lengkap, beberapa hanya penggalannya) “Bukan Pasar Malam”, “Perburuan”, “Keluarga Gerilya”, “Cerita dari Blora” di masa SMP dan juga SMA. Lalu saat mahasiswa, saya membaca “Bumi Manusia” ketika naskah buku itu diedarkan secara klandestin masih dalam versi stensilan, dan saya berhasil memperoleh satu copynya (dengan risiko ditangkap, sebagaimana yang kemudian dialami oleh beberapa aktivis mahasiswa di Universitas Gadjah Mada).

Lalu saya pernah mewawancarai PAT saat saya membuat sebuah program serial untuk BBC, mengenai komunisme. Saat itu, di pertengahan tahun 1995, hampir seharian saya berada di rumah PAT di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur. Lebih dari itu semua, saya bahkan menamakan anak kedua saya dengan ilham yang dibawa oleh nama salah satu tokoh di salah satu roman PAT, “Arus Balik”. Nama tokoh itu adalah Patra Gading. Saya membaca roman itu di sekitar tahun 1996-1997, saat masih menjadi TKI di BBC London. Beberapa bulan setelah membaca roman tersebut, anak kedua saya lahir, pada sebuah dinihari pukul 03.23, di tengah-tengah musim panas di London, saat matahari mulai menyembul dari balik langit yang abu-abu (saat musim panas, seperti di awal Juli ketika bayi saya ini lahir, matahari muncul lebih awal. Pukul 04.00 biasanya hari telah terang-tanah, dan setengah jam kemudian sudah benderang). Matahari ketika itu berwarna bak gading gajah. Saya namakan bayi saya Rangga Suryagading alias Kuda Jantan yang hadir di kala sang kala berwarna bagai gading. Kata “gading” dari tokoh Patra Gading di roman PAT itu selalu mengusik saya, karena terdengar indah. Dan kebetulan pula jam kelahiran bayi saya itu membuka peluang bagi saya untuk menggunakan kata tersebut sebagai bagian dari nama sang bayi.

Adalah PAT pula yang membawa saya berkenalan dengan RM Tirto Adisoerjo (sang Minke dalam roman besarnya berupa tetralogi tentang kemanusiaan itu). Nama tokoh ini lalu mengusik pikiran saya untuk mencari tahu lebih jauh bagaimana persisnya peranan pers dalam membentuk negara dan bangsa ini, terutama di awal abad ke-20.

Jadi, dengan latar belakang seperti ini, sungguh tak mudah bagi saya untuk kemudian menempatkan posisi PAT secara persis bagi keperluan pemahaman saya pribadi. Di satu pihak, saya mengagumi karya-karyanya (sebagian besar karyanya, di mata saya, masuk dalam kategori bermutu), juga mengagumi semangat hidupnya. Namun pada sisi yang lain saya menemukan hal yang sulit saya terima, dan itu adalah hal-hal yang berkaitan dengan berbagai sepak terjang PAT di masa-masa puncak kejayaan PKI dan juga menjelang kejatuhan PKI di tahun 1965 itu. Semula saya masih mencoba untuk tidak mempercayai bahwa banyak sikap PAT yang sulit untuk diterima orang yang menjunjung tinggi adab dan peradaban. Tentu saja saya dalam posisi yang agak tidak menguntungkan, karena saya belum bisa menyaksikan dengan nalar yang cukup semua peristiwa menjelang September 1965 itu (kendati saya sudah lahir pada masa itu). Dan there is always two sides of a story, bukan? Saya harus mengumpulkan bahan-bahan dari kedua sisi tersebut. Cara yang bisa saya lakukan untuk mengumpulkan perbendaharaan informasi dan data itu adalah dengan merujuk kepada berbagai data dan informasi tertulis, dilengkapi dengan keterangan langsung dari berbagai sumber yang menjadi pelaku ataupun saksi sejarah pada masa itu. Saya membaca buku-buku yang mengambil posisi “membela” PKI, Lekra, Pram, yang kemudian lumayan mudah diperoleh setelah Soeharto undur diri. Di masa Soeharto berkuasa, jika ada kesempatan untuk mencari-cari informasi mengenai penggalan sejarah periode 1960-an itu, selalu saya manfaatkan. Saya banyak juga bertanya kepada mereka yang “terkalahkan” itu, beberapa di antaranya adalah kawan-kawan yang lumayan dekat, yang masih menanggungkan stigma sebagai keturunan dari mereka yang disebut-sebut terkait dengan PKI ataupun Lekra. Saya juga berbicara dengan orang-orang yang berasal dari kelompok anti-PKI. Tentu saja suara dari kedua kelompok yang berseberangan ini sangat bertolak belakang satu sama lain. Sesuatu yang bisa dipahami, karena – seperti yang sudah saya sebutkan di bagian terdahulu di surat ini – masing-masing akan merasa benar dengan posisinya.

