Tuesday, January 02, 2007

Surat dari Ende

Esti Wahyuni


Hari itu kantor majalah Tempo diserbu para preman, yang mendukung pengusaha Tomy Winata. Goenawan Mohamad dari Tempo minta Andreas Harsono datang kesana. 

Andreas pun mengajak keempat tamunya ikutan. Chik Rini, Indarwati Aminuddin, Kiki Andi Pati, dan aku kebetulan lagi diajaknya melihat-lihat Museum Nasional. Norman juga ikutan. Maka kami segera naik mobil. 

Kami perlahan masuk dan parkir di Tugu Proklamasi, sebelah kantor Tempo. Suasana tegang. Orang-orang lalu lalang. Polisi dan preman memenuhi jalan. Semua kendaraan dihentikan. 

Norman, this is a fragile situation. Put on your jacket. Please keep these ladies safe,” kata Koko menutup pintu mobil. Aku biasa memanggil Andreas “Koko” –atau “abang” dalam bahasa Mandarin. 

Begitu turun dari mobil, Norman berjalan depan kami. Menjaga empat perempuan dewasa. Chik Rini dari Aceh. Kiki orang Bima tinggal di Kendari. Kak Indar dan aku satu kost dekat Pasar Rumput, Manggarai, di Jakarta. 

Norman gentle sekali, menghalau kami untuk tetap satu barisan di belakangnya. Begitu mendekati pintu masuk kantor Tempo, preman-preman berbadan kekar menghampiri. Norman langsung ciut, menepi ke arahku. Suaranya terdengar lirih, “Papa ....” 

Kalau saja, suasana tak setegang siang itu, Kak Indar dan aku pasti tertawa lepas. Chik Rini tersenyum kecut. Norman hanya gentle sepanjang 50 meter dari pintu mobil. Memang umurnya baru lewat enam tahun. 

Itulah perkenalan pertamaku dengan dia. Norman. Laki-laki kecilku yang selalu mengisi akhir pekan di Jakarta --sebelum pacarku, Hairul Anwar, pindah dari Praya, Pulau Lombok, ke Jakarta juga. Kami sering melewatkan waktu bersama. 

Orang-orang mengira, aku baby sitter-nya atau juga pembantunya. Tiap kali keluar apartemen Andreas bersama. Orang-orang akan tergoda melihat kami jalan bergandengan. Pake bahasa Inggris lagi. Lengkap sudah identitasku di dekatnya. Bahkan ibunya sendiri sering salah membedakan antara Erni Pasar dan aku. 

Erni datang ke apartemen tiga kali seminggu membersihkan apartemen. Aku sering menemani Koko ke sekolah Norman. Ada baca puisi, lomba gambar, drama, teater, tari sampe lomba cheerleader. Sekolahnya besar sekali. Sekolah internasional. Bahasa Inggris. Ruang teaternya dua kali ukuran Teater 21. Acara di sekolah ini sering aneh-aneh untuk ukuran aku yang tidak pernah main teater atau drama zaman SD dulu di Praya. 

Di kelasnya, Norman dituakan. Dimintai pendapat kalau ada yang bertengkar. Ada gurunya canda memanggilnya “grandfather.” Tiap tahun ada drama, ia pasti mendapat peran orang yang paling bijaksana. 

Suatu hari, ia menjadi Chinese emperor dalam drama Mulan. Kami sering menonton filmnya. Ini tentang seorang gadis, Fa Mulan, menyelamatkan kekaisaran Cina dari bangsa Hun. Dia hapal luar kepala dialog kaisar itu. Dadaku rasanya penuh saat Norman muncul di tengah drama. Ingin teriak, “Norman!” Koko dan aku menontonnya di samping panggung. Baju kaisarnya menjuntai-juntai. Kuning menyala dan merah marun. Dia gagah sekali. Dialognya terdengar jelas. 

Menjadi baby sitter Norman bisa juga nyampe di Pasar Rumput. Saat memilih jenis kain dan warna untuk kostum kaisarnya, Norman cas cis cus saja denganku. Orang-orang menatapku aneh. Mereka heran bin bingung, “Kok ada pembantu bisa bahasa Inggris?” Belum lagi dengan manjanya Norman, menggelendot di tanganku. “Wah, ini memang baby sitter beneran.” 

Di Jakarta ini, ada stereotype orang kaya pasti sibuknya luar biasa. Anak-anak mereka akan dekat dengan pembantu. Mereka pikir, hebat juga pembantu bisa bahasa Inggris. Ini karena disekolahkan majikan Cina mereka? 

Di Indopahit, orang memang berpikir tiap Cina itu kaya. Norman dan papanya masuk kategori itu. Padahal, siapa yang tahu dompetnya Andreas Harsono? Editor satu ini dibayar dengan dollar kalau menulis. Tapi selalu kekurangan duit di dompet. Artinya, dia gak pernah pegang uang cash. Andalannya, ya kartu kredit. Tiap bayar, gesek. Gesekan ini paling banyak untuk mentraktir teman-teman … atau sumber-sumbernya. Tak hanya mentraktir, mengurusi tetek-bengek teman-temannya yang datang tak punya uang, bertengkar dengan pasangan, membelikan sepatu olah raga hingga mencari pekerjaan buat mereka. Pokoknya ini majikan Cina yang kaya. 

Nah, di Pasar Rumput, aku jadi pembantu dari Cina kaya. Harga kain dinaikkan. Penjahitnya pun pasang tarif di atas rata-rata. Bonus lainnya. Kedipan genit sang pelayan toko untuk sang pembantu! Mungkin dipikirnya, satunya pelayan toko dan satunya pembantu, bakal jodohan. Saat memotong kain, matanya berkedip nakal denganku. 

Di taksi, Norman bertanya kenapa semua orang menaikkan harga saat dia datang dan menemaniku. Aku bilang, karena dia Cina dan pake bahasa Inggris pula. Tiba-tiba Norman melihat argo taksi. Idenya langsung datang. Dia bicara dalam bahasa Melayu, “Esti! Suatu hari ada cerita Bawang Putih dan Bawang Merah ....” 

Aku tertawa keras di taksi. Anak ini ingin menurunkan harga naik taksi dengan bahasa Melayu yang terbata-bata! Di taksi itu juga, Norman memijatku karena letih bolak-balik mencari bahan kain untuk kostum kaisarnya. Hati terasa sejuk. Cuma dia yang selalu menganggapku temannya. Tak perduli orang-orang menganggapku sebagai pembantunya. Dia memang sahabat kecilku yang baik. 

Saat puasa lalu, aku letih menunggu bis di terminal Blok M, sepulang kantor. Rasa kangenku tiba-tiba muncul dengannya. Aku mengirim pesan pendek ke Sri Maryani, ini baby sitter aslinya Norman. Menanyakan Norman sedang apa dan bagaimana dengan makan malamnya. 

Yani membalas. “Dedek senang sekali dapet sms dari Mbak Esti.” Tak berapa lama, Norman menelponku dari handphone Yani. “This is Esti? The fat girl?” candanya. Kami bercanda di telpon. Tiba-tiba rasa haru datang. 

Ia kaisar kecilku yang selalu membuat perasaan jadi lebih tenang. Di Ende, dimana aku mengerjakan sebuah proyek, aku saya berharap dia akan punya keluarga lagi. Aku membayangkan, kelak dia akan punya saudara sendiri dan menjaganya dengan hati-hati. Sama seperti ia menjaga perempuan-perempuan saat preman datang menyerbu. “Norm, I hope you always be happy dear.” 

Esti Wahyuni konsultan harian Flores Pos, pernah ikut survei media di Flores dan Aceh.

No comments: