Friday, August 10, 2007

Lampung, Lampung, Lampung

Oleh Andreas Harsono


JAKARTA – Saya beberapa kali berkunjung ke Bandar Lampung, menemui mahasiswa-mahasiswa, bicara dengan wartawan, dan tentu saja, menikmati durian Kotabumi. Kebetulan ada beberapa warga Lampung, antara lain Eva Danayanti, seorang alumnus majalah Teknokra, gadis muda, cerdas dan efisien, kini menjadi rekan kantor saya di Jakarta.

Terkadang, lewat diskusi dengan Eva dan kawan-kawannya, saya tahu adanya persaingan, sehat maupun tak sehat, antara bangsa Jawa –“Kami yang mayoritas,” kata satu wartawan— dengan bangsa Lampung, sang “putra daerah.” Eva juga cerita soal etnik Tionghoa, yang dominan dalam perdagangan, serta sering jadi kambing hitam dalam keadaan kacau.

Cuma omong-omong saja. Tak ada liputan, tak ada riset. Lampung, dari sejarahnya, jauh kurang sering berantem. Bandingkan misalnya, dengan kesultanan Acheh, yang sudah 600 tahun berantem dengan kekuasaan di Pulau Jawa. Gerakan Acheh Merdeka hanya perpanjangan dari sejarah 600 tahun itu. Atau bangsa Papua, yang tak merasa dijadikan bagian yang jujur dari Indonesia. Atau Timor Leste, yang melawan pendudukan Indonesia, dengan korban 183,000 mati antara 1975 dan 1999.

Persoalannya, bagaimana harian-harian di Bandar Lampung meliput serta membentuk opini soal ini? Saya kira, soal ini penting banget kalau Anda ingat analisis Benedict Anderson, guru nasionalisme dari Universitas Cornell, soal peranan media cetak dalam membentuk rasa satu nasib, rasa satu bangsa, rasa persaudaraan. Anderson terkenal dengan buku-buku klasik berjudul Java in a Time of Revolution serta Imagined Communities.

Menurut Anderson, “bangsa” adalah suatu masyarakat khayalan. Warga masyarakat betulan mengenal sebagian besar warga masyarakat tersebut. Suatu masyarakat khayalan, atau suatu bangsa, tentu saja, tak mengenal mayoritas warga lainnya. Namun media menciptakan khayalan seakan-akan mereka punya nasib sama, seakan-akan mereka saling mengenal dan bersama-sama memperjuangkan sesuatu. Saking hebatnya, khayalan ini bisa menggerakkan orang jadi emosi. Namun bangsa juga sering jadi sasaran manipulasi. Siapa lagi kalau bukan media pula yang bikin manipulasi?

Hari ini, peranan media cetak itu, secara luar biasa disaingi oleh media elektronik, terutama televisi. Ada gosip artis dan politikus kawin-cerai, ada film Hollywood super menarik, ada pelawak macam Thukul Arowana. Orang tertarik nonton televisi, lalu enggan beli koran. Hari ini, juga praktis tak ada orang yang mendapatkan breaking news dari suratkabar. Padahal breaking news, sejak awal abad XX, jadi daya tarik suratkabar menggaet pembaca. Suratkabar pun makin frustasi lihat kue iklan direbut televisi. Di Jakarta, saya sering jadi korban curhat para redaktur, yang jengkel lihat sirkulasinya turun terus, lalu tergoda menyeleweng dari pakem-pakem jurnalisme.

Jalan keluar yang benar bagaimana? World Association of Newspapers berusaha membantu dunia persuratkabaran. WAN adalah sebuah organisasi nirlaba, berdiri tahun 1948 di Paris. Anggotanya ada pada 102 negara, mewakili sekitar 18,000 suratkabar (termasuk Indonesia). Mereka mempunyai macam-macam petunjuk guna mengembangkan sirkulasi dan pendapatan suratkabar. Mulai dari perbaikan manajemen hingga kerjasama digital.

Semuanya ada dalam proyek “Shaping the Future of Newspapers.” Saya sempat perhatikan judul-judul dari laporan mereka:

• The Power of Local Focus
• Digital Classifieds Survey
• Media Landscapes: Beyond Advertising
• The Format Change Phenomenon
• Classified Models Revisited
• Circulation science
• Profiting from Digital
• New Designs, New Formats
• Reaching and Retaining Young Readers
• The Value Driven Newspaper


Intinya, suratkabar modern tak bisa mengandalkan kecepatan lagi. Suratkabar modern harus menekankan kedalaman. “Analisis, analisis, analisis,” katanya. Disain harus diperhatikan. Situs web bisa jadi tambang uang. Iklan baris perlu diformat segar. Pendapatan bukan hanya dari iklan. Sirkulasi harus lebih hemat.