Di tahun 1995, saya juga sempat membuat sebuah program seri radio mengenai PKI (semuanya 10 seri dengan durasi masing-masing sekitar 12 menit), saat saya masih bertugas sebagai wartawan BBC. Dalam proses penggarapan program tersebut, saya berjumpa sejumlah narasumber untuk mendapatkan bahan-bahan yang saya perlukan, termasuklah mewawancarai PAT (seperti sudah saya tulis di atas). Saya juga sempat bertemu dengan Rewang di Solo. Rewang adalah salah seorang tokoh tua yang dituduh oleh pemerintah Indonesia terlibat PKI. Kedua-dua orang ini membantah keterlibatan mereka. Lagi-lagi, saya mencoba memakluminya. Lalu saya juga sempat berjumpa dengan seorang pria korban gerakan PKI Madiun tahun 1948. Usianya sudah lumayan lanjut – 70-an tahun -- saat saya mewawancarainya di tahun 1995 itu. Saya menemuinya di rumahnya di salah satu sudut kabupaten Madiun, dan dalam wawancara dengan saya itu dia menuturkan pengalamannya yang nyaris dihabisi oleh PKI. Pada sebuah subuh di tahun 1948 itu, serombongan orang yang dia percaya sebagai anggota PKI, menggeledah rumahnya, lalu mengangkuti anggota keluarganya, dan tak pernah kembali. Dia sendiri berhasil menyelamatkan diri dengan bersembunyi di peti penyimpanan padi, yang secara kebetulan tak diperiksa dengan cermat oleh para penggeledah itu. Saya juga pernah mendengar kisah mengenai kekerasan yang dilakukan PKI di Bandar Betsy, Sumatera Utara, dari seseorang yang ayahnya (almarhum) adalah seorang ulama terkemuka di kawasan itu yang menjadi incaran PKI.

Berpegang pada sejumlah informasi yang saya peroleh lewat beragam cara yang telah saya sebutkan barusan itulah saya kemudian mencoba menempatkan posisi PAT dalam kerangka pemahaman saya. Dan kian tahun saya kian sulit untuk berkelit dari kenyataan itu: bahwa saya pada akhirnya lebih percaya kepada fakta-fakta yang mengaitkan PAT dengan sepak-terjang yang bernuansa kekerasan dan penindasan intelektual itu. Ada berbagai keterangan yang menyebutkan mengenai hal ini, berasal dari sejumlah tokoh yang masih bisa diandalkan keobyektifannya dalam bersaksi, meskipun mereka memang berada di pihak yang “menang”, misalnya saja Asrul Sani (almarhum) dan Rendra. Dalam tulisan mereka, yang akan dikutip di surat saya ini, keduanya mengaitkan PAT dengan kekerasan dan penindasan intelektual tadi, termasuk menyebutkan mengenai aksi pembakaran buku. Lalu ada Mas GM sendiri. Di emailnya yang menanggapi komentar Mas Tossi atas kritik saya, Mas GM dengan jernih menyebutkan mengenai penindasan intelektual ini (Mas GM memakai istilah “pemberangusan kebebasan berpikir”), walaupun dia tidak menyebutkan tentang pembakaran buku.
***


