Friday, August 24, 2007

20 Menit Senayan-Kemayoran

Pagi ini aku bangun pukul 6:00, menyalakan komputer, kencing di kamar mandi, membaca email masuk --Marina Walker dari Washington DC cerita wartawan Iqbal Athas di Colombo punya ancaman keamanan serta Alexander Asriyadi Mering dari Pontianak soal fact checking buku-- serta menyiapkan pikiran untuk mengantar Norman ke sekolah.

Norman bangun bersamaan. Dia tiduran di sofa, lalu mengecek satu bungkus martabak manis, yang dipesannya dari Sapariah tadi malam. Maka kami pun siap-siap bekerja. Norman ganti pakaian. Celana kanvas warna coklat muda. Kaos Harvard dengan pesan "Nieman Kid." Hari ini pakaian bebas. Norman minta aku mengisi botol airnya dengan Aqua. Kami pamit pada Sapariah. Tadi malam, Sapariah tampaknya tidur larut, nonton televisi.

Pukul 6:30, naik lift langsung turun ke Basement 2. Mobil kami memang jatah parkir, sesuai nomor urut unit apartemen, di Basement 2. Aku hidupkan mobil, menaruh tas, tunggu empat menit. Pukul 6:38, mobil bergerak. Pukul 6:40 keluar dari apartemen Senayan, langsung melaju ke Bunderan Slipi untuk naik tol.

"Norm, please help me fix the mirror," aku minta tolong.

Cermin spion kiri tadi malam tersenggol anak tetangga. Agak miring. Norman pun melewati bangku belakang, membuka jendela, membenarkan posisi spion. Kami menunggu di lampu merah Slipi. Aku merogoh tempat uang di dash board. Di pintu tol, Rp 5,000 aku sodorkan. Kembali Rp 500. Mobil pun melaju di jalan tol.

Norman, yang memang suka martabak manis, diam saja di belakang. Dari spion, aku lihat dia sibuk mengunyah martabak.

Minggu ini, Senin dan Selasa, Norman tak masuk sekolah. Senin pagi, ketika aku sudah menuju Pondok Indah (rumah ibunya), saat Norman tinggal disana, Sri Maryani, pengasuh Norman, miss call. Aku telepon balik. Yani bilang hari ini Norman tak enak badan. Selasa juga tak masuk sekolah. Batuk dan pilek serta pusing. Selasa malam, saat bicara via telepon, Norman bilang Rabu pagi dia akan kembali sekolah.

Kami bertemu pukul 5:55 Rabu pagi di Pondok Indah. "I miss you, Pa," katanya. We hugged each other. Dia cerita kepalanya pusing karena berpikir harus pindah ke Bintaro. "My head almost exploded," katanya. Rabu siang, aku jemput dia di sekolah, lalu diantar ke Pondok Indah.

Kamis pagi, aku jemput dia lagi di Pondok Indah, pukul 6:00. Kamis siang, Norman kembali ke Senayan. Kami sempat mampir ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat, melihat-lihat pameran organisasi swadaya masyarakat. Eva Danayanti, Linda Christanty serta Norman dan aku, lalu bersama-sama pergi ke Hotel Sulthan dimana Janet Steele meluncurkan bukunya Wars Within: Pergulatan Tempo, Majalah Berita Sejak Zaman Orde Baru. Kami tak lama. Norman dan aku pergi duluan.

Sepanjang jalan, antara gerbang tol Slipi dan gerbang Kemayoran, aku cerita pada Norman soal beda truk. Ada truk yang mesin dan badannya jadi satu. Ini disebut truk saja. Ada juga yang tractor head dan trailer terpisah. "Itu disebut truk single," kataku, menunjuk sebuah truk kecil dengan poros belakang satu.

Truk paling besar adalah truk trailer dengan tiga poros roda di bagian belakang. "It can carry a weight up to 30 tonnes. Sometimes more," kataku, menunjuk sebuah truck Scania. Ada juga trailer dengan dua poros. Ada juga tronton, yang bisa muat peti container 20 feet. Kami ramai melihat truk-truk yang lalui. Trailer 40 feet, trailer tiga poros, trailer dua poros.

Tak terasa, pukul 6:58, kami sudah tiba di depan Gandhi Memorial International School. Agak antri sedikit. Ramai depan sekolah. Mungkin dua menit. Norman tak bawa bekal. Aku beri dia Rp 20,000 untuk sarapan saat istirahat pertama dan makan siang saat istirahat kedua. Norman pun bilang, "Thank you. Bye bye Pa." Kami saling berangkulan dan dia pun cepat bergabung dengan teman-temannya. Kami hanya butuh 18 menit, gate to gate, dari apartemen di Senayan menuju sekolah.

Aku lalu putar haluan, kembali naik tol Kemayoran menuju Slipi. Di jalan, aku berhitung bila dari Pondok Indah, waktu tempuh harus ditambah sekitar 30 menit (pagi hari) dan 45-50 menit saat pulang sekolah (siang hari). Retno Wardani, ibunya Norman, rencana memindahkan Norman ke Bintaro. Sedih sekali. Bintaro ke Kemayoran tidak mungkin ditempuh satu jam. Aku terkadang tak habis pikir, bagaimana mungkin Retno rela mengorbankan kepentingan Norman? Mengapa dia tak mau menempatkan kepentingan Norman lebih tinggi dari interest dia sendiri?

Pukul 7:10, Norman di sekolah pasti sudah mulai berkumpul untuk upacara pagi. Aku selalu ingat kejengkelannya bila mendegar pidato A.P. Singh, kepala sekolah GMIS, yang sering dianggapnya berkepanjangan. Namanya juga kepala sekolah! Bagaimana rasanya mendidik ribuan murid macam A.P. Singh?

Pukul 7:10, mobil sudah melewati rumah sakit kanker Dharmais. Aku jadi ingat Tien Soeharto, isteri Presiden Soeharto, yang bikin rumah sakit ini. Bagaimana ya rasanya jadi Soeharto? Apa pendapat Tien soal tuduhan suaminya terlibat berbagai macam pembunuhan, korupsi serta represi? Apa kata-kata Tien terhadap anak-anaknya?

Pukul 7:20, aku sudah tiba di rumah. Total dari waktu berangkat hingga pulang, aku menghabiskan waktu 50 menit.

***

No comments: