Friday, October 12, 2007

Pers, Sejarah dan Rasialisme

Oleh Andreas Harsono


KALAU Anda memperhatikan harian Jurnal Nasional di Jakarta, Anda takkan sulit melihat sebuah logo “Seabad Pers Nasional” di halaman depan. Di dalamnya, Anda akan menemukan logo serupa dan sebuah kolom. Ia setiap hari menyajikan satu sosok organisasi media. Proyek ini diasuh oleh Taufik Rahzen, seorang penasehat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, redaktur senior Jurnal Nasional, sekaligus pemimpin Indexpress, organisasi yang menaungi kolom ini.

Menurut Rahzen, tahun 2007 adalah seabad pers nasional. Tarikh ini dihitung sejak Medan Prijaji terbit pertama kali pada Januari 1907. Medan Prijaji adalah “tapal dan sekaligus penanda pemula dan utama bagaimana semangat menyebarkan rasa mardika disemayamkan dalam dua tradisi sekaligus: pemberitaan dan advokasi.” Dua kegiatan itu dilakukan oleh hoofdredacteur-nya Tirto Adhi Surjo. Jurnal Nasional menghadirkan 365 koran, yang mereka anggap ikut membangun nasionalisme Indonesia. Hitungannya, antara 1 Januari hingga 31 Desember 2007, ada 365 hari. Jadinya, 365 media dalam 365 kolom.

Saya berpendapat ada 150 tahun sejarah sebelum Medan Prijaji, yang harus diperhitungkan oleh siapa pun yang hendak bikin ulasan sejarah media di Hindia Belanda. Kalau mau mencari data siapa yang terbit lebih awal, Abdurrachman Surjomihardjo dalam Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia menyebut suratkabar Bataviasche Nouvelles, yang terbit 1744-1746, atau sekitar 150 tahun sebelum Medan Prijaji, sebagai penerbitan pertama di Batavia.

Mengapa patokan Taufik Rahzen bukan 1744? Mungkinkah karena Bataviasche Nouvelles diterbitkan dalam bahasa Belanda? Kalau patokannya bahasa Melayu, Claudine Salmon dalam Literature in Malay by the Chinese of Indonesia, menyebut suratkabar-suratkabar berbahasa Melayu, antara lain milik orang Tionghoa, misalnya Soerat Chabar Betawie (1858), terbit sekitar 50 tahun sebelum Medan Prijaji? Salmon membuktikan bahwa suratkabar-suratkabar Tionghoa Melayu ini berperan dalam penyebaran bahasa Melayu di seluruh Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda.

Atau mengapa bukan bahasa Jawa, misalnya, Bromartani (1865) yang terbit di Solo? Di luar Pulau Jawa, juga ada Tjahaja Sijang di Minahasa (1868) atau Bintang Timoer di Padang (1864). Kalau bicara soal pengaruh dan perjuangan melawan ketidakadilan, saya juga ingin mengingatkan kita pada Multatuli, yang mengarang buku Max Havelaar (1859). Mengapa semua diabaikan? Multatulis alias Eduard Douwes Dekker menggunakan penanya buat menggugat kolonialisme Belanda di Jawa.

Saya mendapat jawaban Indexpress dari Agung Dwi Hartanto ketika hendak mewawancarai saya. Rencananya, Indexpress hendak memasukkan Pantau, organisasi di mana saya bekerja, ke dalam barisan 365 media tersebut. Dalam suratnya kepada saya, Agung menulis, “Medan Prijaji adalah pers yang sejak pertama terbit diawaki pribumi. Tirto Adhi Soerjo juga yang mendirikan NV Medan Prijaji.”

Tjahaja Sijang, menurut Agung, diabaikan karena “… sebelum diawaki pribumi menjadi milik zending Belanda. Demikian juga dengan Soerat Chabar Betawi. Koran ini bukan milik pribumi.”

Saya agak kaget mendapat jawaban tersebut. Benarkah Indexpress memakai ukuran yang rasialis tersebut? Tidakkah mereka sadar rasialisme hanya akan melahirkan diskriminasi. Rasialisme juga akan melahirkan rasialisme? Saya bikin riset lagi. Saya menemukan Taufik Rahzen juga memakai kriteria “pribumi” dalam sebuah kolom Jurnal Nasional, dengan judul, “Pers adalah Senjata.”