Lalu ada buku “Prahara Budaya”, yang memuat informasi mengenai pertentangan ideologi di bidang seni-budaya antara kelompok Manifes Kebudayaan dan PKI, Lekra (menurut buku tersebut PAT terkait dengan PKI, Lekra). Buku ini juga menyebutkan ihwal aksi pembakaran buku yang terjadi di Jakarta dan Surabaya. Tentu saja informasi semacam ini ditolak keras oleh PKI, Lekra, PAT, dan juga oleh mereka-mereka yang berseberangan dengan saya dalam perdebatan ini. Mereka menyebut bahwa “Prahara Budaya” mengandung bias dari pihak pemenang konflik (seperti dikatakan Roysepta Abimanyu), atau semata-mata berisi kumpulan kliping seraya mempertanyakan motif Taufiq Ismail selaku penyusunnya (seperti ditulis Budi Setyono di emailnya. Saya tak paham pertanyaan Budi mengenai diri Taufiq tersebut; apakah dia menyiratkan bahwa Taufiq juga punya keterkaitan dengan Lekra? Saya sarankan pada Budi untuk menanyakannya secara langsung ke Taufiq jika ada kesempatan terbuka untuk itu. Atau mungkin dengan menulis artikel di sebuah media massa?).

Komentar semacam ini terasa naif, sedikitnya karena dua alasan. Pertama, sebagian besar isi buku ini adalah pernyataan langsung dari pelaku-pelaku sejarah pada masa itu, termasuk dari PAT sendiri. Karena sumbernya adalah pernyataan dari para pelakunya secara langsung, maka ia layak dipakai sebagai bahan rujukan untuk melakukan analisis hingga tiba pada sebuah kesimpulan. Dan kesimpulan yang disodorkan oleh Taufiq Ismail bersama almarhum DS Moeljanto selaku penyusun buku tersebut kebetulan tidak bisa diterima oleh kelompok pembela PKI, Lekra, PAT. Saya sendiri kebetulan bersepakat dengan kesimpulan tersebut; tentu saja tidak semata-mata bersandar pada isi buku “Prahara Budaya” (karena saya memang tak menjadikannya kitab suci sebagaimana yang dikomentari Coen Pontoh), melainkan juga merujuknya silang ke berbagai informasi lainnya yang sudah pernah saya terima sebelumnya (seperti yang sudah saya jelaskan di atas). Dari “Prahara Budaya” kita bisa menemukan sejumlah pernyataan PAT yang menunjukkan betapa keras sikapnya terhadap lawan-lawan ideologisnya. Tengok, misalnya, salah satu satu tulisan kerasnya di lembaran budaya “Lentera” di harian Bintang Timur”: “Dengan bersenjatakan “Berdikari”, “Berkepribadian dalam Kebudayaan” dan “Banting Stir”, pembersihan terhadap penerbit yang menjadi pabrik ideolozi (ditulis seperti ini – Arya Gunawan) gelandangan telah merupakan suatu tantangan bagi semua organisasi kebudayaan yang progresif revolusioner. Pembersihan ini bukan saja akan mengakibatkan terjadinya perkembangan yang sehat dalam pembinaan kepribadian nasional, juga menghabisi perbentengan terakhir musuh-musuh revolusi.” (Cetak tebal untuk kata “pembersihan”, “gelandangan”, dan “menghabisi” dari saya).

Tulisan-tulisan PAT pada masa puncak kejayaan PKI, Lekra itu kerap memakai kata-kata yang bernada keras seperti dua contoh kata di atas, di samping “ganyang”, “kebudayaan setan”, “ideologi setan” dan lain-lain. PAT sendiri adalah seorang manusia pekerja yang gigih, seorang yang ingin mewujudkan gagasan dan pikiran yang dia yakini. Dengan kata lain, dia adalah manusia yang berkiprah bukan saja pada tataran pemikiran, namun juga pada tataran praksis. Dengan logika sederhana, saya menganggap bahwa dia akan mewujudkan apa-apa yang dikhotbahkannya, termasuk hal-hal yang bernuansa kekerasan sebagaimana yang dia paparkan di sejumlah tulisannya itu. Jadi, jika dalam tulisannya dia menyebutkan “pembersihan terhadap penerbit yang menjadi pabrik ideologi gelandangan”, maka cara melakukan pembersihan itu bisa saja dalam bentuk pembakaran buku. Apakah PAT melakukan aksi pemusnahan itu secara langsung? Sejauh ini, PAT maupun kelompok pembela PAT selalu membantah kalau PAT melakukan aksi pembakaran buku, karena menurut mereka tidak pernah ada bukti keras yang menunjukkan PAT tengah melempar korek api ataupun menyulut obor ke tengah-tengah tumpukan buku yang siap dibakar. Namun di mata banyak orang, PAT telah melakukan kesalahan secara tak langsung. Dalam kedudukannya yang berpengaruh ketika itu, dia telah mengajurkan aksi pemusnahan itu. Aksi pembakaran buku itu benar-benar terjadi (seperti yang disebutkan di buku “Prahara Budaya”), dilengkapi pula dengan gambar saat api mulai membara melahap tumpukan buku tersebut (seperti yang saya sertakan di surat saya ini. Gambar ini merupakan reproduksi dari film dokumenter yang direkam oleh Des Alwi, seorang tokoh senior Indonesia asal Pulau Banda, yang menjadi saksi untuk berbagai peristiwa sejarah. Gambar ini telah dimuat pula di majalah sastra Horison edisi Agustus 2006, yang dipersembahkan khusus untuk mengenang PAT).

