Tuesday, January 02, 2007

Cerita Mak Isah


Muhlis Suhaeri


Dalam hidup orang butuh cerita. Dan dalam keluarga, cerita ini diturunkan dari generasi ke generasi, membentuk sejarah keluarga. Ini juga terjadi pada keluarga Mak Isah, seorang perempuan Madura, ibu dari empat anak perempuan, yang tinggal di Pontianak. Keempat anaknya berturut-turut Nur Hayati, Nurma, Sapariah dan Tursih.

Menurut Nurma, dia mendapat cerita keluarga dari neneknya. Ceritanya, kakek dan nenek buyut Nurma, naik perahu kayu dari Pulau Madura pindah ke Kalimantan. Nurma tak tahu persis kapan kakek dan nenek buyutnya pindah ke Kalimantan, kemungkinan pada zaman Hindia Belanda.

Mak Isah sendiri kini umurnya telah sepuh. Guratan dan garis kehidupan jelas pada raut wajahnya. Caranya berjalan masih tegak. Mak Isah juga giat bekerja, mengerjakan urusan rumah tangga sendiri. Dia memasak, membersihkan rumah, mengambil air, membakar sampah, memelihara kucing-kucing kesayangannya. Orangnya penuh kasih sayang. Tak heran jika anak dan cucu, betah tinggal di rumahnya.

“Waktu itu butuh waktu sekitar 15 hari,” kata Nurma. Perahu kayu yang membawa rombongan nenek buyutnya, dari Madura ke Kalimantan, memuat sapi, garam dan barang dagang lainnya. Nah, di antara muatan barang itulah, manusia berjejal, menuju Kalimantan, sebuah pulau dimana etnik Madura banyak menetap di luar Pulau Madura dan bagian timur Pulau Jawa. Bila ombak ganas menerjang dan perahu kian oleng, sering sapi dan barang muatan dilempar ke laut.

Dalam desertasi Hendro S. Sudagung, Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, kedatangan orang Madura ke daerah ini, dibagi dalam tiga periode. Pertama, 1902-1942 ketika Kalimantan dan Madura diperintah oleh Kerajaan Belanda. Migrasi ini berlangsung lambat dan terus-menerus. Kedua, migrasi yang terjadi pada zaman peralihan kekuasaan, saat Perang Dunia II, antara 1942 dan 1950. Saat itu Jepang menduduki Hindia Belanda, lalu terjadi kekosongan kekuasaan, sesudah Amerika mengalahkan Jepang pada Agustus 1945. Antara 1945-1950, terjadi diplomasi internasional guna menetapkan status Hindia Belanda dimana pemenangnya sebuah negara baru bernama Republik Indonesia Serikat. Ketiga, migrasi yang terjadi pada zaman Republik Indonesia, 1950-1980.

Perpindahan orang Madura ke Kalimantan Barat, juga dikarenakan faktor perdagangan. Orang Madura biasa mengarungi lautan, dan menjadi pedagang antarpulau. Selain mendarat di Ketapang dan Pontianak, para pedagang sapi itu, juga mendarat di pelabuhan Pemangkat, di daerah kekuasaan keraton Sambas. “Karena biasa berlabuh di Pemangkat, akhirnya menetap di sana,” kata H. Syamsuddin dari Yayasan Korban Kerusuhan Sosial Sambas. Orang tua Syamsuddin datang ke Pemangkat pada 1923. Pemangkat adalah satu dari tiga daerah Sambas dimana terjadi pembunuhan dan pengusiran orang Madura besar-besaran pada 1999. Kini Sambas “bersih” dari orang Madura.

Di Kalimantan, orang Madura, ibarat imigran kebanyakan, pekerja keras dan ulet. Mereka bekerja sebagai buruh atau petani. Tugasnya membuka hutan, ladang, kebun, menggali parit, hingga memecah batu. Upahnya kecil. Selain rajin, orang Madura dianggap taat pada majikan bila bekerja. Tak heran, permintaan tenaga kerja orang Madura, terus meningkat. Menurut Sudagung, biasanya, orang Madura yang datang ke Kalimantan Barat, dari Bangkalan dan Sampang di Pulau Madura.

