Tuesday, January 02, 2007

Pernikahan

Indarwati Aminuddin

Dalam 29 tahun belakangan, satu-satunya pernikahan yang saya tahu membahagiakan berasal dari kedua orangtua saya. Saya suka mengenang Bapak lebih banyak diam ketika diomeli Mama dan Mama yang sembunyi-sembunyi dari Bapak ketika mengendarai motor. Sepanjang pernikahan itu, seringkali mereka harus membuang berbagai kebiasaannya agar pasangannya tenang.

Kadangkala mereka tak lagi bisa mengalah. Suara bas Bapak naik dua oktaf dan suara Mama menjadi lebih pelan, pelan, tertahan dan senyap --“Mengalah untuk menang,” ini prinsip Mama. Kami empat bersaudara, beruntung tak pernah jadi korban kekesalan mereka. Tapi burung nuri dan kucing kami ditakdirkan menerima efek domino pertengkaran itu.

”Meoongg,”
”Diaaammm”.

”Mama cantiikk krrr krr.”
”Diaaaaaaaaaamm”.

Kini mereka tinggal di Ambon dan umur pernikahan itu sudah 30 tahun. Ia lebih panjang dari usia burung nuri kami “si Ucok” yang cuma empat tahun. Ucok mati ketika suatu malam, jalan-jalan di atas kasur penata rumah tangga kami. Di bawah bokong besar penata rumah itulah Ucok mati, terlindas tanpa udara. Upacara kematiannya menyedihkan. Mama dan Bapak kehilangan objek untuk diomeli. ”Padahal, Ucok sabar sekali. Tidak pernah balas mengomel kalau dimarahi,” kenang Bapak.

”Mama belum minta maaf sama si Ucok. Kemarin kepalanya sempat diketok, karena terlalu cerewet,” kata Titi, adik bungsuku. Titi menaburi kuburan kecil dengan bunga kamboja putih.

Usia kucing kami ”si Mari” hanya lima tahun. Dia mati terlindas juga, hanya saja bukan oleh bokong orang, tapi bokong truk. Darahnya banyak. Satu kakinya menjadi seperti noda kenyal di aspal. Kuburannya berdampingan dengan si Ucok. Dia—entah kenapa belum punya pasangan birahi—buktinya kami tak diwarisi anak kucing. Atau mungkin dia mandul atau tak cukup cantik hingga dicuekin sama kucing lain. Mama membungkus si Mari dengan kain putih dan membacakan doa agar arwahnya tenang. “Maafkan kami Mar.”

Usia kami menemani orangtua rata-rata 15 tahun. Tiap menginjak usia 16 tahun, satu persatu meninggalkan mereka untuk bersekolah. Kata Bapak, siapa yang akan meninggalkan siapa sekarang? Mereka mulai saling khawatir.

Awal Oktober lalu, Mama menelpon dan memberitahu Bapak sakit. Tampaknya hidup belakangan ini menjadi lebih berat buat Bapak. Dia terkena fenomena “khawatir berlebihan.” ”Yayuk di Bandung, baru-baru ini kan gempa, gimana ya”, cerita Mama tentang kekhawatiran Bapak.

”Adikmu Titi itu asma, dia tak boleh terlalu capek, kenapa sih ikut les menari?” kutip Mama atas keluhan Bapak lagi.” Titi sekolah di Makassar sekarang.

Puncaknya, ketika adikku, Muslim, yang kerja di pertambangan minyak Lampung kecelakaan, Bapak seharian termenung. Saya kira dia tengah mengalami gelombang melodrama besar-besaran. Bayangkan pernikahan 30 tahun ini telah membuahkan hasil: (1) Istri yang makin sibuk main tenis. Jam terbang Mama untuk ikut turnamen tenis berhadiah Coca cola dengan RT sebelah semakin sering; (2) Empat anak yang tidak berhenti mengkhawatirkan Bapak.

Padahal Bapak telah mengorbankan hal ini dalam hidupnya;

a. Dijauhi keluarga Mama di tahun pertama pernikahan;
b. Tidak diperbolehkan nonton bola dan tinju, karena akibatnya pagi hari tak bisa bangun
c. Menjaga Mama bila sakit dan janji tak mau menikah lagi bila Mama meninggal.
d. Semua tabungan dan aset atas nama Mama.
e. Merokok sesuai kuota Mama.


Tapi Mama juga telah mengorbankan hal ini:

a. Belajar masak dan merawat anak (Dulunya tidak pernah. Kini semua dilakukan atas nama cinta);
b. Melahirkan empat anak;
c. Bersedia ditinggalkan suami saat anak masih kecil-kecil;
d. Bersedia tak dinafkahi bila rezeki Bapak melorot;
e. Menjaga Bapak dalam suka duka dan tak mau menikah lagi bila Bapak meninggal;
f. Tidak kemana-mana tanpa izin Bapak;
g. Berhenti pakai sepatu hak karena Bapak tak suka.


Saya tahu keduanya mengorbankan banyak hal pada tiap fase kehidupannya. Tiap tahun pernikahan memunculkan keresahan sekaligus kenyamanan yang timbul dari penyesuaian diri. Pernikahan, kata Mama, justru menjadi ajaib karena pengorbanan yang naudzubillah. Tak bisa diukur dan dimatematikakan. Pengorbanan yang pada akhirnya membuat pernikahan menjadi punya umur, kekuatan, cerita dan punya warna.

Indarwati Aminuddin koordinator WWF-Indonesia di Kendari, bendahara Yayasan Pantau, pernah kerja wartawan di harian Kendari Pos dan Kendari Ekspres.

No comments: