Friday, August 10, 2007

Arya Gunawan Menjawab Linda Christanty

Linda,

Ada beberapa hal yang ingin saya catat atas email Anda ini:

a)  Anda terkesan emosional, antara lain tercermin lewat penggunaan kata “huh” di ujung email Anda. Juga kelihatan seperti menyetujui pelestarian dendam, a law of retaliation, an eye for an eye, dengan mengatakan bahwa “massa Islam yang dimobilisasi tentara pada tahun 1965 sudah membalas aksi pembakaran buku Pram dan kawan-kawannya dengan membunuh sekitar tiga juta orang yang disebut PKI. Balasannya sudah cukup dahsyat tuh”. Artinya, sudah dong jangan serang Pram dan Lekra lagi dong, kan karya mereka juga sudah dibakar oleh tentara. Saya sepenuhnya tak sepakat dengan hukum “an eye for an eye” ini; dengan kata lain, kedua-dua aksi tersebut harus dikutuk keras. Pram dan Lekra membakari buku-buku non-Lekra harus dianggap tindakan tak beradab, lalu tentara membakari karya Pram dan membunuhi sekian banyak jiwa juga harus dikutuk sama kerasnya. Jadi, dalam konteks ini saya tentu akan membela Pram karena buku-bukunya telah dibakar oleh tentara.

b) Anda meleset menangkap poin utama saya. Saya terpaksa mengulangnya lagi di email ini. Poin utama sama sekali bukan ingin membela orang-orang yang bukunya dibakari oleh Pram dan Lekra. Sama sekali tidak. Poin utama saya adalah soal omission of facts, yang bisa membawa orang pada kesimpulan lain di luar apa yang dimaksudkan oleh para penyusun naskah pernyataan itu. Kalau tindakan Pram dan Lekra yang membakari buku-buku di tahun 1964-an itu tidak dikutip sebagai salah satu contoh di naskah pernyataan tersebut, maka orang bisa menyimpulkan ada sesuatu di balik omission of facts tadi: yaitu tidak ingin mengungkit-ungkit kesalahan yang sama kadarnya yang juga dilakukan oleh Pram dan Lekra. Kok jauh-jauh amat memunguti contoh sampai ke Jerman segala. Mbok ya ambil juga contoh yang dekat-dekat.

c) Ihwal pernyataan Anda: “Kalau Arya ingin membela orang-orang yang dibakar bukunya oleh Pram dan kawan-kawannya sekarang, yaaaa... agak nggak nyambung juga sih. Seharusnya dia lakukan itu di masa Soekarno berkuasa. Soekarno pun sudah wafat. Waktu itu Arya juga belum lahir.” Sekali lagi, saya tidak hendak membela orang-orang yang bukunya dibakar Pram. Yang saya persoalkan adalah bahwa tindakan Pram dan Lekra membakari buku-buku di tahun 1960-an itu layak dijadikan contoh bagus, sekaligus mengingatkan generasi sekarang. Kita tak boleh melupakan dan mengubur fakta bahwa ada penggalan sejarah Indonesia yang dihiasi oleh tindak pembakaran yang dilakukan oleh Pram dan Lekra, jauh sebelum Nurmahmudi dan kawan-kawannya melakukan tindakan yang mirip. Lalu yang saya tak habis pikir adalah mengenai saran Anda bahwa seharus saya melakukan “pembelaan” itu di masa Soekarno? Apakah Anda ingin mengatakan bahwa asas retroaktif tak berlaku di sini? Artinya, bahwa apa yang sudah terjadi masa Soekarno tak bisa diungkit-ungkit kembali di masa kini? Saya lumayan tak paham logika di balik usulan ini.

d) Oh iya, Anda keliru jika menduga saya belum lahir pada masa itu. Saya lahir di awal tahun 1964, di masa puncak aktivitas kelompok Manikebu sebelum dibreidel oleh Soekarno 8 Mei 1964. Kalau Anda bilang bahwa saya waktu itu belum bisa berbuat apa-apa untuk melawan Soekarno, tentu saja Anda sepenuhnya benar. Kemampuan saya pada masa itu baru pada batas tidur, menangis, telungkup, buang air, dan menetek. Namun jika Anda menyebut saya belum lahir (seperti yang tertulis di email Anda), jelas Anda sepenuhnya keliru.
 
Arya Gunawan

Arya Gunawan soal Nurmahmudi Ismail

1 comment:

Anonymous said...

mbak linda lagi sensi mas..biasa..jadi maafin aja kalo rada rada missleading dlm membaca postingan mas arya...:)