Dalam konteks ini sebagian kalangan menilai bahwa jikapun PAT barangkali saja tidak melakukan tindakan pembakaran secara langsung, dia menganjurkan dan mengetahui peristiwa itu. Dengan kata lain, dia mungkin tidak melakukan “intellectual violence by commission” (melakukan tindak kekerasan intelektual secara langsung), melainkan “by omission” (alias membiarkan sebuah tindak kekerasan intelektual berlangsung).

Kedua, penyebutan “Prahara Budaya” sebagai mengandung bias pemenang konflik adalah cermin dari sikap tak percaya diri, seraya menyalahkan pihak lain. Bahasa pepatahnya adalah “buruk muka, cermin dibelah”, atawa “diri tak pandai menari, lantai tak rata yang disalahkan”. Kalau memang tak sepakat dengan apa-apa yang termaktub dalam buku tersebut, susunlah sebuah buku tandingan, yang dengan lebih cerdas bisa mematahkan semua kesimpulan yang ada di sana. Saya sendiri akan dengan senang hati dan tangan terbuka menanti hadirnya karya tandingan tersebut. Namun sampai buku tandingan tersebut hadir, saya akan tetap berpegang pada data, informasi dan kesimpulan yang disajikan oleh “Prahara Budaya”. Jadi, sampai ada bukti kuat yang meyakinkan yang bisa menggoyahkan pandangan saya, saya tetap akan menganggap informasi yang saya paparkan di surat ini sebagai versi kebenaran yang saya anut.

Bagi saya, “Prahara Budaya” adalah salah satu rujukan cukup penting di antara amat sedikit rujukan lainnya yang tersedia jika kita ingin mencoba memahami perbenturan ideologis di bidang seni-budaya pada paruh pertama tahun 1960-an itu. Sangat disayangkan, para pembela PKI, Lekra, PAT seringkali menganggap sepi informasi-informasi penting semacam ini, tentu disebabkan antara lain oleh sikap apriori yang dilandasi oleh keengganan untuk mengkompromikan pandangan yang sudah menjadi anutan mereka selama ini. Saya juga menyayangkan orang seperti Mas Tossi, yang telah kenyang makan asam-garam sebagai wartawan, tampaknya tak sempat membaca buku seperti “Prahara Budaya”. Andaikata ia membacanya, mungkin tak perlu muncul kegegabahannya hingga menyodorkan fakta yang keliru bahwa anggota Manifes Kebudayaan bisa leluasa melawan (saya sudah membantah ini dalam surat kontratanggapan saya kepada Mas Tossi tak lama setelah saya menerima tanggapan darinya; dan belakangan kekeliruan Mas Tossi sudah dikoreksi pula oleh Mas GM, sebagaimana yang telah saya sebutkan di bagian awal surat ini). Lumayan mengherankan juga mengapa Mas Tossi tidak sempat membaca buku yang sebetulnya penting ini, padahal dia beberapa kali bolak-balik ke Indonesia, dan punya banyak kawan yang semestinya bisa menyampaikan informasi mengenai keberadaan buku tersebut kepadanya. Seapriori-apriorinya kita terhadap sebuah buku, tetaplah akan ada manfaat yang bisa kita petik saat membacanya. Jika setelah membacanya dia tak sepakat dengan isinya, setidaknya dia bisa menulis resensi kritis terhadap buku tersebut. Atau bahkan menulis sebuah buku tandingan, sebagaimana yang saya anjurkan di atas.

