Friday, August 10, 2007

Linda Christanty soal Kritik Arya Gunawan


Dalam rapat pertama kita tempo hari, saya sudah menduga hal seperti ini akan terjadi.  Saya dan teman-teman juga sepakat bahwa jangan sampai fokus utama kita adalah aksi atau advokasi terhadap tindakan pembakaran buku sejarah, yang tidak mencantumkan kata "PKI". Dan apa yang kita lakukan kemudian, sudah benar.

Pembakaran buku sejarah, yang tak mencantumkan kata "PKI" itu hanyalah MOMENTUM kita untuk melakukan aksi melawan apa yang lebih besar, yaitu FASISME dan ANARKISME (dengan slogan kita, LAWAN FASISME, REBUT DEMOKRASI!).

Kita juga sama-sama menyepakati bahwa kalau kita hanya terfokus pada soal pembakaran buku sejarah, yang tak mencantumkan kata "PKI" pada "G30S", maka gerakan perlawanan yang kita lakukan akan mengecil, kita tak akan bisa mengajak massa yang lebih luas untuk melawan fasis dan orang-orang yang ikut serta dengan kita hanya orang yang merasa berkepentingan dengan G30S saja (misalnya tapol/napol yang sudah pada uzur itu) atau para sejarawan yang kritis terhadap pemerintah Orde Baru dulu. Padahal, apa yang kita lawan ini adalah sebuah kekuatan yang sangat besar dan terorganisasi dan pembakaran buku yang tak mencantumkan kata "PKI" hanyalah salah satu cara mereka untuk mengkonsolidasikan diri.

Apabila ada yang bertanya, mengapa kita menjadikan pembakaran buku sejarah tanpa kata "PKI" itu sebagai momentum, maka jawaban kita adalah salah satu pembantaian terbesar dalam sejarah umat manusia setelah Perang Dunia II adalah peristiwa 1965 dan mereka yang dibunuh itu dituduh sebagai "PKI".

Tentara bersama kelompok-kelompok yang dimobilisasinya melakukan pembantaian terhadap sekitar tiga juta orang yang mereka anggap "PKI" (Ketika Gus Dur masih menjabat presiden RI, dia bahkan pernah menyatakan minta maaf, karena Ansor turut terlibat dalam pembantaian tersebut). Sebelum itu disiarkan juga bahwa terjadi pembunuhan terhadap para jenderal yang dilakukan PKI dan dalam sejarah versi Orde Baru dinyatakan sebagai "Pemberontakan G30S PKI".

Ketika reformasi politik sedang berlangsung pasca Soeharto, para sejarah pun punya ruang untuk menelusuri lagi sejarah dan apa yang mereka temukan ternyata berbeda dengan apa yang dipropagandakan Orde Baru. Pak Asvi misalnya, mengatakan bahwa secara organisasi PKI belum tentu terlibat dalam peristiwa itu. Itulah sebabnya kata "PKI" kemudian tidak dicantumkan lagi beriringan dengan kata "G30S" di sejumlah buku sejarah.

Namun, setelah SBY jadi presiden hilangnya kata "PKI" ini digugat oleh orang Partai Golkar (Agung Laksono), sampai kemudian terjadi aksi pembakaran buku yang dilakukan orang Partai Keadilan Sejahtera itu (Nur Mahmudi) dan orang-orang Kejaksaan.

Artinya, sejarah sedang dicoba untuk dibelokkan lagi.

Kita menentang tindakan pembakaran ini, karena yang mereka lakukan adalah jelas-jelas fasis dan anarkis. Mereka membakar buku, bukan karena iseng, tetapi politis. Apa target politik mereka? Memberangus kebebasan berpikir dan berekspresi. Memberangus sikap kritis dan perbedaan. Oleh sebab itu, kita lawan dengan sekuat tenaga. Setelah ini entah buku macam apalagi yang mereka anggap harus dibakar. Kalau mereka merasa membakar buku belum puas, maka mereka sudah pasti akan membakar manusianya.  

Tak jauh-jauh, dalam urusan sastra misalnya, ada Sastrawan Ode Kampung. Pernyataan sikap yang mereka tulis sangat lucu. Anti dominasi komunitas, tetapi komunitas yang mendominasi tak disebut namanya. Mereka melawan dominasi dengan cara memfitnah. Mereka pengecut! Ada pernyataan anti-imperialisme juga di situ, tetapi terkesan sumbang dan dipaksakan. Mereka melancarkan sentimen pribadi dengan mengatasnamakan anti-imperialisme! Sangat konyol! Tetapi juga berbahaya.

Belum lama ini saya bertanya pada salah seorang dari mereka, "Apa target akhir dari gerakan ini? Memusnahkan komunitas yang dianggap mendominasi?" Orang itu tak menjawab sms saya. Saya katakan pada orang tersebut bahwa ketika di awal-awal kejatuhan Soeharto dulu, Partai Golkar sempat dituntut untuk dibubarkan, tetapi saya dan teman-teman saya yang setengah mati sebelnya dengan Golkar tidak mendukung tuntutan itu. Mengapa? Di alam demokrasi, tak boleh ada tindakan pemberangusan terhadap orang maupun lembaga atau apa pun juga. Bila mereka salah dan kita punya bukti-bukti, ajukan ke pengadilan. Memang menyebalkan, karena pengadilan kita korup, dan berdemokrasi ternyata membuat kita harus menahan mangkel. Tetapi dengan demikian, kita menjadi manusia, bukan binatang.

Jadi katakan pada Arya bahwa pembakaran buku tanpa kata "PKI" itu hanyalah salah satu contoh tindakan fasis dan anarkis yang kita lawan.

Kita tidak membela PKI, tetapi kita membela demokrasi. Kita ingin menegakkan kebebasan sipil.

Kalau Arya ingin membela orang-orang yang dibakar bukunya oleh Pram dan kawan-kawannya sekarang, yaaaa... agak nggak nyambung juga sih. Seharusnya dia lakukan itu di masa Soekarno berkuasa. Soekarno pun sudah wafat. Waktu itu Arya juga belum lahir. Terus apa tanggapan Arya terhadap buku-buku Pram yang dirampas tentara dan dibakar, terus rumah Pram yang sampai sekarang masih disita tentara? Arya harus belain juga, dong.

Lagipula, bilang sama Arya bahwa tentara dan organisasi massa Islam yang dimobilisasi tentara pada tahun 1965 sudah membalas aksi pembakaran buku Pram dan kawan-kawannya dengan membunuh sekitar tiga juta orang yang disebut PKI. Balasannya sudah cukup dahsyat tuh.

Apa itu masih kurang jumlahnya dan belum puas juga? Huh!

Salam dari Aceh,
Linda Christanty

No comments: