Friday, August 24, 2007

Apresiasi Jurnalis Jakarta 2007

Pengumuman Dewan Juri


Beberapa waktu lalu,
Aliansi Jurnalis Independen cabang Jakarta, minta saya jadi juri penghargaan wartawan AJI. Tujuannya, merangsang peningkatan mutu jurnalisme di Jakarta. Ini penting karena Jakarta adalah ibukota media di Indonesia. Kalau mutu disini naik, ia juga akan mempengaruhi daerah lain. Ada dua orang orang lagi: Santoso dari kantor berita radio 68H serta Riza Primadi dari Astro TV. Kami bertiga menerima tawaran tersebut. Kami merasa ini suatu kehormatan.

Lomba ini terbuka untuk semua wartawan yang bekerja dari Jakarta. Peserta lomba mengajukan karya masing-masing untuk dinilai. Setiap peserta maksimal hanya bisa mengirimkan dua karya, yang terbit antara Januari 2006 hingga Juli 2007. Jadi, penghargaan ini membatasi diri hanya kepada wartawan yang ikut. Hasilnya, kami menerima 10 peserta dari media cetak (total 14 karya), dari radio 25 orang total (34 karya) serta tujuh orang dari tiga televisi (10 karya).

Kami memutuskan ada tiga macam penilaian: (1) mutu penggalian data (termasuk tembus sumber, wawancara, penelusuran dokumen, independensi, kelengkapan dan akurasi); (2) kualitas penyajian informasi dalam bentuk cetak, video atau audio; (3) dampak yang ditimbulkan cerita itu di masyarakat (perubahan opini publik, tindakan nyata dan lainnya). Masing-masing penilaian diberi bobot 40 persen, 40 persen dan 20 persen.

Ketiga juri juga memutuskan bahwa kami harus menghindar dari benturan kepentingan (conflict of interest). Kami sejak awal tak ikut memberi penilaian terhadap peserta yang kebetulan bekerja satu perusahaan dengan kami. Artinya, rekan saya, Santoso, tak terlibat penilaian terhadap peserta dari radio 68H. Riza Primadi juga tak ikut menilai peserta dari Astro TV. Kebetulan tak ada rekan saya dari sindikasi Pantau, yang ikut perlombaan ini, sehingga saya menilai semua karya, sekaligus ditunjuk sebagai jurubicara juri.

Cukup sulit menentukan siapa pemenangnya. Kami sangat senang melihat karya para peserta. Saya pribadi termasuk tukang kritik media Jakarta. Saya suka bergurau dengan mengatakan standar jurnalisme disini masih ketinggalan zaman. Masih pakai standar Majapahit! Para peserta membuat saya harus lebih hati-hati dengan gurauan itu.

Kami suka misalnya, laporan seorang peserta radio tentang upaya aktivis Negara Islam Indonesia menarik iuran dari kaum muda. Ada juga liputan menarik soal sebab-musabab banjir di Jakarta, yang dilengkapi footage video zaman Hindia Belanda. Batavia dulunya juga langganan banjir. Seorang insinyur Belanda lantas bikin kanal-kanal. Namun kanal-kanal itu tak cukup untuk kebutuhan Jakarta hari ini. Ada juga liputan bagus soal agama etnik Batak, Pamalin. Idenya unik, namun presentasinya harus ditingkatkan. Ada juga liputan deskriptif soal sengketa tanah di Meruya. Atau seorang perempuan pengidap virus HIV.

Lucunya, banyak juga peserta menulis soal pekerjan seks dan perdagangan perempuan. Ini isu klasik. Namun selalu saja ada sudut baru dari liputan ini. Kami juga berharap wartawan lebih banyak memberikan konteks dan background dalam liputannya. Secara umum, kami merasa ini salah satu kekurangan yang jamak dari peserta.

Namun secara umum, mereka sangat membesarkan hati. Saya tahu 42 peserta ini hanya minoritas dari lebih 10,000 wartawan di Jakarta. Kami juga tahu bahwa banyak media besar, belum mendorong wartawannya ikutan lomba ini. Kami berharap di tahun-tahun mendatang akan lebih banyak wartawan ikut.

