Monday, December 01, 2008

Sebuah Kuburan, Sebuah Nama


Makam James Richardson Logan dan saudaranya, Abraham Logan, di Protestant Cemetery di Pulau Pinang, dulu disebut bagian dari Straits Settlement, kini daerah khusus Malaysia dan Singapura.
-- Foto-foto oleh Himanshu Bhatt


OKTOBER lalu saya berkunjung ke Protestant Cemetery di Penang guna mencari makam James Richardson Logan, salah satu warga kehormatan Penang, yang juga menciptakan kata, thus khayalan tentang, Indonesia.

Francis Loh Kok Wah, seorang profesor dari Universiti Sains Malaysia, blogger Anil Netto dan wartawan Himanshu Bhatt menemani saya mencari makam tersebut. Francis Loh saya kenal dengan bukunya Democracy in Malaysia: Discourses and Practices. Dia juga lulusan Cornell University serta teman dekat Arief Budiman, dosen Universitas Melbourne, yang pernah mengajar saya pada 1980an di Salatiga.

Kami naik mobil Anil Netto dan berangkat dari The Gurney Resort Hotel, tempat saya menginap, menuju Jalan Sultan Ahmad Shah, dekat Lebuh Farquhar. Pemakaman terdapat di Jalan Sultan Ahmad Shah. Pintu masuk terletak persis depan Pusat Servis Kereta Toyota. Di belakang Protestant Cemetery terletak Catholic Cemetery. Mungkin ini pengaruh Inggris dimana orang Protestan dan Katholik dimakamkan terpisah. Di Jakarta, Salatiga, Semarang atau Surabaya, saya lihat kuburan Belanda tak dipisahkan antara Protestan dan Katholik.

Mulanya, kami mengamati sebuah papan dimana nama-nama orang penting yang dimakamkan dicatat. Pemakaman ini yang paling tua di Pulau Pinang. Ia didirikan oleh Francis Light, orang Inggris yang menyewa pulau ini dari Sultan Kedah pada tahun 1786, guna mendirikan koloni Inggris dengan nama resmi Straits Settlement. Posisi Pulau Pinang memang strategis di Selat Malaka. Kelak posisi strategis Selat Malaka juga memancing Thomas Raffles mendirikan pelabuhan Singapura pada 1819. Kerajaan Belanda, seabad sesudah Francis Light mendirikan koloni Penang, membangun pelabuhan Sabang di Pulau Weh, juga di Selat Malaka, pada 1887. Pemakaman Protestan ini didirikan pada 1789 atau tiga tahun sesudah kontrak dengan Sultan Kedah mulai. Francis Light juga dimakamkan disini. Dia meninggal karena malaria pada 21 Oktober 1794.

Francis Loh memimpin rombongan kecil kami menelusuri makam demi makam. Francis Loh kelahiran Penang. Dia lincah sekali, mencari batu nisan, satu demi satu. Banyak pepohonan tua dan rindang di makam ini. Tapi juga banyak nyamuk kecil. Saya sering memukul nyamuk di lengan dan kaki. Secara umum, ini pemakaman yang indah. Saya sering lihat kuburan ini diterakan dalam brosur turisme Penang. Ia juga bagian dari Penang Heritage Walk --sebuah route khusus jalan-jalan di Penang dimana tempat-tempat bersejarah diberi pengumuman, peta dan sejarahnya. American Express adalah sponsor dari Penang Heritage Walk.

Francis, Anil dan Himanshu tertarik membantu ketika saya beritahu bahwa James Richardson Logan adalah orang yang menciptakan kata "Indonesia." Mereka kenal nama Logan. Di Penang ada Logan Street. Namun mereka tak sangka Logan pula yang menciptakan kata Indonesia.

Akhirnya, kami menemukan batu makam James Richardson Logan serta saudaranya, Abraham. Mereka dimakamkan bersama-sama. Tinggi makam ini sekitar 1.5 meter. Disana tercantum tanggal kelahiran dan kematian mereka. Saya duduk dan merenung. Himanshu mengambil gambar.

Di papan pengumuman, James Logan diterangkan sebagai, "Penang's foremost man of the press and champion of the natives causes, enshrined in the Logan Memorial in the grounds of the high court." Antara 1847 dan 1859, dia menerbitkan Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, yang kadang juga disebut Logan’s Journals total 27 volume, serta buku Language and Ethnology of the Indian Archipelago. Logan juga dikenal sebagai pembela hak asasi orang non-Eropa. Saya senang dengan keterangan ini. Logan dinilai sebagai seorang wartawan.

Menariknya, kami juga menemukan makam George Samuel Windsor Earl, mentor dan kolega James Logan. Earl adalah orang yang mula-mula membuka diskusi soal bagaimana mereka harus menamakan pulau-pulau yang terletak di Selat Malaka itu? Baik Semenanjung Malaka, Pulau Sumatra, Borneo, Jawa dan sebagainya. Dalam papan pengumuman, Earl diterangkan sebagai "asistant resident councillor" Straits Settlement pada 1805 hingga 1865 serta mengarang buku The Eastern Seas. Terminologi "eastern seas" mengacu pada kepulauan yang sekarang disebut Indonesia, Singapura, Brunei, Filipina dan Malaysia.



KATA "Indonesia" pertama kali dibuat pada 1850 --mulanya dalam bentuk "Indu-nesians"-- oleh George Samuel Windsor Earl. Dia menulisnya dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia. Earl sedang mencari-cari terminologi etnografis untuk menerangkan "... that branch of the Polynesian race inhabiting the Indian Archipelago" atau "the brown races of the Indian Archipelago."

Namun, walau sudah menggabungkan dua kata itu, masing-masing dari kata "Indu" atau "Hindu" dengan kata "nesos" atau "pulau" dari bahasa Yunani, Earl menolaknya sendiri. Dia menganggap kata "Indunesia" terlalu umum. Earl menawarkan terminologi lain, yang dinilainya lebih jelas, "Malayunesians."

Himanshu Bhatt mengatakan pada saya bahwa kata "mala" atau "malaya" artinya "gunung" dari bahasa-bahasa Tamil atau Dravidia di kawasan India. Dia mengingatkan saya nama Puncak Himalaya. Kata "him" --termasuk dalam nama Himanshu sendiri-- artinya es atau dingin atau salju. Maka Himalaya artinya "gunung salju." Para pendatang Tamil atau Kerala dari waktu tiu British India, ketika tiba di Pulau Penang mengikuti Francis Light, menyebut orang-orang lokal, yang tinggal di sekitar gunung, sebagai "Malayan" alias "orang gunung." Malayan lantas berubah jadi Malay dan Melayu.

James Logan menanggapi usul George Earl soal "Indunesians." Logan berpendapat "Indonesian" merupakan kata yang lebih menjelaskan dan lebih tepat daripada kata "Malayunesians," terutama untuk pemahaman geografi, daripada secara etnografi.

"I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian islands or the Indian Archipelago. We thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders."

R. E. Elson dalam bukunya The Idea of Indonesia menulis James Logan adalah orang pertama yang menggunakan kata "Indonesia" untuk menerangkan kawasan ini. Logan lantas memakai kata "Indonesian" maupun "Indonesians" untuk menerangkan orang-orang yang tinggal di kawasan ini. Dia membagi "Indonesia" dalam empat daerah, dari Sumatra hingga Formosa.

Namun kata "Indonesia" tak segera populer. Elson menerangkan bahwa pada 1877, E. T. Hamy, seorang anthropolog Prancis, memakai kata "Indonesians" untuk menerangkan kelompok-kelompok pra-Melayu di kepulauan ini. Pada 1880, anthropolog Inggris A. H. Keane mengikuti Hamy. Perlahan-lahan kata "Indonesia" dipakai para ilmuwan sosial, termasuk Adolf Bastian, ahli etnografi terkenal dari Berlin, yang setuju dengan penjelasan James Logan serta memakai kata "Indonesia" dalam karya klasiknya, Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel, lima jilid terbitan 1884–1894. Reputasi Bastian membuat kata "Indonesia" jadi pindah dari jurnal kecil terbitan Penang ke tempat terhormat di kalangan akademisi Eropa.