Committee of Concerned Journalists dari Washington DC juga memberi banyak usul. Mereka usul mutu jurnalisme ditingkatkan. Suratkabar Lampung, kalau mau modern, harusnya juga makin analitis, makin bercerita serta makin mudah dibaca. Ia juga harus lebih lokal, lebih dekat kepada warga.

Suratkabar Lampung juga harus mendidik warga untuk sadar bahwa nasib mereka, seringkali tak ditentukan oleh mereka sendiri. Nasib mereka lebih sering dipengaruhi oleh orang-orang berkuasa di tempat yang jauh dari Lampung. Entah di Jakarta, atau mungkin London, New York, Tokyo, Beijing, Kairo dan Mekkah. “Makin bermutu jurnalisme dalam suatu masyarakat,” kata Bill Kovach dari Committee of Concerned Journalists, “makin bermutu pula masyarakatnya.”

Lebih penting lagi, suratkabar modern harus memberikan gambar, yang sedekat-dekatnya, bahwa keragaman adalah bagian dari Lampung. Politik bangsa-bangsaan harus diceritakan dengan segala macam background, yang tak muncul pada berita sepotong dua potong. Ia juga harus lebih memberi tempat kepada warga. Suratkabar modern bukan hanya meliput pejabat dan orang-orang besar.

Orang Amerika bilang, “It’s a tall order.” Ini permintaan yang sulit. Kebanyakan media Jakarta, baru bebas dari sensor dan bredel sesudah mundurnya Presiden Soeharto. Namun fasisme Orde Baru, yang anti keragaman, gemar menindas kaum minoritas, serta mengagung-agungkan kekerasan, masih diwarisi di setiap sudut Indonesia dan Timor Leste.

Republik Indonesia, yang dibentuk pada 1950-an, juga menghancurkan semua suratkabar peninggalan Hindia Belanda. Dampaknya, tak ada garis sambung antara media di Indonesia, yang kini 95 persen dikuasai orang Jakarta, dengan jagoan-jagoan macam Tirto Adisurjo, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, Mas Marco Dikromo, Kwee Kek Beng, atau F.D.J. Pangemanann. Ketika beberapa kali bertemu dengan orang-orang WAN, saya sering gagap bila tahu umur suratkabar-suratkabar Eropa, Amerika atau India, 150 hingga 200 tahun. Republik baru ini tak punya sejarah jurnalisme yang panjang. Paling tua umurnya 40-50 tahun.

Di Jakarta, Goenawan Mohamad dari Tempo sering mengeluh susahnya cari wartawan yang bisa menulis. Saya setuju dengan Goenawan. Coba Anda hitung berapa wartawan di Jakarta, yang biasa menulis, tentu saja dengan benar dan memikat, lebih dari 10,000 kata dalam satu cerita? Bagaimana mau bikin analisis dan cerita mendalam kalau wartawannya tak bisa menulis panjang? Tapi banyak reporter juga mengeluh. Bagaimana bisa menulis bagus dan dalam kalau setiap hari disuruh bikin dua, tiga hingga lima berita? Ini macam lingkaran setan.

Tapi siapa tahu, dari tempat dimana durian Kotabumi bikin banyak orang jatuh cinta pada makanan Lampung, bisa muncul suratkabar bermutu, yang memelopori perubahan jurnalisme kuno ala Majapahit di Jakarta?


Andreas Harsono, seorang wartawan, ketua Yayasan Pantau, yang bekerja dari Jakarta, Banda Aceh dan Ende, kini menulis buku From Sabang to Merauke: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism. Esai ini muncul di halaman opini harian Lampung Post

2 comments:

naim muhammad said...

ya memang menarik misalnya jika sebuah media itu mampu memberikan perubahan dalam masyarakat. media yang baik akan memberikan pula kondisi yang baik pada masyarakat. hanya saja tantangannya, adakah media itu benar baik dan membawa pesan bagi masyarakat ? bukankah media selalu sembunyi pada deadline yang artinya berita dibuat bukan memikirkan pesan tapi memikirkan media itu sendiri ?

Eriek said...

Mas Andreas, saya sudah lihat tulisannya yang dimuat oleh Lampung Post edisi Jumat kemarin. Menarik sekali.