Rahzen menulis, “Salah satu penanda penting dari menyingsingnya fajar nasionalisme adalah tumbuh-kembangnya pers pribumi ….” Rahzen menganggap “… indikator dimulainya kebangkitan nasional, tumbuhnya pers-pers pribumi, yang diterbitkan oleh pribumi, yang mengangkat berita dan persoalan riil yang pribumi ….”

Saya rasa ada racial tone dalam proyek Indexpress. Saya menganggap tak ada masalah dengan memilih Tirto Adhi Soerjo. Dia termasuk penerbit yang berani melawan ketidakadilan pada zaman Hindia Belanda. Pengarang Pramoedya Ananta Toer menulis soal Tirto Adhi Soerjo dalam buku Sang Pemula maupun Tempoe Doeloe.

Tapi Tirto pun memakai pendekatan rasial ketika menyerang E.F.E. Douwes Dekker, wartawan Bataviaasch Nieuwblad dan cucu Multatuli, yang belakangan mendirikan Indische Partij. Pada 1908, organisasi Boedi Oetomo hendak menerbitkan suratkabar dan mencalonkan E.F.E. Douwes Dekker sebagai editornya. Alasannya, Boedi Oetomo membatasi keanggotaannya hanya untuk orang “Jawa, Sunda dan Madura.” Douwes Dekker orang Eurasian alias Indo. Paul W. van der Veur, penulis biografi Douwes Dekker, The Lion and the Gadfly, mencatat serangan ini, secara fiktif, diteruskan Pramoedya dalam tetralogi Pulau Buru.

Penelitian Indexpress ini bermasalah, ketika mengabaikan para penulis lain dengan dasar Tirto dan Medan Prijaji adalah "pribumi." Pada 1907, negara Indonesia belum ada. Slogan Medan Prijaji pun masih memakai nama Hindia Belanda. Pramoedya menulis soal Tirto dengan kedekatan emosional. Tirto dan Pramoedya sama-sama kelahiran Blora.

Benedict Anderson dalam pengantar buku Indonesia Dalem Bara dan Api menulis bahwa pada awal abad XX, "Koran mulai tumbuh di ampir setiap kota jang berarti, mirip tjendawan dimusim hudjan. Timbullah djagoan2 masa media pertama di Hindia Belanda, termasuk diantaranya Mas Tirto, F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, Marah Sutan, G. Franscis, Soewardi Soerjadingrat, ter Haar, Mas Marco, Kwee Kek Beng, dan J.H. end F.D.J Pangemanann pakai dua 'n'."

"Timbul djuga djago2 pers Belanda, termasuk Zengraaff, jang dengan keras membela pengusaha swasta sampai ditakutin pemerintah kolonial sendiri, dan D.W. Beretty, seorang Indo keturunan Italia-Djawa Jogja, jang selain mendirikan persbiro pertama di Hindia Belanda --Aneta, Pakdenja Antara-- djuga menerbitkan madjalah radikal-kanan, berdjudul De Zweep (Tjamboek)." Anderson menulis adanya keragaman dunia media yang mulai tumbuh subur pada awal abad XX.

Kriteria “pribumi” itu bakal menimbulkan dampak yang tidak tepat. Bila kriteria "pribumi" ini dipakai untuk menerangkan suratkabar dan "kebangsaan" Indonesia, sebelum dan sesudah Medan Prijaji, bisa kacau-balau penelitian ini.

Sekadar contoh. Kalau Anda perhatikan thesis Daniel Dhakidae di Universitas Cornell, Anda akan membaca setidaknya tiga suratkabar sekarang --Kompas, Sinar Harapan dan Tempo-- yang punya cikal bakal "non pribumi." Harian Djawa Pos di Surabaya didirikan The Chung Sen, seorang penerbit Tionghoa, pada 1949 sebelum dibeli PT Grafiti Pers, yang memiliki saham Tempo, pada 1982. Bagaimana Indexpress bikin barisan 365 media itu tanpa memasukkan Kompas, Sinar Harapan, Jawa Pos dan Tempo?