Ia mendorong profesor-profesor di Belanda ikut memakai terminologi ini. G. A. Wilken, profesor di Universitas Leiden, pada 1885 memakai kata "Indonesia" untuk menerangkan Hindia Belanda. Wilken mengagumi karya Adolf Bastian. Profesor lain termasuk H. Kern (ahli bahasa kuno), G. K. Niemann, C. M. Pleyte, Christiaan Snouck Hurgronje maupun A. C. Kruyt, mengikuti Wilken.

Pada awal abad 20, kata benda "Indonesier" dan kata sifat "Indonesich" sudah tenar digunakan oleh para pemrakarsa politik etis, baik di Belanda maupun Hindia Belanda. Pada September 1922, saat pergantian ketua antara Dr. Soetomo dan Herman Kartawisastra, organisasi Indische Vereeniging di Belanda mengubah nama menjadi Indonesische Vereeniging. Perhimpunan ini banyak berperan dalam merumuskan nasionalisme Indonesia. Pada 1926, ketika Mohammad Hatta menjadi ketua Indonesische Vereeniging, pembentukan nasionalisme Indonesia makin dimatangkan. Ia hanya soal waktu sebelum terminologi "Indonesia" digunakan oleh orang-orang berpendidikan di kota-kota besar Hindia Belanda.



Francis Loh Kok Wah juga mengajak saya melihat Logan Memorial. Pada batu marmer dijelaskan bahwa James Logan kelahiran Berwickshire, Skotlandia, pada 10 April 1819. Dia kuliah hukum di Edinburg. Dia tiba di Penang pada 1840, saat berumur 20 tahun, bersama saudaranya, Abraham. Mereka pindah ke Singapura pada 1842 namun James kembali ke Penang pada 1853. Dia membeli dan menyunting Penang Gazette. Abraham tinggal di Singapura serta mendirikan suratkabar Singapore Free Press.

Namun James Logan meninggal sakit malaria pada 20 Oktober 1869 dalam usia 50 tahun. Kematian James Logan dianggap sebagai kehilangan besar di Penang. Masyarakat Straits Settlement, termasuk orang Eropa, India, Cina maupun Melayu, mengumpulkan uang dan mendirikan peringatan untuk menghormati James Richardson Logan. Dudukan dari memorial ini punya empat sisi. Masing-masing dicantumkan kata sifat yang mencerminkan kepribadian James Logan: temperance (kesederhanaan), justice (keadilan), fortitude (tabah, ulet) dan wisdom (bijak).

Memorial ini mulanya didirikan di depan Supreme Court guna mengingat apa yang dilakukan James Logan untuk masyarakat Penang. Saat Perang Dunia II, memorial ini dipindahkan, namun dikembalikan lagi ke posisi semula. Tahun lalu, ia dipindahkan ke tempat sekarang, mengikuti renovasi dan perluasan gedung mahkamah hukum ini. Di memorial marmer ini ditulis, "He was an erudite and skillful lawyer, an eminent scientific ethnologist and he has founded a literature for these settlements ...."

Francis Loh mengatakan bahwa saya adalah orang kedua yang minta bantuannya keliling Penang serta mencari sesuatu dari masa lalunya. Orang pertama adalah Benedict Anderson, profesor dari Cornell University, yang terkenal dengan buku Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism.

Dalam Penang Heritage Trust Newsletter edisi Mei-Juli 2003, Anderson menulis pengalamannya menelusuri Penang. Dia bilang ayahnya, James Carew O'Gorman Anderson, meninggal pada 1946 ketika Benedict baru berumur sembilan tahun, adik lelakinya umur tujuh dan adik perempuan tiga tahun. Anderson bersaudara kurang mengenal ayah mereka kecuali tahu bahwa dia dilahirkan di Penang pada Juli 1893. James Anderson tinggal di sebuah bungalow bernama Grace Dieu di Penang Hill. Dia seorang insinyur militer dengan pangkat kapten. Dia menikah dengan Veronica Beatrice Mary. Anak pertama mereka, Benedict, lahir di Kunming, Tiongkok, pada 1936. Keluarga Anderson pindah ke California pada 1941.