Dalam salah satu pendaratan itulah, menurut Nurma, turun pasangan kakek-nenek buyutnya, bernama Belidin dan Dulamah. Mereka merupakan generasi pertama keluarga Mak Isah. Pasangan ini menuju Parit Deraman, Punggur Besar, Kecamatan Sungai Kakap, Pontianak. Menurut Hasan, seorang tokoh Punggur Besar, “Dinamakan Parit Deraman karena yang pertama kali membuka daerah itu bernama Abdurahman.” Keluarga Hasan tetangga keluarga Mak Isah di Punggur. Hasan keturunan Bugis. Abdurahman merupakan moyangnya.

Ketika itu Punggur masih berupa hutan rimba. Belidin bekerja sebagai tukang tebas. Ia menyabit rumput dan membersihkan kebun. Begitu juga Dulamah. Dari perkawinan itu, lahirlah seorang anak, diberi nama Misdin. Ketika dewasa, Misdin juga menjadi buruh tebas pada pemilik ladang di Punggur. Dia juga bertani, menanam padi dan menoreh getah karet. Di Punggur ada yang menampung getah itu. Terkadang Misdin juga berangkat ke berbagai wilayah di Kalimantan Barat mencari pekerjaan. Segala pekerjaan dilakoninya. Yang penting halal. Begitu prinsipnya. Misdin menikah dengan Aminah. Dari perkawinan ini, lahirlah anak perempuan bernama Isah. Kelak, anak perempuan ini biasa dipanggil Mak Isah. Mak Isah tak tahu tanggal kelahirannya. “Jaman dulu, orang tua jarang mencatat kelahiran anaknya. Anak yang penting lahir selamat,” kata Mak Isah.

Untuk menghidupi ekonomi keluarga, mereka menanam padi. Misdin tak punya tanah. Keluagra Misdin numpang di tanah orang. Padi panen setelah tujuh bulan. Saat panen tiba, hasilnya dibagi dengan pemilik tanah. Satu hektar sawah hasilnya sekitar 200 gantang. Satu gantang setara dengan lima kilogram. Yang punya tanah diberi 20 gantang. Setelah bagian pemilik tanah diberikan, zakat pun dihitung. Besarnya 2,5 persen dari hasil panen. Begitupun, bila sawah ditanami jagung. Setiap panen, dapat menghasilkan 1000 biji jagung. Dari hasil itu, jagung yang dizakatkan sekitar 100 biji jagung.

Nenek Aminah suka memberi makan para tetangganya. Ketika itu menjelang akhir pemerintahan Belanda dan awal pendudukan Jepang. Malaise. Dunia serba susah. Di Punggur, orang sulit mendapatkan makanan. Tak heran jika Aminah melarang anaknya membuang makanan. Menurutnya, membuang makanan berarti sikap takabur.

Orang biasa makan bulgur atau dedak. Makanan ini, biasanya untuk hewan ternak. Begitu juga dengan pakaian. Kalaupun ada pakaian, hanya terbuat dari kulit kayu kapoa. Yang ditumbuk dengan tipis dan dibentuk pakaian. Ada banyak kasus tentara Jepang datang dan mencari perempuan desa untuk dijadikan jugun ianfu.

Orang menggunakan penerangan lampu teplok. Lampu itu terbuat dari kaleng kecil diberi sumbu. Bahan bakarnya dari minyak tanah. Bila ada pesawat Jepang lewat, semua lampu dimatikan. Supaya tidak kena bom. Meski hidup pas-pasan, Nenek Aminah peduli dengan orang sekitarnya. Menurut Nurma, neneknya punya sikap welas asih pada sesama. Sikap peduli dan baik hati itu, menjadi pelajaran penting bagi Isah. Selain sering memberi makanan, Aminah suka memberi pakaian pada tetangga. Selain bertani, Aminah juga berdagang kain.

Apa yang diingat Isah, pada sosok ayah dan ibunya? Keduanya, selalu memberikan pelajaran tentang agama. Sedari kecil, Isah digembleng dengan pendidikan agama. Alasannya, supaya bisa menjadi bekal, untuk hari kemudian. Salat dan mengaji, merupakan pelajaran pokok. Pendidikan yang Isah peroleh dari orang tua, juga ia terapkan pada anak-anaknya, kelak.

