Monday, March 05, 2007

Kerangka Buku

Hari ini secara teratur saya mulai masuk kembali ke proses penulisan buku saya. Proses ini sempat terbengkalai selama hampir setahun. Saya sibuk mencari income sesudah bantuan dari Ford Foundation habis April lalu. Bagaimana pun juga uang sekolah dan uang bulanan Norman harus dibayar. Ibunya biasa mencak-mencak setiap awal bulan. Kalau terlambat lebih dari tanggal 10, alamak, dia sudah mengeluarkan kata-kata kotor. Setan, anjing, jidat, ngacau dan sebagainya.

Syukurlah, Sapariah sangat membantu. Sapariah membayar keperluan makan, listrik, air, telepon, langganansuratkabar, TV kabel dan sebagainya. Sapariah mengeluarkan seruan tight money policy sehingga kami bisa menggunakan uang dengan hemat, mulai dari telepon hingga internet, dari belanja (pindah dari supermarket Carrefour ke pasar Palmerah) hingga kartu kredit (tutup buku dengan General Electric). Artine Utomo, seorang anggota pengawas Yayasan Pantau, juga memutuskan membantu keuangan saya. Artine berpikir kalau saya terus-menerus menulis buat media lain, saya takkan punya waktu menyelesaikan buku saya. Ini akan terkait dengan Pantau juga. Artine memutuskan menalangi semua keperluan bulanan Norman. Artine juga membayar sewa apartemen.

Tapi saya masih harus menyelesaikan janji menulis untuk Center for Public Integrity maupun International Center for Journalists di Washington DC. Mereka sudah membayar. Kini kontrak dengan ICFJ sudah selesai: mengajar menulis di IAIN Ar Raniry (Banda Aceh). Sejak Februari lalu, saya sudah bebas dari tanggungjawab mengajar di Aceh. Naskah tentang militer Indonesia-Amerika, pesanan Center for Public Integrity, juga sudah saya selesaikan. Judulnya, How Jakarta Bought Washington. Kini ia sudah masuk proses penyuntingan. Maret ini saya bebas dari semua tanggungan.

Makanya, hari ini saya kembali melihat kerangka karangan. Saya bagi buku ini dalam tujuh bab berdasarkan pulau atau kepulauan utama di wilayah ini: Sumatra, Borneo, Sulawesi, Jawa, Sunda Kecil, Maluku dan Papua.

Semua wilayah ini punya masalah dengan sebuah konsep yang kita sebut Indonesia. Dari Gerakan Acheh Merdeka di Sumatera hingga Permesta di Minahasa apalagi Organisasi Papua Merdeka. Pembunuhan terbesar dalam menegakkan konsep ini terjadi di Pulau Jawa pada 1965-1966.

Masing-masing bab terdiri lima hingga enam bagian. Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi sudah selesai. Jawa dan Maluku sudah selesai sebagian. Saya juga sudah punya bayangan bagaimana isi Epilogue. Ini semacam rangkuman buku dimana saya menjelaskan mitos Majapahit dan Sriwijaya, apalagi Patih Gajah Mada, sudah terbukti tak memadai untuk menciptakan persatuan di tujuh wilayah ini. Kini saya akan mulai menulis dengan Maluku lalu Sunda Kecil dan Papua. Lucunya, saya juga menulis Introduction. Ini menulis hal-hal berbeda pada saat bersamaan.

Acknowledgements

Introduction
Chapter One: Starting From Kilometer Zero
Chapter Two: Mate Kapphi in Borneo
Chapter Three: Desperately Seeking Minahasa
Chapter Four: Java Dominance, Java Dilemma
Chapter Five: East Timor’s Independence, West Timor’s Trouble
Chapter Six: The Maluku Wars
Chapter Seven: The Dying Papuans
Epilogue

Notes on Sources
Notes on Places
Selected Bibliography
Index


Menariknya, dalam rangka bikin buku ini, saya jadi menemukan nama-nama orang pada 17 Agustus 1945, yang menemui Mohammad Hatta, guna menghapus "tujuh kata" soal syariah Islam dari Undang-undang Dasar 1945. Hatta hanya menyebut bahwa ada orang menemuinya dan bilang "Indonesia Timur" takkan gabung dengan Republik Indonesia bila tujuh kata itu masuk konstitusi. Hatta tak pernah menyebutkan siapa "orang Kaigun" yang menyatakan keberatan tersebut. Kaigun adalah Angkatan Laut Jepang dengan pusat Makassar.