Ini kebetulan yang menarik sekali. James Richardson Logan adalah orang yang menciptakan khayalan soal Indonesia, betapa pun kaburnya terminologi tersebut, pada 1850. Benedict Anderson adalah guru nasionalisme terkemuka, yang banyak menggunakan Indonesia sebagai bahan studinya dalam buku Imagined Communities, terbitan 1991. Mereka terkait dengan Penang. Karya mereka terpaut sekitar 150 tahun.

Hari ini, terminologi Indonesia lebih dilekatkan pada negara Indonesia, yang menggantikan Hindia Belanda, pada 1950, seratus tahun sesudah polemik George Earl dan James Logan. Indunesia dalam terminologi Logan berubah menjadi beberapa negara, termasuk Indonesia, Singapura dan Malaysia. Ironisnya, Penang, tempat dimana nama dan khayalan ini diciptakan, tidak masuk dalam wilayah negara Indonesia. Penang masuk Malaysia. Semenanjung Malaka dan Pulau Sumatra, yang kebudayaannya kental Melayu, terpisah menjadi dua negara. Papua Barat, yang sama sekali tak masuk dalam khayalan Logan, malah masuk wilayah Indonesia. Malaysia dan Indonesia menjadi dua negara berbeda karena mulanya mereka disatukan secara administrasi oleh dua kerajaan Eropa yang berbeda: Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda. Lucunya, dalam buku-buku pelajaran sejarah-sejarahan, Indonesia dikatakan ada sejak zaman Majapahit, lengkap dengan Sumpah Palapa oleh pati Gajah Mada dan gula-gula lainnya. Perjalanan ke Protestant Cemetery mengungkapkan politik real.

Saya senang bisa berjalan-jalan di Protestant Cemetery bersama Francis Loh, Anil Netto dan Himanshu Bhatt. Francis cerita dengan passionate bagaimana dia menemani Anderson, mantan profesornya di Cornell, jalan-jalan di kuburan dan Penang Hill. Sore yang indah. Kami kembali ke The Gurney Resort Hotel dengan banyak kenangan. Saya lega bisa melihat makam orang yang menciptakan khayalan Indunesia.

***

Diskusi bersama George J. Aditjondro soal Melanesia, Polynesia dan Micronesia
Notes for ASWA (Anthropological Society of Western Australia)
Seminar Series at University of Western Australia
Perth 10 April 1995

Video Andreas Harsono tentang makam James Richardson Logan
Penang, December 2010

27 comments:

Fahri Salam said...

Mas, ini prelude yang bagus. Aku jadi agak sedikit tahu arah pemikiran buku 'Debungking the Myth of Indonesian Nationalism' itu berlayar. Oya, kapan ia terbit?

Eko Rusdianto said...

Seperti tulisan sebelumnya, banyak hal baru dan pelajaran baru. Terima kasih,

Dari fotonya, Mas tambah gemuk ya...hehehe, PEACE.

andreasharsono said...

Dear Fahri dan Eko,

Terima kasih untuk komentarnya. Saya malu dengan kegemukan ini. Kurang waktu untuk olah raga. Kini setiap pagi, saya harus mengantar anak ke sekolah. Tak bisa jogging lagi. Pekerjaan juga menumpuk. Tapi walau gemuk, saya makin bahagia lho. Hidup makin teratur.

Bayangkan kalau di Jakarta atau Jogjakarta atau Makassar bisa dibuat "heritage walk" macam Penang. Kan asyik juga bukan? Orang bisa belajar sejarah langsung dari tempat-tempatnya.

Perempuan Itu said...