Tjahaja Sijang di Minahasa, sebelum diawaki orang Minahasa, antara lain, A.A. Maramis, memang milik Nederlandsch Zendeling Genootschap, sebuah lembaga zending Belanda. Namun NZG adalah lembaga yang melahirkan Gereja Masehi Injili di Minahasa, dengan kebaikan dan jasa sangat besar di bidang pendidikan dan kebudayaan. Saya kira mengabaikan Tjahaja Sijang, dengan alasan ia milik "Belanda," akan membuat wartawan di Minahasa bertanya-tanya. Maramis tak punya rekaman antagonistik terhadap orang-orang Belanda.

Contoh lain. Harian Flores Pos (1999) terbitan Ende, yang dipilih Indexpress, juga milik Societas Verbi Divini (SVD), sebuah organisasi Katolik dengan pusat di Roma. SVD adalah organisasi multinasional. Bisa jungkir balik Indexpress kalau mau dicari SVD itu pribumi mana? Cikal bakal Flores Pos adalah majalah Bintang Timoer (1928) dan dwimingguan Bentara (1948), yang juga punya komponen "non pribumi."

Lantas apa kriteria sih pribumi? Kalau kategori "pribumi" juga dipakai di Papua, bagaimana Taufik Rahzen memandang Eri Sutrisno? Dia orang Jawa, sekarang pemimpin redaksi mingguan Suara Perempuan Papua, suratkabar paling bermutu di Jayapura. Namun di Papua, Eri Sutrisno dianggap bukan “penduduk asli.” Bagaimana menyusun logika "pribumi" Indexpress terhadap orang Jawa, yang berjasa untuk jurnalisme di Papua, namun secara umum dianggap bukan pribumi Papua?

Kalau kriteria pribumi diletakkan di Timor Leste, negara yang baru meraih kedaulatannya, saya kira Rahzen juga akan jungkir balik. Irawan Saptono, orang Jawa warga Indonesia, lama bekerja di harian Suara Timor Timur pada zaman pendudukan Indonesia. Kini Timor Lorosae sudah merdeka. Irawan juga kembali ke Jakarta. Apakah Irawan tak berjasa dalam pengembangan jurnalisme di Dili?

Pada 1995, saya ada di Dili dan melihat sendiri kerja keras dan keberanian Irawan membela orang-orang Timor dari tentara Indonesia. Irawan belakangan terpaksa lari dari Dili karena ketidaksukaan militer Indonesia. Irawan bekerja untuk melayani masyarakat Dili dengan informasi tanpa ribut soal "kebangsaan" Timor Leste atau Indonesia. Tidakkah ini tindakan terpuji? Bagaimana perasaan Irawan Saptono bila namanya dihilangkan begitu saja dari sejarah Timor Lorosae? Tidakkah tujuan utama jurnalisme adalah memberitakan kebenaran? Tidakkah bisa dipertanyakan metode Rahzen ketika jurnalisme disejajarkannya dengan advokasi? Tidakkah ini menyamakan suratkabar partai dengan harian independen?

Saya kira logika ini bisa menjelaskan bahwa orang-orang macam F. Wiggers, H. Kommer, Tio Ie Soei, G. Franscis, ter Haar, Kwee Kek Beng, J.H. Pangemanann, F.D.J Pangemanann dan sebagainya juga, bekerja keras menyampaikan kebenaran kepada pembaca mereka, sama dengan Tirto. Mereka tak bisa diabaikan dengan mengambil Medan Prijaji sebagai tonggak media yang menyuarakan "kebangsaan" Indonesia.

Ide soal nation-state juga bukan pribumi di Hindia Belanda, atau yang sekarang disebut Indonesia. Ide ini mulanya berkembang di Perancis dan Amerika Serikat lebih dari 200 tahun lalu. Ide ini menyebar tanpa mengenal batas kerajaan, etnik, agama maupun lautan. Ia juga mendarat di Hindia Belanda dengan segala macam tafsir dan variasi. Kalau tiba-tiba ide soal nasionalisme ini “dipribumikan” ala Indexpress, saya kuatir, mereka kini sedang memberikan informasi yang menyesatkan kepada masyarakat. Proyek ini kurang mendidik warga Indonesia untuk belajar dari masa lalu dengan sebaik-baiknya.