Buku “Prahara Budaya” maupun para tokoh yang mempercayai terjadinya aksi pembakaran buku pada periode 1960-an itu memang tak merinci buku apa saja yang dibakar. Namun poin ini menjadi tak relevan dan tak esensial lagi. Bakar buku tetaplah bakar buku, tak peduli berapapun jumlahnya, sejauh perbuatan itu dilakukan di ruang terbuka dengan harapan mendapatkan perhatian publik untuk menunjukkan dengan gagah telah berlangsungnya tindakan pelampiasan rasa tidak suka terhadap sesuatu yang diwakili oleh buku-buku itu (baik mengenai isinya, ataupun mengenai pengarangnya). Di bagian ini saya hanya ingin menegaskan kembali bahwa sejumlah orang tak terlalu mempersoalkan apakah PAT melakukan aksi pembakaran buku itu langsung dengan tangannya sendiri atau tidak. PAT tahu ada aksi pembakaran buku, dan tak pernah terdengar dia melarang aksi-aksi itu. Padahal di waktu itu dia adalah salah seorang tokoh yang berpengaruh, dengan suara lantang yang akan didengar oleh orang-orang yang sekubu dengannya. PKI adalah partai politik yang besar dan amat berpengaruh ketika itu; Lekra adalah organnya di bidang kesenian-kebudayaan; dan PAT adalah salah seorang pengurus teras Lekra, sekaligus juga pengasuh lembar budaya “Lentera” di harian Bintang Timur yang secara ideologis sehaluan dengan PKI. Lembar budaya “Lentera” kira-kira setara dengan lembar budaya “Bentara” di harian Kompas, walaupun tentu saja dengan landasan ideologis yang sama sekali berbeda. Lewat “Lentera” itulah PAT melancarkan berbagai serangan terhadap lawan-lawan ideologisnya. Bukannya PAT mencegah tindakan pembakaran buku, yang terjadi justru sebaliknya. Dalam sejumlah pidato dan tulisannya PAT tegas-tegas menganjurkan agar buku-buku dari lawan ideologisnya dimusnahkan. Pembakaran hanyalah cara. Esensinya tetap sama, yakni pemusnahan buku yang berseberangan dengan ideologinya.
***


Berikut ini saya cantumkan beberapa kutipan yang menjadi dasar kritik saya di awal sekali, yang menyebutkan bahwa telah terjadi aksi pembakaran buku oleh PKI, Lekra, PAT. Sekali lagi, keterlibatan PAT barangkali tidak secara langsung, melainkan sebagai penganjur aksi pemusnahan buku dan kemudian melakukan aksi pembiaran manakala tindakan pembakaran tersebut benar-benar terjadi.

A. Buku “Prahara Budaya” (susunan Taufiq Ismail dan DS Moeljanto):

Hal 351 (BAGIAN KEDELAPAN):
Menyusullah kini gegap gempira tuntutan pemecatan terhadap pendukung Manifes di berbagai strata jabatan dan pekerjaan (istilah “revolusioner”-nya retooling, yang di negeri asal bahasa itu tidak dikenal bermakna sebagai yang dikehendaki di sini), penghentian penerbitan majalah Sastra, pelarangan buku-buku, pembakaran piringan hitam Beatles, Koes Bersaudara dan berjenis “ngak-ngik-ngok” semacamnya serta pembakaran buku-buku “kontra revolusioner” lainnya termasuk rampasan dari perpustakaan “setan Amerika” USIS (Jakarta, Surabaya) dan perombakan staf pengajar Fakultas Sastra.

Hal 405-406 (yang mengutip artikel PAT di dalam lembar kebudayaan “Lentera” Harian Bintang Timur, 9 Mei 1965):
Dengan bersenjatakan “Berdikari”, “Berkepribadian dalam Kebudayaan” dan “Banting Stir”, pembersihan terhadap penerbit yang menjadi pabrik ideolozi gelandangan telah merupakan suata tantangan bagi semua organisasi kebudayaan yang progresif revolusioner.