Terperinci sekali mas..Aku sering bertamu ke blognya mas Andreas tapi baru sekarang ini "kulonuwun" nya.

Tentang Indonesia, bukankah pada jaman kerajaan Hindu dulu, orang luar lebih kenal dengan Dwipantara atau Nusantara. Mungkin Majapahit memang menguasai wilayah Indonesia yang sekarang ini, walaupun kerajaan Sunda dengan alasan tertentu tidak "disentuh". Pun wilayah yang di-klaim sebagai kekuasaan Majapahit kemungkinan daerah yang tak bertuan.

Misteri ini memang belum selesai :).

Salam,
Mala

andreasharsono said...

Dear Mala,

Satu-satunya naskah orisinal yang bicara soal Majapahit adalah Nagarakrtagama, yang kemungkinan ditulis pada 1365, ketika Candi Angka dibangun di (sekarang) desa Panataran. Karya tersebut karangan Mpu Prapanca. Ia sebuah karya fiksi. Ia pesanan pati Gajah Mada. Ceritanya, ya membesar-besarkan peranan Gajah Mada --namun tak sebesar apa yang lantas dibesar-besarkan lagi oleh Muhammad Yamin dalam karya fiksi Gadjah Mada: Pahlawan Persatoean Noesantara (Balai Poestaka 1945) serta 6000 Tahun Sang Merah Putih (Penerbit Siguntang 1954).

Hendrik Kern, salah satu orang yang saya sebut sebagai terpengaruh Adolf Bastian, adalah ahli bahasa. Salah satu keahliannya adalah bahasa Sansekerta dan Kawi. Antara 1917 dan 1918, Kern menerbitkan terjemahan Nagarakrtagama. Prapanca menulis dalam bahasa Kawi. N.J. Krom menyempurnakannya dengan macam-macam catatan kaki pada 1919. Yamin kemungkinan besar membaca karya Kern dan Krom dalam bahasa Belanda.

Salah satu bagian yang kontrovesial dari karya Prapanca itu adalah kalimat bahwa kerajaan kecil bernama Majapahit tersebut punya pengaruh hingga “… muwah tikhan i wandan, ambwan athawa maloko wwanin.”

Ambwan adalah Ambon. Wwanin mungkin Onin, dekat Fakfak, Papua Barat. Maloko sebuah tempat di Pulau Halmahera. Hingga hari ini tak ada bukti bahwa Ambon, Halmahera dan Papua adalah daerah kekuasaan Majapahit. Bahkan Tanah Sunda pun tak pernah dikuasai Majapahit. Cendekiawan Papua Barat, Agus Aluai, menulis bahwa tak ada bukti bahwa ada kerajaan dari Jawa bernama Majapahit pernah berhubungan dengan Papua. Hubungan itu adanya lewat Maluku. Semua yang diajarkan di buku sejarah-sejarahan adalah murni karya fiksi ciptaan Yamin. Mungkin Anda ingat Yamin adalah Menteri Pendidikan.

Bayangkan deh soal angka 6000 tahun tersebut! Artinya, Indonesia ini, sebagai suatu kesatuan budaya, lebih tua dari peradaban di Mesir, Mesopotamia, Lembah Hindustan maupun Tiongkok. Masak sih percaya? James Richardson Logan tak pernah disebut-sebut dalam buku sejarah-sejarahan karena ia menjungkir-balikkan semua fiksi karya Muhammad Yamin. Terima kasih.

Perempuan Itu said...

Thanks mas,

Aku udah baca terjemahan Negara Kertagama, memang membingungkan karena banyak sekali puji pujian terhadap Majapahit sehingga mengaburkan fakta yang sebenarnya

Mungkin lebih jelas jika kita baca "Sejarah Nusantara"-nya Bernard H.M. Vlekke

Untuk buku buku Moh. Yamin, susah sekali saya mencarinya karena terbitan tahun jadul, sampai sekarang masih terus berburu nih....