Pramoedya Ananta Toer menulis dalam Sang Pemula bahwa guru Tirto dalam jurnalisme adalah Karel Wijbrands, warga Prancis, kelahiran Amsterdam dan meninggal di Batavia pada 1929. Tirto patuh dan hormat pada Wijbrands. Tirto juga bekerja bersama dengan F.D.J. Pangemanann, orang Minahasa. Tirto juga bekerja dengan F. Wiggers. Tirto menghormati tradisi Wiggers, yang menghargai dan menghormati golongan Tionghoa. Namun Tirto juga termasuk anak emas Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz, perwira militer yang memimpin Prang Athjeh dan membunuh cukup banyak warga Aceh pada awal abad XX. Saya tak bisa membayangkan bagaimana seorang politikus macam Tirto, yang dekat dengan van Heutsz, yang tangannya berlumuran darah orang Aceh, bisa diterima oleh wartawan di Aceh sebagai “pahlawan”?

Saya berpendapat Indexpress salah memakai kriteria “pribumi.” Kelak 100 tahun lagi, kalau kriteria ini konsisten dipakai terhadap Pantau, maka Pantau akan diabaikan karena ada “non pribumi” dalam komunitas ini. Ada juga wartawan-wartawan "non-pribumi" –Fikri Jufri, Toriq Hadad, Yosep Adi Prasetyo, Lenah Susianty dan lainnya-- ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen maupun Institut Studi Arus Informasi masing-masing pada 1994 dan 1995. Dua organisasi ini mendirikan media bawah tanah pada zaman Presiden Soeharto, guna menyiasati sensor dan bredel, sehingga beberapa anggotanya dipenjara. Tidakkah logika macam Indexpress ini juga kelak akan menghapus AJI dan ISAI berhubung ada “non-pribumi”?

Andreas Harsono adalah ketua Yayasan Pantau, bergerak di bidang pelatihan wartawan dan sindikasi feature, dari tiga kantor Jakarta, Banda Aceh dan Ende. Dia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen dan Institut Studi Arus Informasi.

1 comment:

andreasharsono said...

Hallo Bung,

Saya coba posting komentar berikut, tapi tidak bisa, karena komentar anonim tidak diperkenankan. Dan saya tidak punya account di Google.

_____________

Bung Andreas,

Tentang Tjahaja Sijang, kalau saya tidak keliru, David Henley, yang disertasinya tentang nasionalisme dikutip Bung, juga menulis tentang kompleksnya hubungan banyak sisi antara lembaga Zending dan VOC.

Tidak jarang kepentingan antara lembaga gereja milik Belanda - antara lain untuk pendidikan masal - dengan maskapai dagang Belanda itu berpunggungan. Mereka kerap "bertengkar", dan ini tercermin dalam politik fiskal pembiayaan pendidikan di negeri kolonial. Bahkan, kalau tidak salah (buku Henley lagi tidak berada didekat saya), lembaga Zending memilih untuk membiayai sendiri ongkos pendidikannya di Minahasa karena tak sependapat dengan VOC.

Belanda-Belanda di Zending itu, punya sumbangsih baik, seperti ditulis Bung. Suatu masa, sekadar contoh, walaupun penduduknya cuma seperlima Batavia, Minahasa punya sekolah dan pelajar, masing-masing, belasan sampai puluhan kali lebih banyak dibanding kota yang jadi ibukota "republik" kita sekarang ini.

Dibanding Suharto yang melakukan sentralisasi sumberdaya pendidikan di Jawa, dan sedmikian rupa menjadikan daerah-daerah semacam Minahasa menonton di pinggiran, jangan-jangan Belanda-Belanda Zending itu lebih berkarakter "kebangsaan".

Rasialisme - hulu dari fasisme - harus ditendang keluar dari kepala. Termasuk dari kepala mereka yang menulis sejarah pers Indonesia dengan kategori pribumi dan non-pribumi yang lumayan keliru itu.

Salam,
Sonny M.
Sarjana Ekonomi dari Universitas Sam Ratulangi, Manado.