Pembersihan ini bukan saja akan mengakibatkan terjadinya perkembangan yang sehat dalam pembinaan kepribadian nasional, juga menghabisi perbentengan terakhir musuh-musuh revolusi. Sedang di bidang sosial-ekonomi secara edukatif akan membantu penerbit-penerbit Manipolis memasuki form-nya sebagai alat revolusi sesuai dengan tuntutan situasi revolusioner dewasa ini.

Juga di bidang penerbitan, setiap kekalahan pada pihak lawan mengakibatkan terjadinya kemajuan ganda pada kekuatan revolusioner.

Hal 414 (Pandangan Taufiq Ismail):
Dengan sambutan yang hangat, pada halaman pertama dengan garis pinggir tebal, dimuat “daftar buku-buku Manikebu yang dilarang di sekolah-sekolah negeri dan swasta.” Ini menyambung HRM pekan sebelumnya, yang memuat nama-nama buku yang diharamkan karya Takdir Alisjahbana, Hamka, Idrus, dan HB Jassin. (catatan dari Arya Gunawan: yang dimaksud di sini adalah Harian Rakyat edisi Minggu, 3 Oktober 1965).

Lompat satu alinea (tidak saya kutip, karena kurang relevan), terdapat alinea berikut:

Ujar pengantarnya: “Berikut ini kita siarkan buku buku dari Menikebuis-Menikebuis lainnya juga yang dicampakkan dari baik sekolah-sekolah negeri maupun swasta.”

Hal 415 (Pandangan Taufiq Ismail):
Rasa kebencian gergasi inilah yang mewarnai acara pembakaran buku yang hiruk-pikuk penuh semangat “revolusioner”, sebuah upacara ritual PKI, Pemuda Rakjat, CGMI, Lekra dan ormas-ormasnya yang terutama berlangsung di tahun 1965 di Jakarta dan Surabaya, paling kurang di tiga tempat. Onggokan tinggi buku-buku dilalap api tersebut terutama adalah hasil rampokan dari perpustakaan USIS di kedua kota itu ditambah dengan buku teks universitas yang “oldefo”, dan karya yang dicap “Manikebu” reaksioner (di Bintang Timur diberitakan jumlahnya dua juta buku, yang tentu dilebih-lebihkan secara keterlaluan).

Hal 417 (Pandangan Taufiq Ismail):
Bagaimana bisa menaklukkan kebencian itu? Bagaimana cara dan bisakah diikhtiarkan memadamkan kebencian di hati orang-orang Lekra-Marxis-Leninis, dan sekutu-sekutunya? Pertanyaan itu betapa naif dan mendekati pandir. Yang urgen adalah yang paling dekat saja: bagaimana respons kita bila terdesak dipojokkan terus-menerus karena bidikan fitnah, character assassination, polemik, tarik urat leher, konferensi, musyawarah, pembungkaman, pemecatan, pelarangan penerbitan, pembakaran buku dan piringan hitam, apakah akan terjelma kebencian serupa yang merangsang tindakan pembalasan dendam? Karena Hamka dijebloskan ke penjara, mestikah kita menuntut menjebloskan mereka pula? Karena buku kita dilarang, apakah kita balik menuntut melarang buku Lekra pula? Karena mereka membakar buku kita, lantas kita balas juga dengan membakar buku mereka? Demikianlah?

Jawabannya adalah tidak. Begitu ditiru-ulang kembali apa yang mereka lakukan, maka kita akan sama saja dengan mereka. Bila tenaga yang mendorong gerak mereka adalah kebencian dan kekerasan, maka tenaga yang jadi sumber kiprah kita adalah cinta dan amal saleh. Meniru tindakan mereka berarti mereduksi kepribadian sendiri dan menghalangi transendensi total kita ke hadirat Yang Mahasegala.

B. Majalah Horison, edisi Agustus 2006, yang khusus dipersembahkan untuk mengenang PAT yang wafat pada bulan April tahun yang sama.

Hal 5:
Memuat dua foto hasil reproduksi film dokumenter Des Alwi, seorang tokoh senior Indonesia.