Saya memasukkan semua teori soal nasionalisme maupun soal etnik dan agama dalam ketujuh bab tersebut. Saya takkan memakai catatan kaki. Semua sumber wawancara maupun referensi (buku, kliping, pidato, dokumen, website) akan saya masukkan dalam Notes on Sources. Saya ingin naskah ini mengalir, mudah dicerna orang, tanpa terganggu dengan munculnya catatan kaki atau angka-angka. Namun bila pembaca ingin tahu dimana sumber-sumber informasi, bisa melihat Notes on Sources maupun Selected Bibliography.

Introduction berisi alasan saya mengapa menulis buku ini. Saya juga cerita dari awal, ketika lagi liputan di Stockholm pada 2001, dan tersentak secara psikologis dan intelektual terhadap apa yang disebut Hasan di Tiro sebagai "kolonialisme Jawa" maupun Indonesia sebagai "nama samaran" dari apa yang disebutnya "bangsa Jawa." Saya bertemu dengan banyak petinggi GAM di Stockholm.

Saya perhitungkan saya butuh sekitar lima bulan buat menyelesaikan buku ini. Hitungan kasarnya, saya bekerja tujuh hingga delapan jam sehari untuk buku. Saya biasa menulis sesudah bangun tidur pagi pukul 6:00 hingga 6:30. Ketika Sapariah bangun, memasak dan mengajak makan pagi, saya juga berhenti. Kami biasa gantian memasak. Kami lalu mengobrol dan diskusi. Ketika Sapariah menyanyi-nyanyi sambil dengar radio, bersiap-siap pergi kerja, saya pun mengerjakan kerjaan non-buku. Entah urusan Pantau atau menjawab pertanyaan mahasiswa. Saya biasa menerima empat hingga enam email setiap hari dari mahasiswa atau wartawan muda. Sapariah pergi bekerja tengah hari. Maka saya pun kembali menulis, diselingi tidur siang, lalu kerja dari sore hingga malam saat Sapariah kembali dari kerja. Saya menyiapkan makan malam. Rekan saya, Rina Erayanti, bergurau menyebut saya, "Bapak rumah tangga." Kerjanya cuma di rumah dan memasak.

Inilah rutinitas saya. Secara disiplin, saya juga menolak memberikan ceramah atau menulis apapun. Terkadang tak sampai hati kalau menghadapi mahasiswa. Saya merasa berutang budi pada semua mentor saya --Arief Budiman, George J. Aditjondro, Goenawan Mohamad, Bill Kovach dan lainnya. Utang ini biasanya saya "bayar kembali" kepada orang lain, terutama anak-anak muda. Tapi saya kira, gerakan berdiam dulu ini, tak membayar utang budi, hanya sementara saja hingga buku selesai. Begitu buku selesai, saya tentu bersedia mengajar lagi. Bagaimana pun buku ini, saya kira, penting guna mendidik orang soal rapuhnya bangunan kebangsaan Indonesia ini. Saya ingin membantu orang tak saling membunuh atas dasar agama, etnik, ideologi maupun kebangsaan. Sudah ada sekitar empat juta orang mati dibunuh atas nama Indonesia. Harus ada orang yang mengingatkan bahwa ini tak boleh berkelanjutan.

5 comments:

Ithoy said...

Salam Kenal,
Saya sempat ikut training Pantau di Balikpapan tahun lalu. Sayang, saat itu anda berhalangan hadir.
Sounds cool, buku dari kumpulan tulisan narasi seorang Andreas Harsono. Moga lancar dan bukunya segera beredar.

Ayos Purwoaji said...

mas andreas, saya termasuk penggemar tulisan mas andreas. walaupun belum pernah bertemu langsung saya sangat ingin untuk bersilaturahmi pikir dengan mas andreas. kebetulan saya juga asli jember, semoga mas mau menyapa saya di punyaku_3@yahoo.com. maturnuwun.

didisupriyadi05 said...

ditunggu bukunya pak.

Anonymous said...

Wow..i shall waiting for this book. Good Luck Andreas.

Enda Nasution said...

Ditunggu juga mas bukunya