Friday, March 02, 2007

Kabar Buruk dari Jakarta Post

Ada kabar buruk dari The Jakarta Post hari ini. Ati Nurbaiti, redaktur pelaksana, menelepon saya dan bilang naskah saya “Murder at Mile 63” takkan dimuat hari Minggu. Ati bilang ada sumber-sumber militer yang tak diwawancarai. Misalnya, Sersan Puji dan Kopassus. Ati juga bilang Rabu lalu, ketika mengatur tata letak halaman ini, dia tak sadar bahwa halamannya “terlalu grey” –terlalu banyak teks dan kurang gambar.

Ati minta maaf membawa kabar buruk ini. Saya bilang saya bisa saja memasukkan sangkalan dari Kopassus, paling satu atau dua kalimat. Saya cuma akan memindahkannya dari naskah yang lebih panjang atau lebih dari 50 catatan kaki ke naskah ini. Naskah ini menyinggung soal sekelompok tentara Kopassus yang dituduh terlibat pembunuhan tiga guru Freeport di Mile 63 dari jalanan Timika-Tembagapura, Papua, pada 31 Agustus 2002. Rekan saya, S. Eben Kirksey dan saya menulis bahwa penangkapan, pengadilan dan penghukuman terhadap sekelompok orang Papua, Antonius Wamang dan kawan-kawan, masih meninggalkan banyak tanda tanya. Mengapa polisi tak menyelidiki individu-individu polisi dan tentara yang terlibat dengan Wamang? Mengapa hasil penyelidikan polisi Papua berbeda 180 derajad dengan polisi Jakarta?

Tapi saya sadar keputusan sudah dibuat. Ada orang-orang lain ikut dalam keputusan ini. Saya tak mau memperpanjangnya. Saya lalu kirim email ke rekan saya, Eben Kirksey. Saya mengajak Eben cari penerbitan lain yang bersedia memuat naskah ini. Eben langsung menelepon balik dari California dan tertawa terbahak-bahak. Dia bilang, "Mereka itu takut. Mereka itu takut." Naskah itu sudah lengkap memuat bantahan tentara. 

Eben sudah bekerja selama hampir dua tahun, mempelajari kasus Timika ini, dari Timika, Jayapura, Jakarta dan Washington DC. Dia mengikuti kasus ini dengan detail, perkembangan demi perkembangan. Lepas dari takut atau tidak, sayangnya, naskah ini takkan pernah bisa muncul untuk khalayak Indonesia. Jakarta Post adalah satu-satunya harian berbahasa Inggris di negeri ini. Kami akan menawarkannya ke Amerika, Eropa atau Australia –tempat-tempat dimana isu Papua, Indonesia dan Amerika menarik perhatian.

Belakangan, Ati mengirim email, “I feel awful for not having spotted missing sources earlier, and the others noticed it when we had printed the plotter.”

There were other issues apart from missing sources and layout, but I've yet to hear of them directly. I apologize for all the trouble.”

Saya tak setuju pendapat Ati soal "missing sources." Dalam naskah itu ada jurubicara militer menjelaskan posisi mereka. Naskah ini juga mengutip bantahan satu kapten Kopassus, Margus Arifin, yang berada pada titik pusat perdebatan keterlibatan tentara dalam pembunuhan Mile 63. Namun Ati adalah teman saya sejak saya bekerja di Jakarta Post pada 1993-1994. Saya kira Ati sudah berusaha lebih dari sekedar pekerjaan standarnya.

Naskah ini ada di mailbox Jakarta Post sejak awal Januari. Dua minggu terakhir ini, ketika Ati memberitahu saya bahwa Jakarta Post akan memuatnya, maka saya pun bekerja keras mengurangi panjangnya, dari sekitar 8,000 jadi 6,000 kata agar masuk 2 halaman edisi Minggu 4 Maret 2007. Saya juga menghilangkan catatan kaki. Lalu saya masih mencarikan foto, peta lapangan maupun membantu proof reading.

Tapi sudahlah. Saya akan cari tempat lain untuk naskah ini. Kalau perlu saya muat di blog saya saja. Ini sudah zaman dimana blog makin berperan penting. Saya menghibur diri dengan berpikir beberapa naskah saya yang ditolak media Jakarta, pada gilirannya, dimuat media internasional dan saya menang penghargaan disana. Mudah-mudahan "Murder at Mile 63" ini akan mengikuti kakak-kakaknya.

7 comments:

Anonymous said...

mas andreas, i'm nenden from jogja, I attended Bill Kovach talkshow at Fisipol UGM, but I dont think you stil remember me tough :)..see my blog please www.mypastpresentandfuture.blogs.friendter.com, i read you last latest article in gatra

Patung said...

Mr Harsono, you are welcome to publish any of your in-English work on http://www.indonesiamatters.com/ It has quite a large readership, both within Indonesia and outside.

Anonymous said...

Dont be woory. Make it easy. Indonesia cant moving forward if the citizen hasnt good book, or good literary.Keep taft.

Ellen Antheunis said...

