Wednesday, August 15, 2007

Goenawan Mohamad Menanggapi Aboeprijadi Santoso

Dalam menjawab Arya Gunawan, Tossi mengatakan: "Kalau benar bahwa Pram dan Lekra membakar buku, saat itu para korbannya secara nyata mampu memberi jawab atau pun membalas." 

Sebagai orang yang hidup di masa itu dan mengalami apa yang terjadi, harus saya katakan bahwa Tossi salah fakta. 

Setelah Presiden Sukarno melarang "Manifes Kebudayaan" 8 Mei 1964, atas desakan PKI-Lekra dan lain-lain, didahului dengan kampanye gencar oleh Pramoedya Ananta Toer, para penandatangan Manifes Kebudayaan kehilangan kebebasan. 

Tulisan saya dan yang lain-lain tak bisa dimuat di penerbitan apapun, karena bila itu terjadi, penerbitan tersebut akan dibredel. 

Saya memakai nama samaran, juga dalam menulis hal yang tak membahas persoalan politik. Tulisan saya  tentang metode analitik dalam kritik sastra, misalnya, memakai nama "Sutisna Aji" agar bisa muncul di majalah kebudayaan Indonesia. Saya bahkan tak boleh mendaftarkan nama sebagai peserta rapat. Ini misalnya saya alami  dalam sebuah rapat teater yang dipimpin oleh Usmar Ismail. Pemimpin rapat takut akan diinterogasi polisi, bila ada yang melaporkan bahwa ada seorang "Menikebu" yang hadir. 

Wiratmo Sukito dicopot dari tugasnya di RRI, dan H.B. Jassin tidak bisa lagi jadi dosen di FSUI. Ia digantikan A.D. Donggo, anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, yang juga mengganyang habis "Manikebu", meskipun Donggo tak punya gelar akademis sama sekali. 

Orang-orang Lekra -- tidak semuanya, tentu, tapi jelas Pramoedya Ananta Toer --   ikut bertanggungjawab dalam pembrangusan kebebasan berpikir di masa "demokrasi terpimpin" itu. 

Saya tidak menyaksikan mereka membakar buku (kecuali jika dianggap pembakaran The Jefferson Library milik USIS adalah pembakaran buku juga), namun mereka aktif dalam mencegah pikiran yang berbeda, khususnya yang dinilai "kontrarevolusi", dengan ukuran yang mereka tentukan sendiri. Dan kami tidak punya ruang untuk bersuara, apalagi membalas, Tossi. 

Bila saya katakan semua ini, maksud saya adalah agar kita tidak membuat diskusi soal pembakaran buku ini jadi  persoalan membela atau menyerang PKI-Lekra atau Pramoedya. Maksud saya adalah menunjukkan, bahwa para pelaku sejarah di Indonesia ini -- termasuk saya, termasuk Pramoedya -- punya andil dalam kesalahan-kesalahan besar yang menyebabkan hak-hak demokrasi terancam atau hilang.  

Jika kita hendak mengecam sikap intoleran yang menjurus ke sana,  kita harus bersedia mengakui kesalahan itu -- dan baru dengan itu bisa ikut "melemparkan batu pertama", untuk memakai ungkapan Isa Almasih.  Itu perlu. 

Yang dilakukan Nurmahmudi terhadap buku sejarah yang dianggap tak menyalahkan PKI dalam peristiwa G30S adalah sebuah tindakan yang layak dikecam keras. Jika yang membakar adalah petugas Kejaksaan Agung yang menjalankan prosedur -- bahwa tiap yang dilarang tak boleh disimpan dan sebab itu dibakar -- itu masih bisa dipahami. 

Tapi seorang walikota di sebuah kota universitas tidak bertugas untuk itu. Kecuali untuk menunjukkan, bahwa dia dan kekuasaannya tidak akan toleran terhadap pikiran yang berbeda. Dengan demikian, ia dapat disamakan dengan sikap totaliter lain, baik yang tampak pada kaum Stalinis maupun kaum Nazi dan kaum Fascis.
   
-- Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad, kolumnis majalah Tempo, seorang pendiri Komunitas Utan Kayu, ikut menandatangani Pernyataan Sikap anti Pembakaran Buku. Tanggapan ini dikirimkan Goenawan Mohamad lewat email saya.

1 comment:

Anonymous said...

Trims, Andreas. Dan saya sudah menanggapi Mas Gun. Pendek saja: "Terima kasih atas koreksinya".

Salam,
Tossi