Bagaimana dengan sekolah? Sekolah terdekat dari Punggur berada di Pontianak. Jaraknya sekitar 23 km. Sekarang sebagian sudah ada jalan aspal, dulu jalanan masih berupa jalan setapak. Orang menyebutnya jalan tikus. Lagian, sekolah bukan menjadi pekerjaan wajib perempuan. Budaya patriarki masih kental. Dan, sekolah hanya milik orang kaya dan para bangsawan. Menjelang Isah, usia remaja, Aminah meninggal dunia. Sepeninggal istrinya, Misdin menikah dengan Misti. Nenek Misti inilah yang sering cerita kepada Nurma. Dari perkawinan itu, lahirlah Mahmur dan Rahmat. Rahmat meninggal dunia Lebaran 2006.

Nasib tragis dialami Misdin. Suatu ketika, ia dan beberapa kawannya, berangkat ke Pontianak. Ada kerjaan di sana. Pada saat menyeberangi Sungai Kapuas, perahu yang mereka tumpangi terbalik. Misdin dan beberapa kawannya tenggelam. Misdin dikebumikan di Punggur.

Isah menikah pada umur 15 tahun. Suaminya bernama Ahmad. Ia peranakan Jawa di Kalimantan. Mereka dijodohkan. Seorang anak tidak bisa menolak, ketika orang tua menjodohkannya. “Amit-amit. Mau buta keh. Mau sumbing keh. Mau pincang keh, tak bisa menolaknya,” kata Isah. Meski dijodohkan orang tuanya, Isah tak mau menjodohkan anak-anaknya. Perkawinan pertamanya dengan Ahmad, tak dikarunia anak. Ahmad meninggal pada usia muda. Sepeninggal Ahmad, Isah menikah dengan Muhamad, tetangga di Punggur, seorang keturunan Banjar dan Madura. Dari perkawinanan ini, lahir Nur Hayati dan Nurma. Perkawinan itu berakhir di tengah jalan. Mereka bercerai. Muhamad masih tinggal di Punggur, hingga kini.

Nur Hayati ketika dewasa menikah dengan Ilyas Bujang. Mereka dikarunia enam anak: Ernawati (kini tinggal di Jakarta), Hendrik (Punggur), Tri Wati (Pontianak), Eko (polisi di Mempawah), Desita Wulandari (Punggur) dan Novi Wulansari (Punggur). Ilyas dan Nur menetap di Punggur dan mengelola tanah pertanian Mak Isah maupun milik pasangan ini sendiri. Anak kedua, Nurma, pernikahan pertamanya dengan Benu, dikarunia seorang anak, Jhoni Indra. Lalu pernikahan keduanya dengan Johan mempunyai empat orang anak, Febriansyah, Helmi Januar, Delly Ariska Virgina Jannati dan Lusinda Aprilia Arsy Islami. Nurma kini tinggal di Pontianak bersama kelima anaknya di rumah Mak Isah. Johan sendiri menikah lagi dan tak tinggal bersama Nurma. Setelah cerai dengan Muhammad, Isah menikah dengan Saturi. Ia pendatang dari Pulau Madura. Di sana, ia pernah menikah dengan Saminten. Dari pernikahan itu, lahir seorang anak lelaki. Namanya Ramli, kini tinggal di Surabaya.

Saturi perawakannya sedang. Tidak tinggi. Tidak pendek. Ia agak gemuk. Kulitnya hitam. Orangnya bertanggung jawab dengan keluarga. Ia rajin bekerja. Semua pekerjaan dilakoninya. Mengupas kelapa. Menanam padi. Memelihara sapi. Menyabit rumput. Borong bangunan. Narik becak. Semuanya. Kalau mengerjakan sesuatu hingga tuntas. Ia biasa kerja hingga larut malam. Menurut Mak Isah, Saturi orang baik, tak mau bicara kasar, atau berkelahi dengan orang lain. Teman-temannya datang dari berbagai etnik. Mereka acapkali menyambangi rumah Saturi, sekedar untuk nongkrong dan bertegur sapa. Saturi pemberani. “Kalau memang Allah menghendaki saya mati, ya, matilah,” begitu ingatan Mak Isah. Saturi jarang bersikap masam. Ia lebih sering tertawa. Istilahnya, meskipun susah, ia selalu gembira. Bahkan, bila melihat istrinya melamun, ia akan menegurnya, “Tidak boleh melamun. Berdoa saja.”