O iya bukunya Mas Andreas kapan terbit? ada edisi bahasa Indonesianya gak? supaya bisa menjangkau pasar orang biasa...he..he

Yati said...

manggut2....ya pantaslah orang papua kalo mau melepaskan diri, bukan Melayu kok. tapi ditarik paksa jadi melayu biar ada wilayah jajahan baru dalam negeri ya?

*husshhh...nuduh kok bener*

IndonesiaHAI said...

wah ternyata nama Indonesia tidak original dibuat oleh orang Indonesia. tapi tak apalah, semoga budaya dan kulturalnya suatu saat bisa menjadi Indonesia yang seutuhnya, hasil perjuangan anak bangsanya...

enrichco

Oryza Ardyansyah Wirawan said...

Pertanyaan Pentingnya bukan itu...

Pertanyaan Pentingnya adalah:

Apakah kuburan itu dikunjungi banyak orang yang bawa sesajen.... kuburan keramat tuh...

Editor said...

Yamin sebetulnya menyadari kemungkinan bahwa ketika Prapanca menyebutkan nama-nama Ambwan, Wwanin, dll itu, seperti orang mengisahkan nama-nama tempat dalam peta (yang kemungkinan besar belum ada waktu itu, apalagi peta yang akurat). Artinya, Yamin juga melalui proses peraguan bahwa Ambwan, Wwanin, dll itu serta-merta wilayah kekuasaan Mojokerto, eh Mojopahit. Soal ini ditulis Yamin dalam kitab Tatanegara Madjapahit.

Slamet Mulyana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama juga menyodorkan pro-kontra wilayah Majapahit itu. Slamet cenderung percaya bahwa --ini parafrase dari saya-- keadikuasaan Majapahit di masa itu bisa jadi bukan seperti kuasa Jakarta atas daerah-daerah hari ini atau kuasa Amerika atas negara-negara saat ini. Bisa saja Majapahit hanya disegani karena berita-berita tentang kebesarannya. Kalau memang begitu, tentu mustahil mengatakan Majapahit berkuasa atas seluruh Nusantara plus sedikit Filipina dan Malaya. Tapi, Yamin maupun Slamet akhirnya memang sama-sama mengukuhkan keadikuasaan Majapahit dalam pengertian kuasa negara modern.

Slamet generasi sesudah Yamin dan tentu saja Slamet pernah baca tulisan Yamin. Tapi, kesan saya dari paparan di bukunya, Slamet sedikit lebih jago dalam bahasa kuno dibanding Yamin yang dari Sumatera. Soal bahasa Belanda, Slamet dan Yamin sama-sama mahir sehingga tentu saja (bukan mungkin) membaca perdebatan klasik di antara sarjana-sarjana Belanda soal tafsir Nagarakrtagama. Slamet dan Yamin juga napak tilas sebagian situs-situs yang disebut dalam Nagarakrtagama.

Hari ini, Andreas Harsono melakukan hal serupa tapi dengan bekal, perspektif dan semangat zaman yang berbeda. Andreas tidak punya bekal bahasa kuno maupun Belanda. Andreas lebih banyak bersandar pada Indonesianis berbahasa Inggris seperti Ben Anderson. Bisa saja terjadi bias dalam proses studi itu tapi saya tidak punya buktinya.

Nah, Slamet saya kira lebih sebagai pendidik (meski tidak tertutup kemungkinan terasuki motif politis). Lalu, Yamin lebih sebagai penerjemah mimpi-mimpi Sukarno. Sedangkan Andreas berlatar wartawan. Andreas juga bekerja dalam semangat zaman yang tak menuntut kamardikan total dari Belanda. Dan, satu lagi, Andreas bekerja secara terbuka dengan dana dari sponsor lembaga asing. Saya tidak sedang mengecam. Biasa saja. Dana asing juga mengalir ke lembaga partikelir, perguruan tinggi, hingga instansi pemerintah. Jadi, sekali lagi, soal ini biasa saja.