Hal 7 (Tulisan Asrul Sani, dikutip dari Majalah Gatra, 26 Agustus 1995):
Pengarang ini (catatan Arya Gunawan: maksudnya merujuk kepada PAT), dengan gigih tetap bertahan bahwa semua itu fitnah, bahwa ia – baik sebagai pengarang maupun pemimpin Lekra – tak pernah berusaha menindas kebebasan kreativitas orang lain. Kegigihan Pramoedya dalam mengingkari masa lampu ini betul-betul “mengagumkan”. Di hadapan bukti-bukti yang cukup banyak dan jelas, seorang penjahat kambuhan sekalipun akan mengakui kesalahannya. Memang sampai saat sekarang tak seorang pun di antara kawan sejawat Pramoedya yang mengakui tindak-tanduknya di masa lampau. Sitor Situmorang menulis sebuah memoir. Jika orang mengira akan mendapat penjelasan tentang sikap dan perbuatan Sitor semasa Orde Lama akan kecewa dan heran. Karena Sitor dengan gampang melewati masa itu, seolah-olah masa itu tak ada sama sekali. Berdasarkan bukti-bukti yang ada, jelaslah bahwa kampanye Pramoedya untuk menindas kebebasan para seniman adalah suatu fakta sejarah.

Hal 15 (Tulisan Bokor Hutasuhut, anggota Manifes Kebudayaan). Aliena terakhir tulisan itu sbb:
Sampai akhir hayatnya Pramoedya tidak pernah minta maaf pada sejarah secara terbuka. Orang yang membelanya malah hendak menobatkannya sebagai pahlawan kebudayaan-kesenian atas nama demokrasi. Yang dilupakan orang itu ialah di zaman demokrasi terpimpin Pram memimpin penindasan kreativitas pengarang, menyambut pelarangan buku, membabat penerbit anti komunis dan membakar buku.

Hal 20, tulisan Ajip Rosidi:
Manipol dijadikan ukuran apakah seseorang revolusioner ataukah kontra revolusioner. Dengan ukuran itu, Pram menguliti para sastrawan yang anti komunis sebagai anti Manipol dalam “Lentera”. Karena Manifes Kebudayaan menyatakan sikapnya sebagai penganut humanisme universal, maka Pram tak henti-hentinya menyerang paham tersebut dan Manifes Kebudayaan (yang disebutnya sebagai Manibeku) sampai akhirnya dilarang pemerintah. Setelah dilarang, Pram menteror para penandatangan Manifes Kebudayaan supaya dikeluarkan dari jabatannya dan karya-karyanya dilarang diterbitkan, tulisan-tulisannya dilarang dimuat dalam majalah dan surat kabar.

Hal 29 (tulisan Rendra “Hadiah Magsaysay dan Pramoedya”, dikutip dari Kompas edisi 14 Agustus 1995):
Di Indonesia, PKI dan Lekra mengganyang, menindas, meneror dan membantu pencekalan terhadap para penandatangan Manifes Kebudayaan dan para lawan politik mereka yang lain. Bahkan mereka melakukan pembakaran buku-buku yang dianggap anti revolusi. Dan selama itu terjadi, Pramoedya Anata Toer tidak berbuat apa-apa yang berarti membela para seniman dan cendekiawan yang tertindas, tercekal dan terbentur. Malahan ikut berpidato di auditorium Universitas Gadjah Mada dan menulis di surat kabar yang isinya mendukung aksi PKI dan Lekra itu. Waktu itu ia adalah anggota Lekra yang memimpin lembaga sastranya. Dan terhadap pembakaran buku yang terjadi ia juga tidak mengeluarkan suara protesnya.
Inilah segi-segi ideologi dan praktek politik yang saya tentang dari Pramoedya Ananta Toer, seorang yang sebagai sastrawan tetap saya bela dan kegumi dari dulu sampai sekarang. (catatan dari Arya Gunawan: sikap saya persis seperti sikap Mas Rendra ini).

