Tuesday, March 13, 2007

"Jangan Seenak Jidatmu Sendiri"


Selasa siang ini, tiba-tiba Retno Wardani, mantan isteri aku, menelepon di handphone. Aku sebenarnya enggan bicara dengan Retno mengingat temperamennya. Dulu salah satu pertimbangan aku menggugatnya cerai juga karena temperamen. Namun bagaimana? Kami punya anak. Norman juga anaknya Retno. Norman ada dalam joint custody kami bersama.

Aku angkat telepon. “Mana Norman?” tanyanya tanpa basa-basi.

“Lagi dalam perjalanan ke Senayan. Masih di bus,” jawabku.

“Lho kok bisa kesana?”

“Norman minta ketemu aku. Dia mau nginap disini. Sejak Minggu dia sudah merengek minta kesini.”

"Lho kok nggak omong sama aku?"

"Baiklah, kini aku omong. Norman ingin datang ke Senayan. Kamu ambil saja jatah aku di akhir minggu."

Menurut kesepakatan cerai Desember 2003, oleh pengadilan negeri Jakarta Selatan, disebutkan bahwa Norman tinggal bersama ibunya pada hari sekolah Senin-Jumat. Namun Jumat siang, Norman datang ke rumahku di Senayan, hingga Minggu siang. Retno tak pernah mau mengantar dan menjemput Norman. Beberapa waktu lalu, dengan alasan harus ke gereja Minggu pagi, Retno minta jadwal diubah, Kamis-Sabtu di Senayan. Aku setuju sesudah Norman sendiri bilang begitu. Dia merasa lebih tak tergesa-gesa bila Sabtu sudah di Pondok Indah.

“Lho! Kamu nggak bisa mendidik Norman dengan seenak jidatmu sendiri. Kapan mau kamu antar kesini?

“Norman mau menginap sini. Dia sudah bilang sejak Minggu lalu. Aku juga lagi ada tamu, nggak bisa menggantar.”

Kebetulan Peter Geling dari The New York Times ada janji bertemu untuk interview.

“Lho nggak bisa. Ini semua ada aturannya. Nggak bisa seenak jidatmu sendiri. Sudah nggak ngirim duit. Mana duitmu? Nggak bisa seenak jidatmu sendiri. Telepon Pak Fadil (sopir bus sekolah)! Minta antar Norman kesini! Ini hari sekolah. Anak itu harus belajar disiplin. Nggak bisa seenak jidatmu sendiri!”

Lantas Retno bicara sendiri, isinya maki-makin, tanpa memberi kesempatan aku bicara, selama sekitar tiga sampai empat menit. Tanpa satu kata pun aku bisa menjelaskan bagaimana Norman ingin sekali ketemu ayahnya di Senayan. Retno teriak-teriak minta Norman diantar ke rumahnya di Pondok Indah. Aku bilang aku takkan menelepon Fadillah. Aku kira Norman berhak mengunjungi papanya bila dia ingin sendiri.

Aku jengkel sekali. Sabtu lalu, ketika aku antar Norman ke Pondok Indah, Norman menangis dalam taxi. Dia merasa akan pergi ke neraka. "It's like going to hell again," katanya. Matanya berlinang-linang. Dia bilang dia ingin selamanya tinggal di Senayan. Dia sering jengkel dengan mamanya karena temperamental. Tak bisa diajak bicara. Aku bilang bahwa Senin ini, aku akan terima honor dari majalah Gatra dan akan bayar uang bulanan kepada Retno. Ternyata honor belum masuk. Makanya, Retno mengamuk dan memaki-maki.

Kesepakatan cerai menyebutkan bahwa aku bertanggungjawab terhadap semua kebutuhan Norman. Setiap bulan, aku membayar uang sekolahnya, di sebuah sekolah internasional. Aku juga membayar uang makan Rp 1 juta serta uang bensin Rp 600,000 kepada Retno. Aku masih menanggung keperluan Sri Maryani, pengasuh Norman, sopir Fadillah, plus tagihan-tagihan lain dari Retno. Mulai dari beli kertas hingga band aid.

Tentu saja, pengeluaran di Senayan, langsung jadi tanggungan aku. Bila Norman sakit, masuk rumah sakit atau check up asma, tentu saja, aku yang membayar. Kini Norman sudah sehat. Asmanya bisa dikontrol. Pada 2003-2005, aduh, asmanya sempat membuatnya masuk rumah sakit dua kali.

Kenalan-kenalan dekat, yang sering datang atau menginap di tempatku, macam Agus Sopian, Anugerah Perkasa, Esti Wahyuni, Imam Shofwan, Indarwati Aminuddin, Linda Christanty, sering melihat bagaimana Norman jadi bete tiap kali perpindahan Senayan ke Pondok Indah. Ketika masih kecil, Norman bahkan sembunyi di bawah ranjang. Dia pegangan ranjang dan menangis keras-keras. Aku selalu membujuknya untuk tahu bahwa dia bisa bicara dengan Retno. Bahwa mamanya mencintai Norman. Bahwa disiplin juga perlu untuk kehidupan kita kelak.

Siang ini, aku langsung telepon Norman di bus sekolah. Dia bilang Retno sudah menelepon "Pak Fadil" dan minta Norman diantar ke Pondok Indah. Norman marah sekali. Dia merasa aku tak membelanya cukup sehingga dia bisa tidur semalam di Senayan. "I hate you," katanya. Aku sedih sekali. Aku menangis. Aku bersedia disakiti bahkan kalau bisa, sakit hati Norman dipindahkan ke aku semua. Sedih sekali membuat kecewa anak sendiri.

5 comments:

Astri Kusuma said...

Pak Andreas, saya percaya Pak Andreas adalah ayah yang baik bagi Norman. Tuhan akan memberi jalan Pak..Semoga Pak Andreas tabah..

salam dari Jogja

Anonymous said...

Duh .. semoga ini semua akan menempa Norman jadi kuat, jadi manusia yang tegar dalam kehidupan. Terharu dan sedih bacanya. salam, Myr.

* Dapat alamat blog ini dari blognya mas Tyo Gombal *

Anonymous said...

sumpah aku nangis baca semua cerita tentang Norman..Gak sangka masuk ke blog ini, tadinya cuma mo cari sekolah di bintaro buat anakku..eh malah keasikan baca tentang Norman...Yang sabar dan tabah aja yah pak Andreas

surmi said...

I've read two stories of your relationship with your son. So touchy and makes me have to say :What a loving father you are!Be strong for your son,Mr. Harsono.

My best regards to mbak Ira and Norman.

Dina Carol said...

Dear Andreas...
Saya sedang mencari info mengenai KPAI, yang akhirnya membaca cerita tentang anda, gemes rasanya dengan perlakuan mantan istri anda, and saya sangat kagum dengan keuletan anda memperjuangkan "kebahagian" Norman!..Hal yang hampir serupa menimpa suami saya yang bermasalah dengan mantan istrinya yang sangat tempramental dan ANEH, gila harta, gila kehormatan, dan SERING mempergunakan anak2nya untuk kepentingan pribadinya. Saya ingin sekali bertukar pikiran dengan anda. Kemana saya bisa menghubungi anda? ini email saya dinacarol88@yahoo.com
Thank you and TAKE CARE, GBU, Dina