Memuatnya di blog malah lebih bagus tidak hanya penduduk indo yg tau tapi seluruh dunia, ide ini mirip KEVIN SITE IN THE HOT ZONE memuat berita2 yg akhirnya dia ditarik oleh Yahoo.

Anonymous said...

Saya kira kejanggalan tidak dapat dimuatnya tulisan anda di Jakarta Post bukan terletak pada Ati, teman anda, tapi siapa di belakang Ati. Sayang, media semacam Jakarta Post yang diharapkan bisa menyebarluaskan informasi penting di Indonesia kepada khalayak yang lebih luas, masih tak punya cukup nyali. Untuk alasan ini, saya sepakat dengan teman anda, Jakarta Post takut...Semoga Jakarta Post lekas menyadari kekhilafannya menolak naskah anda, karena bukankah mereka sendiri yang sebelumnya memintanya, sudah diedit, eh... sudahlah bikin jengkel saja...semoga naskah ini lekas bisa dimuat di media lain...

andreasharsono said...

Ini sebenarnya bukan pengalaman pertama kali ditolak The Jakarta Post. Pada 2003, saya pernah menawarkan naskah, "Water and Politics in the Fall of Suharto." Mereka menjawab juga tidak dengan jelas. Saya lalu muat hanya di situs web International Consortium for Investigative Journalists. Naskah itu, bersama beberapa naskah soal air lainnya, belakangan dimuat dalam buku, "The Water Barons" dan kumpulan itu menang juara pertama kategori kerjaan investigasi di Amerika.

Pada 2006, saya menawarkan naskah soal bagaimana Gus Dur bekerja sama dengan Badan Intelijen Negara dalam mendekati Kongress Amerika soal embargo senjata. Jakarta Post menilai naskah itu solid namun mereka tak mau memuatnya. Alasannya, mereka tak mau memperlihatkan kekurangan Gus Dur. Bukankah hanya Gus Dur yang bisa melawan kelompok-kelompok Islam fundamentalis?

Saya bilang bukan tugas wartawan untuk menyerang atau melindungi seseorang. Kalau Gus Dur keliru, ya tugas kita untuk memberitakannya juga. Naskah itu akhirnya juga hanya dimuat situs web di Washington itu saja. Namun ia sempat dikutip Associated Press dan ratusan organisasi berita lainnya, dari Eropa hingga Australia. Juga di Jakarta termasuk, ironisnya, Jakarta Post sendiri. Koran Tempo menjadikannya headline. Naskah itu juga diterjemahkan ke bahasa Melayu dan dimuat belasan suratkabar dari Sumatra hingga Flores.

Saya kecewa terutama pada ketiadaan kesempatan buat audiens koran bahasa Inggris di Jawa dan Bali (pasar utama Jakarta Post) untuk membaca naskah-naskah yang kritis mempertanyakan orang-orang yang berkuasa ini. Jakarta Post khan cuma satu-satunya harian berbahasa Inggris yang relatif besar di Jawa dan Bali? Saya mau menawarkan naskah ke mereka karena cuma Jakarta Post satu-satunya harian berbahasa Inggris.

Ya sudahlah. Mau apa lagi? Memang kita hanya bisa menunggu kapan media di negeri ini bisa lebih bermutu dan berani berhadapan dengan kekuasaan?

Anonymous said...

bang andreas,
memang aku tak pernah bisa membaca media berbahasa inggris; kemampuan bahasa asingku terbatas pada menerjemahkan kata per kata, dan itu pun harus selalu ditemani kamus.

tapi aku bisa menangkap sari cerita abang soal tulisan yang ditolak jakarta post itu. aku tak pernah kenal abang. aku tak pernah kenal redpel ati. tapi aku pernah mendengar nama kalian berdua sebagai orang aliansi jurnalis independen [aji]. "eh, bang, yang kutahu anggota aji itu WAJIB independen kan? -- termasuk independen dari kepentingan pemilik media sendiri."

aku tak tahu apakah ada perbedaan standar dan etika menulis berita di koran berbahasa asing seperti jakarta post dan koran berbahasa indonesia; tapi kuduga kuat tidak ada.

atas alasan penolakan jakarta post itu dalam otakku cuma ada satu opini: "ah, sudahlah tuan dan puan, tak usah mencari-cari pembenaran. akui saja bahwa media masih lebih memikirkan bisnisnya, uangnya, dan "hubungan baik"-nya dengan penguasa." [dalam bahasa anak-anak: penakut!]

aku beberapa kali membaca karya abang, terutama lewat pantau. kalau boleh kuberi saran, mulai sekarang abang jangan lagi menawarkan tulisan bermutu ke media tanah air. abang teruskan saja menulis lepas di media asing yang honornya jauh lebih besar. kalaupun abang ingin disebut "cinta tanah air" dan "cinta media bangsa sendiri", ya udah, abang tulis saja berita ecek-ecek. [sekali lagi, dalam bahasa anak-anak: berita tak bermutu!]

semoga abang tetap bersabar mencerdaskan dan mencerahkan "otak amplop, otak bisnis, dan otak penakut" para penguasa media.

salam.
jarar siahaan di balige.
www.batak.in