Pasangan ini biasa memasarkan hasil kebunnya ke Pontianak. Mereka menggunakan perahu kecil. Perahu itu didayung. Satu di depan dan satu di belakang. Hasil kebun seperti pisang, kelapa, daun pisang, langsat, dan lainnya, dibawa melalui Sungai Punggur menuju Sungai Jawi di Pontianak. Perjalanan dari Punggur menuju Sungai Jawi lumayan berat. Bila dari Punggur berangkat pukul 8 pagi, sampai di Sungai Jawi sekitar pukul 5 sore. Mereka membawa bekal makanan dan peralatan memasak di perahu. Sepanjang jalur sungai tak ada warung makanan. Bila rasa lelah mulai merayap, mereka bakal menepi. Istirahat dipergunakan untuk membuka bekal makanan. Dalam perahu biasanya diletakkan kajang. Ini semacam anyaman dari daun nipah untuk atap perahu. Bila kajang diletakkan di atas sampan, pendayungnya tidak bisa mengayuh sampan. Obor pun dibawa untuk penerangan dan menghindari sampan tabrakan dengan lainnya. Bila sudah terlihat cahaya lampu, berarti sudah dekat Pontianak. “Kita pun akan semakin semangat mendayungnya,” kata Ilyas Bujang, menantu dari Mak Isah. Bujang menikahi Nur Hayati, anak pertama Mak Isah, pada 1976.

Sama dengan mertuanya, Ilyas membawa hasil kebunnya ke Pontianak dengan mendayung sampan. Ketika barang dagangan laku, mereka membawa kebutuhan sehari-hari, seperti, minyak, gula, beras, ikan dan lainnya.

Pada 1972, pasangan Saturi-Isah memutuskan pindah dari Punggur ke Pontianak. Tepatnya di Jalan HM Suwignyo. Saturi sering mendapat penyakit “angin setan.” Ia pernah dibawa ke Madura, hingga ke Lamongan untuk berobat. Mereka memutuskan pindah ke Pontianak dimana sarana kesehatan lebih baik dari Punggur. Daerah Suwignyo masih berupa kebun. Tidak seramai sekarang.

Di tempat tinggal baru, Isah bekerja menjual sayuran. Ada daun singkong, cabe, bawang, kentang dan lainnya. Dari pukul empat subuh, Isah belanja sayuran. Pagi hari, Isah membawa dagangan keliling ke berbagai perumahan. Berjalan kaki hingga belasan kilometer dari rumahnya. Kalau nasib sedang baik, sayurannya laku terjual. Namun, tak jarang orang bersikap ketus dan angkuh, ketika ditawari. Isah hanya mengurut dada, dan mendoakan orang tersebut. “Alhamdulillah. Tak ape, kau tak beli sayuran kami.”

Setelah punya anak, Saturi minta Isah tidak berjualan. Makan tak makan, pokoknya harus kumpul dengan keluarga. Ia mengerjakan semua pekerjaan. Perkawinannya dengan Isah juga melahirkan anak. Anak pertama bernama Marsuni. Ketika berumur tiga bulan, anak ini meninggal. Sakit kejang-kejang. Anak kedua bernama Menik, dan anak ketiga, Dayang, mengalami hal sama. Meninggal pada usia tiga bulan, karena sakit kejang-kejang. Jarak masing-masing anak antara dua hingga tiga bulan.

Sapariah lahir 6 Januari 1976. Ia dinamakan Sapariah, karena lahir pada bulan Syafar dalam penanggalan hijriah. Ketika Sapariah berumur tiga tahun, Mak Isah melahirkan adiknya Sapariah, diberi nama Tursih. Sewaktu kecil, Sapariah gemuk tubuhnya. Mak Isah ingat Sapariah suka makan telur ayam kampung mentah. Telur dilubangi, dihirup dan dibawanya jalan. Sapariah juga suka minum susu. Tak heran bila orang memanggilnya “Bogel.” Sapariah tidak peduli. Ia asyik dengan kegiatannya sendiri, menulis. Menulis sesuatu di lantai dan tembok. Lalu, bicara sendiri. Bogel belum sekolah, ketika itu. Menurut Mak Isah, Bogel tidak nakal, dan lebih sering bermain sendiri di rumah. Kegiatan Bogel, membuat ibu-ibu yang lewat, berkata pada Isah, “Anak ibu ini, nantinya pintar.”

Daerah Suwinyo adalah lingkungan beragam. Ada orang Melayu, Dayak, Jawa, Cina, Bugis dan lainnya. Masalah etnisitas merupakan isu dan masalah penting di Kalimantan Barat. Ia selalu jadi bahan pergumulan, bahkan terkadang pembunuhan, di kalangan etnik ini. Namun anak-anak sering main petak umpet, cakak lele, dan permainan lainnya.