Hal 32 (Tulisan Taufiq Ismail “Balas Dendam”, diambil dari Kompas edisi 21 Agustus 1995):
Pengarang Hamka adalah sasaran kampanye pemburukan nama sekitar dua tahun lamanya di “Lentera”/Bintang Timur, yang akhirnya dengan tuduhan politik berkomplot akan membunuh presiden dan menteri agama masuk tahanan hampir tiga tahun tanpa pengadilan. Ketika akan disiksa dengan setrum, persis waktu itu Gestapu gagal, dan Buya Hamka bebas.
Beliau diundang ceramah di TIM pada 1969. Antara lain dalam acara diskusi Buya Hamka ditanya tentang dua hal. Pertama tentang pendapatnya mengenai pelarangan buku Pramoedya, kedua bagaimana sikapnya terhadap Pramoedya yang menghancurkan nama baiknya beberapa tahun di ruang seni-budaya “Lentera”/Bintang Timur yang berlanjut dengan fitnah politik berkomplot akan membunuh presiden dan menteri agama, hingga masuk tahanan hampir 3 tahun lamanya. Dia menjawab bahwa dia tidak setuju pelarangan buku Pramoedya karena falsafah hidupnya adalah cinta, dan untuk seluruh penggasakan terhadap nama baiknya, termasuk fitnah berkomplot tersebut, dia sudah memaafkan semua yang terlibat.
Hadirin di teater Arena TIM terdiam hening mendengar keikhlasan yang memancar dari ucapan sastrawan dan ulama besar ini. Banyak yang menitikkan air mata, termasuk novelis Iwan Simatupang.

(catatan Arya Gunawan: saya juga mengambil posisi persis seperti yang diambil Buya Hamka ini, juga yang diambil oleh Taufiq Ismail dalam bagian penutup buku “Prahara Budaya”. Saya meyakini bahwa seyogianyalah kita menjadi makhluk yang pemaaf karena kita tahu akan kedhaifan kita sebagai makluk ciptaan Yang Maha Kuat dan Maha Suci. Namun saya juga penganut paham “memaafkan bukan berarti melupakan”. Let us forgive, but not forget. Sayangnya, banyak kalangan yang melupakan, atau berpura-pura lupa, dan pada saat yang sama melakukan berbagai upaya agar sebanyak mungkin orang mengalami kealpaan ini. Kritik saya sedari awal adalah penentangan terhadap upaya yang ingin membuat semua orang mengalami kealpaan secara berjamaah itu).

Taufiq Ismail sendiri juga sudah melaksanakan secara konkret niatnya untuk memaafkan itu. Tanggal 9 Juni 2000 dia tampil sebagai salah seorang pembicara, berhadapan langsung dengan PAT. Di akhir acara dia mengulurkan tangan kepada PAT, sebagai cermin dari kesediaan mengikuti salah satu kesimpulan dari perdebatan tersebut yakni agar memotong rantai dendam. “Saya mengulurkan tangan kepada Pram, dan dia menjabat tangan saya erat-erat. Saya gembira sekali”, begitu tulis Taufiq Ismail di kalimat terakhir catatannya mengenang PAT di majalah Horison edisi khusus untuk mengenang PAT itu (hal 9).


Demikianlah hal-hal yang dapat saya utarakan sementara ini untuk menanggapi semua komentar terhadap kritik saya tersebut. Sebagai penutup, saya juga ingin menegaskan bahwa cara-cara pembakaran buku itu dilakukan pula oleh ABRI pada periode setelah PKI kehilangan kekuasaannya yang berusia singkat itu. Perbuatan pembakaran seperti itu tentu juga harus dikecam, sama kerasnya dengan kecaman pada PKI, Lekra, PAT yang terkait dengan aksi pembakaran buku di masa-masa kejayaan mereka. Tidak ada pembenaran terhadap aksi pembakaran ABRI tersebut, selain bahwa tindakan itu hanya akan melanggengkan law of retaliation (sesuatu yang sudah saya sitir dalam tanggapan saya atas email Linda Christanty beberapa hari yang lalu). Saya ingin law of retaliation ini ditukar dengan law of reconciliation, agar kedua kubu yang dulu pernah bertikai sengit, dan mungkin mewaris hingga ke generasi kita sekarang ini, untuk saling memaafkan. Namun bukan untuk melupakan. Ingatan itu harus terus dijaga sebagai bahan rujukan, sebagai bahan pelajaran. Bukan malah dengan sengaja dialpakan, dikaburkan, dikuburkan…

Salam,

Arya Gunawan

2 comments:

Anonymous said...

ngalor ngidul gak karuan. debat kusir yang tak ada juntrungannya. isinya gak ada dan gak penting sama sekali.

wah, aq baru tahu kalo arya gunawan itu suporter nur mahmudi dan PKS. hehehe...

salam
wawan, malang

Anonymous said...

Kita tunggu tanggapan dari Zen, hehe...