Satu lagi yang mungkin membedakan adalah motif Andreas menulis (bahan) buku untuk melawan kecenderungan umum yang telanjur membatu. Soal ini saya tak mau komentar karena entoch kelak akan dibeber di bagian awal buku (atau sudah bocor lewat Hoakiao dari Jember?). Kita tunggu saja hasil Andreas Harsono mengacak-acak mitos nasionalisme Indonesia (Paul Riceour bilang, bagaimanapun mitos penting).

Ah, jadi ingat bagaimana sarjana Universitas Indonesia mengukuhkan Prapanca sebagai jurnalis pertama Indonesia. Medianya berarti ya Nagarakrtagama. Prapanca memang wartawan yang menempel perjalanan dinas Hayam Wuruk keliling sebagian wilayah Jawa Timur hari ini; Blitar, Lumajang dan Surabaya. Maka, klop kalau Prapanca dipakai PWI Jatim sebagai nama penghargaan untuk lomba karya jurnalistik.

O ya, mumpung belum ngantuk, kalau belum pernah mampir dan kebetulan berminat, keluarga Yamin menyerahkan kepada Arsip Nasional RI berupa koleksi pustaka, surat-surat pribadi, surat pemberitahuan royalti bukunya, sketsa-sketsa, coretan tangan, peta-peta bahkan surat perjanjian kongsi bisnis Yamin semasa berkuasa dengan juragan Tionghoa. Barangkali saja ada yang penting maupun konyol di balik imajinasi Yamin tapi belum diketahui publik.

andreasharsono said...

Dear Yuli Ahmada,

Terima kasih untuk masukannya. Saya belum pernah memeriksa dokumen-dokumen Yamin. Mungkin ia menarik buat orang yang bikin biografi Yamin. Soal kemampuan bahasa, memang nasib saya jelek, tidak bisa bahasa Belanda maupun Kawi. Tapi untuk naskah-naskah penting, saya selalu usaha baca terjemahan dan membandingkan kutipan penting dengan bahasa aslinya. Kebetulan ada seorang Belanda, kenalan saya, yang ahli Hanacaraka, bersedia bantu.

Editor said...

Hehe, saya juga bernasib jelek. Tapi, bolehlah generasi kita (yang tumbuh dalam asuhan Orde Baru) menghibur diri dengan berdalih bahwa tidak bisa bahasa Belanda (dan lainnya di luar Inggris) itu sebagian besar bukan karena suratan takdir.

Nyatanya, berkat pendidikan dari zaman normal (sebelum Jepang datang, sebagaimana juga sampeyan kutip dari orang-orang jadoel), masih banyak orang tua sampai hari yang bisa cas-cis-cis dalam Bahasa Prancis atau Jerman.

Belanda memang menjajah tapi dalam beberapa hal sistem pendidikannya lebih thok cer dibanding kebijakan seluruh mantri pedagogi sejak zaman Presiden Karno dari Blitar sampai Bambang dari Pacitan.

Selamat tahun baru!

Bode Grey Talumewo said...

Sebuah pencarian yang bagus!


www.bode-talumewo.blogspot.com

Abdul Mun'im Kholil said...

Aku baru setahun kuliah di Kairo, tapi rasanya sudah sangat akrab dengan nama Mas. B t w nama Mas di sini sangat femiliar, terutama kami yg sedang ganrung dgn jurnalistik.

salam kenal.......

Unknown said...

salam kenal. saya suka blog anda. sangat komprehensif menyediakan artikel jurnalistik dan fotografi

Anonymous said...

Hallo salam kenal Bung Andreas,
Saya terharu membaca sejarah dan tulisan Bung Andreas....juga bangga. Terharu dg masa kecil...terus ke Dempo (saya juga dg Dempo biarpun nggaak sp 3 th sana). Ttp itulah realita kehidupan. Good luck unt semuanya dan kapan mampir ke Sydney ???
Salam,..Agung B

Unknown said...

bagusa kaleee ya,, hmmm.

Anab Afifi said...

Enak, renyah, dan memikat. Seolah saya juga ikut dalama perjalanan itu. Salam kenal Mas.

fitri zandra said...