Singkat kata, banyak laporan bagus, tapi setiap lomba hanya punya satu pemenang. Kami harus diskusi, membandingkan nilai, menonton ulang televisi, mendengarkan lagi rekaman radio. Akhirnya kami memutuskan tiga orang pemenang sebagai berikut:

• Pemenang untuk kategori televisi adalah Edwin Nazir dari Astro TV dengan karya “Jika Kekerasan Menjadi Pilihan” (23 Juni 2007). Kami menilai sudut cerita teror bom, baik di Bali maupun Jakarta, dengan mengangkat para korban adalah pilihan yang patut dipuji. Ini mengingatkan kita bahwa kampanye politik apapun, kalau pakai kekerasan, selalu menghasilkan korban-korban sipil, tak berdosa. Kami juga suka dengan mutu gambar, pengerjaan informasi dengan komputer dari tayangan ini. Kami suka hasilnya halus.

• Pemenang untuk kategori radio adalah Rebecca Henschke dari kantor berita radio 68H dengan dua serial, “Indonesia smokes out the lungs of the world” serta “Bio-diesel fuels conflict in Central Kalimantan.” Henschke mengerjakan laporan ini dari pedalaman Borneo dimana perkebunan kelapa sawit membabat habis hutan dan menggusur komunitas Dayak. Liputan Henschke penuh dengan deskripsi. Ada suara burung, ada orang Dayak. Pendengar dibawa seakan-akan ke pedalaman Borneo. Isunya juga penting sekali. Isu biofuel akan makin mendesak dengan meningkatnya penghancuran hutan serta digusurnya orang-orang Dayak dari lahan-lahan mereka. Henschke juga koresponden BBC dan NPR dari Jakarta.

• Pemenang untuk kategori cetak adalah Arif Adi Kuswardono dari majalah Tempo dengan lima serial (21 Januari hingga 25 Maret 2007). Kuswardono bercerita tentang upaya Kejaksaan Agung menarik uang Tommy Soeharto dari BNP Paribas Guernsey. Tommy ternyata bisa menarik uang tersebut dengan bantuan dua menteri, Yusril Ihsa Mahendra serta Hamid Awaluddin. Laporan-laporan Kuswardono, kami nilai, ikut mendorong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat keputusan politik memberhentikan dua menteri itu dari kabinet.

Akhir kata, kami mengucapkan selamat kepada para pemenang: Edwin Nazir, Rebecca Henschke serta Arif Adi Kuswardono. Penghargaan ini adalah pengakuan terhadap kinerja Anda. Kami berharap penghargaan ini juga jadi pemicu untuk Anda, bekerja lebih baik lagi dalam bidang jurnalisme.

Dunia jurnalisme adalah dunia yang menuntut kerja keras. Dunia ini menuntut kejujuran dan peningkatan mutu. Selamat menempuh perjuangan lebih panjang lagi. Terima kasih.


Jakarta, 24 Agustus 2007

Dewan Juri Apresiasi Jurnalis Jakarta 2007
Andreas Harsono (jurubicara) - Riza Primadi - Santoso

3 comments:

Anonymous said...

Selamat ya untuk bung bertiga yang telah menjadi pemenang. Dengan melihat kredibilitas dan independensi tiga juri itu, saya percaya bahwa tiga pemenang tsb memang adalah yg terbaik dalam berkarya (dari semua karya yang masuk ke tim juri).

Untuk tim juri, saya usul neh. Kalau boleh dan memungkinkan, hasil karya mereka juga tolong ditampilkan dong di blog ini. Setidaknya yg media cetak, kalau yg dari TV dan radio mungkin sulit secara teknis. Ini penting, setidaknya bagi saya dan teman-teman jurnalis lain di pedalaman Indonesia Timur, yang barangkali belum/tidak sempat baca laporan tsb agar kami bisa belajar bagaimana menulis laporan jurnalistik yang baik.
Saya kira kalau temen2 di daerah juga mendapat bahan bacaan (karya jurnalistik)para pemenang sayembara semacam ini, akan menjadi bahan pembelajaran yang berharga. Bahan itu akan bernilai lebih ketimbang teori tentang jurnalistik yang itu-itu juga.

Terimakasih Mas Andreas Harsono.

naim muhammad said...

wah, aku setuju sekali dengan usul mas tejo. Eh tejo ni asli palsu, hehehehe.
ya mas, sebagai pemula yang selalu tertarik pada jurnalistik, pasti ini berguna banget. salam.

Anonymous said...

Hallo Mas Andreas, Anda mengatakan, "kami juga berharap wartawan lebih banyak memberikan konteks dan background dalam liputannya."

Saya awam dalam jurnalistik, mohon penjelasan (kalau bisa dengan contoh singkat)apa yang dimaksud dengan konteks dan background dalam sebuah tulisan.

Saya menunggu penjelasan dari Mas Andreas, karena saya yakin akan menambah pengetahuan jurnalistik saya.

Terima kasih,
-iqbal-