Malam hari, Sapariah dan Tursih menderas Al-qur’an pada guru mengaji Abdul Hamid, dekat rumah. Bila ada tontonan bioskop keliling –misbar (gerimis bubar)-- mereka bakal nonton. Pertunjukan di tanah lapang. Jaraknya ratusan meter dari rumah. Yang diputar biasanya film kungfu, atau film tentang Keluarga Berencana. Kegiatan mengasyikkan lainnya adalah mencari kayu bakar untuk masak di rumah.

Saturi dan Isah figur orang tua teladan. Mereka mengajari anak dengan contoh. Tidak mau memerintah, juga tidak menuntut apa-apa dari anaknya. Meski keduanya tidak mengenyam pendidikan, tapi punya kepedulian menyekolahkan anaknya. Apapun akan dilakukan, demi untuk menyekolahkan anaknya. Apa yang dilakukan orang tua, adalah simbol dari pendidikan kepada keluarga. “Meski tidak kaya, tapi orang tua mau menyekolahkan anaknya, hingga perguruan tinggi,” kata Tursih.

Sapariah dan Tursih lulus sarjana dari Universitas Tanjungpura. Sapariah lulus dari Fakultas Ekonomi. Tursih lulus dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Keluarga Ilyas Bujang dan Nur Hayati punya peranan membantu keduanya menyelesaikan sekolah hingga kuliah. Melalui hasil kebun yang mereka kelola di Punggur, keluarga ini membantu adik-adiknya.

Setelah anak-anaknya menyelesaikan kuliahnya, Saturi meninggal dunia. Ia tidak mengalami sakit atau apa. Dua hari sebelum meninggal, badannya merasa meriang. Pada hari ketiga, ia dibawa ke Rumah Sakit Sudarso. Baru sehari di rumah sakit, Saturi meninggal dunia. Keluarga ini tabah menghadapi cobaan. “Ketika ayahnya meninggal, Ari tidak menangis,” kata Nurul Hayat, teman Sapariah. Menurut Nurul, selama bergaul dengan Sapariah, ia tidak pernah melihatnya menangis.

Sapariah tidak pernah bicara mengenai cita-cita, semenjak kecil. Ketika pertama kali kerja, dia hanya berkata pada adiknya, “Aku ingin kerja yang tidak terikat dengan birokrasi atau apa. Kerja yang bebas, tapi benar.” Sapariah memang suka petualang dan pergi kemanapun. Dia pun melamar jadi wartawan, mulanya di harian Suaka lalu pindah ke Equator. Pada Agustus 2005, Sapariah mengambil keputusan pindah ke Jakarta dan bekerja untuk harian Bisnis Indonesia.

Di mata adiknya, Sapariah sosok pengayom. Kalau perlu, dia yang disalahkan juga tidak apa-apa, demi melindungi adiknya. Orangnya teguh pada pendirian. Tekun. Mau bekerja keras. Dalam masalah kerja, uang bukan satu-satunya tujuan. Namun, ada sisi lain yang ingin diraihnya. Selama apa yang dilihat dan dirasakan baik dan bagus, akan terus dikerjakannya. Kalau mengerjakan sesuatu hingga tuntas, begitu kata Tursih, mengenai kakaknya. Aku punya pengalaman sendiri mengenai Sapariah. Biasanya kami sering kumpul dengan apa yang dinamakan, “Gang Jomblo” dimana Sapariah anggotanya. Kata “jomblo” merupakan bahasa gaul bagi orang yang belum punya pasangan. “Gang Jomblo” anggotanya wartawati dari berbagai media, antara lain, Nurul Hayat (Antara), Aseanty Widaningsih Pahlevi dan Sri Apriyanti (Pontianak Post), Eva Rade Sitio (Sonora), dan Christin Boekit (TVRI), dan Ansela Sarating (Volare). Sapariah biasanya telat bila Gang Jomblo buat acara. “Ketika ditelepon, ia selalu bilang on the way,” kata Uun dan Levy, hampir bersamaan. Padahal masih ada di rumah, bangun tidur siang.