Mas Andeas....aku mohon izin yahh copas tulisan ini ke forum

andreasharsono said...

Fitri,

Silahkan saja copy-paste naskah ini ke forum Anda. Saya agak jarang mengecek macam-macam Comment dalam blog saya. Kalau lagi deadline, lantas menjawab macam-macam Comment, bisa dimarahi deh saya. Baik oleh isteri, Sapariah, maupun oleh macam-macam orang yang order naskah. Terima kasih.

the beauty of riau said...

banyak hal dan pengetahuan baru yang saya dapatkan disini......

abubakar said...

tulisan yang menarik.

Tulisan ini meberi saya pencerahan tentang asal muasal penamaan indonesia.

sangat berguna, saya salut.

Marie said...

Oh begitu tho asal muasalnya pemberian nama Indonesia?

Sebuah referensi yang sangat menarik...

Edmark said...

Tulisan yang menarik mas, two tumbs up @_@ rasa nya bodoh banget br th tentang asl mula nama 'Indonesia' hehehe

be writer said...

Hari ini adalah hari ke-4 saya di Penang, disela-sela mencari kaitan sejarah yang pernah terjadi disini tiba-tiba muncul nama james richardon logan yang ditulis sebagai orang pertama yang memakai nama Indunesia. Antara takjub dan miris melihat kenyataan sejarah bangsa Indonesia....

Tapi hari ini saya senang menemukan hal baru. Ditambah lagi menemukan blog anda, saya sampaikan ingin beli buku anda. Apakah sudah terbit?

Salam kenal

Bahtiar Dwi Susanto

Living Seed said...

Salam Saudara Andreas..

saya berasal dari malaysia...
Tulisan saudara Hendra amatlah mengejutkan saya sendiri...

sebenarnya saya ingin memperkenalkan kepada saudara Hendra kepada satu blog yang becorak sejarah dari Malaysia.

ini url blognya..
http://sejarahnagarakedah.blogspot.com/

blog ini membicarakan penubuhan Kerajaan Benua Siam Islam Kedah Pasai Ma...ia Mencakupi seluruh Asia tenggara hingga ke Australia..
Kerajaan Ini Berpusat di Ayuthia..
pusat pertamanya bermula di kawasan Lembah Bujang di Kedah kemudiannya berpindah ke Ayuthia...

Blog Ini mendakwa, ayuthia ini dahulunya asalnya islam, Hamzah Fansuri menggelarkannya sebagai sharul-nur-i...

blogger ini membahasakan dirinya sebagai Anai-anai.

kandungan blog ini sarat dengan sejarah yang pro pada Islam dan Sultan Melayu...

sya harap saudara dan saudara Loh Kok Wah dapat mengkaji kandungan blog ini supaya mencari root sejarah asia tenggara.

pemuda Kedah,Malysia

Living Seed said...

Salam Saudara Andreas..

saya berasal dari malaysia...
Tulisan saudara Hendra amatlah mengejutkan saya sendiri...

sebenarnya saya ingin memperkenalkan kepada saudara Hendra kepada satu blog yang becorak sejarah dari Malaysia.

ini url blognya..
http://sejarahnagarakedah.blogspot.com/

blog ini membicarakan penubuhan Kerajaan Benua Siam Islam Kedah Pasai Ma...ia Mencakupi seluruh Asia tenggara hingga ke Australia..
Kerajaan Ini Berpusat di Ayuthia..
pusat pertamanya bermula di kawasan Lembah Bujang di Kedah kemudiannya berpindah ke Ayuthia...

Blog Ini mendakwa, ayuthia ini dahulunya asalnya islam, Hamzah Fansuri menggelarkannya sebagai sharul-nur-i...

blogger ini membahasakan dirinya sebagai Anai-anai.

kandungan blog ini sarat dengan sejarah yang pro pada Islam dan Sultan Melayu...

sya harap saudara dan saudara Loh Kok Wah dapat mengkaji kandungan blog ini supaya mencari root sejarah asia tenggara.

pemuda Kedah,Malysia