Kini, Gang Jomblo telah kehilangan beberapa anggotanya. Setidaknya, aku juga berperan mengurangi jumlah populasi mereka. Ehmm, satu anggotanya, Nurul Hayat, telah menjadi istriku. Dan satu lagi, Sapariah, akan mengakhiri status kejombloannya. Orang Madura adalah etnik yang mengalami diskriminasi luas di seluruh Pulau Kalimantan. Media sering mengulang-ulang (dan menyalahgunakan) pepatah, “Dimana bumi dipinjak, disana langit dijunjung.” Madura diibaratkan sebagai kelompok etnik yang tak membaur, suka mencuri, suka berkelahi, keroyokan dan sebagainya.

Pada 1997, di daerah Sanggau Ledo, orang-orang Dayak membunuh lebih dari 650 orang Madura. Pada 1999 di daerah Sambas, termasuk Tebas, Pemangkat dan Jawai, masyarakat Melayu Sambas melakukan ethnic cleansing terhadap orang Madura. Akibat pengusiran dan pembunuhan warga Madura di Sambas, lebih dari 52 ribu orang Madura mengungsi. Mereka meninggalkan tanah yang telah didiami puluhan tahun. Menurut penelitian Jamie Davidson dalam disertasi, Not Since Time Immemorial: Ethnicity, Indigeneity and Collective Violence on an Indonesian Periphery, lebih dari 3,500 orang Madura dibunuh di Sambas. Davidson juga menulis korban Madura di Sampit pada 2001, dalam Encyclopedia of Genocide and Crimes Against Humanity. Di seluruh Kalimantan, terjadi diskriminasi terhadap orang Madura.

Tak heran bila mengalirnya darah Madura di keluarga Mak Isah, membuat sebagian anggota merasa tekanan diskriminasi dan menanggung stigma dalam hidupnya. Bagi orang dewasa, masalah identitas Madura ini bisa mereka hadapi. Namun, bagi remaja dan kanak, ada dampaknya. Menurut Tursih, “Keponakan, terkadang malu mengaku Madura. Tidak tahu juga, mengapa mereka punya perasaan seperti itu. Mereka biasanya mengaku Melayu kepada teman-temannya.”

Lalu, apa yang menarik dari calon suami Sapariah, Andreas Harsono? Apakah karena ada kesamaan sebagai minoritas dan mendapat diskriminasi? Andreas orang Tionghoa kelahiran Jawa. “Walaupun kami secara pergaulan belum begitu dekat, tapi saat pertama kali datang, dia begitu peduli dengan kami,” kata Tursih.

Tursih berpikir, mungkin ini hanya sikap awal, untuk menarik hati keluarganya. Tapi, dalam kelanjutannya, Andreas memang orang terbuka dan asyik dalam pergaulan. Orangnya mau mengkritik. Kadang kalau sudah mengkritik aneh-aneh, Tursih langsung marah. Dan kalau orang yang dikritiknya marah, Andreas langsung mencandai dan bergurau. Menurut Tursih, Andreas orangnya pintar. “Itu yang kami suka dari dia. Selain itu, dia juga terbuka dan peduli,” kata Tursih.

Keluarga besar Mak Isah, tak mempersoalkan masalah etnis, kekayaan atau apa, ketika anaknya memilih jodohnya. Anggota keluarga ini menikah dengan beragam etnis. Yang penting agamanya Islam. Itu saja.

Tentu saja ada harap, pada pasangan Sapariah dan Andreas di keluarga Mak Isah. Tentu saja, supaya perkawinan itu awet hingga akhir. Latar belakang keluarga dari Sapariah dan Andreas, menjadi kata kunci dari harapan tersebut. Kata orang dulu, kalau dalam keluarga ada yang kawin beberapa kali, kemungkinan anak-anaknya ada juga. “Nah, saya berharap sekali, mudah-mudahan itu tidak ada. Pokoknya, Ari dan Mas Andreas itu selamanya,” kata Tursih.

2 comments:

vaniahuebsch said...
This comment has been removed by the author.
vaniahuebsch said...

sungguh cerita sejarah keluarga mak isah yg indah dan mengharukan. Memang sayang sekali sampai sekarang orang Indonesia masih berpikiran kedaerahan dan selalu memandang rendah suku lain. Padahal ya sama2 manusia dg kekurangan dan kelebihan yg tinggal di suatu negara yg namanya Indonesia...

Salam dari Jerman,
Vania

www.friendster.com/vaniahuebsch